• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang diuraikan tersebut, maka manfaat penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan bagi para karyawan produksi kelapa sawit di PTPN III Kebun Bangun dalam mengatur pola konsumsi rumah tangga baik konsumsi pangan dan konsumsi non pangan.

2. Sebagai bahan masukan bagi pihak perkebunan untuk mengetahui pola konsumi maupun tingkat konsumsi karyawan khususnya karyawan produksi kelapa sawit di PTPN III kebun Bangun.

3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi penulis lainnya yang ingin melakukan penelitian selanjutnya yang berkenaan dengan konsumsi.

2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsumsi

Konsumsi adalah penggunaan barang dan jasa yang ditujukan langsung untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seperti kita ketahui, kebutuhan hidup di masyarakat sangat beraneka ragam misalnya kebutuhan makan, minum, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan hiburan. Untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan tersebut diperlukan barang dan jasa (Sukwiaty, dkk, 2009).

Konsumsi merupakan agregat dalam penjumlahan dari pengeluaran seluruh rumah tangga yang ada dalam perekonomian dan merupakan komponen terpenting karena :

1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga memiliki porsi terbesar dalam pengeluaran agregat.

2. Konsumsi rumah tangga bersifat endogenus. Dalam arti, besarnya konsumsi rumah tangga berkaitan erat dengan faktor-faktor lain yang dianggap mempengaruhinya.

3. Perkembangan masyarakat yang begitu cepat menyebabkan perilaku-perilaku konsumsi juga berubah cepat (Curatman, 2010).

Menurut Paryudi dalam Pertiwi (2000) setiap orang atau keluarga mempunyai tingkat kebutuhan konsumsi yang dipengaruhi oleh pendapatan. Kondisi pendapatan seseorang akan mempengaruhi tingkat konsumsinya, semakin tinggi pendapatan, semakin banyak jumlah barang yang dikonsumsi. Sebaliknya,

semakin sedikit pendapatan semakin berkurang jumlah barang yang dikonsumsi bila konsumsi ingin ditingkatkan sedangkan pendapatan tetap, terpaksa tabungan digunakan akibatnya tabungan berkurang.

Menurut Badan Pusat Statistik (2017) pengeluaran rumah tangga adalah pengeluaran per kapita untuk konsumsi pangan dan konsumsi non pangan.

Konsumsi pangan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau dan sirih. Konsumsi non pangan mencakup perumahan, sandang, biaya kesehatan, sekolah dan sebagainya. Total pengeluaran rumahtangga dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Tabel 1. Pengeluaran Rumah Tangga

No Konsumsi Pangan No Konsumsi Non Pangan

1 Padi-padian 1 Perumahan dan Fasilitas Rumah Tangga

2 Umbi-umbian 2 Aneka barang dan jasa

3 Ikan 3 Pakaian, alas kaki, dan penutup kepala

4 Daging 4 Barang-barang tahan lama

5 Telur, susu 5 Pajak pemakaian dan asuransi 6 Sayur-sayuran 6 Keperluan pesta dan upacara 7 Kacang-kacangan 7 Pengeluaran lainnya

8 Buah-buahan 9 Minyak dan lemak 10 Bahan minuman 11 Bumbu-bumbuan

12 Makanan dan minuman jadi 13 Tembakau dan sirih

Sehingga total pengeluaran rumah tangga dapat dirumuskan sebagai berikut : C = C1 + C2

Keterangan:

C = Total pengeluaran rumahtangga C1 = Pengeluaran untuk konsumsi pangan C2 = Pengeluaran untuk konsumsi non pangan

Dengan demikian pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencapai titik maksimum sementara kebutuhan non pangan tidak akan ada batasnya. Dengan demikian, besaran pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Dengan kata lain, semakin tinggi pengeluaran untuk pangan, berarti semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan.

Sebaliknya, semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut semakin sejahtera (Mulyanto dalam Pertiwi, 2005).

Besarnya jumlah pengeluaran keluarga tergantung dari banyak faktor, antara lain:

1. Besarnya pendapatan keluarga yang tersedia (setelah dipotong pajak dan potongan-potongan lain)

2. Besarnya keluarga dan susunannya (Jumlah anak, umur anak) 3. Taraf pendidikan dan status sosial dalam masyarakat

4. Lingkungan sosial-ekonomi (desa, kota kecil, kota besar)

5. Agama dan adat kebiasaan (misalnya pesta seperti Idul Fitri, Natal, Tahun Baru)

6. Musim (panen/paceklik, masa ujian/pendaftaran sekolah) 7. Kebijakan dalam mengatur keuangan keluarga

8. Pengaruh psikologi (iklan yang menarik, mode-mode baru, pandangan masyarakat tentang apa yang menaikkan gengsi)

9. Harta kekayaan yang dimiliki (tanah, rumah, uang) (Gilarso, 2004).

2.1.2Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan rill dari seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Pendapatan keluarga merupakan balas karya atau jasa atau imbalan yang diperoleh karena sumbangan yang diberikan dalam kegiatan produksi (Wulandari, 2015).

Pendapatan berbentuk pendapatan nominal dan pendapatan rill.Pendapatan nominal adalah pendapatan seseorang yang diukur dalam jumlah satuan uang yang diperoleh. Sedangkan pendapatan rill adalah pendapatan seseorang yang diukur dalam jumlah barang dan jasa pemenuh kebutuhan yang dapat dibeli, dengan membelanjakan pendapatan nominalnya (uangnya). Apabila pendapatan nominal seseorang meningkat, sementara harga barang-barang/jasa tetap (tidak naik), maka orang tersebut akan lebih mampu membeli barang/jasa tetap (tidak naik) untuk memenuhi kebutuhannya, yang berarti tingkat kesejahteraannya meningkat pula (Sitio dan Halomoan, 2001).

Penghasilan keluarga dapat diterima dalam bentuk uang, dapat juga dalam bentuk barang (disebut "in natura" misalnya tunjangan beras, hasil dari sawah atau pekarangan sendiri), atau fasilitas-fasilitas (misalnya rumah dinas, pengobatan gratis). Yang dihitung sebagai penghasilan keluarga adalah segala bentuk balas karya yang diperoleh sebagai imbalan atau balas jasa atas sumbangan seseorang terhadap proses produksi. Konkretnya penghasilan keluarga dapa bersumber pada 1. Usaha sendiri (misalnya berdagang, wiraswasta)

2. Bekerja pada orang lain (misalnya karyawan atau pegawai)

3. Hasil dari milik (misalnya punya sawah atau rumah disewakan) (Gilarso, 2004).

Salah satu aspek yang sangat penting dalam penentuan upah adalah jumlah upah yang diterima karyawan harus memiliki internal equity dan external equity.

Internal equity adalah jumlah yang diperoleh atau dipersepsi sesuai dengan input yang diberikan dibandingkan dengan pekerjaan yang sama dalam perusahaan.

External equity merupakan jumlah yang diterima dipersepsi sesuai dengan jumlah yang diterima dibandingkan dengan yang diterima dalam pekerjaan yang sejenis di luar organisasi. Oleh karena itu, untuk mengusahakan adanya equity, penentuan upah oleh perusahaan dapat ditempuh dengan :

1. Menganalisis jabatan/tugas 2. Mengevaluasi jabatan 3. Melakukan survei upah, dan

4. Menentukan tingkat upah (Kadarisman, 2014).

2.1.3 Insentif dan Tunjangan 2.1.3.1 Insentif

Insentif merupakan bentuk pembayaran langsung yang didasarkan atau dikaitkan langsung dengan kinerja dan gain sharing yang dengan kinerja dimaksudkan sebagai pembagian keuntungan bagi pegawai akibat peningkatan produktivitas atau penghematan biaya. Kedua bentuk di atas pada umumnya dilakukan sebagai strategi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi oleh perusahaan/

organisasi dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam dunia bisnis (Kadarisman, 2014).

Berbagai sistem insentif yang dikenal dewasa ini dapat digolongkan pada dua kelompok utama, yaitu sistem insentif pada tingkat individual dan pada tingkat kelompok yang termasuk pada sistem insentif individual ialah piecework, bonus

produksi, komisi, kurva, kematangan dan insentif bagi para eksekutif. Sedangkan sistem insentif pada tingkat kelompok mencakup, antara lain insentif produksi, bagi keuntungan dan pengurangan biaya (Siagian, 2004).

a. Bonus

Insentif dalam bentuk bonus diberikan pada karyawan yang mampu bekerja sedemikian rupa sehingga tingkat produksi yang baku terlampaui. Melampaui tingkat produksi itu dapat dalam salah satu dari tiga bentuk. Pertama, berdasarkan jumlah unit produksi yang dihasilkan dalam satu kurun waktu tertentu. Jika jumlah unit produksi yang dihasilkan melebihi jumlah yang telah ditetapkan, karyawan menerima bonus atas kelebihan jumlah yang dihasilkannya itu. Kedua, apabila terjadi penghematan waktu. Artinya, jika karyawan menyelesaikan tugas dengan hasil yang memuaskan dalam waktu yang lebih singkat dari waktu yang seharusnya, karyawan yaang bersangkutan menerima bonus dengan alasan bahwa dengan menghemat waktu itu, lebih banyak pekerjaan yang dapat diselesaikan.

Ketiga, bonus yang diberikan berdasarkan perhitungan progresif. Artinya, jika seorang karyawan makin lama makin mampu memproduksikan barang dalam jumlah yang semakin besar, makin besar pula bonus yang diterimanya untuk setiap kelebihan produk yang dihasilkannya (Siagian, 2004).

b. Premi

Selain jenis insentif yang telah disebutkan di atas, menurut Kadarisman (2014) bentuk insentif lain adalah premi (work premium). Premi (work premium) sebagai penghasilan yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi kerja pegawai terkait dengan upaya perusahaan untuk mengompensasi kondisi lingkungan kerja yang

kurang nyaman, seperti pada kasus keharusan pegawai untuk bekerja lembur atau bekerja bergiliran (shift).

c. Upah Lembur

Menurut peraturan ketenagakerjaan di Indonesia, pegawai atau pekerja yang bekerja selama lebih dari 40 jam dalam seminggu, maka terhadap kelebihan jam kerja ini perusahaan harus membayarkan upah lembur (Arifin dan Fauzi, 2007).

2.1.3.2 Tunjangan

Terdapat dua kelompok perusahaan yang masih menerapkan kebijakan memberikan tunjangan. Kelompok pertama adalah perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam BUMN (Badan Usaha Milik Negara), sedangkan kelompok kedua adalah perusahaan swasta yang masih dikelola secara tradisional, khususnya dalam manajemen sumber daya manusia. Cara lain memberikan tunjangan adalah dengan memberikan bermacam-macam fasilitas dan kemudahan bagi pimpinan dan karyawan (antara lain rumah dinas, kendaraan dinas, pelayan, pengemudi, penjaga keamanaan, dan tukang kebun untuk Direksi atau pejabat tinggi lainnya) (Ruky, 2001).

2.1.4 Jumlah Tanggungan

Selain faktor ekonomi seperti pendapatan, harga, dan ketersediaan barang, kegiatan konsumsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi. Faktor-faktor non ekonomi itu diantaranya jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, tempat tinggal, serta lingkungan sosial, budaya, agama dan adat istiadat. Semakin banyak jumlah anggota atau tanggungan keluarga, semakin

banyak pula jumlah dan jenis konsumsi keluarga yang bersangkutan (Deliarnov, 2006).

Jumlah anggota keluarga atau rumah tangga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi suatu barang dan jasa. Rumah tangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak akan membeli dan mengkonsumsi beras, daging, sayuran, dan buah-buahan yang lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki anggota lebih sedikit (Sumarwan, 2002)

2.1.5 Ekonomi Rumah Tangga

Ada dua segi masalah yang dihadapi rumah tangga keluarga. Penghasilan menjadi masalah karena selalu kurang dan pengeluaran menjadi masalah karena selalu bertambah terus. Maka, tantangan yang dihadapi dalam mengelola ekonomi rumah tangga ialah : pertama, bagaimana mendapatkan penghasilan yang cukup untuk hidup atau bagaimana mencari uang, dan kedua, bagaimana

mendayagunakan semaksimal mungkin setiap rupiah yang dimiliki (Gilarso, 2004).

2.1.6 Konsumerisme

Konsumerisme merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang – barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan.

Menurut Sassateli dalam Laliska (2011) menjelaskan bahwa konsumerisme mengandung unsur kebudayaan material. Dengan apa yang dimaksudkan dengan

"kebudayaan material" adalah kumpulan objek, baik yang dibuat oleh manusia

ataupun bukan yang menjadi bermakna melalui berbagai kegiatan yang dilakukan manusia dan sebaliknya akan memberikan makna pada berbagai kegiatan tersebut.

Dalam tulisan Sassateli juga menyatakan konsumerisme "a continnous and unremitting seacrh for new, fashionable, but superflous things" sehingga dengan menyebarnya konsumerisme orang-orang senantiasa berusaha untuk menemukan berbagai macam barang yang dinilai modern, tetapi sesungguhnya tidak diperlukan.

Menurut Sumartono dalam Dalila (2016) mendefinisikan perilaku konsumtif adalah membeli barang tanpa pertimbangan rasional atau bukan atas dasar kebutuhan dan suatu perilaku yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang tidak rasional lagi. Beberapa indikator perilaku konsumtif yaitu:

a. Membeli produk karena iming-iming hadiah

Individu membeli suatu barang karena adanya hadiah yang ditawarkan jika membeli barang tersebut.

b. Membeli produk karena kemasannya menarik

Individu sangat mudah terbujuk untuk membeli produk yang dibungkus dengan rapi dan dihias dengan warna-warna yang menarik. Artinya motivasi untuk membeli produk tersebut hanya karena produk tersebut dibungkus dengan rapi dan menarik.

c. Membeli produk demi menjaga penampilan dan gengsi

Individu mempunyai keinginan yang tinggi, karena pada umumnya remaja mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya

dengan tujuan agar konsumen selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain. Konsumen membelanjakan uangnya lebih banyak untuk menunjang penampilan diri.

d. Membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat dan kegunaannya)

Individu cenderung berperilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah sehingga cenderung menggunakan segala hal yang dianggap paling mewah.

e. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status

Individu mempunyai kemampuan membeli yang tinggi baik dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya sehingga hal tersebut dapat menunjang sifat eksklusif dengan barang yang mahal dan memberi kesan berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi. Dengan membeli suatu produk dapat memberikan simbol status agar kelihatan lebih keren dimata orang lain.

f. Memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan

Individu cenderung meniru perilaku tokoh yang diidolakannya dalam bentuk menggunakan segala sesuatu yang dipakai oleh tokoh idolanya. Konsumen juga cenderung memakai dan mencoba produk yang ditawarkan bila ia mengidolakan public figure produk tersebut.

g. Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi

Individu sangat terdorong untuk mencoba suatu produk karena mereka percaya apa yang dikatakan oleh iklan yaitu dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan

bahwa dengan membeli produk yang mereka anggap dapat mempercantik penampilan fisik, mereka akan menjadi lebih percaya diri.

h. Mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda)

Individu akan cenderung menggunakan produk jenis sama dengan merek yang lain produk sebelumnya ia gunakan, meskipun produk tersebut belum habis dipakainya.

2.1.7 Sensitivitas Lingkungan

Sensitivitas sosial merupakan kemampuan untuk merasakan dan mengamati reaksi-reaksi atau perubahan orang lain yang ditunjukkannya baik secara verbal maupun nonverbal (Susanto, 2015).

Karakter sosial dapat mengidentifikasi kepribadian seseorang. Kepribadian tersebut dibagi menjadi dua yaitu sebagai inner directedness sampai kepada other- directedness. Konsumen yang berkepribadian sebagai inner directednessakan berorientasi kepada dirinya dalam membeli produk dan jasa. Mereka akan menggunakan nilai-nilai yang dianutnya mengevaluasi produk dan jasa.

Sedangkan konsumen sebagai other-directedness cenderung mempertimbangkan nilai-nilai yang dianut oleh orang-orang sekelilingnya agar bisa diterima oleh

mereka. Mereka berorientasi kepada orang-orang sekelilingnya (Sumarwan, 2002).

Menurut Alfred Adler dalam Ahmadi (2007) menegaskan bahwa jiwa manusia adalah merupakan kesatuan, sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, dan mereaksi lingkungan juga secara keseluruhan. Individu yang satu berbeda dengan individu yang lain. Oleh karena itu, apabila individu yang satu dibandingkan dengan

individu yang lain, akan nampak perkembangan yang berbeda-beda, walaupun keadaan kehidupannya sama.

Teori Psikologis dapat memberikan pengetahuan yang sangat penting tentang alasan-alasan menyangkut perilaku pembelian seseorang. Kepribadian dapat didefinisikan sebagai serangkaian sikap dan kepercayaan seseorang yang dicerminkan dalam perilaku. Banyak orang yang merasa tidak puas dengan situasi yang ada, atau jika mereka puas, kepuasan itu hanya bersifat sementara. Banyak juga orang yang ingin membeli barang-barang yang lebih besar, lebih bagus, lebih antik atau lebih mewah tanpa memperhatikan posisinya. Tindakan seseorang yang tidak direncanakan akan mudah sekali menimbulkan akibat-akibat yang kurang baik. Namun tidak berarti bahwa akibat yang ditimbulkan selalu tidak baik (Swastha, 2001).

2.2. Landasan Teori 2.2.1 Hukum Engel

Menurut Sudarman dalam Isma (2010) mengatakan Seorang ahli ekonomi yang bernama Christian Lerent Even Engel mengemukakan sebuah "hukum konsumsi".

Hukum ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan pada abad 19 di Eropa. Menurut pendapat Engel, semakin miskin suatu keluarga atau bangsa, akan semakin besar pula persentase pengeluaran yang digunakan untuk barang pangan.

Nicholson (2002) menjelaskan mengenai Hukum engel yang dikemukakan oleh salah satu pakar ekonomi Prusia, Ernest Engel (1821-1896). Ernest Engel mengemukakan bahwa bagian pendapatan dari rumahtangga yang digunakan untuk belanja makanan cenderung menurun jika pendapatannya meningkat, yang

berarti semakin rendah penghasilan seseorang maka semakin besar proporsi pengeluaran yang dikeluarkan untuk konsumsi pengeluaran makanan atau pangan.

Dari studi perbandingan yang dilakukan Engel antar negara menujukkan bahwa pada umumnya masyarakat di negara berkembang membelanjakan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk membeli makanan jika dibandingkan dengan negara maju.

2.2.2 Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (Relative Income Hypothesis)

Dalam Waluyo (2007) menjelaskan mengenai teori konsumsi dengan menggunakan hipotesis pendapatan relatif yang dikemukakan oleh James Dusenberry dengan bukunya "Income, Saving and the Theory of Consummer Behavior". Di dalam teori Dusenberry menggunakan dua asumsi yang digunakan untuk mengamati faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi seseorang, yaitu :

1. Selera rumah tangga atas barang konsumsi adalah inter dependen. Artinya pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya (tetangga). Jadi faktor lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi. Sebagai misal, seseorang yang memiliki kemampuan pengeluaran konsumsi yang sederhana tinggal di tempat/wilayah masyarakat yang pengeluaran konsumsinya serba kecukupan (serba mewah), secara otomatis ada rangsangan dari orang tersebut untuk mengikuti pola konsumsi di masyarakat sekitarnya (demonstration effect), begitupun sebaliknya.

2. Pengeluaran konsumsi adalah Irreversible, artinya pola pengeluaran pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami penurunan. Di dalam pengertian disini dikatakan bahwa pengeluaran konsumsi seseorang dalam jangka pendek dapat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan relatif. Pendapatan relatif adalah pendapatan tertinggi yang pernah dicapai oleh seseorang. Sebagai misal, apabila pendapatan seseorang mengalami kenaikan maka secara otomatis konsumsi juga mengalami kenaikan dengan proporsi tertentu, dan seterusnya bila pendapatan mengalami penurunan, maka juga akan diikuti oleh penurunan konsumsinya.

Akan tetapi proporsi penurunannya lebih kecil dibandingkan proporsi akibat kenaikan pendapatan tadi.

a. Dari hasil pengujian maka lingkungan sosial, Budaya dan Psikologi konsumen mempuyai pengaruh signifikan secara parsial terhadap keputusan pembelian secara online.

b. Dari hasil pengujian bahwa pengaruh Lingkungan Sosial mempuyai pengaruh yang paling besar terhadap keputusan pembelian secara online.

Lanjutan Tabel 2. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh antara konsep produk dengan perilaku konsumen, terdapat pengaruh antara budaya konsumsi dengan perilaku konsumen, serta terdapat pengaruh keluarga dengan perilaku konsumen.

Konsumsi rumahtangga petani wortel dipengaruhi nyata oleh pendapatan rumahtangga dan jumlah anggota keluarga.

Sedangkan jumlah anak sekolah, tingkat pendidikan kepala rumah tangga tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi rumahtangga. signifikan variabel faktor sosial, budaya, pribadi dan motivasi dengan uji F (uji menyeluruh) terhadap persepsi konsumsi pangan pokok non beras di Jakarta Timur.

Berdasarkan hasil Uji regresi terlihat bahwa variabel Faktor pribadi adalah variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap persepsi konsumsi pangan pokok non beras.

2.4. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dilakukan di PTPN III Kebun Bangun yang berada di Kabupaten Simalungun dengan sasaran responden dalam penelitian ini adalah karyawan produksi kelapa sawit. Setiap karyawan memiliki pengeluaran untuk konsumsi yang berbeda-beda karena setiap karyawan memiliki pendapatan keluarga yang berbeda-beda pula.

Pola konsumsi merupakan susunan atau pola terhadap konsumsi pangan dan konsumsi non pangan karyawan. Pola konsumsi setiap karyawan dapat bervariasi, dikarenakan adanya perbedaan pada pendapatan keluarga, insentif dan tunjangan, jumlah tanggungan, manajemen ekonomi rumah tangga, konsumerisme, sensitivitas, dan golongan kerja karyawan.

Tingkat konsumsi karyawan dapat diketahui dari pola konsumsi pangan dan konsumsi non pangan. Sehingga dari pola tersebut dapat diketahui tingkat konsumsi tertinggi karyawan.

Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Keterangan :

: Menyatakan Pengaruh : Menyatakan Alur

Karyawan Produksi Kelapa Sawit

1. Insentif

2. Jumlah Tanggunan 3. Kemampuan Mengatur

Ekonomi Rumah Tangga 4. Golongan kerja

Gaji Sebagai Karyawan

Pendapatan Suami dan Istri Selain Sebagai Karyawan

Pola Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi

Pangan

Konsumsi Non Pangan

Pendapatan Keluarga

Tingkat Konsumsi Rumah Tangga

Konsumerisme

Sensitivitas Lingkungan

2.5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa secara serempak dan parsial pendapatan keluarga, insentif, jumlah tanggungan, kemampuan mengelola ekonomi rumah tangga, konsumerisme, sensitivitas lingkungan dan golongan kerja berpengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi rumah tangga karyawan.

3.1. Metode Lokasi Penelitian

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) di PTPN III Kebun Bangun, Kabupaten Simalungun dengan pertimbangan bahwa Setiap karyawan memiliki produksi yang berbeda-beda sehingga terdapat perbedaan pendapatan, serta terdapat perbedaan jumlah tunjangan dan insentif yang diperoleh serta keadaan lingkungan tempat tinggal yang dapat mengakibatkan tingkat konsumsi karyawan menjadi lebih bervariasi.

3.2. Metode Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah karyawan produksi kelapa sawit di PTPN III Kebun Bangun. Besar populasi di lokasi penelitian adalah 84 orang. Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Slovin dengan tingkat kesalahan 10%. Sehingga besar sampel dapat dihitung dengan rumus berikut ;

n = 𝑁

𝑁 𝑑 2+1

Dimana :

n = Ukuran Sampel N = Ukuran Populasi d= tingkat kesalahan (10%)

Maka didapat besar sampel penelitian sebagai berikut :

n = 91

91 0,1 2+1 = 47,6 = 48 orang

Jadi, besar sampel yang akan diteliti sebanyak 48 karyawan produksi kelapa sawit.

Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak (Random Sampling) dengan menggunakan cara Proportionate Cluster Random Sampling. Karena di PTPN III Kebun Bangun terdiri dari 4 Afdeling pemilihan sampel dilakukan secara acak dari setiap Afdeling. Jumlah sampel karyawan produksi kelapa sawit sebagai berikut:

Tabel 3. Jumlah Sampel Karyawan Produksi Kelapa Sawit di PTPN III Kebun Bangun

No Batasan Populasi

(Orang)

Sampel (Orang)

1 Afdeling 1 20 20/91x48 = 11

2 Afdeling 2 11 11/91x48 = 6

3 Afdeling 3 30 30/91x48 = 16

4 Afdeling 4 30 30/91x48 = 16

Jumlah 91 48

Sumber : Kantor Kebun Bangun (2018)

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dilapangan dengan melalui pembagian

Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dilapangan dengan melalui pembagian

Dokumen terkait