• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan sebagai sumber informasi serta referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya terkait dengan komparasai kesehatan keuangan bank syariah di Asia Tenggara dengan metode RGEC.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pertimbangan untuk mengetahui apakah suatu bank dinyatakan sehat atau tidak sehat sebagai tempat menyimpan dana agar dapat memperkecil risiko yang akan terjadi dan mendapatkan pengembalian yang cukup tinggi serta pihak-pihak terkait dalam penambahan informasi yang lebih luas untuk pengambilan keputusan atau kebijakan yang tepat.

20 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Teori-teori Terkait dengan Penelitian

1. Perbankan Syariah

UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah BAB I Pasal 1 menjelaskan pengertian Bank Syariah yaitu Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Bank Syariah menurut (Zainuddin, 2008: 1) adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Selain itu bank syariah biasa disebut Islamic banking atau interest free banking, yaitu suatu sistem perbankan dalam pelaksanaan operasional tidak menggunakan sistem bunga/riba, maysîr (spekulasi), dan ketidakpastian atau gharar (ketidakjelasan).

Bank Syariah menurut (Rivai & Arifin, 2010: 29) bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Islam, yaitu aturan perjanjian (akad) antara bank dengan pihak lain (nasabah) berdasarkan hukum Islam. Sehingga perbedaan perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional terletak pada prinsip dasar operasinya yang tidak menggunakan bunga, tetapi menggunakan prinsip bagi hasil, jual beli, dan prinsip lain yang sesuai dengan syariah Islam, karena bunga diyakini mengandung unsur riba yang diharamkan/dilarang oleh agama Islam. Bank syariah merupakan lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan yang bekerja berdasarkan etika dan sistem nilai Islam, khususnya yang bebas dari bunga, bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti maysîr (perjudian), bebas dari hal yang tidak jelas dan gharar (meragukan).

Berprinsip keadilan, dan hanya membiayai kegiatan usaha yang halal.

Laporan keuangan adalah laporan periodik yang disusun menurut prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum tentang status keuangan yang dari individu, asosiasi atau organisasi bisnis yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, dan laporan perubahan ekuitas pemilik (Rivai &

Arifin, 2010: 876).

Laporan keuangan bank sama saja dengan laporan keuangan perusahaan. Neraca bank memperlihatkan gambaran posisi keuangan suatu bank pada saat tertentu. Laporan laba rugi memperlihatkan hasil kegiatan atau operasional suatu bank selama satu periode tertentu. Laporan perubahan posisi keuangan memperlihatkan darimana saja sumber dana dan kemana saja dana disalurkan. Laporan ini disusun dari neraca pada dua periode (tanggal) dan laporan laba rugi selama periode yang dilaporlkan.

Selain dari ketiga komponen utama laporan keuangan di atas, juga harus disertakan catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.

Berbeda dengan perusahaan lainnya, bank diwajibkan menyertakan laporan komitmen dan kontijensi, yaitu memberikan gambaran, baik yang bersifat tagihan maupun kewajiban pada tanggal laporan. Setiap bank diwajibkan menyampaikan laporan keuangan berupa neraca, laporan laba rugi, laporan komitmen dan kontijensi, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan berdasarkan waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Sedangkan laporan yang harus dipublikasikan kepada masyarakat umum antara lain: neraca, laporan laba rugi, laporan komitmen dan kontijensi yang dilengkapi dengan kualitas aktiva produktif dan informasi lainnya, perhitungan rasio keuangan, perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum, serta transaksi valuta asing dan derivatif.

3. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan Metode RGEC

Kesehatan bank menurut (Kasmir, 2010: 41) adalah kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik sesuai peraturan

22

perbankan yang berlaku. Adapun tujuannya adalah untuk menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sangat sehat, sehat, cukup sehat, kurang sehat atau tidak sehat.

Menurut (Desiana & Aryanti, 2017: 125) tingkat kesehatan bank adalah hasil penilaian kondisi bank yang dilakukan terhadap risiko dan kinerja bank sebagai suatu cerminan bahwa bank tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

a. Regulasi Kesehatan Bank di Asia Tenggara 1. Indonesia

Dalam surat edaran OJK Nomor 10/SEOJK.03/2014 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah menyatakan bahwa manajemen bank perlu memperhatikan prinsip-prinsip umum sebagai landasan dalam menilai tingkat kesehatan bank yaitu berorientasi risiko, proporsionalitas, materialitas dan signifikansi serta komprehensif dan terstruktur.

Dalam SEOJK nomor 10/SEOJK.03/2014 juga dijelaskan bahwa penilaian tingkat kesehatan bank secara individual untuk Bank Umum Syariah mencakup penilaian terhadap faktor Profil Risiko, Good Corporate Governance, Rentabilitas dan Permodalan.

Peraturan OJK Nomor 8/POJK.03/2014 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah disusun dalam rangka meningkatkan efektivitas penilaian tingkat kesehatan bank untuk menghadapi perubahan kompleksitas usaha dalam profil risiko yang dapat berasal dari bank maupun dari perusahaan anak bank.

2. Malaysia

Bank Negara Malaysia sebagai bank sentral memiliki peranan dalam menjaga stabilitas moneter dan keuangan di Malaysia. Bank Negara Malaysia bertanggung jawab atas stabilitas sistem keuangan dengan mengembangkan sektor keuangan yang sehat, tangguh, progresif dan terdiversifikasi untuk mendukung sektor-sektor ekonomi riil (Bank Negara Malaysia, 2021: 1).

ketahanan lembaga keuangan terletak pada fungsi pengawasan di Bank Negara Malaysia. Fungsi sektor pengawasan adalah untuk mengembangkan, meningkatkan dan menerapkan kerangka pengawasan berbasis risiko yang berkelanjutan, progresif dan kuat pada masing-masing lembaga keuangan untuk memastikan keamanan dan kesehatan lembaga keuangan dalam penerapan tata kelola dan manajemen risiko yang tepat (Bank Negara Malaysia, 2021: 1).

Islamic Financial Service Act 2013 (IFSA) yang disahkan oleh Malaysia merupakan contoh yang baik untuk memasukkan hukum Syariah ke dalam struktur hukum umum. Dengan UU ini, Malaysia menyediakan kerangka kerja lengkap bagi lembaga keuangan Islam yang menjaga stabilitas keuangan finansial dan berfungsinya lembaga secara efektif. Kerangka hukum yang efektif dapat menciptakan kepercayaan pada investor dan mengurangi penyalahgunaan yang mempengaruhi stabilitas hubungan keuangan.

Peraturan kerangka keuangan Islam perlu lebih maju mengisi kesenjangan untuk memastikan stabilitas dan pengembangan yang tepat (Syarif, 2019: 84).

UU tersebut dibuat untuk memastikan tujuan dan operasi dan kegiatan bisnis dari lembaga berlisensi sesuai dengan prinsip syariah.

Undang-undang tersebut memberi wewenang kepada Bank Negara Malaysia (BNM) untuk memberikan pedoman dan standar kepatuhan Syariah. Kerangka Tata Kelola Syariah untuk lembaga keuangan Islam dikeluarkan oleh Bank Negara Malaysia (BNM) yang memandu lembaga keuangan Islam dan takaful operator untuk mengatur struktur tata kelola Syariah (Sequerah, 2019: 1).

3. Thailand

Bank of Thailand (BOT) sebagai bank sentral di Thailand mengeluarkan Pemberitahuan Bank Thailand No. 19/2559 tentang

24

Pengawasan Lembaga Keuangan Khusus Lembaga Keuangan dengan Prinsip Islam.

BOT melakukan pengawasan dalam kesehatan dan kemanan sistem perbankan yang berkelanjutan menggunakan pendekatan berbasis risiko, tata kelola perusahaan/kepatuhan, permodalan dan kemampuan perbankan untuk menghasilkan pendapatan (IMF, 2019:

73).

Penilaian tersebut meninjau laporan keuangan bank dalam model bisnis bank yang bersifat kuantitatif dan kualitatif seperti indikator risiko utama yakni risiko kredit dan likuiditas, serta informasi tentang tata kelola perusahaan bank, risiko operasional, risiko manajemen dan fungsi kontrol lainnya (International Monetary Fund, 2019: 73).

4. Brunei Darussalam

Autoriti Monetari Brunei Darussalam (AMDB) mengadopsi kerangka kerja pengawasan berbasis risiko sesuai dengan Basel Core Principles (BCPs) dan prinsip utama untuk regulasi keuangan syariah. Pendekatan ini memungkinkan AMDB untuk mengidentifikasi dan memantau area yang berpotensi risiko terbesar terhadap kesehatan keuangan perbankan. (AMDB, 2019: 1)

Memanfaatkan data yang ada memungkinkan AMDB untuk menilai secara kualitatif kecukupan kemampuan manajemen risiko bank. Kemudian menerapkan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan untuk menguangi risiko yang teridentifikasi. (AMDB, 2019: 1)

Undang-Undang yang mengatur tentang sistem perbankan di Brunei adalah Brunei Banking Act 1957 dan Banking Order 2006.

Sementara itu, regulasi yang mengatur sistem perbankan syariah adalah Islamic Banking Order yang diterbitkan pada tahun 2008. UU ini mengatur tentang regulasi dan perizinan bisnis perbankan syariah dan semua permasalahan yang terkait dengan perbankan syariah.

Dalam rangka untuk memperkuat aspek tata kelola lembaga

governance, Finance Ministry Brunei menerbitkan peraturan berupa

“Syariah Financial Supervisory Board Order 2006”. Peraturan ini mengatur tentang pendirian Syariah Financial Supervisory Board (SFSB) yang berfungsi untuk mengatur administrasi dan bisnis lembaga keuangan yang beroperasi sesuai syariah. Lembaga pengawas syariah ini pada awalnya berada di bawah otoritas Finance Ministry, tetapi kemudian berpindah di bawah naungan AMBD sejak didirikan pada tahun 2011. (Rama, 2015: 119).

5. Filipina

Republic Act No. 11439 (“Islamic Banking Act”) merupakan undang-undang perbankan syariah yang mengatur tentang organisasi, peraturan, dan kekuasaan bank-bank syariah yang ada di Filipina.

Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP) sebagai bank sentral di Filipina menerapkan pengawasan kesehatan keuangan bank dengan pendekatan berbasis risiko. BSP mengadopsi pendekatan holistik untuk pengawasan dengan tujuan membimbing lembaga keuangan di bawah pengawasannya untuk mengurangi risiko dan mencapai perubahan yang dinginkan. (BSP, 2017: 2)

Pengawasan berbasis risiko BSP di mana tindakan penegakan merupakan bagian penting, berfokus pada keselamatan dan kesehatan lembaga keuangan. BSP dapat mengeluarkan arahan untuk meningkatkan sistem manajemen risiko atau menjatuhkan sanksi untuk membatasi tingkat atau menangguhkan setiap kegiatan bisnis yang berdampak buruk pada keselamatan atau kesehatan bank.

(BSP, 2017: 3)

b. Metode Penilaian Kesehatan Bank

Mengukur dan menilai kesehatan keuangan bank dapat dilakukan dengan suatu metode.

1. CAMEL

Mengingat pentingnya kesehatan keuangan bank, maka Bank Indonesia selaku bank sentral menetapkan regulasi tentang kesehatan bank. Pada

26

mulanya untuk menilai kesehatan keuangan bank, Bank Indonesia menerbitkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dengan menggunakan analisis CAMEL sebagai panduan untuk menilai tingkat kesehatan bank.

2. CAMELS

Bank Indonesia kemudian menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah yang kemudian merubah metodologi penilaian tingkat kesehatan bank menjadi penilaian terhadap faktor-faktor risiko yang mencakup Capital, Asset quality, Management, Earning, Liquidity & Sensitivity to Markt Risk atau metode CAMELS.

3. RGEC

Pada tahun 2011 Bank Indonesia menerbitkan PBI No. 13/1/PBI/2011 tentang kewajiban Bank Umum melakukan Penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara Individual. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas pengawas dalam menetapkan strategi dan fokus pengawasan terhadap bank menerbitkan POJK Nomor 8/POJK.03/2014 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah serta menerbitkan SEOJK Nomor 10/SEOJK.03/2014 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Terjadinya perubahan terhadap penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan pertimbangan bahwa perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko bank serta pengaruh pendekatan penilaian kondisi tingkat kesehatan bank yang diterapkan secara internasional.

Bank umum syariah wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara individual sebagaimana dimaksud dalam PBI No. 13/1/PBI/2011 dan POJK Nomor 8/POJK.03/2014 dengan cakupan penilaian terhadap faktor-faktor Risk Profile (Profil Risiko), Good Coorporate Governance (GCG), Earnings (Rentabilitas), dan Capital (Permodalan).

Pada umumnya metode penilaian kesehatan bank yang digunakan secara Internasional adalah metode CAMELS. CAMELS merupakan

Earnings, Liquidity, dan Sensitivity to Market Risk.

Perbankan syariah di Asia Tenggara secara umum menggunakan metode CAMELS untuk menilai kesehatan keuangan bank. Hanya perbankan syariah di Indonesia yang menggunakan metode RGEC sebagai standar perhitungan kesehatan keuangan bank.

Penilaian kesehatan bank antara metode CAMELS tidak jauh berbeda dengan metode RGEC. Penilaian Capital dalam CAMELS menggunakan indikator rasio yang sama digunakan dalam RGEC. Perbedaan terletak pada perhitungan CAR dalam CAMELS hanya menggunakan risiko kredit dan pasar sedangkan dalam RGEC ditambah dengan risiko operasional.

Penilaian Asset dalam CAMELS menggunakan indikator rasio NPF, RORA, PPAP sedangkan dalam penilaian RGEC tidak ada penilaian asset.

Sedangkan untuk rasio NPF dimasukkan dalam penilaian risk profile.

Penilaian Management dalam CAMELS menggunakan indikator good corporate government dan rasio NPM, sedangkan dalam metode RGEC tidak ada penilaian management. Tetapi untuk indikator good corporate government dalam RGEC masuk dalam penilaian tersendiri dalam menghitung kesehatan bank. Penilaian Earning dalam CAMELS menggunakan indikator rasio ROA dan BOPO, sedangkan dalam metode RGEC ditambahkan dengan rasio ROE. Penilaian Likuiditas dalam CAMELS menggunakan indikator rasio FDR., sedangkan dalam dalam metode RGEC rasio FDR digunakan untuk menilai risk profile. Penilaian Sensitivity to Market Risk dalam CAMELS menggunakan indikator IRR dan MR, sedangkan dalam metode RGEC tidak ada penilaian sensitivitas (Kusumawardani, 2014: 21).

a. Risk Profile (Profil Risiko)

Penilaian profil risiko adalah penilaian terhadap risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dalam operasional Bank yang dilakukan terhadap sepuluh risiko yaitu:

1) Risiko Kredit

28

Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Risiko kredit merupakan risiko terbesar bank karena aktiva utama bank adalah kredit/pembiayaan.

Mengukur risiko kredit dapat menggunakan rumus rasio Non Performing Financing (NPF) sebagai berikut:

NPF

Tabel 2. 1 Kriteria Penilaian Rasio NPF.

Peringkat Keterangan Kriteria

1 Sangat Sehat NPF

2 Sehat NPF

3 Cukup Sehat NPF

4 Kurang Sehat NPF

5 Tidak Sehat NPF

Sumber: Kodifikasi Penilaian Kesehatan Bank

Setelah didapatkan nilai NPF selanjutnya menentukan kriteria kesehatan bank seperti pada tabel 2.1. Jika nilai NPF semakin tinggi, maka kesehatan Bank akan semakin buruk yang artinya NPF berpengaruh negatif terhadap kinerja perbankan.

2) Risiko Pasar

Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga pasar, antara lain risiko berupa perubahan nilai dari aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan.

3) Risiko Likuiditas

Risiko likuiditas adalah risiko yang dapat timbul akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank atau kemampuan bank

yang normal.

Dalam Bank syariah, mengukur risiko likuiditas dapat menggunakan rumus rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) untuk menunjukkan perbandingan banyaknya pembiayaan yang disalurkan terhadap dana pihak ketiga yang dihimpun bank. Rumus rasio FDR sebagai berikut:

FDR

Tabel 2. 2 Kriteria Penilaian Rasio FDR.

S u m b e

Sumber: Kodifikasi Penilaian kesehatan Bank

Setelah menghitung nilai FDR, ditentukan kriteria kesehatan bank seperti pada tabel 2.2.

4) Risiko Operasional

Risiko operasional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses faktor internal yang kurang memadai, kegagalan sistem, kesalahan manusia, dan/atau adanya kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.

5) Risiko Stratejik

Risiko stratejik adalah risiko yang muncul akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.

6) Risiko Kepatuhan

Risiko kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku serta prinsip syariah.

Peringkat Keterangan Kriteria

1 Sangat Sehat FDR

2 Sehat FDR

3 Cukup Sehat FDR

4 Kurang Sehat FDR

5 Tidak Sehat FDR

30

7) Risiko Reputasi

Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholder) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank.

8) Risiko Hukum

Risiko hukum adalah risiko yang timbul akibat dari kelemahan aspek yurudis dan/atau tuntutan hukum.

9) Risiko Imbal Hasil

Risiko imbal hasil adalah risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada nasabah dana pihak ketiga (DPK), karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari penyaluran dana yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah DPK terhadap bank.

10) Risiko Investasi

Risiko investasi adalah risiko akibat bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil baik yang menggunakan metode net revenue sharing maupun yang menggunakan metode profit and loss sharing. Risiko investasi adalah risiko unik yang dihadapi bank syariah. Dalam hal ini bank syariah akan berperan sebagai investor dan akan ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang bukan diakibatkan oleh kelalaian nasabah.

b. Good Coorporate Governance (GCG)

Penilaian Faktor GCG merupakan penilaian terhadap kualitas manajemen bank atas pelaksanaan prinsip-prinsip GCG. Prinsip-prinsip GCG dan fokus penilaian terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip GCG berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan GCG bagi bank umum dengan memperhatikan karakteristik dan kompleksitas usaha bank.

Untuk menilai faktor GCG menggunakan beberapa parameter pelaksanaan prinsip-prinsip GCG yaitu:

2. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi.

3. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite.

4. Penanganan benturan kepentingan.

5. Penerapan fungsi kepatuhan bank.

6. Penerapan fungsi audit intern.

7. Penerapan fungsi audit ekstern.

8. Penerapan fungsi manajeman risiko dan pengendalian intern.

9. Penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan debitur besar (large exposure).

10. Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan, laporan pelaksanaan GCG dan laporan internal.

11. Rencana strategis bank.

Bank wajib melakukan self assesment guna untuk menilai atas pelaksanaan GCG. Kegiatan self assesment pelaksanaan GCG dapat dilakukan sebagai evaluasi pelaksanaan prinsip-prinsip GCG. Self assesment dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Menetapkan nilai peringkat perfaktor, dengan cara membandingkan pemenuhan setiap kriteria atau indikator dengan kondisi bank berdasarkan data dan informasi yang relevan.

2. Menetapkan nilai komposit hasil self assessment dengan cara membobot seluruh faktor, menjumlahkannya dan selanjutnya memberikan peringkat komposit.

Tabel 2. 3 Peringkat Komposit GCG.

Nilai Komposit Peringkat Komposit Nilai Komposit Sangat Baik Nilai Komposit Baik Nilai Komposit Cukup Baik Nilai Komposit Kurang Baik

Nilai Komposit Tidak Baik Sumber: Kodifikasi Penilaian kesehatan Bank

32

Penetapan peringkat faktor Good Coorporate Governance (GCG) dikatagorikan dalam 5 peringkat seperti pada tabel 2.3. Self assessment GCG dapat diperoleh dalam laporan pelaksanaan Good Coorporate Governance pada bank yang bersangkutan.

c. Earnings (Rentabilitas)

Earnings atau rentabilitas adalah alat untuk mengukur tingkat efisien usaha dan keuntungan yang dicapai oleh bank. Penilaian faktor rentabilitas meliputi evaluasi terhadap kinerja rentabilitas, sumber-sumber rentabilitas, kesinambungan rentabilitas dan manajemen rentabilitas. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat, trend, struktur, stabilitas rentabilitas bank, dan perbandingan kinerja bank dengan kinerja peer group, baik melalui analisis aspek kuantitatif maupun kualitatif.

Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk menilai rentabilitas, diantaranya ROA (Return on Asset), ROE (Return on Equity), dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional). Pedoman selengkapnya mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/24/DPNP tahun 2011.

1) ROA (Return on Asset)

ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh laba secara keseluruhan. ROA digunakan untuk mengukur aktifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki sehingga ROA menjadi parameter untuk mengukur kesehatan keuangan perbankan. ROA dapat dirumuskan sebagai berikut.

ROA

Peringkat Keterangan Kriteria

1 Sangat Sehat ROA

2 Sehat ROA

3 Cukup Sehat ROA

4 Kurang Sehat ROA

5 Tidak Sehat ROA

Sumber: Kodifikasi Penilaian kesehatan Bank

Setelah didapatkan nilai ROA selanjutnya menentukan kriteria kesehatan bank seperti pada tabel 2.4. Jika nilai ROA semakin tinggi maka kesehatan Bank akan semakin baik yang artinya ROA berpengaruh positif terhadap kinerja perbankan.

2) ROE (Return on Equity)

ROE adalah rasio untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh keuntungan bersih dikaitkan dengan pembayaran deviden. ROE dapat dirumuskan sebagai berikut.

ROE

Tabel 2. 5 Kriteria Penilaian Rasio ROE.

Peringkat Keterangan Kriteria

1 Sangat Sehat ROE

2 Sehat ROE

3 Cukup Sehat ROE

4 Kurang Sehat ROE

5 Tidak Sehat ROE

Sumber: Kodifikasi Penilaian kesehatan Bank

Setelah didapatkan nilai ROE selanjutnya menentukan kriteria kesehatan bank seperti pada tabel 2.5. Jika nilai ROE semakin tinggi maka kesehatan Bank akan semakin baik yang artinya ROE berpengaruh positif terhadap kinerja perbankan.

34

3) BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) BOPO adalah rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasionalnya. BOPO dapat dirumuskan sebagai berikut.

BOPO

Tabel 2. 6 Kriteria Penilaian Rasio BOPO.

Peringkat Keterangan Kriteria

1 Sangat Sehat BOPO

2 Sehat BOPO

3 Cukup Sehat BOPO

4 Kurang Sehat BOPO

5 Tidak Sehat BOPO

Sumber: Kodifikasi Penilaian Kesehatan Bank d. Capital (Permodalan)

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit atau pembiayaan yang diberikan.

Dalam melakukan penilaian, Bank perlu mempertimbangkan tingkat, trend, struktur, dan stabilitas permodalan dengan memperhatikan kinerja peer group serta kecukupan manajemen permodalan bank.

Penilaian dilakukan dengan menggunakan parameter kuantitatif maupun kualitatif. Dalam menentukan peer group, bank perlu memperhatikan skala bisnis, karakteristik, dan/atau kompleksitas usaha Bank serta ketersediaan data dan informasi yang dimiliki. CAR dapat dirumuskan sebagai berikut.

CAR

Peringkat Keterangan Kriteria Basel III yang digunakan sebagai dasar penetapan dan pemeliharaan permodalan bagi bank syariah untuk menjaga rasio kecukupan permodalan minimum sebesar 8%. OJK selaku regulator bank syariah di Indonesia menetapkan bahwa bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Sedangkan Authority Monetary Brunei Darussalam (AMBD) selaku regulator bank di Brunei Darussalam memiliki ketentuan

Peringkat Keterangan Kriteria Basel III yang digunakan sebagai dasar penetapan dan pemeliharaan permodalan bagi bank syariah untuk menjaga rasio kecukupan permodalan minimum sebesar 8%. OJK selaku regulator bank syariah di Indonesia menetapkan bahwa bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Sedangkan Authority Monetary Brunei Darussalam (AMBD) selaku regulator bank di Brunei Darussalam memiliki ketentuan