• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Adapaun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan dan menambah khazanah keilmuan dalam bidang Administrasi Publik khusususnya yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah.

2. Secara akademik, menambahkan pengetahuan bagi pengembangan ilmu administrasi publik di bidang kebijakan dan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa bagi departemen maupun fakultas.

3. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi masukan dalam hal pengelolaan program Rencana Aksi Pangan dan Gizi Daerah Kabupaten Padang Lawas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Teori adalah seragkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Maka untuk menunjang penelitian praktik kerja lapangan ini memerlukan beberapa teori yang dapat dipakai agar lebih relevan sebagai panduan peneliti dan penyelarasannya dengan apa yang terjadi di lapangan.

2.1 Implementasi Kebijakan

2.1.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Impementasi merupakan tahap yang sangat penting dalam proses kebijakan publik, karena dengan adanya implementasi kebijakan kita dapat mengetahui baik atau buruknya suatu kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (2012) bahwa implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Lester dan Stewart dalam Winarno, (2016) menyatakan implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas, merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.

Menurut Rian Nugroho (dalam Mulyadi, 2015:51) pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih tidak kurang.

Untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Dua langkah mengimplementasikan kebijakan publik tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.1: Sekuensi Kebijakan Publik

Sumber: Mulyadi 2015:51

Langkah implementasi kebijakan publik dapat terlihat jelas dari gambar di atas, bahwa kebijakan publik dapat dimulai dari program, proyek, dan langkah terakhir adalah kegiatan yang dapat secara langsung memberikan manfaat kepada warga negara.

James Anderson (dalam Kusumanegara, 2010:97) menyatakan bahwa implementasi kebijakan atau program merupakan bagian dari administrative

Kebijakan Publik Penjelasan

Kebijakan Publik

Program

Proyek

Kegiatan

Pemanfaat (beneficiaries)

Anderson, digunakan untuk menunjukkan desain atau pelaksanaan sistem administrasi yang terjadi pada setiap saat. Proses administrasi mempunyai konsekuensi terhadap pelaksanaan, isi dan dampak suatu kebijakan.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dilihat bahwa kebijakan tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh kejadian dan kegiatan yang terjadi di lapangan yang memiliki proses dalam administrasi untuk menjalankan suatu program yang memiliki konsekuensi dalam pelaksanaannya.

Menurut Sabatier (1986:268) ada enam variabel utama yang dianggap memberi kontribusi keberhasilan atau kegagalan implementasi, di antaranya adalah:

1. Tujuan atau sasaran kebijakan yang jelas dan konsisten 2. Dukungan teori yang kuat dalam merumuskan kebijakan

3. Proses implementasi memiliki dasar hukum yang jelas sehingga menjamin terjadinya kepatuhan para petugas dilapangan dan kelompok sasaran.

4. Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan 5. Dukungan para stakeholder

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah suatu rangkaian kegiatan untuk melaksanakan suatu kebijakan yang ditujukan kepada publik atau masyarakat untuk mencapai hasil berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa adanya implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan

2.1.1.1 Kebijakan Publik

Dalam menjalankan suatu negara, pemerintah membuat rancangan ataupun aturan yang bertunjuan untuk mensejahterakan rakyatnya, tujuan tersebut diciptakan melalui kebijakan publik. Kebijakan publik hadir untuk dapat menyelesaikan masalah publik dan mencapai tujuan bersama yang telah disepakati.

Menurut Hoogwood dan Gunn (dalam Parson, 2005:15) menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan, yaitu sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas, sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan, sebagai proposal spesifik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai otorisasi formal, sebagai sebuah program, sebagai output, sebagai hasil (outcome), sebagai teori atau model, dan sebagai sebuah proses.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dilihat bahwa kebijakan memiliki banyak istilah dan erat kaitannya dengan pemerintah atau Negara. Kebijakan berkaitan dengan keputusan atau tindakan yang dilakukan pemerintah. Dalam kaitan ini, Dye (dalam Subarsono, 2005:2) mengartikan kebijakan publik sebagai

“whatever government choose to do or not to do”. Artinya, kebijakan publik merupakan sebuah pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Melihat dari definisi ini kebijakan memiliki cakupan yang luas karena berkaitan dengan keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan yang tidak dilakukan oleh pemerintah, baik itu dalam menghadapi masalah maupun lainnya.

Wahyudi, dkk (dalam setyawan, 2017:18) mengatakan bahwa kebijakan publik merupakan produk hukum yang berupa aturan-aturan mengenai

pernyataan, himbauan atau ajakan yang dilakukan pemerintah terhadap warganya.

Dalam konteks ini, kebijkan publik dapat dilihat sebagai bentuk dari aturan, himbauan atau ajakan yang dilakukan oleh pemerintah kepada warganya.

Kebijakan ini nantinya mememberikan dampak bagi warganya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengertian lainnya dikemukakan oleh Harold Laswell dan Abraham Kaplan (dalam Nugroho, 2011:93) yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, dan praktik-praktik tertentu. Dari pengertian ini dapat dilihat sebagai upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, suatu kebijakan publik dalam pelaksanaannya dilakukan melalui suatu program. Hal ini juga dapat dilakukan sebagai penanganan masalah yang terjadi di masyarakat maupun permasalahan yang terjadi dari luar masyarakat.

Dalam memecahkan masalah yang dihadapi melalui suatu kebijakan. Dunn (2003:24) merumuskan tahapan dalam proses pembuatan kebijakan, sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting): yaitu tahapan dimana para penjabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah yang tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.

2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation), yaitu tahap dimana para penjabat merumuskan alternative kebijakan untuk mengatasi maslah.

3. Adopsi kebijakan (Policy Adoption), yaitu tahap dimana alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus diantara direktur lembaga, atau keputusan pengadilan.

4. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation), yaitu tahap dimana kebijakan yang telah dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilitasi sumberdaya finansial dan manusia.

5. Penilaian Kebijakan (Policy Assesment), yaitu tahap dimana unit-unit pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan pengadilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan. Tahapan-tahapan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2: Tahapan Kebijakan Publik

Sumber: Dunn, 2003 : 25

Dapat dilihat bahwa suatu kebijakan publik dirumuskan melalui tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik yang meliputi penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Penilaian dilakukan untuk memberikan umpan balik kepada para penjabat, sebagai masukan dalam penyusunan agenda untuk merumuskan masalah.

Proses penetapan kebijakan atau yang sering dikenal dengan Policy Making Process, menurut Shafrits dan Russel (dalam Keban, 2004: 63), sebagai

berikut:

1. Agenda setting dimana isu-isu kebijakan diidentifikasi, 2. Keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan, 3. Tahap implementasi kebijakan,

4. Evaluasi program dan analisa dampak,

5. Feedback yaitu memutuskan untuk merevisi atau menghentikan.

Proses kebijakan di atas bila diterapkan akan menyerupai sebuah siklus tahapan penetapan kebijakan. Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu yang dingin dicapai guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan tersebut tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.

2.1.2 Model Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan adalah suatu proses mengubah gagasan menjadi tindakan oleh para aktor kebijakan melalui prosedur yang telah ditentukan sebelumnya demi mencapai hasil berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah suatu kebijakan itu efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan, dapat dilakukan dengan analisis implementasi melalui model-model implementasi kebijakan.

Model implementasi kebijkan publik merupakan deskripsi sederhana mengenai asepek-aspek penting yang dipilih dan disusun sebagai upaya mengejawantahkan, meniru, menjelaskan, meramalkan, mencoba dan menguji hipotesis implementasi kebijakan publik untuk tujuan tertentu (Setyawan, 2017:114).

2.1.2.1 Model Van Meter Van Horn.

Dalam Teori ini dinyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi, yakni;

1. Standard dan Sasaran Kebijakan / Ukuran dan Tujuan Kebijakan 2. Sumber-sumber Kebijakan

3. Komunikasi Antarorganisasi dan Kegiatan-kegiatan Pelaksana 4. Karakteristik Badan-badan Pelaksana

5. Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik 6. Kecenderungan Pelaksana

Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:

1. Standar dan Sasaran Kebijakan / Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan.

2. Sumber Daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang

terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program”.

Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:

“Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”

3. Karakteristik Organisasi Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan

agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

4. Komunikasi Antar Organisasi Terkait dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.

Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan.

Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak.

Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi

sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.

Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.

5. Disposisi atau Sikap Para Pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006):

”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.

Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pendangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi kebijakan

diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima,

netral atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.

6. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan.

Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

Gambar 2.3: Model Implementasi Van Meter dan Van Horn

Sumber : Subarsono, 2005:99

Berdasarkan dari pemaparan di atas, maka peneliti mengambil model yang dikemukakan oleh Van meter dan Van Horn, karena dapat membantu peneliti dalam menjalankan penelitiannya. Selain itu, model implematsi ini dapat menjelaskan dampak dari pelaksanaan Program Rencana Aksi Pangan dan Gizi Daerah (RAP-GD) Kab. Padang Lawas yang ditinjau dari standar dan sasaran yang harus dicapai oleh pelaksana, sumber daya yang penting dalam menentukan suatu implementasi dan aparat yang terlibat sebagai pelaksana dalam penyampaian informasi tentang apa yang menjadi standart dan tujuan.

2.1.2.2 Model Merilee S. Grindle

Model implementasi kebijakan Merilee S. Grindle melihat isi kebijakan dan lingkungan implementasi kebijakan dalam menentukan keberhasilan implementasi. Menurut Grindle (dalam Mulyadi, 2015:66), keberhasilan implementasi ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Ide dasar dari model ini adalah setelah ditransformasikan, kebijakan diimplementasikan, sehingga keberhasilannya ditentukan oleh derajat keterlaksanaan (implementability) dari kebijakan tersebut.

. Lebih lanjut dikemukakan mengenai isi kebijakan tersebut meliputi : 1. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan;

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan;

3. Derajat perubahan yang diinginkan;

4. Kedudukan pembuat kebijakan;

5. Siapa pelaksana program; dan 6. Sumber daya yang dikerahkan

Sedangkan konteks implementasinya meliputi:

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat;

2. Karakteristik lembaga dan penguasa; dan 3. Kepatuhan dan daya tanggap

Gambar 2.4: Model Implementasi Merilee S. Grindle

Sumber: Dwijowijoto (dalam Hiplunudin, 2017:48)

Nugroho (dalam Setyawan, 2017:124) menjelaskan bahwa model ini memiliki keunikan tersendiri, yakni terletak pada pemahaman menyeluruh (komprehensif) akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementator, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi antara para aktor implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

Keunikan dari model Grindle ini memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan dapat direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

2.1.2.3 Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Keberhasilan pengimplementasian suatu kebijakan tidak terlepas dari faktor-faktor terkait dengan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Anggara (dalam Setyawan, 2017:117) membagi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal keseluruhan implementasi, tidak menggunakan independen, intervening, dan dependen, tetapi menggunakan bahasa yang lebih

umum dengan istilah kategori besar, variabel-variabel tersebut antara lai adalah : 1. Mudah tidaknya masalah yang akan dikendalikan, meliputi :

1) Kerumitan dan kesulitan teknis implementasi kebijakan 2) Keragaman perilaku kelompok sasaran kebijakan

3) Persentase kelompok sasaran kebijakan dibandingkan dengan jumlah penduduk

4) Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan setelah kebijakan diimplentasikan

2. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya, meliputi :

1) Kejelasan dan konsistensi tujuan

2) Digunakannya teori kausalitas yang kuat 3) Ketetapan alokasi sumber dana

4) Keterbukaan hirarki dalam dan diantara lembaga-lembaga yang melaksanakan

5) Aturan-aturan keputusan dari badan/lembaga pelaksana 6) Rekrutmen pejabat pelaksana

7) Akses formal (keterbukaan bagi) pihak luar

3. Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut, meliputi :

1) Kondisi sosial 2) Dukungan politik

3) Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok 4) Dukungan dari pejabat atasan

5) Kemampuan kepemimpinan dan komitmen pejabat-pejabat pelaksana.

Model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis. Model ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklarifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu:

1. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi: kesukaran teknis, keberagaman perilaku yang diatur, tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki

2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat 3. Faktor-faktor di luar undang-undang ysng mempengaruhi implementasi

Gambar 2.5: Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier

Sumber : Subarsono (dalam Hiplunudin, 2017:45)

Dari model ini dapat dilihat bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model ini mengklasifikasikan proses implementasi dalam tiga variabel yaitu: mudah tidaknya masalah yang dikendalikan, kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya dan pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.

2.2 Pangan

2.2.1 Pengertian Pangan

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Sedangkan menurur Wikipedia Pangan atau makanan adalah bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, yang dimakan oleh makhluk hidup mendapatkan tenaga dan nutrisi. Cairan yang dipakai untuk maksud ini sering disebut minuman, tetapi kata makanan juga bisa dipakai. Istilah ini kadang-kadang dipakai dengan kiasan, seperti makanan untuk pemikiran. Kecukupan makanan dapat dinilai dengan status gizi secara antropometri. Makanan yang dibutuhkan manusia biasanya diperoleh dari hasil bertani atau berkebun yang meliputi sumber hewan, dan tumbuhan. Beberapa orang menolak untuk memakan makanan dari hewan seperti, daging, telur, dan lain-lain. Mereka yang tidak suka memakan daging, dan sejenisnya disebut vegetarian yaitu orang yang hanya memakan sayuran sebagai makanan pokok mereka. Pada umumnya bahan makanan mengandung beberapa unsur atau senyawa seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, enzim, pigmendan lain-lain.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Makanan diakses pada 3 Maret 2019 pukul 22.55 WIB).

2.2.2 Ketahanan Pangan

Dalam ayat 4 pasal 1 UU Nomor 18 Tahun 2018 tentang pangan, menyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan

terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Dokumen terkait