• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara subjektif, penelitian diharapkan bermanfaat untuk melatih, meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis dan metedologi penulis dalam menyusun suatu wacana baru dalam memperkaya mengenai penerapan ilmu pengetahuan dan wawasan khususnya dalam penerapan program Corporate Social Responsibility (CSR).

2. Secara praktis, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Rambutan sebagai suatu bahan informasi, masukan, dan pertimbangan demi menghasilkan konsep dan program CSR yang berkualitas dan lebih baik lagi dimasa mendatang.

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa bagi Departemen Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara serta dapat menjadi bahan referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis

pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.

Carl. J. Friedrich sebagaimana dikutip Agustino (2008:7) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah. Solichin Abdul Wahab mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih terjadi silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli. Maka untuk memahami istilah kebijakan, Solichin Abdul Wahab (2008:

40-50) memberikan beberapa pedoman sebagai berikut : a) Kebijakan harus dibedakan dari keputusan

b) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi

c) Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan

d) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan e) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai

f) Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun implisit

g) Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu

h) Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar organisasi dan yang bersifat intra organisasi

i) Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci lembaga-lembaga pemerintah

j) Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.

2.2 Implementasi Kebijakan

Menurut Carl. J. Friedrich kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan, atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan halangan-halangan dan kesempatan-kesempatannya, yang diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi halangan tersebut di dalam rangka mencapai suatu cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta tujuan tertentu.

Sedangkan menurut Dimock, kebijakan publik adalah perpaduan dan kristalisasi daripada pendapat-pendapat dan keinginan-keinginan banyak orang atau golongan dalam masyarakat (Soenarko, 2003).

Menurut Anderson dalam Nyimas (2004) kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan itu adalah :

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.

2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan.

3. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

4. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa (otoritatip).

Maka berikut ini adalah pengertian tentang implementasi kebijakan yang sangat sederhana menurut Nyimas (2004) : Implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif, atau Instruksi Presiden. Menurut Wibawa (1994), implementasi kebijakan merupakan pengejah wantahan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu Undang-Undang namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundangan. Idealnya keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menentukan tujuan yang hendak dicapai dan dalam berbagai cara “menggambarkan struktur” proses implementasi tersebut.

Tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.

Menurut Van Meter dan Van Horn (Agustino, 2006:139) merumuskan implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat suatu kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Implementasi dapat di konseptualisasikan sebagai proses karena didalamnya terjadi berbagai rangkaian aktivitas yang berkelanjutan. Implementasi juga diartikan sebagai outputs, yaitu melihat apakah aktivitas dalam rangka mencapai tujuan program telah sesuai dengan arahan implementasi sebelumnya atau bahkan mengalami penyimpangan-penyimpangan. Akhirnya, implementasi juga dikonseptualisasikan sebagai outcomes. Konseptualisasi ini terfokus pada akibat yang ditimbulkan dari adanya implementasi kebijakan, yaitu apakah implementasi suatu kebijakan mengurangi masalah atau bahkan menambah masalah baru dalam masyarakat (Lester dan Stewart, dalam Kusumanegara, 2010: 98-99).

Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi terhadap aktor- aktor untuk melakukan upaya-upaya dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut George C. Edwards III dalam bukunya Implementing Public Policy (1980:1) menyatakan bahwa :

“policy implementation, as we have seen, is the stage of policy making between the establishment of a policy-such as the passage of a legislative act, the issuing of an executive order, the handling down of a judicial decision, or promulgation of a regulatory rule-and the consequences of the policy for the people whom it effects”. (implementasi kebijakan, seperti yang kita lihat, merupakan tahapan dari pembuatan kebijakan antara membangun kebijakan seperti disetujuinya undang- undang oleh legislatif, dikeluarkannya perintah eksekutif, ditetapkanya keputusan pengadilan, atau diterbitkannya peraturan dan konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan bagi orang-orang yang terkait dengan

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk memengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. Dapatlah dikatakan, bahwa semua kebijakan pemerintah itu baru ada artinya, bila pelaksanaan kebijakan itu dilakukan melalui jalan yang sesuai dan sebagaimana seharusnya untuk kepentingan masyarakat.

Grindle dalam Winarno (2012:149) juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu ikatan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Sejalan dengan Soenarko (2003:180) yang mengatakan bahwa proses pelaksanaan kebijakan (policy implementation) merupakan proses yang panjang dan meluas guna tercapainya tujuan kebijakan itu, karena penerapan atau application kebijakan itu adalah terhadap masyarakat, dan masyarakat mempunyai sifatnya yang berkembang dengan kesadaran nilai-nilai yang berkembang pula.

Setiap kebijakan atau program haruslah dilaksanakan dalam waktu yang tepat serta dijaga sehingga tidak terjadi ketidaklancaran dalam pelaksanaan itu, yang oleh Michall C. Musheno disebut “implementation lag”, yaitu waktu yang berlangsung antara “policy adoption” dan “actual program implementation”.

Suatu kebijakan yang telah diterima dan disahkan (adopted), tidaklah akan ada artinya apabila tidak dilaksanakan. Pelaksanaan kebijakan itu haruslah berhasil.

Malahan tidak hanya pelaksanaannya saja yang harus berhasil, akan tetapi tujuan

atau goals yang terkandung dalam kebijakan itu haruslah tercapai, yaitu terpenuhinya kepentingan masyarakat atau public interest (Soenarko, 2003:184-185).

Dari beberapa definisi implementasi diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi dapat diartikan sebagai proses pelaksanaan dari kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perlu pula ditambahkan bahwa proses implementasi untuk sebagian besar dipengaruhi oleh macam tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan oleh cara tujuan-tujuan itu dirumuskan. Dengan demikian benar bahwa implementasi merupakan tahap yang sangat menentukan di dalam proses kebijakan, karena melalui tahap ini keseluruhan prosedur kebijakan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan kebijakan tersebut.

2.2.1 Model Implementasi Kebijakan

Menurut Indiahono (2009:19), model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena. Model banyak digunakan untuk memudahkan para pemerhati atau pembelajar tingkat awal. Menurut Nugroho (2003:167) pada prinsipnya terdapat dua pemilihan jenis model implementasi kebijakan publik yaitu implementasi kebijakan publik yang berpola dari atas ke bawah (top down) dan dari bawah ke atas (bottom-up), serta pemilihan implementasi kebijakan publik yang berpola paksa (command-and-control) dan pola pasar (economic incentive).

2.2.2 Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Model Pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy

Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variabel-variabel tersebut yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumber daya

3. Karakteristik organisasi pelaksana

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan 5. Disposisi atau Sikap para pelaksana

6. Kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya

merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Meter dan Van Horn, 1974).

2. Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Meter dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program”.

Van Meter dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:

”Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk

memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”

3. Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors).Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.

Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan.

Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak.

Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif. Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan.

Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.

5. Disposisi atau sikap para pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006):

”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal

ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.

Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan

kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.

6. Kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan Horn dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:

2.3 Corporate Social Responsibility

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu tanggung jawab sosial perusahaan saat ini telah menjadi konsep yang kerap kita dengar, walau definisinya sendiri masih menjadi perdebatan di antara para praktisi maupun akademisi. Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada (Wibisono,2007). Contoh bentuk tanggung jawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.

Berikut ini adalah beberapa defenisi CSR menurut beberapa ahli dan lembaga tertentu :

Definisi tertua CSR diartikan oleh Howard.R.Bowen in Social Responsibility of the businessman (1953), CSR adalah tanggung jawab seorang pengusaha mencoba menunjukkan nilai-nilai sosial. Dimana sesuai dengan America conference on CSR 2002 (Hartanti,2006). Johnson dan Johnson (Hadi, 2011) mendefinisikan Corporate Social Responsibility is about how companies

manage the business processes to produce an overall positive impact on society.

Definisi tersebut pada dasamya berangkat dari filosofi bagaimana cara mengelola perusahaan, baik sebagian maupun secara keseluruhan memiliki dampak yang positif bagi perusahaan dan lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan harus mampu mengelola bisnis operasinya dengan menghasilkan produk yang berorientasi secara positif terhadap masyarakat dan lingkungan.

Versi lain mengenai definisi CSR dilontarkan oleh World Bank. Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with amployees and their representative the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.”(Wibisono,2007)

CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (ISO 26000, 2007).

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa CSR adalah komitmen perusahaan dalam bertindak secara etis dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi dan sosial kepada seluruh stakeholder-nya serta memerhatikan lingkungan sekitar perusahaan dengan baik agar tercapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Jadi dengan kata

lain penerapan CSR ini merupakan investasi yang tidak terlihat bagi perusahaan yang menerapkannya, karena apabila penerapan CSR dapat berhasil dilakukan maka citra baik perusahaan akan tetap terjaga di mata para stakeholdernya sehingga perusahaan nantinya akan semakin maju dan berkembang dengan dukungan yang kuat dari para stakeholder yang telah merasakan hasil dari pengimplementasian program CSR yang di lakukan oleh perusahaan.

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan konsep yang masih terus berkembang sehingga CSR memiliki beraneka ragam definisi. Belum ada definisi tunggal serta kriteria spesifik mengenai konsep CSR dikarenakan implementasi dan penjabaran CSR yang dilakukan perusahaan juga berbeda-beda (Sumardiyono, 2007:37).

Dari keragaman pengertian CSR maka pengertian CSR dilihat beberapa aspek yaitu:

1. Aspek ekonomi dan sosial

Anatan (2009) mendefinisikan CSR sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi, untuk meningkatkan kualitas hidup dari pegawai dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas luas. World Business Council for Sustainable Development mendefinisikan CSR sebagai komitmen berkelanjutan kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberikan sumbangan pada pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas hidup pegawai dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat secara keseluruhan.

CSR dikemukakan ISO 26000 adalah Tanggung jawab sebuah organisasi

CSR dikemukakan ISO 26000 adalah Tanggung jawab sebuah organisasi

Dokumen terkait