• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.5.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk wawasan pengetahuan dalam penguatan pendidikan karakter bagi siswa SD khususnya karakter tanggung jawab pada kegiatan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) melalui tipe pengondisian operan.

7 1.5.2. Manfaat Praktis

a. Bagi Sekolah

Penelitian ini bermanfaat bagi sekolah, karena dapat mengembangkan program-program sekolah dalam merencanakan penanaman pendidikan karakter khususnya karakter tanggung jawab.

b. Bagi Guru

Penelitian ini bermanfaat menjadi bahan referensi guru untuk mengetahui karakter tanggung jawab siswa pada kegiatan PTMT dan sebagai acuan guru untuk mengembangkan karakter tanggung jawab siswa melalui tipe pengondisian operan.

c. Bagi Siswa

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, siswa dapat mengetahui karakter tanggung jawab siswa pada kegiatan PTMT.

d. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat dijadikan referensi peneliti lain dalam mengembangkan karakter tanggung jawab siswa SD melalui tipe pengondisian operan pada kegiatan PTMT.

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Konseptual

Pada deskripsi konseptual ini, peneliti akan menguraikan mengenai: (1) Karakter Tanggung Jawab, (2) Pengondisian Operan, dan (3) Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT).

2.1.1. Pendidikan Karakter

2.1.1.1. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan memiliki peran penting dalam kelangsungan hidup manusia, karena pada dasarnya pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik dalam hal kepribadian, moral, maupun karakter yang baik. Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan.

Pembiasaan untuk berbuat baik, pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang, malu bersikap malas, dan malu membiarkan lingkungannya kotor.

Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal (Shobahiya & Suseno, 2013).

Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang apa yang baik, sehingga peserta didik menjadi paham, mampu merasakan dan mau melakukan yang baik (Fahmi dkk, 2021). Pendidikan karakter juga mengharapkan adanya pertumbuhan moral setiap individu dalam rangka mewujudkan manusia yang berakhlak mulia. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Aeni (2014) menjelaskan bahwa pendidikan karakter dapat disebut juga sebagai pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan dunia afektif, pendidikan akhlak, atau pendidikan budi pekerti.

Pendidikan karakter merupakan usaha yang dilakukan oleh para anggota sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat untuk membantu anak-anak agar memiliki sifat peduli, berpendirian,

9

dan bertanggung jawab (Purwanti. 2017). Pendidikan karakter tidak hanya menumbuhkan sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab, namun juga sebuah usaha menjadikan manusia mempunyai segala nilai kebaikan dalam dirinya.

Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Rusmana (2019) yang menyatakan bahwa pendidikan karakter diartikan sebagai usaha dalam membangun dan terus meningkatkan karakter seseorang sesuai dengan nilai-nilai agar menjadi manusia yang mengetahui, mencintai dan melaksanakan kebaikan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, dan terhadap lingkungan serta mempraktikkannya dalam kehidupannya sehari-hari.

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai pengertian pendidikan karakter menurut para ahli, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter mengindikasikan bahwa karakter identik dengan akhlak dan kepribadian. Pendidikan karakter dapat membantu terjadinya pembentukan karakter manusia yang dapat dilakukan melalui penanaman karakter yang tercermin dari perilaku yang konsisten. Pendidikan karakter merupakan bentuk usaha untuk menumbuhkan kepribadian khusus yang dilihat dari perilaku positif yang melekat pada diri manusia dan bertujuan untuk membentuk akhlak yang mulia, bertanggung jawab, kreatif, mandiri, berilmu, dan berguna bagi diri sendiri, bangsa, dan negara.

2.1.1.2. Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter harus memperkenalkan nilai-nilai inti sebagai landasan bagi pembentukan karakter yang baik, sekolah harus dapat menjadi komunikasi yang peduli, seluruh staf sekolah harus menjadi komunikasi belajar dan komunitas moral yang saling berbagi tanggung jawab bagi keberlangsungan pendidikan karakter. Prinsip-prinsip pendidikan karakter di sekolah akan terlaksana dengan lancar, jika guru dalam pelaksanaannya memperhatikan beberapa prinsip pendidikan karakter. Kemendiknas (2010) memberikan rekomendasi 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif sebagai berikut:

1) Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter;

2) Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku;

10

3) Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter;

4) Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian;

5) Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik;

6) Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses;

7) Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada pada peserta didik;

8) Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggungjawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama;

9) Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter;

10) Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter;

11) Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.

Berdasarkan pada prinsip-prinsip yang direkomendasikan oleh Kemendiknas tersebut, Budimansyah (2010) berpendapat bahwa program pendidikan karakter di sekolah perlu dikembangkan dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Pendidikan karakter di sekolah harus dilaksanakan secara berkelanjutan (kontinuitas). Hal ini mengandung arti bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter merupakan proses yang panjang, mulai sejak awal pserta didik masuk sekolah hingga mereka lulus sekolah pada suatu pendidikan.

2) Pendidikan karakter hendaknya dikembangkan melalui semua mata pelajaran (terintegrasi), melalui pengembangan diri dan budaya suatu satuan pendidikan. Pembinaan karakter bangsa dilakukan dengan mengintegrasikan dalam seluruh mata pelajaran, sehingga semua mata pelajaran diarahkan pada pengembangan nilai-nilai karakter tersebut.

11

Pengembangan nilai karakter juga dapat dilakukan dengan melalui pengembangan diri, baik melalui konseling 13 maupun kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan kepramukaan dan lain sebagainya.

3) Sejatinya nilai-nilai karakter tidak diajarkan (dalam bentuk pengetahuan), jika hal tersebut diintegrasikan dalam mata pelajaran. Kecuali bila dalam bentuk mata pelajaran agama (yang didalamnya mengandung ajaran) maka tetap diajarkan dengan proses, pengetahuan (knowing), melakukan (doing), dan akhirnya membiasakan (habit).

4) Proses pendidikan dilakukan peserta didik dengan secara aktif dan menyenangkan. Proses ini menujukkan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Sedangkan guru menerapkan prinsip “tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan oleh agama.

Sedangkan menurut Wiyani (2013) prinsip-prinsip pendidikan karakter merangkum dalam tujuan karakter dasar yaitu jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli, dan kerja keras. Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa prinsip pendidikan karakter sebagai landasan dari pembentuk karakter yang baik saling bertanggung jawab bagi berlangsungnya pendidikan karakter sesuai dengan tujuan karakter dasar yang berlangsung secara berkelanjutan, melalui semua mata pelajaran, nilai-nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan, dan proses pendidikan dilakukan peserta didik dengan aktif dan menyenangkan.

2.1.2. Karakter Tanggung Jawab 2.1.2.1. Pengertian Karakter

Aktivitas pendidikan berupaya untuk membangun sumber daya manusia yang cerdas dan juga berkarakter mulia (Sagala, 2013). Berkarakter mulia berarti memiliki karakter positif atau berkepribadian baik. Memiliki karakter positif sangat diperlukan untuk menjadikan adanya hubungan-hubungan antar pribadi yang baik dan memiliki karakter tanggung jawab yang baik pula. Samrin (2016) mendefinisikan karakter identik dengan akhlak, etika, dan moral, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal meliputi seluruh aktivitas

12

manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda-beda. Karakter memiliki sifat yang tetap, sehingga dapat menjadi ciri khas atau tanda khusus pada setiap individu yang dapat membedakan individu satu dengan individu lainnya. Sejalan dengan pernyataan tersebut Maunah (2015) mengemukakan bahwa karakter adalah bentuk watak, tabiat, akhlak yang melekat pada pribadi seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi yang digunakan sebagai landasan untuk berpikir dan berperilaku sehingga menimbulkan suatu ciri khas pada individu tersebut. Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Keindahan dan kesempurnaan jasmani manusia menjadi lebih indah dan lebih elok dengan adanya sebuah karakter dalam diri. Contohnya berjalan adalah kemampuan jasmani manusia. Berjalannya manusia yang berkarakter akan indah dan membuat orang lain menjadi enak untuk melihatnya, karena gaya berjalannya tidak menunjukkan keangkuhan. Sebaliknya, orang yang berjalan dengan penuh keangkuhan dan menengadahkan wajahnya disertai dengan membusungkan dada, akan membuat orang lain merasa tidak sedap untuk melihatnya (Aeni, 2014).

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai pengertian karakter menurut para ahli, dapat disimpulkan bahwa karakter adalah unsur pokok dalam diri manusia sebagai hasil internalisasi diri yang melekat dan merupakan ciri khas/keunikan/identitas individu tersebut.

2.1.2.2. Pengertian Tanggung Jawab

Tanggung jawab merupakan karakter esensial dalam kehidupan manusia.

Rochmah (2016) mendefinisikan tanggung jawab sebagai sebuah substansi yang bersifat kodrati. Artinya karakter yang secara alami menjadi bagian dalam diri manusia. Tanggung jawab juga merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Apabila dalam penggunaan hak dan

13

kewajiban bisa tertib, maka akan timbul rasa tanggung jawab. Tanggung jawab yang baik adalah apabila antara perolehan hak dan penuaian kewajiban bisa saling seimbang. Hal ini sejalan dengan pendapat Prihastutia & Santa (2020) yang menyatakan bahwa karakter tanggung jawab merupakan perilaku yang harus dimiliki seorang individu untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Tanggung jawab juga dapat diartikan berkewajiban menanggung segala sesuatu yang telah diperbuat dengan segala resiko yang harus diterima. Samani dan Hariyanto (2020) menjelaskan bahwa tanggung jawab merupakan sebuah sikap dalam diri seseorang yang menunjukkan sikap mengetahui dan melaksanakan apa yang dilakukan sebagaimana yang diharapkan oleh orang lain. Tanggung jawab juga merupakan nilai moral penting dalam kehidupan masyarakat serta pertanggungan perbuatan orang tua dan diri sendiri (Nugraha & Nurani, 2021).

Sebagai pelajar yang baik, siswa harus memiliki karakter tanggung jawab, dalam hal ini tanggung jawab yang dimaksud adalah sebagai tugas yang mampu menyelaraskan dalam mencapai kompetensi siswa yang dimilikinya. Siswa yang tidak bertanggung jawab dalam belajar akan mendapatkan hasil yang kurang maksimal, sehingga siswa tidak dapat mengetahui seberapa besar hasil kemampuan dirinya. Guna mencapai cita-cita yang diinginkan sebagai seorang pelajar harus memiliki tanggung jawab yang penuh dalam segi belajarnya. Siswa yang memiliki rasa tanggung jawab belajar yang tinggi akan mencapai keinginan yang diinginkan (Syafitri, 2012).

Syafi'ah dan Sari (2020) juga berpendapat bahwa sikap tanggung jawab siswa yaitu perilaku siswa secara terencana untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai tanggung jawab menurut para ahli, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab adalah suatu keadaan dimana ada kesanggupan untuk menetapkan sikap terhadap suatu perbuatan dan ada kesanggupan untuk memikul resiko dari suatu perbuatan. Dengan kata lain, seseorang yang bertanggung jawab itu akan teguh dalam mengambil keputusan serta siap menanggung resiko atau konsekuensi yang ada dari sikapnya tersebut.

14 2.1.2.3. Indikator Tanggung Jawab

Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ialah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya. Tanggung jawab sudah menjadi kodrat manusia, yang artinya sudah menjadi bagian hidup manusia. Karakter tanggung jawab dapat dilihat dari beberapa indikator. Safitri (2017) menjelaskan indikator tanggung jawab ada 4 yaitu: 1) mengerjakan tugas dan pekerjaan rumah dengan baik, 2) bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan, 3) menyelesaikan tugas sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, 4) mengerjakan tugas kelompok secara bersama-sama.

Seorang siswa merupakan manusia yang harus bertanggung jawab saat proses belajar dan dalam lingkungan belajarnya. Tanggung jawab dalam belajar adalah kewajiban untuk menyelesaikan tugas yang telah diterima secara tuntas melalui usaha yang maksimal serta berani menanggung segala akibatnya. Sari &

Bermuli (2021) menyebutkan indikator tanggung jawab siswa yakni: 1) memiliki kesiapan belajar sebelum pembelajaran; 2) disiplin; 3) berpartisipasi aktif mengikuti pembelajaran; 4) mengerjakan dan menyelesaikan tugas tepat waktu; 5) berinisiatif untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas kelompok.

Individu yang bertanggung jawab adalah individu yang dapat memenuhi tugas dan kebutuhan dirinya sendiri, serta dapat memenuhi tugas tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya dengan baik. Sekolah merupakan lingkungan yang mewadahi proses belajar siswa, sehingga saat di sekolah pun siswa harus memiliki karakter tanggung jawab. Indikator tanggung jawab siswa di sekolah menurut Nur’aini & Lazim (2020) terbagi menjadi lima yaitu mengerjakan piket, mengerjakan tugas kelompok, mengerjakan tugas individu, menjaga kebersihan lingkungan sekolah, dan meminta maaf kepada teman jika bersalah.

Menjadi pribadi yang bertanggung jawab tidak melalui proses yang instan.

Pribadi harus dilatih secara terus-menerus, sehingga menjadi pribadi yang bertanggung jawab baik untuk diri sendiri, masyarakat maupun bangsa dan negara.

Kurinasih dan Sani (2014) menjelaskan ada tujuh indikator tanggung jawab yakni:

1) Melaksanakan tugas individu dengan baik; 2) Menerima resiko dan tindakan yang dilakukan; 3) Tidak menyalahkan/menuduh orang lain tanpa bukti yang

15

akurat; 4) Mengembalikan barang yang dipinjam; 5) Mengakui dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan; 6) Menepati janji; 7) Tidak menyalahkan orang lain untuk kesalahan tindakan sendiri.

Berdasarkan berbagai indikator tanggung jawab yang telah dikemukakan, peneliti menggunakan kelima indikator dari Sari & Bermuli (2021) yang meliputi:

1) memiliki kesiapan belajar sebelum pembelajaran; 2) disiplin; 3) berpartisipasi aktif mengikuti pembelajaran; 4) mengerjakan dan menyelesaikan tugas tepat waktu; 5) berinisiatif untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas kelompok.

Indikator ini dipilih karena menyangkut dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban sehingga dapat tercipta karakter tanggung jawab siswa terutama dalam kondisi Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT).

2.1.3. Pengondisian Operan

2.1.3.1 Pengertian Pengondisian Operan

Pengondisian operan adalah suatu proses penguatan perilaku operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan (Koeswara, 1991).

Skinner berpendapat bahwa kebanyakan perilaku manusia dipelajari melalui pengondisian operan. Menurut Supratiknya (1993) operan adalah respon yang beroperasi pada lingkungan dan mengubahnya, sehingga kunci dari pengondisian operan adalah penguatan yang langsung dari sebuah respon. Penguatan tidak menyebabkan suatu perilaku, namun meningkatkan kemungkinan dari perilaku yang sama untuk terjadi lagi.

Skinner yakin bahwa kita dapat memprediksikan, mengontrol, dan menjelaskan perkembangan-perkembangan manusia dengan melihat bagaimana prinsip perkuatan mampu menjelaskan tingkah laku individu pada saat ini sebagai akibat dari perkuatan terhadap respon-responnya di masa yang lalu (Supratiknya, 1993). Skinner juga menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan, maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Berdasarkan beberapa penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pengondisian operan adalah proses belajar dengan mengendalikan semua atau sembarang respon yang muncul sesuai konsekuensi

16

(resiko) yang mana organisme akan cenderung untuk mengulang respon-respon yang diikuti oleh penguatan.

2.1.3.2 Penguatan (Reinforcement) dan Hukuman (Punishment)

Menurut Skinner, pengondisian operan terdiri dari dua konsep utama yaitu:

A. Penguatan (Reinforcement)

Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Menurut Skinner, penguatan (reinforcement) memiliki dua efek yaitu memperkuat perilaku dan memberikan penghargaan pada orang tersebut (Feist J & Feist G, 2013). Oleh karena itu, penguatan dan penghargaan tidak sama. Setiap perilaku yang diberi penguatan tidak selalu bersifat memberikan penghargaan atau menyenangkan bagi orang tersebut. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Skinner lainnya yaitu bahwa pemerkuat itu terdiri dari dua jenis, yakni pemerkuat primer dan pemerkuat sekunder (Koeswara, 1991).

Pemerkuat primer atau disebut pemerkuat tak berkondisi (unconditioned reinforcer) adalah kejadian atau objek yang memiliki sifat perkuat secara inheren, contohnya yaitu makanan bagi orang yang lapar dan minuman bagi orang yang sedang haus. Nilai pemerkuat yang ada pada pemerkuat primer seperti makanan dan minuman itu bagi organisme terlepas dari belajar. Artinya, terhadap makanan dan minuman itu organisme tanpa melalui proses belajar pun akan menunjukkan respon yang nyata. Sedangkan pemerkuat sekunder adalah suatu hal, kejadian, atau objek yang memiliki nilai pemerkuat respon melalui kaitan yang erat dengan pemerkuat primer berdasarkan pengalaman pengondisian atau proses belajar pada organisme. Pemerkuat sekunder merupakan perpanjangan atau turunan dari pemerkuat primer. Pemerkuat sekunder juga disebut pemerkuat sosial, contohnya perhatian dan penerimaan atau persetujuan (approval).

Skinner (dalam Feist J & Feist G, 2013) membagi penguatan menjadi dua bagian, antara lain:

1. Penguatan Positif (Positive Reinforcement)

17

Penguatan positif (positive reinforcement) adalah setiap stimulus yang saat dimasukkan dalam situasi meningkatkan kemungkinan bahwa suatu perilaku akan terjadi. Bentuk-bentuk penguatan positif yaitu makanan, air, uang, persetujuan sosial, penghargaan dan kenyamanan fisik. Saat ditonjolkan dalam suatu perilaku, masing-masing mempunyai kapasitas untuk meningkatkan suatu respon. Kebanyakan dari perilaku manusia dan binatang dipelajari melalui penguatan positif.

2. Penguatan Negatif (Negative Reinforcement)

Penguatan negatif (negative reinforcement) yaitu menghilangkan suatu stimulus yang tidak disukai dari situasi dapat meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku sebelumnya akan terjadi. Bentuk-bentuk penguatan negatif yaitu menunda/tidak memberikan penghargaan, memberikan tugas tambahan, dan menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa, dan lain-lain).

Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa penguatan adalah usaha menguatkan sesuatu dengan tujuan tertentu. Penguatan dibagi menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif berbeda dari penguatan negatif, karena penguatan positif meliputi adanya stimulus yang menguntungkan (ada sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh) sementara penguatan negatif menuntut adanya suatu kondisi yang dihindari (ada sesuatu yang dikurangi atau dihilangkan).

B. Hukuman (Punishment)

Hukuman mempunyai beberapa karekteristik yang sama dengan penguatan.

Seperti adanya dua macam penguatan (positif dan negatif), terdapat juga dua macam hukuman. Hukuman pertama membutuhkan pemberian stimulus yang tidak disukai, sedangkan hukuman yang kedua melibatkan penghilangan suatu penguatan positif (Feist J & Feist G, 2013). Keduanya dapat diperoleh dari konsekuensi alami ataupun diberikan oleh manusia lain. Karakteristik yang terakhir, hukuman dan penguatan sama-sama merupakan cara untuk mengontrol perilaku, baik kontrol yang sudah dirancang ataupun yang terjadi kebetulan.

18

Namun demikian, penguatan negatif seharusnya tidak disamakan dengan hukuman. Penguatan negatif menghilangkan, mereduksi, dan menghindari stimulus yang tidak menyenangkan, sementara hukuman (punishment) adalah pemberian stimulus yang tidak menyenangkan, seperti setruman, atau menghilangkan stimulus yang menyenangkan, seperti memutuskan hubungan telepon seorang remaja (Feist J & Feist G, 2013). Penguatan negatif menguatkan suatu respons, sementara hukuman tidak. Walaupun hukuman tidak menguatkan suatu respons, tetapi tidak secara langsung melemahkan respons tersebut.

Skinner tidak mendukung digunakannya hukuman dalam rangka pembentukan perilaku, karena hukuman dalam jangka waktu yang panjang tidak mempunyai pengaruh, justru banyak segi negatifnya daripada segi positifnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Skinner bahwa hukuman dalam jangka panjang tidak akan efektif, tampak bahwa hukuman hanya menekan perilaku, dan ketika ancaman dihilangkan, tingkat perilaku akan ke level semula (Koeswara, 1991). Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa Skinner lebih percaya pada penguatan negatif yang tidak sama dengan hukuman. Bedanya dengan hukuman adalah, bila hukuman harus diberikan sebagai stimulus agar respon yang timbul berbeda dengan yang timbul sebelumnya, sedangkan penguatan negatif sebagai stimulus harus dikurangi agar respon yang sama menjadi kuat.

2.1.4. Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT)

Pendidikan di Indonesia selama masa pandemi COVID-19, mengalami perubahan aktivitas belajar yang berbeda dimulai sejak awal Maret 2020.

Pembelajaran jarak jauh menjadi alternatif yang paling efektif diterapkan selama negara Indonesia dilanda wabah COVID-19 untuk memutus rantai penyebaran yang semakin massif. Namun, proses pembelajaran jarak jauh selama penutupan sekolah akibat dampak COVID-19 tidak dapat dilaksanakan secara optimal karena berbagai keterbatasan, antara lain bahwa guru tidak dapat secara langsung memanfaatkan berbagai perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan platform pembelajaran online yang banyak tersedia dalam mendukung pelaksanaan

19

pembelajaran jarak jauh, baik karena kemampuan guru, faktor ekonomi orang tua, keterbatasan akses internet, maupun tidak adanya bimbingan. Secara umum, pembelajaran online yang dipaksakan menyisakan berbagai macam persoalan, antara lain akses internet yang terbatas, kesiapan guru, dan adaptasi siswa serta kompetensi guru dalam memanfaatkan teknologi dan informasi pembelajaran masih kurang (Supriatna, 2021).

Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah melakukan revisi kebijakan. Kebijakan Surat Keputusan Bersama 4 Menteri yang dikeluarkan di bulan Agustus 2020 mengalami revisi pada bulan November 2020 yang kemudian digunakan sebagai panduan pelaksanaan pembelajaran mulai semester genap tahun 2020/2021 atau paling lambat pada tahun ajaran 2021/2022. Kebijakan ini berisi apabila sebelumnya izin sekolah tatap muka masih melihat zona (hanya zona hijau dan kuning yang diperbolehkan tatap muka), maka dalam Surat Keputusan Bersama ini Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas dengan prosedur ketat yang sesuai dengan standar protokol kesehatan. Berdasarkan Instruksi Gubernur Jawa Tengah No. 10 Tahun 2021 tentang Implementasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4, Level 3, dan Level 2 Corona Virus Disease, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mulai mengizinkan sekolah melakukan pembelajaran tatap muka terbatas

Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah melakukan revisi kebijakan. Kebijakan Surat Keputusan Bersama 4 Menteri yang dikeluarkan di bulan Agustus 2020 mengalami revisi pada bulan November 2020 yang kemudian digunakan sebagai panduan pelaksanaan pembelajaran mulai semester genap tahun 2020/2021 atau paling lambat pada tahun ajaran 2021/2022. Kebijakan ini berisi apabila sebelumnya izin sekolah tatap muka masih melihat zona (hanya zona hijau dan kuning yang diperbolehkan tatap muka), maka dalam Surat Keputusan Bersama ini Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas dengan prosedur ketat yang sesuai dengan standar protokol kesehatan. Berdasarkan Instruksi Gubernur Jawa Tengah No. 10 Tahun 2021 tentang Implementasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4, Level 3, dan Level 2 Corona Virus Disease, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mulai mengizinkan sekolah melakukan pembelajaran tatap muka terbatas

Dokumen terkait