• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Implementasi Kebijakan

2.2.2 Model Implementasi Kebijakan

Model Pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy

Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variabel-variabel tersebut yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumber daya

3. Karakteristik organisasi pelaksana

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan 5. Disposisi atau Sikap para pelaksana

6. Kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya

merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Meter dan Van Horn, 1974).

2. Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Meter dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program”.

Van Meter dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:

”Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk

memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”

3. Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors).Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.

Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan.

Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak.

Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif. Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan.

Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.

5. Disposisi atau sikap para pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006):

”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal

ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.

Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan

kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.

6. Kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan Horn dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:

2.3 Corporate Social Responsibility

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu tanggung jawab sosial perusahaan saat ini telah menjadi konsep yang kerap kita dengar, walau definisinya sendiri masih menjadi perdebatan di antara para praktisi maupun akademisi. Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada (Wibisono,2007). Contoh bentuk tanggung jawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.

Berikut ini adalah beberapa defenisi CSR menurut beberapa ahli dan lembaga tertentu :

Definisi tertua CSR diartikan oleh Howard.R.Bowen in Social Responsibility of the businessman (1953), CSR adalah tanggung jawab seorang pengusaha mencoba menunjukkan nilai-nilai sosial. Dimana sesuai dengan America conference on CSR 2002 (Hartanti,2006). Johnson dan Johnson (Hadi, 2011) mendefinisikan Corporate Social Responsibility is about how companies

manage the business processes to produce an overall positive impact on society.

Definisi tersebut pada dasamya berangkat dari filosofi bagaimana cara mengelola perusahaan, baik sebagian maupun secara keseluruhan memiliki dampak yang positif bagi perusahaan dan lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan harus mampu mengelola bisnis operasinya dengan menghasilkan produk yang berorientasi secara positif terhadap masyarakat dan lingkungan.

Versi lain mengenai definisi CSR dilontarkan oleh World Bank. Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with amployees and their representative the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.”(Wibisono,2007)

CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (ISO 26000, 2007).

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa CSR adalah komitmen perusahaan dalam bertindak secara etis dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi dan sosial kepada seluruh stakeholder-nya serta memerhatikan lingkungan sekitar perusahaan dengan baik agar tercapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Jadi dengan kata

lain penerapan CSR ini merupakan investasi yang tidak terlihat bagi perusahaan yang menerapkannya, karena apabila penerapan CSR dapat berhasil dilakukan maka citra baik perusahaan akan tetap terjaga di mata para stakeholdernya sehingga perusahaan nantinya akan semakin maju dan berkembang dengan dukungan yang kuat dari para stakeholder yang telah merasakan hasil dari pengimplementasian program CSR yang di lakukan oleh perusahaan.

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan konsep yang masih terus berkembang sehingga CSR memiliki beraneka ragam definisi. Belum ada definisi tunggal serta kriteria spesifik mengenai konsep CSR dikarenakan implementasi dan penjabaran CSR yang dilakukan perusahaan juga berbeda-beda (Sumardiyono, 2007:37).

Dari keragaman pengertian CSR maka pengertian CSR dilihat beberapa aspek yaitu:

1. Aspek ekonomi dan sosial

Anatan (2009) mendefinisikan CSR sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi, untuk meningkatkan kualitas hidup dari pegawai dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas luas. World Business Council for Sustainable Development mendefinisikan CSR sebagai komitmen berkelanjutan kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberikan sumbangan pada pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas hidup pegawai dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat secara keseluruhan.

CSR dikemukakan ISO 26000 adalah Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya

pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh. Nuryana (2005) menyatakan Corporate Social Responsibility (CSR) ialah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial di dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para stakeholder berdasarkan prinsip kemitraan dan kesukarelaan.

2. Aspek lingkungan

The European Commission mendefinisikan CSR sebagai “being socially responsible means not only fulfilling legal expectations, but also going beyond compliance and investing more into human capital, the environment,and relations with stakeholders”. Artinya CSR bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi dilaksanakan secara suka rela dan ada dorongan yang tulus dari dalam, serta merupakan investasi untuk lingkungan dan stakeholders. Institute of Chartered Accountants, England and Wales: Jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (shareholders) mereka.

3. Pembangunan berkelanjutan (sustainability development)

Perkembangan CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan. Menurut John Elkington sustainability (keberlanjutan) adalah keseimbangan antara people-planet-profit, yang dikenal dengan sebutan 3P dalam konsep Triple Bottom Line. Sustainability terletak pada pertemuan antara tiga

aspek, people-sosial, planet environment; dan profit-economic. Maka menurut Elkington, perusahan harus bertanggung jawab atas dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

Dari definisi tersebut, tersirat makna bahwa CSR harus dilaksanakan secara terus menerus agar tercipta pembangunan berkelanjutan yang merupakan inti dari CSR, sehingga elemen profit, people, dan planet menjadi satu kesatuan utuh yang dapat memberikan manfaat yang besar dan menyentuh semua aspek kehidupan. Defenisi CSR adalah upaya manajemen yang dijalankan oleh entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasarkan keseimbangan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif (Akib, 2010:16).

Terdapat dua jenis keberlanjutan menurut Dunphy et al.,(2000) yakni ecological sustainability (keberlanjutan ekologi) dan human sustainability (keberlanjutan manusia). Keberlanjutan ekologi mencakup desain organisasi yang dapat memberikan kontribusi kepada sustainable economic development (pembangunan ekonomi yang berkelanjutan), perlindungan terhadap lingkungan hidup, dan pembaharuan biosfir (permukaan bumi dan atmosfir yang ditinggali mahluk hidup). Sementara keberlanjutan manusia adalah meningkatkan kemampuan dan keahlian manusia untuk kinerja perusahaan yang tinggi dan berkelanjutan serta untuk kesejahteraan sosial (well-being) dan ekonomi masyarakat. Sebuah organisasi yang berkelanjutan berarti organisasi yang menjalankan kegiatan dengan memahami kebutuhan dan kepentingan pihak lain (kelompok masyarakat, lembaga pendidikan dan agama, pekerja, dan masyarakat umum), serta meningkatkan jaringan kerja sama yang mempersatukan mereka

semua. Secara umum defenisi Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tangung jawab sosial perusahaan dan menitik beratkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (Budi, 2009:1).

2.3.1 Model Implementasi CSR Perusahaan Di Indonesia

Saat ini mengimplentasikan CSR menjadi tren bagi dunia usaha.

Komitmen untuk bertanggung jawab secara sosial disadari bahwa keuntungan untuk keberlangsungan jangka panjang perusahaan yang hanya bisa didapat dengan adanya kesejahteraan masyarakat. Seperti yang dialami PT.Danone Aqua terjadinya demonstrasi di pabrik Aqua Klaten pada 2004. Demonstrasi Aqua Klaten pada saat itu menggunakan isu kekeringan yang disuarakan oleh Walhi.

Gerakan advokasi Walhi ini merupakan respon terhadap ditetapkannya Undang-Undang no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dinilai banyak LSM sebagai pemberian tiket ke pihak swasta melakukan privatisasi air. Respon manajemen saat itu adalah membuka komunikasi dengan para pemangku kepentingan di Aqua Klaten. Kala itu, Departemen Human Resources menjadi garda depan karena dipercaya mengurusi social affairs. Cukup besarnya tekanan pemangku kepentingan memberi pelajaran penting bagi Danone Aqua, manajemen harus bertindak cepat. Do Something First, saat itu dilakukan untuk menangani isu dan memperlihatkan kepada publik bahwa Aqua telah merespon isu yang menjadi perhatian pemangku kepentingan. Setelahnya Danone mulai membentuk Departemen CSR dan merekrut orang-orang baru sehingga mulai terjadi perhatian terhadap CSR dari departemen-departemen lainnya. Hingga pada

tahun 2005 di internal Aqua mulai banyak dilakukan diskusi mengenai CSR . Pelaksanaan CSR PT.Danone Aqua adalah demi keberlanjutan usaha jangka panjang. Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai suatu bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan internal dan lingkungan eksternal, belum banyak dijadikan sebagai nama program atau kegiatan tersebut dalam perusahaan di Indonesia, termasuk Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) yang merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Secara konsep Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dilaksanakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak jauh berbeda dengan best practices CSR yang dilakukan oleh perusahaan swasta sehingga dapat dikatakan bahwa PKBL merupakan praktek CSR yang dilakukan oleh BUMN.

PKBL merupakan program wajib dari pemerintah bagi perusahaan BUMN untuk melakukan tanggung jawab sosialnya terhadap lingkungan, pendanaan program tersebut diambil dari penyisihan laba bersih perusahaan. Sedangkan program CSR, diambil dari dana sukarela perusahaan. Sukarela berarti perusahaan memang sejak awal menganggarkan dana khusus untuk program-program CSR.

Walupun mempunyai perbedaan sumber dana, namun baik itu CSR maupun PKBL mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mengajak perusahaan lebih etis dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, sehingga tidak merugikan lingkungan dan masyarakat, dan pada akhirnya terciptalah reputasi baik di mata stakeholders.

Peran PKBL BUMN mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding praktek CSR yang dilakukan oleh perusahaan swasta karena PKBL BUMN juga diharapkan untuk mampu mewujudkan 3 pilar utama pembangunan (triple tracks) yang telah

dicanangkan pemerintah dan merupakan janji politik kepada masyarakat, yaitu:

(1) pengurangan jumlah pengangguran (pro-job) (2) pengurangan jumlah penduduk miskin (propoor) dan (3) peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro-growth). Melalui PKBL diharapkan terjadi peningkatan partisipasi BUMN untuk memberdayakan potensi dan kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat dengan fokus diarahkan pada pengembangan ekonomi kerakyatan untuk menciptakan pemerataan pembangunan.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa model implementasi CSR perusahaan di Indonesia mencakup hal-hal berikut ini:

1. Bantuan sosial meliputi: bakti sosial, pengadaan sarana kesehatan, rumah ibadah, jalan dan sarana umum lainnya, penanggulangan bencana alam, pengentasan kemiskinan dan pembinaan masyarakat.

2. Pendidikan dan pengembangan meliputi: pengadaan sarana pendidikan dan pelatihan, melaksanakan pelatihan dan memberikan program beasiswa kepada anak-anak usia sekolah.

3. Ekonomi meliputi: mengadakan program kemitraan, memberikan dana atau pinjaman lunak untuk pengembangan usaha dan memberdayakan masyarakat sekitar.

4. Lingkungan meliputi: pengelolaan lingkungan, penanganan limbah,dan melestarikan alam dan keanekaragaman hayati.

5. Konsumen meliputi: perbaikan produk secara berkesinambungan, pelayanan bebas pulsa dan menjamin ketersediaan produk.

6. Pegawai meliputi: program jaminan hari tua, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan program renumerasi yang baik.

2.3.2 Komponen Corporate Social Responsibilty

Carrol dalam Solihin (2009) menjelaskan komponen-komponen tanggung jawab sosial perusahaan ke dalam empat kategori yaitu:

1. Ekonomi responsibilities

Tanggung jawab sosial utama perusahaan adalah tanggung jawab ekonomi karena lembaga bisnis terdiri atas aktivitas ekonomi yang mengahasilkan barang dan jasa bagi masyarakat secara menguntungkan.

2. Legal responsibilities

Masyarakat berharap bisnis dijalankan dengan menaati hukum dan peraturan yang berlaku dimana hukum dan peraturan tersebut pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif.

3. Ethical responsibilities

Masyarakat berharap perusahaan menjalankan bisnis secara etis. Etika bisnis menunjukkan refleksi moral yang dilakukan oleh pelaku bisnis secara perorangan maupun secara kelembagaan (organisasi) untuk menilai sebuah isu dimana penilaian ini merupakan pilihan terhadap nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat.

4. Discretionary responsibilities

Masyarakat mengharapkan keberadaan perusahaan dapat memberikan manfaat bagi mereka. Ekspektasi masyarakat tersebut dipenuhi oleh perusahaan melalui berbagai program yang bersifat filantropis (mencinta sesama manusia)

2.3.3 Prinsip Corporate Social Responsibility

Ranah tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility) mengandung dimensi yang sangat luas dan kompleks. Di samping itu,

tanggungjawab CSR juga mengandung interprestasi yang sangat berbeda, terutama dikaitkan dengan kepentingan pemangku kepentingan (Stakeholder).

Karena itu dalam rangka memudahkan pemahaman dan penyederhanaan, banyak ahli mencoba menggarisbawahi prinsip dasar yang terkandung dalam tanggung jawab CSR.

Crowther David (2008 : 201) mengurai prinsip-prinsip tanggung jawab CSR menjadi tiga, antara lain yaitu:

a. Sustainability

Berkaitan dengan bagaimana perusahaan dalam melakukan aktivitas (action) tetap memperhitungkan keberlanjutan sumber daya di masa depan.

Keberlanjutan juga memberikan arahan bagaimana penggunaan sumber daya sekarang tetap memperhatikan dan memperhitungkan kemampuan generasi masa depan. Karena itu sustainability berputar pada keberpihakan dan upaya bagaimana society memanfaatkan sumber daya agar tetap memperhatikan generasi masa datang.

b. Accountability

Merupakan upaya perusahaan terbuka dan bertanggungjawab atas aktivitas yang telah dilakukan. Akuntabilitas dibutuhkan, ketika aktivitas perusahaan mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan eksternal. Konsep ini menjelaskan pengaruh kuantitatif aktivitas perusahaan terhadap pihak internal dan eksternal

Merupakan upaya perusahaan terbuka dan bertanggungjawab atas aktivitas yang telah dilakukan. Akuntabilitas dibutuhkan, ketika aktivitas perusahaan mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan eksternal. Konsep ini menjelaskan pengaruh kuantitatif aktivitas perusahaan terhadap pihak internal dan eksternal

Dokumen terkait