• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Untuk memudahkan pembahasan ini, maka penulis terlebih dahulu mengemukakan manfaat dan keunggulan penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi para pendidik dalam menerapkan mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi pengaruh terhadap akhlak anak didik siswa SDN 52 Lerekang desa Parappunganta Kecamatan Polut Kabupaten Takalar.

2. Bagi peneliti memperdalam dan memperluas wawasan dalam bidang pendidikan sehinggah penelitian ini bisa memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan di lingkungan masyarakat. Serta sebagai bentuk pengembangan teknik-teknik dalam membuat karya tulis ilmiah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan Agama Islam

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (2001: 69-70), mengemukakan bahwa:

Secara etimologi pendidikan berasal dari bahasa Yunani “paedagogie”, yang terdiri dari dua kata”pais” yang artinya anak, dan “again” yang artinya membimbing. Sedangkan secara terminologi, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.

Menurut H. Ramayulis (2004:1) bahwa:

Istilah pendidikan berasal dari kata didik dengan memberinya awalan

"pe" dan akhiran "kan" mengandung arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak.

Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan.

Soegarda Poerbakawatja (1976: 214), mengatakan bahwa:

Secara istilah pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.

Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Hasbullah, (2005:4) mengemukakan bahwa:

Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun kekuatan kodrat yang

7

ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya.

Lain halnya dengan Musthofa Rahman dalam Ismail, SM. Dkk (2001: 57), bahwa “Pendidikan menurut pengertian bahasa Arab yaitu

“Tarbiyah”,dengan kata kerja “raba yarbu” yang berarti tumbuh dan berkembang”.

Sedangkan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dikemukakan oleh H. M. Chabib Thoha (1999: 4) yaitu:

Pendidikan Agama Islam merupakan sebutan yangdiberikan kepada salah satu subyek pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa muslim dan menjelaskannya pada tingkat tertentu.

Menurut Ahmad Tafsir (1995: 8) "Pendidikan Agama Islam (PAI) berarti bidang studi Agama Islam".

Sedangkan menurut Muntholi’ah (2002: 18), bahwa:

Pendidikan Agama Islam (PAI) ialah usaha yang lebih khususditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagaman subyek peserta didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Selain itu PAI bukanlah sekedar proses usaha mentransfer ilmu pengetahuan atau norma agama melainkan juga berusaha mewujudkan perwujudan jasmani dan rohani dalam peserta didik agar kelak menjadi generasi yang memiliki watak, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur serta kepribadian muslim yang utuh.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Agama Islam adalah suatu proses bimbingan jasmani dan rohani yang berlandaskan ajaran Islam dan dilakukan dengan kesadaran untuk

mengembangkan potensi anak menuju perkembangan yang maksimal, sehingga terbentuk kepribadian yang memiliki nilai-nilai Islam.

2. Dasar-Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam

Dasar atau fundamen dari suatu bangunan adalah bagian dari bangunan yang menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya bangunan itu. Pada suatu pohon dasar itu adalah akarnya. Fungsinya sama dengan fundamen tadi, mengeratkan berdirinya pohon itu. Demikian fungsi dari bangunan itu.

Ahmad D. Marimba (1989: 41), mengatakan bahwa:

Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar tujuan Islam sendiri.

Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu al-Qur’an dan hadits dan kalau pendidikan diibaratkan bangunan, maka isi al-Qur’an dan hadits-lah yang menjadi pundamennya. Pandangan seperti ini banyak dianut oleh para pemikir pendidikan Islam.

Secara detail dasar-dasar Pendidikan Agama Islam mencakup:

a) Alquran

Alquran merupakan sumber nilai yang absolut yang eksistensinya tidak mengalami perubahan walaupun interpretasinya dimungkinkan mengalami perubahan yang sesuai dengan konteks zaman, ruang dan waktu.

Al-Qur’an dapat menjadi dasar pendidikan Islam karena di dalamnya memuat beberapa aspek yang dapat dijadikan sebagai sejarah pendidikan Agama Islam.

Hal ini bisa dilihat bagaimana Alquran mengisahkan beberapa kisah Nabi, misalnya Nabi Adam sebagai manusia pertama sekaligus sebagai Rasul pertama. Ia merintis budaya awal di bidang tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, sebagaimana disebutkan dalam Q.S Al-Baqoroh (2) ayat 31:



Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!. (Kemenag RI, 2010: 6).

b) Sunah (Hadits)

Sunnah memang berkedudukan sebagai penjelas Alquran. Namun pengamalan kekuatan kepada Allah sesuai dengan ajaran Alquran sering kali sulit terlaksana tanpa penjelasan dari sunnah atau hadits. Karenanya, Allah memerintahkan kepada manusia untuk mentaati Rasul dalam kerangka ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya para ulama memandang bahwa sunnah merupakan sumber hukum Islam/ajaran Islam yang kedua setelah Alquran.

Terbukti bukti bahwa hadits berperan dalam sumber hukum/ajaran Islam tentunya dalam bidang pendidikan adalah hadist yang di riwayatkan oleh Abu dawud Rasulullah saw bersabda:

اَنَ ثَّدَح

Menceritakan kepada kami Al-Qa’ nabi dari Malik dari Abi Zinad dari Al–

A’raj dari Abu Hurairah berkata Rasulullah saw bersabda: “Setiap bayi itu dilahirkan atas fitrah maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannyaYahudi, Nasroni sebagaimana unta yang melahirkan dari unta yang sempurna, apakah kamu melihat dari yang cacat?”. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah bagaimana pendapat tuan mengenai orang yang mati masih kecil?” Nabi menjawab: “Allah lah yang lebih tahu tentang apa yang ia kerjakan”. (HR. Abu Dawud).

c) Teladan Sahabat Nabi

Upaya sahabat Nabi dalam bidang pendidikan Islam sangat menentukan perkembangan dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah membukukan Alquran yang digunakan sebagai sumber pendidikan Islam, kemudian diteruskan oleh Umar bin Khattab yang banyak melakukan reaktualisasi ajaran Islam. Tindakan Umar ini sebagai salah satu model dalam membangun strategi kependidikan, terutama dalam pembaharuan pendidikan Islam.

Kemudian tindakan tersebut diteruskan oleh Utsman bin Affan, misalnya dengan upaya melakukan sistematisasi terhadap Alquran berupa kodifikasi Alquran. Kemudian disusul oleh Ali bin Abi Thalib yang banyak

merumuskan konsep-konsep ketarbiyahan, misalnya merumuskan etika anak didik kepada pendidiknya, atau sebaliknya.

d) Kemaslahatan Umat

Maksudnya, ketentuan pendidikan yang bersifat operasional, dapat disusun dan dikelola menurut kondisi dan kebutuhan masyarakat. Atau dapat pula dikatakan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.

e) Nilai dan Adat Istiadat Masyarakat

Nilai-nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang kompleks dan dialektis. Nilai-nilai tersebut tercermin kekhasan masyarakat, sekaligus sebagai pengejawantahan tradisi masyarakat dapat dijadikan dasar ideal pendidikan Islam. Tentu saja ada seleksi terlebih dahulu terhadap tradisi tersebut, mana yang sesuai diambil, dan yang bertentangan ditinggalkan.

f) Hasil Pemikiran (Ijtihad)

Hasil pemikiran atau ijtihad para mujtahid dapat dijadikan dasar pendidikan Islam. Apalagi ijtihad tersebut telah menjadi konsensus umum (ijma’) sehingga eksistensinya semakin kuat.

Tentu saja konsensus di sini adalah konsensus para pakar pendidikan yang menurut Zakiah Daradjat (1993: 21-22) bahwa:

Pendidikan harus tetap bersumber pada Alquran dan sunnah yang diolah oleh akal yang sehat oleh para pakar pendidikan Islam. Ijtihad tersebut juga harus dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu dan teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.

Muhammad Athiyyah al-Abrasy, terjemahan Bustami Abdul Ghani dan Djohar Bahry, (2002:11), mengemukakan tentang tujuan pendidikan agama islam, yaitu:

a) Tujuan Umum

Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua legiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara yang lainnya.

Tujuan ini meliputi aspek kemanusiaan seperti: sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda pada tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka yang sama.

Bentuk insan kamil dengan pola takwa kepada Allah harus tergambar dalam pribadi sesorang yang sudah terdidik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah, sesuai dengan tingkah-tingkah tersebut.

b) Tujuan Akhir

Pendidikan Islam ini berlangsung selama hidup, maka tujuan kahir akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir. Tujuan umum yang berbentuk Insan Kamil dengan pola takwa dapat menglami naik turun, bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan dan pengalaman dapat mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam itu berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan,memelihara dan memperthankan tujuan pendidikan yang telah dicapai.

c) Tujuan Sementara

Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Tujuan operasional dalam bentuk tujuan instruksional yang dikembangkan menjadi Tujuan Instruksional umum dan Tujuan Instruksioanl Khusus (TIU dan TIK).

d) Tujuan Operasional

Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan denganbahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu disebut tujuan operasional. Dalam pendidikan formal, tujuan ini disebut juga tujuan instruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi Tujuan Instruksional umum dan Tujuan Instruksional Khusus (TIU dan TIK). Tujuan instruksioanal ini merupakan tujuan

pengajaran yang direncanakan dalam unit kegiatan pengajaran.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah membimbing dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang saleh, teguh imannya, taat beribadah dan berakhlak terpuji.

3. Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam

Sebelum membahas mengenai nilai-nilai pendidikan Islam, perlu terlebih dahulu dijelaskan mengenai nilai-nilai itu sendiri. Menurut Sidi Gazalba dalam M. Chabib Thoha (1996: 99) menyebutkan bahwa:

Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, sesuatu yang ideal, bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menutut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.

Nilai-nilai pendidikan Agama Islam dapat dilihat dari tujuan dimensi utama, setiap dimensi mengacu pada nilai pokok yang khusus. Atas dasar pandangan yang demikian, maka nilai pendidikan Islam mencakup ruang lingkup yang luas:

a) Dimensi Hakekat Penciptaan Manusia

Berdasarkan dimensi ini, nilai pendidikan Islam arahnya kepada pencapaian target yang berkaitan dengan hakikat penciptaan Manusia Oleh Allah SWT, bahwa manusia di turunkan ke bumi untuk menjadi kholifah sesuai dengan Q.S. Al-Baqoroh (2) ayat 30, Allah swt berfirman:



Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan

menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:

"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.

(Kemenag RI, 2010: 6).

b) Dimensi Tauhid

Berbicara mengenai tauhid berarti berhubungan dengan keesaan Allah yang berarti tidak menduakan Allah dan meyakini bahwa allah itu satu sesuai dengan Q.S. Al- Ikhlas (112) ayat 1- 4, Allah swt berfirman:



1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.

2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (Kemenag RI, 2010: 604).

c) Dimensi Moral

Dimensi ini posisi manusia di pandang sebagai sosok individu yang memiliki potensi fitrah. Maksudnya, bahwa sejak dilahirkan, pada diri manusia sudah ada potensi bawaan yang diperoleh secara fitrah. Menurut M. Quraisy Shihab (1996: 254) bahwa “potensi ini mengacu kepada tiga kecenderungan utama, yaitu benar, baik, indah”.

Hubungannya dengan dimensi moral ini, maka nilai pendidikan islam arahnya kepada upaya pembentukan manusia sebagai pribadi yang bermoral. Nilai yang terkandung dalam dimensi ini adalah nilai moral yang di jelaskan dalam Q.S. Al-Israa (17) ayat 81, Allah swt berfirman:

 lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.

(Kemenag RI, 2010: 290).

d) Dimensi Perbedaan Individu

Secara umum manusia memiliki sejumlah persamaaan, namun di balik itu sebagai individu, manusia juga memiliki berbagai perbedaaan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Dimensi individu dititik beratkan pada bimbingan dan pengembangan potensi fitrah manusia dalam statusnya sebagai insan yang eksploratif (dapat mengembangkan diri), sehingga dari dimensi ini akan muncul nilai kemandirian.

Nilai kemandirian dijelaskan dalam Q.S. Al-Jumu’ah (62) ayat 10:



Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Kemenag RI, 2010: 554).

e) Dimensi Sosial

Manusia merupakan makhluk sosial, yakni makhluk hidup yang memiliki dorongan untuk hidup berkelompok secara bersama-sama.

Karenanya, dimensi sosial mengacu kepada kepentingan sebagai makhluk sosial, yang didasarkan pada pemahaman bahwa manusia hidup bermasyarakat. Yang akan memunculkan nilai toleransi, nilai keharmonisan, dan nilai kebersamaan.

Nilai toleransi ini di bahas dalam Q.S. Yunus (10) ayat 40-41:



40. Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.

41. Jika mereka mendustakan kamu, Maka Katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. kamu berlepas diri terhadap apa yang Aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan". (Kemenag RI, 2010: 213).

f) Dimensi Profesional

Setiap diri manusia memiliki kadar kemampuan yang berbeda-beda.

Berdasarkan kadar kemampuan yang dimiliki itu, manusia dapt menguasai kemampuan nilai profesional, adanya perbedaan pada potensi manusia

tersebut, menyebabakan profesi manusia beragam. Hubungannya dengan dimensi ini maka akan menghasilkan Nilai tanggung jawab.

Nilai tanggung jawab disebutkan dalam Q.S. Al-Isra’ (17) ayat 15:



Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul. (Kemenag RI, 2010: 283).

g) Dimensi Ruang dan Waktu

Pada dimensi ini banyak terkait dengan perumusan tujuan pendidikan yaitu dimana dan kapan. Nilai ini sejajar dengan tataran pendidikan Islam yang lintasanya terentang dalam lintasan ruang dan waktu yan cukup panjang, dan akan memunculkan nilai kesabaran, keikhlasan dan nilai ketekunan.

Disebutkan dalam Q. S. Ar-Ruum (30) ayat 60:



Dan Bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu. (Kemenag RI, 2010: 410).

B. Hakikat Akhlak Siswa

1. Pengertian Akhlak Siswa

Pengertian Akhlak Secara Etimologi, Menurut pendekatan etimologi, perkataan "akhlak" berasal dari bahasa Arab jama' dari bentuk mufradnya

"Khuluqun" ( قُلُخ) yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkahlaku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain denganperkataan "khalkun" ( قْل َخ) yang berarti kejadian, serta erat hubungan "

Khaliq" ( قِلَاخ) yang berarti Pencipta dan "Makhluk" (ق ْوُل ْخَم) yang berarti yang diciptakan. (Zahruddin AR, 2004: 1).

Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dapat dijumpai di dalam al-Qur'an, sebagai firman Allah Swt dalam Q. S. Al-Qalam (68) ayat 4:











Terjemahnya:

.Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Lebih lanjut Rasulullah saw bersabda:

ِقَلاْخَلِْا َمِراَكَم َمَِّتَُِلِ ُتْثِعُب اََّنَِّا

Artinya:

Aku (Muhammad) diutus ke muka bumi ini semata-mata untuk menyempurnakan akhlak.

Ibn Miskawaih dalam Zahruddin AR (2004: 4) mengatakan bahwa

"Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu".

Sejalan dengan itu Imam Al-Ghazali dalam H. Moh.Ardani (2005:

29) mengatakan bahwa bahwa:

Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbanagan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara', maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.

Akhlak menurut oleh Ahmad Amin dalam Zahruddin AR (2004: 5) mengatakan bahwa:

Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak. Menurutnya kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah imbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya, Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar.Kekuatan besar inilah yang bernama akhlak.

Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana tersebut diatas tidak ada yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, yaitu sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa

memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan. Jika dikaitkan dengan kata Islami, maka akanberbentuk akhlak Islami, secara sederhana akhlak Islami diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalammenempati posisi sifat.Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yangdilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan sebernya berdasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. (Abuddin Nata, 2003:

147).

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjabarkan akhlak universal diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.Menghormati kedua orang tua misalnya adalah akhlak yang bersifat mutlak dan universal. Sedangkan bagaimana bentuk dan cara menghormati oarng tua itu dapat dimanifestasikan oleh hasil pemikiran manusia.

Jadi, akhlak islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati bagi penyakit social dari jiwa dan mental, serta tujuan berakhlak yang baik untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dengan demikian akhlak Islami itu jauh lebih sempurna dibandingkan dengan akhlak lainnya. Jika akhlak lainnya hanya berbicara tentang hubungan dengan manusia, maka akhlak Islami berbicara pula tentang cara

berhubungan dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, air, udara dan lain sebagainya. Dengan cara demikian, masing-masing makhluk merasakan fungsi dan eksistensinya di dunia ini.

2. Sumber dan Macam-macam Akhlak a. Sumber Akhlak

Persoalan "akhlak" didalam Islam banyak dibicarakan dan dimuat dalam al-Hadits sumbertersebut mrupakan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hri bagi manusia ada yang menjelaskan artibaik dan buruk. Memberi informasi kepada umat, apa yang mestinya harus diperbuat dan bagaimana harus bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji atau tercela, benar atau salah.

Kita telah mengetahui bahwa akhlak Islam adalah merupakan sistem moralatau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertititk tolak dari aqidah yang diwahyukan Allah kepada Nabi atau Rasul-Nya yang kemudian agar disampaikan kepada umatnya.

Akhlak Islam, karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepada kepercayaan kepada Tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar dari pada agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar atau sumber pokok daripada akhlak adalah Al-quran dan al-Hadits yang merupakan sumber utama dari agama itu sendiri. (H. A. Mustofa, 1997: 149).

Pribadi Nabi Muhammad adalah contoh yang paling tepat untuk dijadikanteladan dalam membentuk kepribadian.Begitu juga sahabat-sahabat

Beliau yang selalu berpedoman kepada al-Qur'an dan as-Sunah dalam (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Ayat tersebut di atas bermaksud bahwa segala bentuk perbuatan yang dilakukah sehari-hari pada dasarnya harus mengikuti tuntunan Rasulullah saw karena beliau adalah sebaik-baik teladan dalam berbagai bentuk bidang kehidupan.

Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa segala perbuatan atau tindakanmanusia apapun bentuknya pada hakekatnya adalah bermaksud mencapai kebahagiaan, sedangkan untuk mencapai kebahagiaan menurut sistem moral atau akhlak yang agamis (Islam) dapat dicapai dengan jalan menuruti perintah Allah yakni dengan menjauhi segala larangan-Nya dan mengerjakan segala perintah-Nya, sebagaimana yang tertera dalam pedoman dasar hidup bagi setiap muslim yakni Al-quran dan al-Hadits.

b. Macam-macam Akhlak 1) Akhlak Al-Karimah

Akhlak Al-karimah atau akhlak yang mulia sangat amat jumlahnya, namundilihat dari segi hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, akhlak yang mulia itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a) Akhlak Terhadap Allah

Akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selainAllah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian Agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan menjangkau hakekatnya.

b) Akhlak terhadap Diri Sendiri

Akhlak yang baik terhadap diri sendiri dapat diartikan menghargai, menghormati,menyayangi dan menjaga diri sendiri dengan sebaik-baiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebgai ciptaan dan amanah Allah yang harus

Akhlak yang baik terhadap diri sendiri dapat diartikan menghargai, menghormati,menyayangi dan menjaga diri sendiri dengan sebaik-baiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebgai ciptaan dan amanah Allah yang harus

Dokumen terkait