• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi RSUD Kota Padangsidimpuan

Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dalam upaya peningkatan menajemen perencanaan kebutuhan obat.

2. Manfaat bagi Penulis

Dengan masukan penelitian ini, peneliti memiliki pengalaman memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan obat di rumah sakit dengan menerapkan teori yang peneliti dapat.

3. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai referensi ilmiah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang administrasi dan kebijakan kesehatan .

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit

2.1.1 Pengertian Rumah Sakit

Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik.

Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dinyatakan bahwa rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yaitu pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Untuk menjalankan tugasnya, maka rumah sakit mempunyai fungsi :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan;

dan

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.1.3 Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 56 Tahun 2014, menjelaskan bahwa berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.Sedangkan rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya. Rumah sakit juga dapat diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan yang terdiri atas rumah sakit umum kelas A, kelas B, kelas C dan kelas D. Adapun klasifikasi rumah sakit umum adalah sebagai berikut :

1. Rumah Sakit Umum kelas A

Rumah sakit umum kelas A yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar yaitu : pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi; 5 (lima) pelayanan medik spesialis penunjang yaitu : pelayanan anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi dan rehabilitasi medik; 12 (dua belas)

pelayanan medik spesialis lain yaitu : pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan kedokteran forensik; 16 (enam belas) pelayanan medik sub spesialis yaitu : pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstetri dan ginekologi, mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, serta gigi dan mulut; dan 7 (tujuh) pelayanan medik spesialis gigi dan mulut yaitu : pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi, periodonti, orthodonti, prosthodonti, pedodonsi dan penyakit mulut.

2. Rumah Sakit Umum kelas B

Rumah Sakit Umum kelas B yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar yaitu : pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi; 5 (lima) pelayanan medik spesialis penunjang yaitu : pelayanan anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi dan rehabilitasi medik; paling sedikit 8 (delapan) pelayanan dari 12 (dua belas) pelayanan medik spesialis lain yaitu : pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan kedokteran forensik; paling sedikit 2 (dua) pelayanan subspesialis dari 4 (empat) subspesialis dasar yaitu : pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, serta obstetri dan ginekologi; dan paling

sedikit 3 (tiga) pelayanan medik spesialis gigi dan mulut yaitu : pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi dan orthodonti.

3. Rumah Sakit Umum kelas C

Rumah Sakit Umum kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik umum yaitu : pelayanan medik dasar, medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak, dan keluarga berencana; 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar yaitu : pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi; 3 (tiga) pelayanan medik spesialis penunjang yaitu : pelayanan anestesiologi, radiologi dan patologi klinik;

dan paling sedikit 1 (satu) pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.

4. Rumah Sakit Umum kelas D

Rumah Sakit Umum kelas D yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik umum yaitu : pelayanan medik dasar, medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak, dan keluarga berencana; paling sedikit 2 (dua) dari 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar yaitu : pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi;

dan 2 (dua) pelayanan medik spesialis penunjang yaitu : pelayanan radiologi dan laboratorium.

2.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit

2.2.1 Pengertian Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009, dinyatakan bahwa instalasi farmasi adalah bagian dari rumah sakit yang bertugas menyelenggarakan,

mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit.

Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) juga dapat didefinisikan sebagai suatu departemen atau unit atau bagian di suatu rumah sakit dibawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional, tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggungjawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan; pengadaan; produksi; penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan farmasi; dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat tinggal dan rawat jalan; pengendalian mutu; dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit; pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup pelayanan langsung pada penderita dan pelayanan klinik yang merupakan program rumah sakit secara keseluruhan.

(Siregar dan Amalia, 2004)

2.2.2 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, tugas IFRS, meliputi :

1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etika profesi;

2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;

3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko;

4. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;

5. Berperan aktif dalam Komite Farmasi dan Terapi (KFT);

6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan kefarmasian;

7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium rumah sakit.

Fungsi IFRS, adalah sebagai berikut :

1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai a. Memilih sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai

sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit;

b. Merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai secara efektif, efisien dan optimal;

c. Mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku;

d. Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit;

e. Menerima sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku;

f. Menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian;

g. Mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai ke unit-unit pelayanan di rumah sakit;

h. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;

i. Melaksanakan pelayanan obat “unit dose” / dosis sehari;

j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (apabila sudah memungkinkan);

k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai;

l. Melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang sudah tidak dapat digunakan;

m. Mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai;

n. Melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.

2. Pelayanan farmasi klinik

a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan resep atau permintaan obat;

b. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan obat;

c. Melaksanakan rekonsiliasi obat;

d. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan obat baik berdasarkan resep maupun obat non resep kepada pasien/keluarga pasien;

e. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai;

f. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain;

g. Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;

h. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO) : Pemantauan Efek Terapi Obat; Pemantauan Efek Samping Obat; Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

i. Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);

j. Melaksanakan dispensing sediaan steril : melakukan pencampuran obat suntik; menyiapkan nutrisi parenteral; melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik; melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil;

k. Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar rumah sakit;

l. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).

2.2.3 Struktur Organisasi

IFRS harus memiliki suatu organisasi yang pasti dan sesuai dengan kebutuhan sekarang dan kebutuhan mengakomodasi perkembangan di masa depan, dan mengikuti visi yang telah ditetapkan pimpinan rumah sakit dan para apoteker rumah sakit. Suatu struktur organisasi IFRS terdiri atas penetapan

pekerjaan yang dilakukan beserta tanggung jawab dan hubungan hierarki untuk melaksanakan pekerjaan itu (Siregar dan Amalia, 2004).

Struktur organisasi tersebut harus menggambarkan uraian tugas, fungsi, dan tanggung jawab serta hubungan koordinasi di dalam maupun di luar pelayanan kefarmasian yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit. Struktur organisasi IFRS minimal terdiri dari kepala instalasi, administrasi, pengelolaan perbekalan farmasi, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu (Permenkes RI No. 58 Tahun 2014).

2.2.4 Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia (SDM) di instalasi farmasi sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, yaitu apoteker, tenaga teknis kefarmasian dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan instalasi farmasi. Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf instalasi farmasi harus ada dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap 3 tahun sesuai kebijakan dan prosedur di instalasi farmasi rumah sakit.

Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM instalasi farmasi diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari apoteker yaitu sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Dan tenaga kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi,

ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker.

2. Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari operator komputer/teknisi yang memahami kefarmasian, tenaga administrasi, dan pekarya/pembantu pelaksana.

Dalam Permenkes ini juga dijelaskan bahwa instalasi farmasi dipimpin oleh seorang apoteker sebagai penanggung jawab seluruh pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Kepala instalasi farmasi rumah sakit diutamakan yang telah memiliki pengalaman bekerja di instalasi farmasi rumah sakit minimal 3 tahun.

Pada pelayanan kefarmasian di rawat inap, penghitungan kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja idealnya dengan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien.

Sedangkan pada pelayanan kefarmasian di rawat jalan, idealnya 1 apoteker untuk 50 pasien. Selain itu, diperlukan juga masing-masing 1 orang apoteker untuk kegiatan pelayanan kefarmasian di ruang tertentu, yaitu unit gawat darurat, Intensive Care Unit (ICU)/Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)/Neonatus Intensive Care Unit (NICU)/Pediatric Intensive Care Unit (PICU), dan pelayanan informasi obat.

Pihak-pihak yang mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan instalasi farmasi d irumah sakit adalah (Febriawati, 2013) :

1. Direktur rumah sakit

Direktur adalah orang yang wajib tahu tentang perkembangan dan keadaan obat maupun stok obat. Direktur pula yang harus memastikan bahwa formularium obat telah dijalankan dengan benar oleh para tenaga medis. Adanya

penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan bukan kesalahan direktur, namun pada akhirnya akan menjadi tanggung jawab direktur jika penyimpangan ini terus dibiarkan. Direktur harus bisa menjalankan fungsi monitoring, sebagai pengawas dan evaluasi.

2. Kepala instalasi farmasi rumah sakit

Kepala instalasi farmasi adalah orang yang paling berhak dan pertama kali tahu mengenai stok dan kebutuhan obat-obatan di rumah sakit. Tugas dari kepala instalasi farmasi adalah merencanakan pemesanan, menghitung kebutuhan, melaporkan pemakaian rumah sakit. Namun, kepala instalasi farmasi bukan yang bertanggung jawab atas pembelian obat-obatan di rumah sakit. Hal ini sangat penting dalam menjaga keadilan, transparansi dan mencegah terjadinya kesepakatan tersembunyi antara kepala instalasi farmasi dan perusahaan obat.

3. Bagian logistik rumah sakit

Bagian logistik adalah bagian yang bertugas untuk membeli obat dan menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan dan yang direkomendasikan oleh kepala instalasi farmasi. Semua pembelian obat-obatan dalam jumlah besar atau jumlah tertentu harus melalui logistik sehingga memudahkan pendataan, penghitungan pembiayaan dan pelaporan keuangan.

4. Instalasi penerimaan dan pengadaan barang di rumah sakit

Instalasi penerimaan dan pengadaan barang mempunyai tugas melakukan penerimaan dan penyimpanan perbekalan farmasi yang sudah dibeli oleh bagian logistik. Petugas gudang akan menghitung dan mencocokkan jumlah obat-obatan yang diterima dengan jumlah pesanan. Obat-obatan akan disimpan di dalam

gudang dan dikeluarkan sesuai dengan permintaan kepala instalasi farmasi.

Kepala instalasi penerimaan dan pengadaan barang harus sesering mungkin memberikan laporan kepada kepala instalasi farmasi, dengan tujuan agar kepala instalasi farmasi bisa merencanakan pembelian obat-obatan berikutnya.

5. Petugas gudang dan apoteke rumah sakit

Petugas gudang dan apoteker adalah orang yang bersentuhan langsung dengan produk atau obat-obatan yang dijual. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling rentan dan paling sering menjadi kambing hitam apabila ada stok atau obat-obatan yang hilang. Sebab itu, ada baiknya orang yang bekerja di profesi ini haruslah orang yang benar-benar jujur dan melakukan pelaporan setiap saat kepada atasannya. Petugas gudang melaporkan setiap kegiatannya maupun kehilangan obat kepada kepala instalasi pengadaan barang, dan apoteker melaporkan kegiatan hariannya maupun kehilangan obat kepada kepala instalasi farmasi.

6. Dokter

Dokter sangat berperan dalam pengendalian stok obat, karena dokter merupakan end user.Obat-obat tidak bisa keluar jika tidak ada peresepan dokter.Direktur bersama dengan kepala instalasi farmasi harus selalu mengingatkan dokter mengenai penggunaan obat dan stok obat yang tersedia dan yang harus dihabiskan.

2.2.5 Prosedur

Menurut Siregar dan Amalia (2004), prosedur adalah suatu instruksi kepada personel, cara kebijakan dan tujuan dilakukan dan dicapai. IFRS

memerlukan berbagai prosedur yang terdokumentasi. Jika suatu prosedur didokumentasi, biasanya disebut prosedur tertulis. Salah satu prosedur yang diperlukan oleh IFRS adalah Prosedur Operasional Baku(POB), yang selalu digunakan untuk melakukan kegiatan tertentu dan rutin di IFRS. POB harus selalu mutakhir mengikuti perkembangan pelayanan dan kebijakan rumah sakit. POB biasanya mencakup maksud suatu kegiatan, lingkup suatu kegiatan, tanggung jawab yang harus dilakukan dan oleh siapa, prosedur yang harus dilakukan, bahan, alat dan dokumen apa yang harus digunakan dan dokumentasi.

Inti POB perencanaan perbekalan kesehatan, penetapan spesifikasi produk dan pemasok, serta pembelian perbekalan kesehatan yaitu (Siregar dan Amalia, 2004):

1. Semua perbekalan kesehatan/sediaan farmasi, yang digunakan di rumah sakit harus sesuai dengan formularium rumah sakit.

2. Semua perbekalan kesehatan/sediaan farmasi yang digunakan di rumah sakit harus dikelola hanya oleh IFRS.

3. IFRS harus menetapkan spesifikasi produk semua perbekalan kesehatan/sediaan farmasi yang akan diadakan berdasarkan persyaratan resmi (Farmakope Indonesia edisi terakhir) dan atau persyaratan lain yang ditetapkan oleh KFT.

4. Pemasok perbekalan kesehatan/sediaan farmasi harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh KFT.

5. Jika perbekalan kesehatan/sediaan farmasi diadakan dari suatu pemasok/

industri tersebut untuk memeriksa kesesuaian penerapan sistem mutu dan jaminan mutu.

2.3 Perencanaan

2.3.1 Pengertian Perencanaan

Menurut Hasibuan (2009), ada beberapa definisi perencanaan menurut beberapa ahli, yaitu :

1. Harold Koontz dan Cyril O’Donnel menyatakan perencanaan adalah fungsi seorang manajer yang berhubungan dengan memilih tujuan-tujuan, kebijakan, prosedur-prosedur, program-program dari alternatif yang ada.

2. G.R Terry menyatakan perencanaan adalah memilih dan menghubungkan fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

3. Louis A. Allen menyatakan bahwa perencanaan adalah menentukan serangkaian tindakan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

4. Billy E. Goetz menyatakan bahwa perencanaan adalah pemilihan yang fundamental dan masalah perencanaan timbul jika terdapat alternatif-alternatif.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perencanaan adalah pekerjaan mental untuk memilih sasaran, kebijakan, prosedur, dan program yang diperlukan untuk mencapai apa yang diinginkan pada masa yang akan datang.

2.3.2 Pentingnya Perencanaan

Perencanaan merupakan salah satu fungsi yang sangat penting dalam manajemen, dan sebagai landasan dasar dari fungsi manajemen secara keseluruhan. Menurut Hasibuan (2009), perencanaan itu sangat penting, karena :

1. Tanpa perencanaan berarti tidak ada tujuan yang ingin dicapai.

2. Tanpa perencanaan tidak ada pedoman pelaksanaan sehingga banyak pemborosan.

3. Tanpa perencanaan, pengendalian tidak dapat dilakukan, karena perencanaan adalah dasar pengendalian.

4. Tanpa perencanaan berarti tidak ada keputusan dan proses manajemen pun tidak ada.

2.3.3 Tujuan perencanaan

Hasibuan (2009) menyatakan bahwa tujuan perencanaan adalah:

1. Menentukan tujuan, kebijakan-kebijakan, prosedur, dan program serta memberikan pedoman cara-cara pelaksanaan yang efektif dalam mencapai tujuan.

2. Menjadikan tindakan ekonomis, karena semua potensi yang dimiliki terarah dengan baik kepada tujuan.

3. Memperkecil risiko yang dihadapi pada masa yang akan datang.

4. Menyebabkan kegiatan-kegiatan dilakukan secara teratur dan bertujuan.

5. Memberikan gambaran yang jelas dan lengkap tentang seluruh pekerjaan.

6. Membantu penggunaan suatu alat pengukuran hasil kerja.

7. Menjadi suatu landasan untuk pengendalian.

8. Menghindari mismanagement dalam penempatan karyawan.

9. Membantu peningkatan daya guna dan hasil guna organisasi.

2.4 Perencanaan Obat

Perencanaan obat adalah kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga obat yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan menggunakan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia (Febriawati, 2013).

Tujuan perencanaan obat adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai kebutuhan, menghindari terjadinya kekosongan obat, meningkatkan penggunaan obat secara rasional, dan meningkatkan efisiensi penggunaan obat (Febriawati, 2013).

Tahapan prosedur perencanaan obat di rumah sakit adalah sebagai berikut (Febriawati, 2013).

1. Masing-masing ruangan pelayanan/user harus menyusun daftar kebutuhan barang farmasi dengan memperhatikan data konsumsi, data epidemiologi serta data/jumlah stok yang ada.

2. Daftar kebutuhan tersebut dikirim ke kepala instalasi pelayanan dimana ruangan pelayanan/user tersebut berada.

3. Kepala instalasi pelayanan merekap seluruh usulan ruangan-ruangan yang ada dalam organisasinya menjadi daftar kebutuhan instalasi.

4. Mengirim daftar usulan kebutuhan tersebut ke instalasi farmasi.

5. Di instalasi farmasi usulan kebutuhan tersebut akan dibandingkan dengan data pemakaian periode yang lalu, dikurangi jumlahnya dengan jumlah persediaan yang ada, dihitung nilai uangnya untuk memperkirakan alokasi anggaran yang diperlukan.

6. Diusulkan ke pengendali program dan diteruskan ke pengendali anggaran.

7. Dibuat surat perintah untuk panitia penerimaan barang farmasi, dan panitia pembelian akan melaksakan tender.

8. Pemenang tender akan mengirim barang ke panitia penerimaan barang farmasi.

9. Barang yang tidak bermasalah dikirim ke gudang instalasi farmasi untuk disimpan dan disalurkan, sedangkan barang yang masih bermasalah dikirim ke gudang transito/karantina.

Tahapan prosedur perencanaan tersebut jika dibuat dalam bentuk alur adalah sebagai berikut.

Gambar 2.1 Tahapan prosedur perencanaan perbekalan farmasi

Menurut Kemenkes RI (2010), kegiatan-kegiatan dalam perencanaan obat meliputi pemilihan, kompilasi penggunaan dan perhitungan kebutuhan.

2.4.1 Pemilihan

Fungsi pemilihan adalah untuk menentukan apakah obat benar-benar diperlukan sesuai dengan jumlah pasien/kunjungan dan pola penyakit di rumah sakit. Pemilihan obat di rumah sakit merujuk kepada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) sesuai dengan kelas rumah sakit masing-masing, Formularium Rumah Sakit, Formularium Jaminan Kesehatan bagi masyarakat miskin, Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) Askes dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) (Kemenkes RI, 2010).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 58 Tahun 2014, formularium rumah sakit disusun mengacu kepada formularium nasional.

Formularium rumah sakit merupakan daftar obat yang disepakati staf medis, disusun oleh KFT yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit. Formularium

rumah sakit harus tersedia untuk semua penulis resep, pemberi obat, dan penyedia obat di rumah sakit. Evaluasi terhadap formularium rumah sakit harus dilakukan secara rutin dan direvisi sesuai kebijakan dan kebutuhan rumah sakit.

2.4.2 Kompilasi Penggunaan

2.4.2 Kompilasi Penggunaan