• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Jumlah Pembiayaan Bank Syariah Dan Kredit Bank Konvensional Terhadap Tingkat Inflasi Indonesia

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu ekonomi, menambah kajian ilmu di bidang ekonomi pembangunan konsentrasi ekonomi syariah. 2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemer intah dan Industri Perbankan. Bagi pihak lain, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu dalam penyajian informasi untuk mengadakan penelitian serupa.

2. LANDASAN TEORI

2.1 Teori Inflasi

Ada 3 kelompok yang mengemukakan teori inflasi yaitu:

1. Teor i kuantitas uang (monet arist model) Teori kuantitas uang (monetarist model) adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa kuantitas uang yang ada menentukan tingkatan harga yang berlaku, dan bahwa tingkat pertumbuhan kuantitas uang yang ada menentukan tingkat inflasi. Bila jumlah uang bertambah lebih cepat (ka r ena ter lalu ba nyak ua ng beredar) dibandingkan volume transaksi/pertambahan barang, maka nilai uang akan merosot, dan ini bera rti kena ikan har ga. Unt uk itu perlu dilakukan pembatasan jumlah uang beredar dan jumlah kredit yang dapat meningkatkan jumlah uang beredar (Boediono, 2011).

2. Teori Inflasi Keynes

Menurut teori ini, infla si terjadi ka rena masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Dengan demikian permintaan masyarakat akan barang melebihi jumlah yang tersedia. Hal ini terjadi karena masyarakat mengeta hui keingina nnya dan menja dikan keinginan tersebut dalam bentuk permintaan yang efektif terhadap barang. Dengan kata lain, masyarakat berhasil memperoleh dana

tambahan diluar batas kemampuan ekonominya sehingga golongan masyarakat ini bisa memperoleh barang dengan jumlah yang lebih besar daripada yang seharusnya (Boediono, 2011).

Tentunya tidak semua golongan ini misalnya masyarakat yang berpenghasilan tetap atau penghasilannya meningkat tidak secepat laju inflasi. Bila jumlah permintaan barang meningkat, pada tingkat harga berlaku, melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap akan timbul. Keadaan ini menyebabkan harga-harga naik dan berarti rencana pembelian barang tidak dapat terpenuhi.

Pada periode selanjutnya, masyarakat akan berusaha untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi (baik dari pencetakan uang baru maupun dari kredit pada bank dan permintaan kenaikan gaji). Proses inflasi akan tetap berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat (Boediono, 2011).

Gambar 1 menunjukkan keadaan dimana infla tionary gap teta p timbul. Disini kita menganggap bahwa semua golongan masyarakat bisa memperoleh dana yang cukup untuk membiayai, pada harga yang berlaku, rencana-rencana pembelian mereka. Dengan timbulnya inflationary gap (misal, pemerintah memperbesar pengeluar an dengan mencetak uang baru), kurva permintaan efektif bergeser dari Z1 ke Z2. inflationary gap sebesar Sumber: Boediono (2011)

Q1 dan Q2 timbul dan harga naik dari P1 ke P2. Kenaikan harga ini mengakibatkan rencana-rencana pembelian golongan masyarakat (termasuk pemerintah sendiri) tidak terpenuhi. Karena jumlah barang - barang yang tersedia tidak bisa lebih besar lagi dari pada Q1, maka yang terjadi hanyalah realokasi barang - barang yang tersedia dari golongan-golongan masyarakat lain dalam masyarakat kepada sektor pemerintah.

Seandainya pada periode beriku tnya golongan-golongan masyarakat lain tersebut bisa memperoleh dana untuk membiayai rencana-rencana pembeliannya yang lama dengan harga - harga baru yang lebih tinggi, dan pemerintah tetap pula berusaha memperoleh jumlah barang-barang seperti yang direncanakan pada periode sebelumnya dengan harga-harga baru yang lebih tinggi (dan disini perlu dicetak lagi uang baru), maka inflationary gap sebesar Q1 dan Q2 akan timbul lagi. Harga akan naik lagi dari P2 ke P3.

Kalau setiap golongan masyarakat tetap berusaha memperoleh jumlah barang - barang yang sama dan mereka berhasil memperoleh dana untuk membiayai rencana-rencana tersebut pada tingkat harga yang berlaku, maka inflationary gap akan tetap timbul pada periode-periode selanjutnya.

Dalam hal ini harga-harga akan terus menerus menaik. Inflasi akan berhenti hanya bila salah satu golongan masyarakat tidak lagi (atau tidak bisa lagi) memperoleh dana untuk membiayai rencana pembelian barang-barang pada harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (inflationary gap hilang).

Perhatikan bahwa mereka yang “menang” dalam perebutan ini adalah mereka yang paling mudah untuk memperoleh dana tambahan untuk membiayai rencana pembelian mereka. Mereka yang tidak bisa dengan mudah memperoleh dana untuk membiayai rencana pembelian barang mereka dengan harga-harga yang baru (yang lebih tinggi) terpaksa harus menerima bagian yang lebih kecil dari barang-barang

yang tersedia dari pada bagian mereka sebelum proses inflasi terjadi. Secara umum mereka yang penghasilannya tidak naik secepat kenaikan harga-harga akan ketinggalan dan menerima bagian yang semakin kecil.

Gambar 2 menunjukkan proses inflasi yang akhirnya berhenti karena inflationary gap makin mengecil dan akhirnya hilang pada periode kelima. Harga menjadi stabil pada P5. Di balik proses ini beberapa golongan masyarakat menerima bagian output yang lebih kecil. Inflasi selalu diikuti dengan terjadinya redistribusi pendapatan.

3. Teori Inflasi Struktural

Teori Strukturalis adalah teori yang didasarkan atas pengalaman di negara - negara Amerika Latin. Teori ini menekankan pada ketegaran (infleksibilitas) dari struktur perekonomian negara- negara sedang berkembang. Melalui beberapa studi mengenai inflasi di negara berkembang, ditunjukkan bahwa inflasi bukan semata-matamerupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena structural atau cost push inflation.

Hal ini disebabka n karena struktur ekonomi Negara – Negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Adanya goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, Sumber: Boediono (2011)

misalnya memburuknya term of trade, utang luar negeri, dan nilai tukar valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik (Rahardja, 2008).

2.2 Teori Pembiayaan

Pembiayaan atau fin ancing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan (Muhammad, 2005).

Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan terhadap lembaga keua ngan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut dalam waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil (Kasmir, 2003). Seca ra teknis lemba ga keua ngan memberikan pendanaan atau pembiayaan untuk mendukung investasi atau berjalannya suatu usaha yang telah direncanakan antara kedua belah pihak dengan kesepakatan ba gi hasil di da lamnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Qur’an Surat. Al-Ma’idah ayat 1 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji, Hewan ternak, dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum, sesuai yang Dia kehendaki.” Ayat diatas menjelaskan tentang akad atau perjanjian yaitu mencakup janji setia hamba Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya yang harus dipenuhi.

2.3 Teori Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Keharaman bunga dalam syariah membawa konsekuensi adanya penghapusan bunga secara

mutlak.

Teori PLS dibangun sebagai tawaran baru di luar sis tem bunga yang cenderung t idak mencerminkan keadilan (injustice/dzalim) karena memberikan diskriminasi terhadap pembagian resiko maupun untung bagi para pelaku ekonomi. Principles of Islamic finance di bangun atas dasar larangan riba, larangan gharar, tuntunan bisnis halal, resiko bisnis ditanggung bersama, dan transaksi ekonomi berlandaskan pada pertimbangan memenuhi rasa keadilan (Alsadek H. Gait, 2006).

Profit-loss sharing berarti keuntungan dan atau kerugian yang mungkin timbul dari kegiatan ekonomi/bisnis ditanggung bersama - sama. Dalam atribut nisbah bagi hasil tidak terdapat suatu fixed and certain return sebagaimana bunga, tetapi dilakukan profit and loss sharing berdasarkan produktifitas nyata dari produk tersebut (Karim, 2001). Sebenarnya dalam perekonomian modern pembiayaan dengan sistem PLS sudah biasa terjadi dalam berbagai kegiatan penyertaan modal (equty financing) bisnis. Kepemilikan saham dalam suatu perseroan mer upakan contoh p opuler dalam penyertaan modal. Pemegang saham akan menerima keuntungan berupa deviden sekaligus menanggung resiko jika perusahaan mengalami kerugian (Anto, 2003).

Dalam sistem Profit Loss Sharing harga modal ditentukan secara bersama dengan peran dari kewir ausahaa n. Price of capital dan enterpreneurship merupakan kesatuan integratif yang secara bersama - sama harus diperhitungkan dalam menentukan harga faktor produksi. Dalam pandangan syariah uang dapat dikembangkan hanya dengan suatu produktifitas nyata. Tidak ada tambahan atas pokok uang yang tidak menghasilkan produktifitas.

Dalam perjanjian bagi hasil yang disepakati adalah proporsi pembagian hasil (disebut nisbah bagi hasil) dalam ukuran persentase atas kemungkinan hasil produktifitas nyata. Nilai nominal bagi hasil yang nyata-nyata diterima, baru dapat diketahui setelah

hasil pemanfaatan dana tersebut benar-benar telah ada. Nisbah bagi hasil ditentukan berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang bekerja sama. Besarnya nisbah biasanya akan dipengaruhi oleh pertimbangan kontribusi masing-masing pihak dalam bekerja sama (share and partnership) dan prospek perolehan keuntungan (expected return) serta tingkat resiko yang mungkin terjadi (expected risk) (Anto, 2003).

Secara matematis dapat diformulasikan menjadi: BH = f (S, p, 0) Keterangan: BH = bagi hasil S = share on partnership p = exspected return 0 = expected risk

Kesepakatan suatu tingkat nisbah terlebih dahulu harus memperhatikan ketiga faktor tersebut. Faktor pertama, share on partnership merupakan sesuatu yang telah nyata dan terukur. Oleh karenanya tidak memerlukan perhatian khusus. Dua faktor terakhir, expected return, dan expected risk memerlukan perhatian khusus. Oleh karenanya kemampuan untuk memperkirakan keuntungan maupun resiko yang mungkin terjadi dalam kerjasama yang berlandaskan PLS mutlak dibutuhkan, terutama pada aspek kemungkinan resiko.

Hal ini karena, pertama, resiko memiliki efek negatif bagi usaha. Semakin besar resiko semakin mengurangi nilai keuntungan usaha. Kedua, resiko memiliki sumber, cakupan dan sifat yang seringkali tidak memperhitungkan data secara cermat. Ketiga, perkiraan atas keuntungan biasanya memasukkan perhitungan variabel resiko (Anto, 2003).

2.4 Kredit

Pengertian kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji, pembayaran akan dila ksanaka n pada jangka waktu yang telah

disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat.

Berikut ini adalah beberapa pengertian kredit. 1. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 Nopember 1998 Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Angka 11: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat diper samaka n dengan itu, berdasa rkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. 2. Arti kredit menurut Kasmir (2003), kredit berasal dari bahasa Yunani Credere yang berarti kepercayaan atau dalam bahasa Latin Creditum yang berar ti kepercayaan akan kebenaran.

3. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/ PBI/2005 tanggal 12 November 1998 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum pada Pasal 1: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kredit adalah penempatan dana yang telah dihimpun oleh bank yang disebut kreditur kepada pihak peminjam yang lazim disebut kreditur, dengan perjanjian akan mengembalikan sesuai dengan jangka waktu tertentu agar mendapat selisih bunga antara bunga dana dan bunga kredit.

Ketika bank memberikan pinjaman uang kepada nasabah, bank tentu saja mengharapkan uangnya kembali. Karenanya, untuk memperkecil risiko (uangnya tidak kembali, sebagai contoh), dalam memberikan kredit bank harus mempertimbangkan bebera pa hal yang terkait dengan itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta bunganya.

2.5 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dari penelitian ini bisa dilihat pada gambar berikut ini:

Section. Dalam penelitian ini menggunakan data Time Series, yaitu data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu pada suatu objek dengan tujua n untuk menggambarkan perkembangan dari objek tersebut (Purwanto, 2012). Jenis data menurut sifatnya juga ada 2 macam, yaitu data kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini menggunakan data kuantitatif, yaitu data yang berupa angka, dapat dianalisis dengan menggunakan teknik perhitungan statistik (Purwanto, 2012).

Data dalam penelitihan ini adalah data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh dengan cara membaca, mempelajari dan memahami melalui media lain yang bersumber dari literatur, buku-buku, serta dokumen perusahaan (Utoyo, 2016). Data bersumber dari hasil laporan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia.

3.3 Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda. Analisis mengenai pengaruh jumlah pembiayaan bank syar iah dan kr edit bank konvensional terhadap tingkat inflasi Indonesia dilakukan dengan menggunakan bantuan berupa tabel-tabel dan grafik yang memuat data variabel - variabel yang diamati dan dikaitkan dengan teori yang relevan.

Hal-hal tersebut terdiri dari Character (kepribadian), Capacity (kapasitas), Capital (modal), Collateral (jaminan), dan Condition of Economy (keadaan perekonomian).

2.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan landasan teori maka hipotesis penelitian dinyatakan sebagai berikut:

Jumlah pembiayaan bank syariah dan kredit bank konvensional berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi Indonesia.

3. METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas tentang pengaruh jumlah pembiayaan bank syariah dan kredit bank konvensional terhadap tingkat inflasi Indonesia. Objek yang diteliti adalah Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Penelitian ini menggunakan satu variabel dependen yaitu tingkat inflasi Indonesia dan menggunakan dua variabel independen meliputi jumlah pembiayaan bank syariah dan kredit bank konvensional. Data yang digunakan memiliki rentang waktu dari Januari 2018 hingga Agustus 2020. 3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data menurut waktu pengumpulannya ada 2 macam, yaitu data Time Series dan Cross

Metode analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis pengaruh jumlah pembiayaan bank syariah dan kredit bank konvensional terhadap tingkat inflasi Indonesia. Penelitian ini menggunakan regresi berganda. Untuk mengestimasi data-data yang tersedia dengan menggunakan program Eview 9 dengan bentuk fungsi sebagai berikut:

Dimana:

= Tingkat Inflasi (%)

4.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)

Perhitungan yang dilakukan untuk mengukur proporsi atau prosentase dari variasi total variabel dependen yang mampu dijelaskan oleh model regresi. R2 dalam regresi sebesar 0.574895. Ini berarti variabel tingkat inflasi (Y) dapat dijelaskan oleh variabel pembiayaan bank syariah ( ) dan kredit bank konvensional ( ) sebesar 57,48 persen, sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

4.2 Uji T (Signifikansi Parsial)

Uji t-statistik digunakan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing variabel independen

= Pembiayaan (Triliun) = Kredit (Triliun) = Konstanta

, = Koefisien Regresi

e = Error

4. HASIL PENE LITIAN DAN

PEMBAHASAN

terhadap variabel dependen. Nilai prob. t hitung dari pembiayaan bank syariah sebesar 0.2252 yang lebih besar dari 0,05 sehingga pembiayaan bank syariah berpengaruh namun tidak signifikan terhadap tingkat inflasi Indonesia. Koefisien variabel pembiayaan bank syariah sebesar 0.266770 menunjukan bahwa kenaikan jumlah pembiayaan bank syariah sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan tingkat inflasi Indonesia sebesar 0.266770 persen.

Perbedaan terjadi pada variabel kredit bank konvensional. Nilai prob. t hitung dari variabel kredit bank konvensional sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari 0,05 sehingga variabel bebas kredit bank konvensional berpengaruh signifikan terhadap tingkat Tabel 2. Hasil Regresi

inflasi Indonesia. Koefisien variabel konvensional bank syariah sebesar 0.073669 menunjukan bahwa kenaikan jumlah kredit bank konvensional sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan tingkat inflasi Indonesia sebesar 0.073669 persen.

4.3 Uji Statistik F

Uji F-statistik digunakan untuk mengetahui hubungan antar a variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Hasil uji F menunjukan bahwa Nilai prob. F (Statistic) sebesar 0.000004 lebih kecil dari tingkat signifikansi 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi yang diestimasi layak digunakan untuk menjelaskan pengaruh pembiayaan bank syariah dan kredit bank konvensional terhadap jumlah pembiayaan.

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis pengaruh jumlah pembiayaan bank syariah dan kredit bank konvensional terhadap tingkat inflasi Indonesia yang parameternya menggunakan metode OLS telah mengungkapkan pengaruh dari jumlah pembiayaan bank syar iah dan kr edit bank konvensional, maka dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Jumlah pembiayaan bank syariah dan kredit bank konvensional secara keseluruhan mempengaruhi tingkat inflasi Indonesia, hal ini terlihat dari pengujian serentak yang telah dilakukan.

2. Jumlah pembiayaan bank syariah dan kredit bank konvensional mampu menjelaskan proporsi pengaruh variasi total tingkat inflasi Indonesia yang dicerminkan dalam penghitungan koefisien determinasi (R) dalam model statistik.

3. Hasil pengujian secara individual menunjukkan bahwa variabel pembiayaan bank syariah secara positif namun tidak signifikan terhadap tingkat inflasi Indonesia.

4. Hasil pengujian secara individual menunjukkan bahwa variabel kredit bank konvensional berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi Indonesia.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, saran berkaitan dengan hasil penelitian adalah: Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, bahwa tingkat inflasi Indonesia dipengaruhi oleh indikator-indikator moneter seperti jumlah pembiayaan bank syar iah dan kr edit bank konvensional maka diperlukan langkah-langkah untuk lebih meningkatkan perhatiannya terhadap dua komponen tersebut, dengan harapan semakin stabilnya kondisi tingkat inflasi Indonesia dapat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alsadek H. Gait, A. C. W. 2006, An Empirical Survey of Individual Consumer, Busness Firm and Financial Institution Attitudes to Wards Islamic Methods, School of Accounting & Finance University of Wollongong, Australia.

[2] Anto, H. 2003, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Ekonosia, Yogyakarta.

[3] Bank Indones ia. 2008, Sertifikat Bank Indonesia Syariah.

[4] Boediono. 2011, Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta.

[5] Karim, A. 2001, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Bina Insani, Jakarta.

[6] Kasmir. 2003, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (6th ed.), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

[7] Muhammad. 2005, Bank Syariah, PT. Graha Ilmu. Yogyakarta.

[8] Natsir, M. 2014, Ekonomi Moneter dan Kebanksentralan, Mitra Wacana Media, Jakarta.

[9] Purwanto, E. 2012, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarya. [10] Rahardja, M. 2008, Pengantar Ilmu Ekonomi

(Mikroekonomi & Makroekonomi), Lembaga Penerbit Fa kultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

[11] Utoyo, N. N. 2016, Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, Harga Emas Dunia, dan Kurs Rupiah pada JII. 5(c).

Pengaruh Mutasi Dan Beban Kerja Terhadap Prestasi Kerja