• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka manfaat penelitian ini adalah:

6 1. Manfaat secara teoritis

a. Sebagai data dasar bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian lanjutan dalam lingkup masalah yang sejenis.

b. Hasil penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan tentang teori-teori tindak tutur ilokusi yang sudah ada.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian bagi peneliti lain yang ingin mengkaji mengenai tindak tutur ilokusi dalam transaksi jual beli di pasar sentral Makassar.

2. Manfaat secara praktis

a. Untuk menjadi sumber informasi bagi para pembaca, khususnya mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia tentang bagaimana penggunaan tindak tutur ilokusi yang benar.

b. Semoga hasil penelitian ini dapat menolong para pengguna bahasa agar mereka bisa memahami betul kata yang digunakan pada saat berbahasa atau pada saat proses interaksi berlangsung, sehingga mereka yang mendengar kata atau kalimat yang dituturkan tidak bingung dan tidak salah pengertian.

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Penelitian ini relevan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Muh.

Erwin pada tahun 2008 dan pernah pula dilakukan oleh Emmy Kasim pada tahun 2010. Persamaan penelitian ini terletak pada objek meneliti Analisis Tindak Tutur Ilokusi dalam transaksi jual beli di pasar sentral Makassar. Perbedaan penelitian inidari segi kebahasaan atau dialek daerah dan tempat penelitian.

Dalam tinjauan pustaka ini diuraikan beberapa kerangka teori yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian. Sehubungan dengan beberapa masalah yang akan diteliti, kerangka teori yang dianggap relevan dengan judul ini akan diuraikan sebagai berikut.

1. Pragmatik

a. Pengertian Pragmatik

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang semakin maju saat ini. Sekitar dua dasawarsa silam cabang ilmu bahasa tidak pernah disambut oleh pakar bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis bahwa upaya menguatkan hakikat bahasa yang tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1).

Menurut Firt (Unismuh 2010:1) mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi partisipasi tindakan (baik tindak verbal maupun nonverbal), ciri-ciri situasi lain

7

8 yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung, dan dampak tindak tutur dengan bentuk-bentuk perubahan yang timbul akibat tindakan partisipan.

Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari bahasa secara eksternal Echy (Asmawati, 2013). Ilmu mengenai bagaimana penggunaan satuan kebahasaan di dalam peristiwa komunikasi. Makna yang dikaji ilmu pragmatik merupakan makna yang terikat konteks atau dengan kata lain mengkaji penutur dalam peristiwa komunikasi.

Menurut Yule (2006: 3) menyatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar.

Sebagai akibat studi ini, lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tutur-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tutur itu sendiri.

Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahwa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadai dan melatar belakangi bahasa (Rahardi, 2005: 49)

b. Fungsi Pragmatik

Fungsi pragmatik yang tersirat dari maksud tuturan dalam suatu percakapan merupakan wujud implikatur percakapan. Keseluruhan fungsi pragmatik sebagai jabaran dari hasil taksonomi. Searle mengelompokkan ke dalam lima kelompok, yaitu: 1) menyatakan, melaporkan, menunjukkann menyebutkan; 2) menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, menentang; 3) memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh; 4) berjanji, bersumpah, mengancam; 5) memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,

9 memohon maaf. Kelima kategori itu merupakan fungsi pragmatik yang dapat ditemukan sebagai akibat pelanggaran prinsip kerjasama.

2. Implikatur

a. Pengertian Implikatur

Kata ‘Implikatur’ berasal dari verba ‘to imply’. Secara etimologis, ‘to imply’ berarti melipat sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Jadi, sesuatu yang diimplikasikan adalah ‘dilipat’, dan untuk memahaminya harus ‘dibongkar’.

Dengan demikian, implikatur percakapan adalah sesuatu yang tersirat di dalam pemakaian bahasa yang sebenarnya.

Implikatur adalah ‘penyiratan’; konsep yang mengacu pada sesuatu yang diimplikasikan oleh sebuah tuturan yang tidak dinyatakan di dalam pemakaina bahasa yang sebenarnya.

Istilah implikatur dikemukakan oleh Grice (1975) untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur. Dalam artikelnya yang berjudul Logical of Conversation. Grice mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan preposisi yang bukan merupakan dari tuturan tersebut.

Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan.

Jadi, implikatur percakapan adalah implikasi dari suatu tuturan yang berupa preposisi yang sebenarnya bukan bagian dari tuturan tersebut.

Tuturan yang berbunyi “Bapak datang, jangan menangis” tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah datang dari tempat-tempat tertentu. Si penutur bermaksud memperingatkan petutur bahwa

10 sang ayah yang bersikap keras dan sangat kejam itu melakukan sesuatu terhadapnya apabila petutur masih tetap menangis.

Dengan kata lain, tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah adalah orang yang sangat keras, kejam, serta sering marah-marah pada anaknya yangsedang menagis. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkannya itu bersifat tidak mutlak.

Inferensi maksud tuturan itu harus berdasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadai munculnya tuturan tersebut.

b. Jenis-jenis Implikatur 1) Implikatur percakapan

Asumsi dasar percakapan adalah jika tidak ditunjukkan sebaliknya, bahwa peserta tuturnya mengikuti maksim-maksim prinsip kerjasama.

Contohnya:

Lisa:”Saya harap kamu membawakan permen dan roti”

Dian:”Ah, saya bawakan roti”

Pada contoh tuturan di atas, Lisa berasumsi baha Dian melakukan kerjasama dan tidak sadar sepenuhnya tentang maksim kuantitas, karena tidak menyebutkan permen. Jika dia membawa permen, maka dia akan seharusnya bermaksud supaya Lisa menyimpulkan bahwa apa yang dia katakana melalui suatu implikatur percakapan. Penuturlah yang menyampaikan makna melalui implikatur dan penuturlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi.

11 2) Implikatur percakapan umum

Implikatur percakapan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, maka disebut implikatur percakapan umum

Contohnya:”Saya suatu hari duduk disebuah kebun. Seorang anak kecil melongok lewat pagar”.

Pada contoh tuturan di atas, bahwa kebun dan anak yang disebutkan tersebut bukan milik penutur, diperhitungkan pada prinsip kerjasama bahwa apabila penutur mampu lebih spesifik (yaitu menjadi lebih informative karena mengikuti maksim kuantitas), kemudian mengatakan ‘kebunku’ dan anakku.

3) Implikatur Berskala

Informasi selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala niali. Ini secara khusus tampak jelas dalam istilah-istilah untuk mengungkapakan kuantitas, seperti yang ditunjukkan dalam istilah-istilah didaftar dari skala niali tertinggi ke nilai rendah: (Semua sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit, selalu, sering, kadang-kadang).

Contoh:”Saya sedang belajar ilmu bahasa dan saya telah melengkapi beberapa mata pelajaran yang dipersyaratkan”.

Dengan memilih kata “beberapa” dalam contoh tuturan di atasa penutur menciptakan suatu implikatur berskala. Implikatur berskala adalah semua bentuk negatif dari skala yang lebih tinggi dilibatkan apabila dalam skala itu dinyatakan.

4) Implikatur Percakapan Khusus

Pada sebuah percakapan, implikatur telah diperhitungkan tanda adanya pengetahuan khusus pada konteks tertentu. Akan tetapi, seringkali percakapan kita

12 terjadi dalam konteks yang sangat khusus. Interferensi-interferenis yang demikian dipersyaratkan untuk menetukan maksud yang disampaikan menghasilkan implikatur percakapan khusus.

Contoh:

Agus: ”Apakah kamu suka bakso?”

Rina: “Apakah itu daging?”

Pada contoh di atas, jawaban Rina tidak memberikan suatu jawaban “ya”

atau “tidak”.Agus harus berasumsi bahwa Rina melaksanakan kerjasama. Jadi, Agus menganggap pertanyaan ‘daging’ Rina, jawabannya ‘ya’.Jadi, jawabannya sudah dimengerti, tetapi sifat dasar jawaban Rina juga mengimplikasikan jawaban terhadap pertanyaan itu.

5) Implikatur Konvensional

Implikatur konvensional tidak didasarkan pada kerjasama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan dan tidak pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan apabila yang disampaikan kata-kata itu digunakan. Kata penghubung “tetapi”

adalah salah satu kata-kata ini.

Contoh: “Andri menyarankan warna hitam tetap warna putih”

Pada contoh di atas, kenyataan Andri menyarankan warna hitam, bertolak belakang dengan pilihan saya warna cokelat. Melalui implikatur konvensional

“tetapi”.

13 3. Tindak Tutur

a. Pengertian Tindak tutur

Antara peristiwa tutur dan tindak tutur terdapat kaitan yang erat sekali.

Jika peristiwa tutur merupakan gejala sosial terdapat interaksi antara penutur dalam situasi tertentu yang lebih menitikberatkan kepada tujuan peristiwa, tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat pisikologis dan di tentukan oleh kemanpuan penutur bahasa dalam menhadapi situasi tertentu dengan menperhatikan makna dan arti tuturan. Oleh karena itu, dalam setiap peristiwa tutur terdapat serangkaian tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O. urmson (1965) dengan judul How to do Thing With with Word?. Tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language.

Menurut Djajasudarma (1994: 67), tindak tutur akan berkembang dan merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara-pendengar/penulis-pembaca serta yang dibicarakan. Selanjutnya, Ismari (1995: 6) mengemukakan tindak tutur sebagai berikut:

“Tindak tutur dapat diberikan sebagai sesuatu yang sebenarnya kita lakukan ketika kita berbicara. Ketika kita terlibat dalam percakapan, kita melakukan beberapa tindakan seperti: melaporkan, menyatakan, menyarankan, mengkritik, meminta, dan lain-lain. Suatu tindak tutur dapat didefenisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi”

14 Dari kutipan di atas, Ismari memberikan definisi tindak tutur sebagai kegiatan dalam berbicara yang memiliki fungsi. Kegiatan yang dimaksud adalah segala tindakan yang dilakukan ketika terlibat percakapan, seperti bertanya, meminta maaf, mengucapkan terima kasih.

Teori tindak tutur merupakan salah satu teori yang mencoba mengkaji hubungan antara tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penuturnya.

Dengan berpandangan bahwa:

1. Bahasa merupakan sarana utama komunikasi

2. Bahasa baru memiliki makna jika direalisasikan dalam bentuk aktivitas (tindakan) komunikasi yang nyata, misalnya membuat pernyataan, memberikan perintah, menyatakan sesuatu, membuat janji, dan sebagainya.

Teori tindak tutur relatif masih baru. Ia bertitik tolak dari asumsi bahwa unit minimal dari komunikasi manusia bukanlah tindak atau ekspresi lainnya, melainkan merupakan penampilan tindak tertentu seperti membuat pernyataan, bertanya, memberi perintah, menjelaskan, mendeskripsikan, meminta maaf, mengucapkan terima kasih, dan sebagainya. Tindak tutur seperti itu disebut tindak tutur ilokusi.

Menurut Chaer (2004: 16) tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Menurut Purwo (1989: 19), di dalam mengatakan sesuatu dengan mengucapkan kalimat tersebut. Di dalam pengucapan kalimat seseorang juga menindakkan sesuatu hal, seperti permintaan, pemberian izin, tawaran/menawarkan, atau ajakan hal ini mengisyaratkan bahwa dalam

15 komunikasi sering terjadi perbedaan antara apa yang diucapkan dengan maksud yang sebenarnya ingin disampaikan.

Tindak tutur terdiri dari dua kata yakni tindak dan tutur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tindak adalah langkah awal dan tutur adalah ucapan atau perkataan. Kedua kata tersebut mengandung makna, tindak tutur merupakan awal perkataan yang diucapkan oleh seseorang dalam melakukan aktifitas komunikasi. Ilokusi adalah tekanan komunikatif dari tuturan. Penuturan bahasa yang dipergunakan merupakan karakter manusiawi untuk membedakannya dari makhluk lain.

Agustin dan Searle (2013) mengatakan bahwa tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Tindak tutur memiliki bentuk yang bervariasi untuk menyatakan suatu tujuan. Misalnya menurut ketentuan hukum yang berlaku di Negara ini,

“Saya memerintahkan Anda untuk meninggalkan gedung ini segera”.Tuturan tersebut juga dapat dinyatakan dengan tuturan “Mohon Anda meninggalkan tempat ini sekarang juga” atau cukup dengan tuturan “Keluar”. Ketiga contoh tuturan di atas dapat ditafsirkan sebagai perintah apabila konteksnya sesuai.

Tindak tutur dalam istilah Indonesia di antaranya mengacu pada tindak bahasa, tindak ujar ataupun tindak komunikatif. Perbedaan istilah ini terlepas dari suatu tindakan tertentu, sebagaimana yang diungkapkan Searle bahwa bertutur adalah performasi dari suatu tindakan. Menurutnya teori tindak tutur sebagai salah satu teori yang mencoba hubungan antara tuturan dengan tindakan yang dilakukan

16 oleh penuturnya berfungsi sebagai sarana komunikasi. Tuturan baru memiliki makna jika tuturan tersebut telah direalisasikan dalam bentuk aktivitas komunikasi nyata.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, peristiwa tutur dapat dipahami maksudnya dengan benar apabila seseorang memperlihatkan komponen-komponen tutur yang diakronimkan menjadi speaking. Seperti yang dikatakan oleh Dell Hymes (1972) menyatakan, bahwa ada delapan komponen yang harus diperhatikan dalam suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa yang diakronimkan menjadi, yaitu:

1) Setting and scene. Settingunsur yang berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung. Sedangkan Scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.

2) Participants yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan/percakapan, misalnya percakapan antara Anto selaku pedagang dengan konsumennya tentu berbeda apabila partisipasinya bukan Anto dengan konsumennya melainkan Andi dengan sesamanya pedagang.

3) Ends, yaitu merujuk pada maksud dan tujuan percakapan/pertuturan 4) Acts sequence menace, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran

5) Keys, yang mengacu pada nada, cara dansemangat dalam melakukan percakapan.

6) Instrumentalities, yaitu yang mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti secara lisan dan tulis.

17 7) Norm of Interaction and Interpretation, yaitu yang mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya yang berhubungan dengan cara bertanya dan sebagainya.

8) Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian atau menunjukkan pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan

Setting and scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicara. Chaer (2004: 48) menjelaskan bahwa waktu, tempat dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi, anda harus berbicara seperlahan mungkin.

Selain setting and scene Hymes juga menjelaskan tentang tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu komunikasi. Tokoh-tokoh yang terlibat tersebut dinamakan Participant. Chaer (2004: 48-49) mendefinisikan participant sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar; tetapi dalam khotbah di masjid, khotib sebagai pembicara dan Jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orangtua atau gurunya, bila dibandingkan berbicara dengan teman-temannya.

18 Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Sebuah tuturan memiliki maksud dan tujuan antara pihak yang berkomunikasi. Sebuah tuturan juga memiliki pesan yang ingin disampaikan. Chaer (2004: 49) berpendapat baha peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud menyelesaikan suatu kasus perkara; namun partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwah, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.

Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran danisi ujaran. Bentuk sebuah ujaran dapat macam. Sebuah ujaran juga memiliki isi yang bermacam-macam. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicara. Bentuk ujaran dalam kuliah umum dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga isi ujaran yang dibicarakan (Chaer dan Leoni, 2004: 49).

Key, mengacu pada nada, cara dan semangat. Suatu pesan dapat disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong dan dengan mengejek. Hal ini dapat juga ditujukan dengan gerak tubuh dan isyarat (Chaer dan Leoni, 2004: 49).

Instrumentalies, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis melalui telegraf atau telepon. Chaer (2004: 49) mengatakan bahwa instrumentalies mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa dialek, fragman atau register.

19 Norm of interactionand interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Seperti yang dicontohkan Chaer (2004: 49) misalnya yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

Genre, genre merupakan jenis-jenis sesuatu.sebuah tuturan dapat berbentuk , seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya (Chaer dan Leonie, 2004: 49).

Selanjutnya dijelaskan bahwa validitas tuturan performatif bergantung pada terpenuhinya beberapa syarat yang disebut Velocity condition. Adapun syarat-syarat yang diajukan terdiri atas:

a) Orang yang mengutarakan dan situasi pengaturan tuturan itu harus sesuai.

b) Tindakan itu harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penutur dan lawan tutur.

c) Penutur dan lawan tutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan tindakan itu.

Dalam suatu peristiwa tindak tutur ada beberapa aspek yang secara simultan bergerak melingkar, meliputi:

1) Penutur dan petutur , penutur mengacu pada pembicara (orang yang berbicara) dan petutur mengacu pada orang yang menerima pesan dan menginterpretasikan

2) Konteks tuturan, ialah faktor-faktor nonlinguistik proses komunikasi.

3) Tujuan tuturan, ialah sesuatu yang dimaksud oleh penutur. Istilah ini dihubungkan dengan pemilihan kode dalam komunikasi, bahasa yang digunakan untuk mengkodekan pesan dan menimbulkan pesan.

20 4) Tuturan sebagai bentuk aktivitas (tindak tutur) dalam situasi pertuturan

tertentu.

5) Tuturan sebagai produk tindak (aktivitas). Pada aspek ini, tuturan lebih difokuskan pada hasil suatu tindak verbal dari pada tindak verbal itu sendiri.

b. Jenis-Jenis Tindak Tutur

Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan dan perintah, begitu juga dengan tindak tutur dapat berwujud pernyataan, pertanyaan dan perintah. Chaer (2004: 53) membagi tindak tutur menjadi tiga, yaitu:

Selanjutnya, ketiga jenis tindak tutur tersebut diuraikan lebih rinci sebagai berikut:

1) Tindak Lokusi

Tindak tutur lokusi merupakan aktivitas bertutur kalimat tanpa disertai tanggung jawab penutur untuk melakukan suatu tindak tertentu. Pada jenis tindak lokusi ini si penutur tidak ada kewajiban untuk bertindak atas tuturannya. Dalam tindak lokusi, seseorang penutur mengatakan sesuatu secara pasti. Dengan demikian, sesuatu yang diutamakan dalam tindak bahasa lokusi adalah isi tuturan yang diungkapkan penutur, misalnya: Ia mengatakan kepada saya, ‘bawalah ia ke pasar!’

Pada contoh di atas, kata “bawalah” mengacu pada tindakan yang ditujukan pada orang ketiga, dalam bentuk kalimat tersebut, tidak ada keharusan bagi “saya” (penutur) untuk melakukan isi tuturannya, yaitu “membawa dia”.

Penutur hanya memberitahukan tentang “ia” yang “memerintah,” sedangkan

21 pelaksanannya di luar tindak lokusi, atau bahkan telah bergeser pada tindak tutur lainnya.

2) Tindak Ilokusi

Tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan (Rustono, 1999:37). Leech (Rustono, 1999: 38) untuk memudahkan identifikasi ada beberapa verba yang memadai tindak tutur ilokusi.

Beberapa verba itu antara lain mengucapakan suatu pernyataan, tawaran, melaporkan, mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterima kasih, mengusulkan, mengakui, mengucapkan selamat, berjanji, mendesak, dan sebagainya, misalnya: “rambutmu sudah panjang”

Bila kalimat diucapkan oleh seorang laki-laki kepada pacarnya, mungkin berfungsi untuk menyatakan kekaguman atau kegembiraan. Akan tetapi, bila diutarakan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya, atau oleh seorang istri kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk menyuruh atau meminta agar sang suami memotong rambutnya.

Keunikannya yang menjadi perbedaan antara tindak ilokusi dan tindak lokusi adalah terdapatnya daya kekuatan yang mendorong penutur untuk melakukan sesuatu hubungan dengan isi tuturan ini bisa disebut kekuatan ilokusi.

Uraian diatas merupakan tindak ilokusi yang secara potensial berada di bawah kontrol penutur, dan yang lebih diutamakan adalah tanggung jawab penutur untuk sedang, telah, dan akan melakukan sesuatu dengan isi tuturannya.

Dengan demikian, pengidentifikasi tindak ilokusi terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan, dan di mana tindak tutur itu terjadi.

22 Lebih jelas lagi Searle (Rustono, 2009: 39-43) membuat klasifikasi dasar tuturan yang membentuk tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis, yaitu:

1) Representatif

Menurut Searle, tindak tutur representatif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tindak tutur jenis ini disebut tindak tutur asertif. Yang termasuk jenis tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporakn, memberikan kesaksian, menyebutkan dan berspekulasi. Contoh: “Bapak Gubernur

Menurut Searle, tindak tutur representatif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tindak tutur jenis ini disebut tindak tutur asertif. Yang termasuk jenis tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporakn, memberikan kesaksian, menyebutkan dan berspekulasi. Contoh: “Bapak Gubernur

Dokumen terkait