BAB I PENDAHULUAN
D. Manfaat Penelitian
Peneliti mengharapkan hasil penelitian tersebut dapat berguna dan bermanfaat bagi pendidikan lebih utama dalam pembelajaran matematika, yakni:
1. Bagi Siswa
Memberikan motivasi agar siswa lebih percaya diri dalam menyelesaikan pesoalah dan permasalahan dalam matematika lebih khususnya materi pecahan.
2. Bagi Guru
Gambaran bagi pendidik khususnya guru matematika di tingkat SMP tentang tingkat kepercayaan diri siswa dalam menyelesaikan pesoalah dan permasalahan dalam matematika lebih khususnya materi pecahan.
3. Bagi Sekolah
Sebagai bahan infotrmasi kepada pihak sekolah upaya yang dapat di lakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran khusunya materi pecahan.
4. Bagi peneliti
Memberikan informasi-informasi bagi peneliti yang lain soal miskonsepsi siswa dalam menyelesaiakan permasalahan matematika khususnya pada materi pecahan, serta dapat di jadikan sebagai sumber kajian atau referensi bagi peneliti selanjutnya yang membahas topik yang sama.
7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Analisis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musababnya, duduk perkaranya dan sebagainya), penguraian suatu pokok atas berbagai bagian-bagiannya dan penelahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Analisis adalah mengevaluasi terhadap kondisi dari pos-pos atau ayat-ayat yang berkaitan dengan kauntansi dan alasan-alasan yang memungkinkan tentang perbedaan yang muncul.
Menurut Nawangsasi (Imam, 2018: 7) analisis adalah suatu pemeriksaan terhadap suatu objek tertentu untuk mengetahui permaslahan yang terjadi kemudian permasalahan tersebut diselidiki dan disimpulkan guna dapat memahami dari akar permaslahan tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa analisis adalah aktivitas atau penyelidikan yang memuat sejumlah kegiatan seperti membedakan, memilah sesuatu untuk digolongkan dan di kelompokkan kembali memurut kreteria tertentu kemudian dicari kaitannya dan ditafsirkan maknanya.
2. Konsep
Konsep menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) adalah gagasan, rancangan, ide, atau pengertian yang akan di abstrakkan dari peristiwa yang konkret. Konsep merupakan suatu gagasan pokok pikiran atau ide yang dapat menjelaskan suatu peristiwa, kejadia atau situasi dengan tujuan memberi kemudahan komunikasi antar manusia, biasanya konsep dinyatakan dalam bentuk simbol maupun kata.
Konsep berasal dari bahasa latin, conceptus, yang artinya tangkapan, rancangan, pendapat, pokok pikiran, ide, gagasan. Konsep dapat diartikan sebagai: yang pertama, kegiatan serta tindakan atau proses berpikir manusia. Yang kedua, Daya berpikir manusia dan khususnya penalaran manusia dan pertimbangannya. Yang ketiga, Produk proses berpikir, merancang seperti ide, angan-angan atau penemuan seseorang. Yang keempat, Produk-produk intelektual atau perdagangan dan prinsip yang terorganisasi.
Konsep itu dapat kita lihat dilihat dari segi subyektif dan obyektif.
Dari subyektif konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi obyektif konsep merupakan suatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut. Hasil dari tangkapan akal itulah konsep (Komaruddin, 2007).
Menurut Jeanne (2009: 327) bahwa konsep merupakan langkah pengelompokan secara mental bermacam objek atau kejadian yang
hampir sama dengan hal ini. Konsep adalah induk pikiran sebagin ahli melihatnya sebagai unit pikiran yang paling kecil.
Konsep memperlihatkan suatu komunikasi antara ide-ide yang lebih simpel sebagai pondasi pemikiran atau jawaban manusia terhadap petanyaan-pertanyaan tentang mengapa sebuah gejala itu bisa terjadi.
Konsep adalah hasil pikiran individu atau kelompok manusia yang dinyatakan dalam pengertian sehingga menghasilkan produk pemahaman seperti prinsip, hukum, dan teori. Konsep didapatkan dari kejadian yang benar terjadi, pengalaman melalui generalisasi serta berpikir abstrak.
Konsep bisa mengalami perubahan yang diikuti dengan fakta atau pengetahuan baru. Fungsi konsep adalah untuk mendeskripsikan atau memprediksikan (Syaiful Sagala, 2011).
Menurut Gusti Ayu Dewi, dkk. (2014: 21) konsep merupakan suatu simbol, generalisasi dan hasil berpikir abstrak manusia yang mengikat atau merangkum banyak pengalaman dan bersifat sementara.
Menurut Rosser (Ratna Wilis Dahar, 2011: 63) mengungkapkan konsep merupakan abstraksi yang akan mewakili satu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai karakter sama.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan ide abstrak seperti kata yang mendeskrisipsikan sebuah kejadian untuk mempermudah individu berhubungan pada orang lain dan bernalar.
3. Miskonsepsi
a. Pengertian Miskonsepsi
Miskonsepsi terdiri dari kata mis dan konsepsi. Mis artinya kesalahan dan konsepsi artinya pemahaman. Secara terminologi miskonsepsi adalah salah pemahaman. Sama halnya dengan kata miskomunikasi (salah bicara), mispersepsi (salah pendapat), dan lainnya. Sedangkan secata etimologi adalah salah pemahaman akan suatu konsep ilmu yang disebabkan oleh pemahaman awal yang dimiliki oleh seseorang atau pembelajaran sebelumnya.
Miskonsepsi dalam matematika adalah suatu kesalahan atau penyimpangan terhadap hal yang benar, yang sifatnya sistematis dan konsisten maupun insidental dalam menyelesaikan soal matematika.
Miskonsepsi yang sistematis dan konsisten terjadi disebabkan oleh kopetensi siswa. Sedangkan miskonsepsi yang bersifat incidental merupakan miskonsepsi bukan akibat rendahnya tingkat penguasaan materi pelajaran melainkan disebabkan factor lain misalnya: kurang cermat dalam membaca soal sehingga kurang memahami maksud soal tersebut, kurang teliti melihat jawaban yang sudah dikerjakan karena karna terburuh-buruh atau waktu hampir habis.
Mindrianti (2015: 2) mengungkapkan bahwa miskonsepsi adalah suatu pemikiran siswa yang salah atau bertentangan dengan teori ilmiah yang telah di kemukakan oleh para ahli dan sudah melengket serta melekat dalam individu siswa itu sendiri.
Miskonsepsi di pandang sebagai suatu masalah dalam pengetahuan berpikir dan pemahaman konsep individu terhadap pada rendahnya kemampuan siswa dan tidak tercapainya ketuntasan belajar.
Jeanne (2009: 338) mengungkapkan miskonsepsi adalah kepercayaan yang tidak sejalan dan tidak sesuai dengan penjelasan yang telah di terima umum atau seseorang dan terbukti sahih atau salah tentang sesuatu fenomena atau peristiwa.
Suparno (2013: 8) mengungkapkan bahwa miskonsepsi atau salah konsep yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan pengertian ilmiah dan pengertian sebenarnya atau pengertian yang di terima para pakar-pakar dalam bidang itu. Bentuk miskonsepsinya dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang naif.
Hasil observasi banyak memperlihatkan bahwa miskonsepsi terjadi secara luas. Suwarto (2013: 78) mengatakan bahwa Miskonsepsi terjadi karena itu kesalahan yang telah dilakukan oleh seseorang dalam membangun konsep itu sesuai informasi lingkungan dan sekitarnya maupun teori yang telag di terima. Penelitian untuk mengetahui miskonsepsi telah banyak dilakukan oleh para peneliti namun sulit membedakan siswa-siswa yang mengalami serta menderita miskonsepsi karena tidak tahu serta tidak paham konsep atau karena kesalahan konsep terhadap konsep. Untuk mengatasi atau menanggulangi siswa yang tidak tahu konsep dengan siswa
yang mengalami miskonsepsiakan jelas berbeda cara mengatasi dan penanggulangannya. Miskonsepsi dalam matematika harus diatasi dengan adanya guru atau pembimbing yang betul-betul memahami konsep yang salah paham dari pihak pembelajar dikarenakan apakah factor pengalaman yang pernah ia dapatkan dan belum berujung pengalaman tersebut.
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah pandangan atau pemahaman akan suatu konsep tertentu yang tidak akurat atau tidak sesuai dengan pengertian secara umum dan cendenrung mempertahankan pemahamannya terhadap konsep yang salah.
b. Sifat-sifat Miskonsepsi
Pada proses belajar mengajar biasanya siswa sudah mempunyai alur atau konsep pertama yang dikembangkan lewat lingkungan dan pengalaman orang-orang sebelumnya, tetapi ide yang dipunyai peserta didik ini bisa berbeda dengan para ahli.
Konsep para temuan ini biasanya memang lebih unik dan canggih, susah dan menyeluruh serta mempunyai komunikasi antar satu konsep dan konsep lainnya. Jika konsep yang dipunyai peserta didik bertentangan dengan para temuan maka mereka dinyatakan terdeteksi miskonsepsi.
Berdasarkan simpulan literature Arif Maftukin mengatakan miskonsepsi memiliki sifat seperti berikut:
1. Miskonsepsi sulit diperbaiki, berulang dan menganggap konsep selanjutnya.
2. Miskonsepsi bisa terjadi dikarenakan metode ceramah atau komunikasi guru terhadap siswa yang terus menerus dilakukan guru.
3. Siswa, guru, dosen maupun peneliti dapat terkena miskonsepsi baik yang pintar maupun tidak.
4. Dalam pelaksanaan pelajaran kadang-kadang miskonsepsi disamakan dengan ketidak tahuan siswa terhadap konsep maka sering guru pada umumnya tidak mengetahui atau tidak paham miskonsepsi yang lazim terjadi pada siswa.
c. Cara Mengatasi Miskonsepsi
Menurut Paul Suparno (2013) mengatakan bahwa banyak penelitian dilakukan oleh para ahli pendidikan di bidang biologi, fisika, kimia, astronomi yang mengungkapkan serta memperlihatkan bermacam-macam kiat yang dibuat untuk membantu siswa dalam memecahkan permasalahan dan persoalan miskonsepsi yang dialami siswa. Secara garis besar cara yang digunakan untuk meremediasi miskonsepsi adalah:
1. Mencari atau mengungkap miskonsepsi yang telah dialami dan dilakukan siswa.
2. Mencoba menemukan dan mengetahui penyebab miskonsepsinya.
3. Mencari perlakuan atau tindakan yang sesuai atau sepadam untuk mengatasi miskonsepsi.
Menurut Yulia ada beberapa cara yang dapat dilakukan dan digunakan untuk mengatasi miskonsepsi yaitu:
1. Pendeteksian miskonsepsi sedini mungkin. Sebelum pelajaran dikelas dimulai.
2. Merancang penyampaian materi.
3. Memberikan pengalaman belajar kepada siswa.
d. Mendeteksi Miskonsepi
Menurut Paul Suparno (2013) bahwa ada beberapa cara untuk mengetahui atau mendeteksi adanya miskonsepsi siswa. Berikut ini merupakan cara yang dapat di gunakan untuk mendeteksi miskonsepsi yaitu:
1. Peta konsep
Dapat atau mampu menghubungkan antara konsep-konsep serta gagasan pokok yang diorganisir dan disusun secara hirarkis.
2. Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka
Pada tes tersebut maka siswa harus menjawab dan menulis mengapa siswa itu mempunyai jawaban yang seperti itu.
Jawaban-jawabannya yang tidak benar dan salah dalam pemilihan ganda ini selanjutnya akan dijadikan bahan tes berikutnya. sesuai hasil jawaban yang tidak benar atau salah dalam pilihan ganda tersebut maka peneliti dapat mewawancarai
siswa untuk meneliti bagaimana cara siswa berpikirnya dan mengapa mereka memiliki pola pikir seperti itu.
3. Tes essay tertulis
Dengan tes essay tertulis maka kita dapat mengetahui miskonsepsi yang dialami siswa dalam bidang apa. Setelah ditemukan miskonsepsinya, maka di dapatlah beberapa siswa yang akan di wawancarai untuk lebih mendalami dan mengetahui mengapa mereka memiliki ide atau gagasan seperti itu. Sesuai wawancara itu maka akan terlihat darimana saj miskonsepsi itu sumbernya.
4. Wawancara diagnosis
Wawancara dapat membantu kita dalam mengetahui secara mendalam posisi miskonsepsi yang dialami siswa dan mengapa siswa memiliki pemahaman seperti itu. Selanjutnya guru dapat mengarahkan siswa sehingga siswa menyadari kesalahannya.
Jika siswa sadar terhadap miskonsepsinya, maka berikutnya miskonsepsi tersebut akan lebih mudah di ubah.
5. Diskusi dalam kelas
Di dalam kelas siswa diminta untuk menyampaikan dan mengungkapkan pokok pikiran dan gagasan tentang konsep yang sudah atau akan dipelajari. Dari kegiatan diskusi tersebut, maka peneliti atau guru dapat mendeteksi dan mengetahui gagasan atau pola pikir siswa yang tepat atau tidak tepat. Cara
mengetahui dan mendeteksi miskonsepsi siswa dengan metode diskusi tersebut, sangatlah cocok untuk diterapkan pada kelas yang besar dan banyak siswanya.
6. Praktikum dengan tanya jawab
Kegiatan praktikum yang disertai dengan Tanya jawab antara guru dengan siswa dapat digunakan atau dilakukan sebagai alat untuk mengetahui dan mendeteksi terjadinya miskonsepsi terhadap siswa atau tidaknya. Selama praktikum diharapkan agar guru selama bertanya kepada siswa soal konsep peda kegiatan praktikum dan memperhatikan bagaimana siswa menjelaskan persoalan dalam praktikum itu.
4. Gaya Kognitif
Berdasarkan psikologi seseorang memiliki perbedaan informasi yang tersusun kegiatannya. Perbedaan itulah yang berperan pada kualitas dan kuantitas dari hasil kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran, inilah dikatakan gaya kognitif (Al Darmono, 2012: 2).
Menurut Desmita (2012: 145) mengungkapkan bahwa gaya kognitif adalah karakteristik atau sifat individu dalam penggunaan fungsi kognitif (berpikir, menelaah, mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan. Dalam mengetahui kemampuan siswa dan gaya kognitif diperlukan dalam merancang materi, tujuan dan metode pembelajaran.
Menurut Woolfolk gaya kognitif yaitu suatu cara yang berbeda untuk melihat, mengenal, dan mengorganisasi informasi yang di terima. Setiap
seseorang/individu mempunyai cara yang berbeda-beda dan tertentu yang disukai dalam memperoses dan mengorganisasi informasi terhadap respon terhadap lingkungan. Woolfolk juga menjelaskan bahwa setiap individu atau seseorang mempunyai kemampuan yang cepat dalam merespon sesuatu serta ada juga yang lambat. Gaya kognitif dapat dibedakan atau dibagi menjadi dua bagian yaitu: yang pertama berdasarkan perbedaan aspek psikologis yaitu terdiri dari field dependent dan field independent, yang kedua berdasarkan waktu pemahaman konsep yang terdiri dari gaya inpulsif dan reflektif.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan gaya kognitif berdasarkan aspek psikologisnya yaitu field independent dan field dependent. Dalam Desmita (2012: 148) gaya kognitif Field Dependent dan Field Independent dapat memperlihatkan mencerminkan cara analisis seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya dan sekitarnya.
a. Gaya Kognitif Field Dependent
Seseorang atau individu dengan gaya kognitif Field Dependent lebih atau cenderung memerima suatu pola sebagai suatu keseluruhan. Mereka sangat sulit memfokuskan dirinya pada satu aspek dari satu situasi atau menganalisa pola menjadi bagian-bagian yang berbeda terhadapnya. Seseorang siswa dengan gaya kognitif FD (Field Dependent) mendapatkan atau menemukan kesulitan dalam memperoses sesuatu namun mudah mempersepsi apabila informasi dimanipulasi sesuai dengan konteksnya. dia akan dapat
memilah dan memisahkan sesatu sesuai dengan konteksnya, tetapi persepsinya sangat lemah pada saat terjadi perubahan konteks. Siswa yang memiliki gaya kognitif Field dependent ini lebih atau cenderung berpikir secara global dan luas, lebih mudah terpengaruh oleh lingkungan yang berupa kritik, mereka lebih suka mempelajari ilmu sosial dan ketergantung dengan lingkungannya.
Witkim (Woolfolk & Nicholoch, 2004) mempersentasikan bahwa beberapa karakter pembelajaran siswa dengan gaya kognitif Field Dependent sebagai berikut:
1. Lebih baik pada materi pembelajaran dengan muatan social.
2. Memiliki ingatan lebih baik untuk informasi social.
3. Memiliki struktur, tujuan dan penguatan yang didefinisikan secara jelas.
4. Lebih terpengaruh kritik.
5. Memiliki kesulitan besar dalam mempelajari struktur.
6. Mungkin perlu diajarkan bagaimana menggunakan memonic.
7. Cenderung menerima organisasi yang diberikan dan tidak mampu untuk mengorganisasi kembali.
8. Mungkin memerlukan instruksi lebih jelas mengenai bagaimana memecahkan masalah.
Menurut Daniel (Arif Altun, 2006: 290) bahwa kecenderungan umum dari Field Dependent (FD) adalah sebagai berikut:
1. Mengandalkan sesuatu bidang atau bagian persepsi dari lingkungan dan sekitarnya.
2. Mempunyai kesulitan menempatkan, menggali sesatu dan menggunakan isyarat yang tidak terlalu terlihat dan menonjol.
3. Mempunyai kesulitan memberikan tatanan dan susunan untuk informasi yang lebih ambigu.
4. Mempunyai kesulitan mengorganisir dan menyusun kembali Informasi yang dating dan baru dan menghubungkan hubungannya dengan pengetahuan yang sebelumnya.
5. Mengalami kesulitan mendapatkan atau mengambil informasi dan memori jangka panjang.
Bisa disimpulkan bahwa seseorag yang bergaya kognitif FD umumnya lebih minat mengamati kerangka situasi sosial, memahami wajah orang lain, tertarik pada pesan-pesan verbal dengan social content, lebih memperhitungkan keadaan dan kondisi sosial eksternal atau dari luar sebagai perasaan dan mempunyai sikap. Pada kondisi sosial tertentu, orang yang bergaya kognitif FD lebih bersikap ramah dan baik, hangat, mudah bergaul, responsive, selalu ingin mengetahui semua hal disbanding orang yang bergaya FI.
b. Gaya Kognitif Field Independent
Siswa dengan gaya kognitif FI (Field Independent), lebih atau cenderung menggunakan factor-faktor dari luar atau internal sebagai suatu arahan dalam memproses informasi yang diterimanya.
Ia juga melakukan dan mengerjakan tugas secara tidak berurutan, tertata, rapi dan merasa lebih cepat selesai dengan mengerjakan sendiri. Hasil penelitian menyimpulkan kalau siswa yang memiliki gaya kognitif FI lebih unggul atau lebih baik daripada gaya kognitif FD dalam hasil belajar. Walaupun demikian tiap gaya mempunyai kelebihan, keunggulan dan kelemahan serta kelemahan masing-masing. Individu atau seseorang dengan gaya kognitif FI ini cenderung atau lebih efektif dan bagus jika mereka belajar tahap demi tahap yang akan dimulainya dengan menganalisis fakta dan memprosesnya lalu mendapatkan apa yang dicarinya. Menurut Thomas (Al Darmono, 2012: 2) bahwa siswa yang memiliki gaya kognitif field independent lebih atau cenderung memiliki belajar secara sendiri individual, merespon dengan baik dan independen.
Kemudian daripada itu mereka juga mencapai tujuan dengan motivasi instrinsik atau dari dalam diri. Dengan demikian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki gaya kognitif FI lebih cenderung tidak terpengaruh lingkungan dan sekitarnya. Ia lebih mengutamakan kemampuan menganalisa informasi secara sendiri walaupun hal itu tidal sesuai dengan realita atau keadaan yang sebenarnya. Selain itu juga ia lebih cenderung mampu menganalisis sesuatu dan lebih sistematis dalam menerima informasi dari lingkungan dan sekitarnya.
Menurut Syahrial (2014: 28) bahwa seseorang dengan gaya kognitif field independent itu lebih bersifat kritis, ia dapat memilih stimulus berdasarkan keadaan dan situasi, sehingga pandangan dan persepsinya sebagian kecil terpengaruh ketika ada perubahan keadaan dan situasi. Siswa dengan gaya kognitif FI ini memang lebih cenderung belajar secara sendiri, ia mampu menyelesaikan permasalahn atau persoalan tanpa ada orang yang membantu dan membimbing. Tetapi mereka mengalami kesulitan pada menguasai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan lingkungan dan sosial. Ia tidak mudah di pengaruhi oleh lingkungan dan sosial, itulah mengapa mereka lebih memilih belajar secara sendiri. Jadi gaya kogntif FI adalah kecenderungan individu dan seseorang dalam belajar yang mempunyai sifat dan karakteristik belajar secara sendiri dengan mengutamakan kemampuan berpikir analitis dan matematis.
Witkim (Woolfolk & Nicholich, 2004) mempersentasikan beberapa sifat atau karakter terhadap pembelajaran siswa dengan gaya kognitif field independent seperti:
1. Mungkin perlu bantuan memfokuskan perhatiannya pada materi dengan muatan social.
2. Mungkin perlu mengajarkan bagaimana menggunakan konteks untuk memahami informasi social.
3. Cenderung memiliki tujuan diri yang terdefinisikan dan penguatan.
4. Tidak terpengaruh kritik
5. Dapat membanggakan strukturnya sendiri pada situasi tak terstruktur.
6. Biasanya lebih mampu memecahkan masalah tanpa instruksi dan bimbingan ekplisit.
Menurut Daniel (Arif Altun, 2006: 290) bahwa kecenderungan umum dari Field Independent (FI) adalah sebagai:
1. Melihat satu objek yang terpisah dari lapangan.
2. Mudah memberikan susunan yang baik untuk informasi yang akan di sajikan.
3. Tidak mampu menanamkan item yang relevan dari item non-relevan dalam lapangan.
4. Lebih mudah menyusun kembali informasi yang baru dan mengaitkan hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya.
5. Cenderung lebih efesien dalam mengambil informasi atau item dari memori.
Bisa kita simpulkan kalau individu atau seseorang dengan gaya kognitif FI cenderung lebih ke analitis dalam memikirkan sesuatu, mereka bisa membedakan benda-benda dari segi apapun dan tidak bergantung pada lingkungan sekitarnya.
5. Hubungan Antara Miskonsepsi dengan Gaya Kognitif
Setiap siswa memiliki kemampuan dan pemahaman yang berbeda-beda pada saat pembelajaran. Kesulitan siswa dalam
mempelajari suatu materi pada umumnya terletak pada pemahaman konsep, pemahaman prinsip dan kesulitan pada operasi hitung. Kesalahan ini dapat disebabkan oleh siswa tidak paham dengan konsep atau mengalami miskonsepsi. Miskonsepsi ini sendiri dapat terjadi dikarenakan pengalaman yang telah diterima. Suparno dalam Paul Suparno
menyatakan bahwa setiap pengetahuan baru harus cocok dengan struktur kognitif, dimana struktur kognitif merupakan suatu sistem yang saling berkaitan antara konsep, gagasan, teori dan sebagainya.
Oleh karena itu gaya kognitif siswa sangat berpengaruh pada miskonsepsi yang terjadi. Gaya kognitif pada siswa dapat terdiri dari dua jenis yaitu gaya kognitif Field Independent dan gaya kognitif Field Dependent. Menurut Witkin dkk (2012:86), gaya kognitif Field Independent adalah ketika individu mempersiapkan diri bahwa sebagian besar perilaku tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan pada gaya kognitif Field Dependent adalah ketika seorang individu mempersiapkan diri bahwa sebagian besar perilaku dikuasai oleh lingkungan.
Pada pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa gaya kognitif yang dimiliki oleh setiap siswa dapat menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi, hal ini dikarenakan struktur kognitif siswa yang dalam mengingat, menerima informasi, memecahkan masalah akan berbeda-beda sesuai gaya kognitif yang mereka miliki. Menurut Slameto, mengatakan bahwa siswa dengan gaya kognitif Field Independent
cenderung belajar secara mandiri dibandingkan dengan siswa yang memiliki gaya kognitif Field Dependent.
Hal ini berpengaruh juga dalam cara siswa menyelesaikan soal berdasarkan gaya kognitif yang dimiliki oleh siswa. Siswa yang memiliki gaya kognitif Field Independent dapat dikatakan lebih mampu dalam memahami konsep dan menyelesaikan soal dengan lebih baik serta kecil kemungkinan mengalami miskonsepsi dibandingkan dengan siswa yang memiliki gaya kognitif Field Dependent.
6. Pecahan
Menurut Novak & Renzo (2013:3) berpendapat bahwa pecahan merupakan sebuah hasil bagi atau representasi bagian dari angka. Hal ini sebagai penguat konsep pecahan sebagai pembagian.
Menurut Musser, dkk (2011:216) menyatakan bahwa pecahan dapat dimaknai dengan dua cara yang berbeda. Pertama, pecahan digunakan sebagai angka yang menunjukkan bagian dari keseluruhan.
Kedua, pecahan dimaknai sebagai perbandingan.
Menurut Bunnett, Et Al (2010:283) berpendapat bahwa pecahan menjadi tiga konsep, yaitu konsep pecahan sebagai bagian dari keseluruhan, konsep pecahan sebagai hasil bagi, dan konsep pecahan sebagai rasio. Pecahan sebagai bagian dari keseluruhan, pada bilangan pecahan terdiri dari pembilang yaitu bilangan yang terletak diatas dan
Menurut Bunnett, Et Al (2010:283) berpendapat bahwa pecahan menjadi tiga konsep, yaitu konsep pecahan sebagai bagian dari keseluruhan, konsep pecahan sebagai hasil bagi, dan konsep pecahan sebagai rasio. Pecahan sebagai bagian dari keseluruhan, pada bilangan pecahan terdiri dari pembilang yaitu bilangan yang terletak diatas dan