• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, untuk menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan penulis dalam perpajakan khususnya PPh pasal 21.

2. Bagi pembaca, untuk memberikan pengetahuan masyarakat dibidang perpajakan, Khususnya mengenai perhitungan dan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh pegawai tetap.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pajak dan Jenis Pajak 1. Pengertian Pajak

Pengertian pajak dan pandangan para ahli dalam bidang tersebut memberikan berbagai defenisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya defenisi tersebut mempunyai tujuan yang sama.

Menurut Rochmat Soemitro dalam buku Mardiasmo (2016:3) yang menyatakan bahwa “ pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan

undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Selanjutnya menurut P.J.A Adriani (2013:2) mendefenisikan bahwa “ pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipajakkan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

Berdasarkan beberapa defenisi pajak diatas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yaitu :

a. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang serta aturan-aturan pelaksanaan yang sifatnya dapat dipaksakan

b. Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak.

c. Pajak dipungut oleh negara baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pemerintah yang bila pemasukannya masih terdapat masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

e. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.

2. Jenis-jenis Pajak

Menurut Mardiasmo (2016:7) jenis-jenis pajak di bagi atas tiga kelompok yaitu :

1. Menurut golongannya

a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Penghasilan

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut Sifatnya

a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh : Pajak Penghasilan.

b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

3. Menurut lembaga pemungutnya

a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materi

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

 Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak

Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

 Pajak Kabupaten/Kota, Contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.

B. Fungsi Pajak dan Asas Pengenaan Pajak 1. Fungsi Pajak

Fungsi pajak menurut Menurut Mardiasmo (2016:4) a. Fungsi Anggaran (budgetair)

Pajak berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

b. Fungsi Mengatur (cregulerend)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Contoh

 Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras.

 Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.

1. Asas Pengenaan Pajak

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah :

a) Asas Domisili atau Asas Kependudukan

Berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi merupakan penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam system pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisili dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri.

b) Asas Sumber

Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatau penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di

negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu.

Contoh : tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.

c) Asas Kebangsaan atau Asas Kewarganegaraan

Dalam asas ini yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan.

Berdasarkan asas ini tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halanya dalam asas domisili, system pengenaan pajak berdasarkan kewarganegaraan ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas kewarganegaraan dengan konsep pengenaan pajak atas world-wide income.

Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dan perubahan terakhir Undang-undang nomor 36 tahun 2008 khususnya yang mengatur mengenai subjek dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam system perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.

C. Pajak Penghasilan Pasal 21 1. Pengertian Penghasilan

Defenisi penghasilan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2004:18) yang menyatakan bahwa :

“Penghasilan (income) meliputi baik pendapatan (revenue) maupun

keuntungan (gains). Pendapatan timbul dalam pelaksanaan aktifitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa, bunga, deviden, royalty dan sewa”.

2. Pengertian pajak penghasilan

menurut Diana Sari (2014:25) yang menyatakan bahwa :

“Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) adalah Pajak Penghasilan yang

harus dipotong oleh setiap pemberi kerja terhadap imbalan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, penghargaan, maupun pembayaran lainnya, yang mereka bayar atau terutang kepada orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan orang pribadi tersebut.”

Sedangkan menurut Rahmat Hidayat Lubis (2018:206) yang menyatakan bahwa :

“Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) adalah pajak yang dipotong oleh

pihak lain atas penghasilan berupa gaji, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri.

Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, badan, bentuk usaha tetap, yayasan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya dengan pekerjaan

atau jasa, seta dana pension, bahan-bahan lain yang membayar uang pension dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.

3. Undang-Undang PPh No.36 Tahun 2008 Pasal 21

Undang-undang No.36 Tahun 2008, yang disebut dengan Undang-undang pajak penghasilan pasal 21 dinyatakan bahwa :

1. Pemotong pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekeerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh :

a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.

b. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun.

d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagaimana imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.

e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

2. Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan Negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

3. Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

4. Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

5. Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah. (5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

6. Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

D. Tata Cara Pemungutan Pajak

Menurut Siti Resmi (2017:8) dalam pemungutan pajak digunakan cara stelsel yaitu :

a. Stelsel Riil yaitu Pengenaan pajak didasarkan pada objek yang sengguhnya terjadi (untuk PPh, objeknya adalah penghasilan). Pemungutan pajaknya

baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, setelah semua penghasilan yang sesungguhnya dalam suatu tahun pajak diketahui.

b. Stelsel Fiktif, yaitu pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggaran yang diatur oleh undang-undang.

c. Stelsel Campuran yaitu pengenaan pajak yang didasarkan pada kombinasi antara stelsel riil dan stelsel fiktif.

Sedangkan dalam sistem pemungutannya dapat dibagi menjadi :

a. Official Assessment System, yaitu Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

b. Self Assessment system, yaitu Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan paerpajakn yang berlaku.

c. With Holding System, yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenagn kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk mentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

1. Wajib Pajak PPh Pasal 21

Wajib Pajak penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan ;

a) Pegawai

b) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya

c) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, yaitu tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, pemain musik, pembawa acara, penari, pelukis, seniman, olaragawan, penasihat pengajar, pelatih, penceramah, moderator, pengarang, peneliti, penejermah, pengawas atau pengelolah proyek, petugas penjaja barang dagangan, petugas dinas luar asuransi dan lain-lain.

d) Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai Tetap pada perusahaan yang sama.

e) Mantan pegawai

f) Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suata kegiatan yaitu peserta perlombaan dalam segala bidang, peserta rapat, pertemuan, kunjungan kerja, peserta pendidikan dan pelatihan dan lain-lain.

Sedangkan yang tidak termasuk wajib pajak PPh pasal 21 adalah :

a) Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

b) Pejabat perwakilan organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2. Hak-hak Wajib pajak PPh Pasal 21 Hak-hak Wajib Pajak Pasal 21 adalah :

a) Wajib pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada Pemotong Pajak, Jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.

b) Wajib pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak, jika PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong Pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengajuan surat keberatan ini dilakukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang dipotong menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

Pengajuan surat keberatan ini dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pemotongan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan.

c) Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas, dan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan yang diterima, dilampiri dengan surat salinan keputusan tersebut, apabila badan peradilan pajak belum terbentuk, maka permohonan banding dapat diajukan Kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak Putusan (BPSP) bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.

3. Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21

Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21 adalah :

a) Wajib pajak berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada pemotongan pajak yang menyatakan jumlah tanggungan pada permulaan tahun takwin atau permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri. Surat pernyataan tersebut dibuat untuk mendapatkan pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), surat pernyataan tersebut harus diserahkan pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun.

b) Wajib pajak juga berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada pemotong pajak dan ada perubahan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwin.

c) Wajib pajak berkewajiban memasukkan SPT tahunan, jika wajib mempunyai penghasilan lebih dari 1 pemberi kerja.

4. Tarif Pajak PPh Pasal 21

Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan, keadilan dapat diciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat.

Dalam penerapan tarif harus berdasarkan pada keadian, dalam perhitungan pajak yang terutang digunakan tarif pajak. Yang dimaksud tarif pajak adalah tarif untuk menghitung besarnya tarif pajak yang terutang (pajak yang harus dibayar).

Berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat (1) Undang-Undang pajak penghasilan nomor 36 tahun 2008, besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam persentase tarif pajak yang dikenakan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1: Tarif Pajak yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai Dengan Rp 50.000.000,- 5%

Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,- 15%

Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,- 25%

Diatas Rp 500.000.000,- 30%

5. Penghasilan Tidak kena Pajak

Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah pengurangan terhadap penghasilan neto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar wajib pajak di Indonesia. PTKP terbaru selama setahun untuk perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 dan PMK No.101/PMK.010/2016 adalah sebagai berikut :

a) Rp. 54.000.000,- untuk diri wajib pajak orang pribadi

b) Rp. 4.500.000,- tambahan untuk wajib pajak yang telah menikah

c) Rp.54.000.000,- untuk istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU PPh.

d) Rp.4.500.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang

menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

E. Unsur-Unsur Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21

Unsur pokok dalam menghitung pajak penghasilan pasal 21 adalah : 1. Penghasilan Bruto

Penghasilan bruto adalah jumlah dari penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium, (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kehadiran, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayarkan pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.

2. Penghasilan Netto

Besarnya penghasilan netto diperoleh dengan mengurangi penghasilan bruto dengan pengurangannya yang diperoleh seperti :

a. Biaya jabatan yang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memlihara penghasilan sebesar 5% dari penghasilan bruto dengan jumlah maksimal Rp 500.000 sebulan atau Rp 6.000.000 setahun.

b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

c. Besarnya penghasilan netto penerima pensiun ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun sebesar 5% dari penghasilan bruto dengan jumlah maksimal Rp 200.000 sebulan atau Rp 2.400.000 setahun.

d. Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama islam dan wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

3. Penghasilan Tidak Kena Pajak

Sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016 besaran PTKP untuk tahun 2016 adalalah :

a. Untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar Rp 54.000.000,- b. Untuk tambahan Wajib Pajak yang kawin sebesar Rp 4.500.000,-

c. Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami adalah Rp 54.000.000,-

d. Tambahan untuk masing-masing anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan, maksimal 3 (tiga) orang adalah Rp 4.500.000,-

4. Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Penghasilan kena pajak (PKP) sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam satu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan bruto dengan pengurangan dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Perlakuan atas penghasilan kena pajak (PKP) adalah :

a. Jika wajib pajak pegawai tetap atau masih aktif bekerja, maka PKP nya adalah penghasilan neto dikurangi PTKP, sedangkan Penghasilan neto dihitung seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan :

1. Biaya Jabatan

2. Biaya pensiun termasuk iuran tabungan hari tua atau jaminan hari tua yang disamakan dengan dana pensiun.

3. Penghasilan Tidak Kena Pajak.

b. Bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan PTKP.

c. Bagi pegawai tidak tetap, PKP dihitung sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP.

F. Pemotongan Pajak PPh Pasal 21

Yang bertindak sebagai pemotong pajak penghasilan pasal 21 atau disebut pemotong pajak (pihak yang ditunjuk pemerintah untuk turut bertanggung jawab atas pelunasan pajak) menurut ketentuan undang-undang adalah :

a) Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi, badan atau cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.

b) Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Luar negeri, yang membayarkan gaji, upah,

honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.

c) Dan pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.

d) Badan termasuk bentuk usaha tetap yang membayar honorarium atau pembayaran lainnya sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri.

e) Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.

1. Hak-Hak Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 Hak-hak pemotong pajak PPh pasal 21 adalah :

a) Pemotong pajak berhak mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh pasal 21.

Permohonan diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwin berikutnya dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan oleh direktur jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara PPh Pasal 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan

pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwin yang bersangkutan.

b) Pemotong pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal

b) Pemotong pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal

Dokumen terkait