• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis bagi laporan keuangan dengan adanya IFRS :

a. Transparansi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang

periode yang disajikan.

b. Menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS.

2. Manfaat praktis dengan adanya IFRS :

a. Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional.

b. Meningkatkan arus investasi global melalui transparansi.

c. Menciptakan efisisiensi penyusunan laporan keuangan.

3. Kebijakan akuntansi yang diterapkan PT Mulia Industrindo :

Perusahaan dan anak perusahaan melakukan kebijakan akuntansi

atas tanah dan bangunan dan prasarana dari model biaya ke model

revaluasi. PSAK 16 revisi 2011 diterapkan per 1 januari 2012.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. International Financial Reporting Standards (IFRS)

1. Pengertian International Financial Reporting Standards (IFRS)

Menurut Pura (2012), “International Financial Reporting Standards (IFRS) adalah standar akuntansi international yang dapat

digunakan oleh perusahaan multinational untuk menjembatani perbedaan-perbedaan antarnegara dalam perdagangan global”.

Selanjutnya menurut Surya (2012), “IFRS adalah standard dan interprestasi yang diadopsi oleh International Accounting Standards Board (IASB), yang meliputi:

a. International Financial Reporting Standards (IFRS) b. International Accounting Standards (IAS)

c. Interprestasi yang dikembangkan oleh International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) yang dahulunya dikenal

sebagai Standing Interpratations Committee (SIC)

International Financial Reporting Standard (IFRS) merupakan

standar pencatatan dan pelaporan akuntansi yang berlaku secara internasional yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Boards (IASB), sebuah lembaga internasional yang bertujuan untuk

mengembangkan suatu standar akuntansi yang tinggi, dapat dimengerti, diterapkan, dan diterima secara internasional.

6

Perusahaan dapat menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas tinggi, dapat diperbandingkan dan transparan yang digunakan oleh investor di pasar modal dunia maupun pihak-pihak yang berkepentingan lainnya (stakeholder). Saat ini banyak negara-negara di Eropa, Asia, Afrika, Oseania dan Amerika yang menerapkan IFRS. Standar akuntansi internasional (International Accounting Standards/IAS) disusun oleh 4 organisasi utama dunia, yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC) dan Federasi Akuntansi Internasional (IFAC).

IFRS merupakan kelanjutan dari International Accounting Standards (IAS) yang sudah ada sejak tahun 1973 dan digunakan secara

luas oleh negara-negara di Eropa, Inggris dan negara-negara persemak-muran Inggris. IAS disusun oleh International Accounting Standards Committee (IASC). IASC bertahan sampai dengan 2001 dan perannya digantikan IASB.

2. Penerapan IFRS di Indonesia

Pengertian konvergensi IFRS yang digunakan merupakan awal

untuk memahami apakah penyimpangan dari PSAK harus diatur dalam

standar akuntansi keuangan. Pendapat yang memahami konvergensi IFRS

adalah full adoption menyatakan Indonesia harus mengadopsi penuh

seluruh ketentuan dalam IFRS, termasuk penyimpangan dari IFRS

sebagaimana yang diatur dalam IAS 1 (2009): Presentation of Financial

Statements paragraf 19-24. IFRS menekankan pada principle base

dibandingkan rule base.

Tujuan akhir dari konvergensi IFRS adalah PSAK sama dengan IFRS tanpa adanya modifikasi sedikitpun. Disisi lain, tanpa perlu mendefinisikan konvergensi IFRS itu sendiri, berdasarkan pengalaman konvergensi beberapa IFRS yang sudah dilakukan di Indonesia tidak dilakukan secara full adoption.

Sistem kepengurusan perusahaan di Indonesia yang memiliki dewan direksi dan dewan komisaris (dual board system) berpengaruh terhadap penentuan kapan peristiwa setelah tanggal neraca, sebagai contoh lain dari perbedaan antara PSAK dengan IFRS. Indonesia melalui Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) - Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sedang melakukan proses konvergensi IFRS dengan target penyelesaian tahun 2012. IFRS menekankan pada principle base dibandingkan rule base.

Indonesia telah mengadopsi IFRS secara penuh pada 2012, Strategi adopsi yang dilakukan untuk konvergensi ada dua macam, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS

sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan

oleh negara-negara maju. Sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS

dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara–negara

berkembang seperti Indonesia. Setelah adanya konvergensi penuh SAK

terhadap IFRS, maka entitas dengan akuntabilitas publik, seperti emiten,

perusahaan publik, perbankan, asuransi, dan BUMN wajib menerapkan IFRS dalam menyusun standar akuntansi dan laporan keuangan.

Setelah adanya konvergensi penuh SAK terhadap IFRS, maka entitas dengan akuntabilitas publik, seperti emiten, perusahaan publik, perbankan, asuransi, dan BUMN wajib menerapkan IFRS dalam menyusun standar akuntansi dan laporan keuangan.

B. Aset Tetap

1. Pengertian Aset Tetap Menurut Para Ahli

a. Menurut Surya (2012) : “Aset tetap (fixed assets) adalah aset berwujud yang dimiliki oleh perusahaan untuk digunanakan dalam produksi atau menyediakan barang atau jasa, untuk disewakan, atau untuk keperluan administrasi; dan diharapkan dapat digunakan lebih dari satu periode”.

b. Menurut Reeve (2010) : “Aset tetap adalah aset yang bersifat jangka panjang atau secara relatif memiliki sifat parmanen serta dapat digunakan dalam jangka waktu panjang. Aset ini merupakan aset berwujud karena memiliki bentuk fisik. Aset ini dimiliki dan digunakan oleh perusahaan dan tidak dijual sebagai bagian dari kegiatan normal”.

c. Menurut Rudianto (2002) : “Aktiva tetap adalah barang berwujud milik perusahaan yang sifatnya relative parmanen dan digunakan dalam kegiatan normal perusahaan, bukan untuk diperjualbelikan”.

2. Pengertian Aset Tetap Berdasarkan Standar

a. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam PSAK 16 (2011) yaitu:

(1) Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan

(2) Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.

b. International accounting standard (IAS) 16, Property, Plant and Equipment yang dikutip oleh Purba (2013) : “Aset tetap adalah aset

berwujud yang digunakan untuk menyediakan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lain atau untuk tujuan administratif dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode”.

Berdasarkan definisi tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki perusahaan untuk digunakan dalam produksi dan digunakan selama lebih dari satu periode akuntansi.

3. Pengakuan Aset Tetap

Menurut Purba (2013) Salah satu permasalahan akuntansi aset tetap adalah menentukan besarnya biaya yang harus diakui pada saat perolehan aset tersebut. Permasalahan perolehan aset tetap adalah menentukan besarnya harga perolehan (cost) aset tersebut yang diakui pada saat perolehan. Untuk menentukan besarnya harga perolehan aset tetap, identifikasi atas biaya-biaya yang dapat dikapitalisasi sebagai bagian dari harga perolehan harus dilakukan.

a. Biaya Perolehan Awal

Harga perolehan suatu aset tetap diakui hanya apabila manfaat

ekonomi aset tersebut akan diperoleh pada masa-masa yang akan

datang baik secara langsung maupun tidak langsung dan manfaat ekonomi tersebut dapat diukur dengan andal. Aset tetap yang memberikaan manfaat langsung dapat berupa mesin-mesin produksi, bangunan dan kendaraan.

Pada awal pengakuan aset tetap, biaya utama yang harus diakui adalah biaya penempatan awal, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset tetap, seperti harga beli, biaya pemasangan, biaya bongkar muat dan pasang. Biaya penempatan awal yang harus dikapitalisasi dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 1.1 Biaya Perolehan Awal

No. Jenis-Jenis Biaya Penjelasan

1. Harga Beli Harga beli adalah harga jual dari pemasok setelah dikurangi dari diskon dan rabat, termasuk bea impor dan pajak pertambahan nilai yang tidak dapat dikreditkan.

2. Biaya pemasangan asset

Biaya-biaya yang dibutuhkan untuk menempatkan aset tersebut ke lokasi dan kondisi hingga aset tersebut dapat dioperasikan sesuai dengan rencana manajemen. Contoh-contoh dari biaya ini adalah biaya tenaga kerja, biaya instalasi, biaya pengujian berjalan, dan biaya konsultan.

3. Biaya bongkar muat dan pasang

Biaya-biaya yang dibuthkan untuk membongkar dan menyiapkan tempat pemasangan aset tersebut.

Sumber: Purba. 2013. (Akuntansi Keuangan Aset Tetap dan Aset TakBerwujud).

Kapitalisasi biaya penghentian aset dan biaya pinjaman sangat lazim dijumpai dalam kasus akuisisi aset tetap, biaya pinjaman dan dan biaya penghentian aset dijelaskan sebagai berikut:

1) Biaya Pinjaman

Biaya pinjaman dapat dikapitalisasi apabila memenuhi ketentuan PSAK 26. Biaya pinjaman biasanya terdiri dari biaya bunga dan rugi selisih kurs yang berasal dari biaya bunga, biaya konsultan, notaris dan lain-lain yang terkait dengan pinjaman.

Berdasarkan PSAK 26, biaya pinjaman harus dikapitalisasi menjadi bagian aset tetap apabila dapat didistribusikan langsung terhadap akuisisi, kostruksi atau produksi aset tersebut. Dalam mengidentifikasi hubungan suatu pinjaman dan pengadaan aset tetap, manajemen harus melakukan evaluasi dan analisa atas kolerasi antara pinjaman dan perolehan aset tetap. Kapitalisasi biaya pinjaman harus dihentikan sementara apabila pembangunan atau pengadaan aset terhenti karena adanya kondisi yang tidak rutin atau tidak biasa. Kapitalisasi biaya pinjaman dihentikan secara permanen apabila aktivitas pembangunan atau penyiapan aset tersebut telah selesai atau aset telah siap untuk digunakan.

2) Biaya Penghentian Aset Tetap

Biaya yang wajib dikeluarkan oleh suatu entitas bisnis

pada saat penghentian penggunaan aset tetap.

b. Biaya Setelah Perolehan Awal

Biaya setelah perolehan awal adalah biaya-biaya yang dikeluarkan setelah suatu aset tetap digunakan. Biaya-biaya ini wajib dikapitalisasi atau diakui sebagai bagian harga perolehan aset tetap apabila biaya-biaya tersebut memenuhi kriteria untuk dikapitalisasi, yaitu memberikan manfaat ekonomi pada masa-masa yang akan datang baik secara langsung maupun tidak langsung dan manfaat ekonomi tersebut dapat diukur dengan andal.

Biaya-biaya perawatan dan pemeliharaan tidak memenuhi kriteria kapitalisasi, apabila manfaat ekonomi pada masa-masa yang akan dating yang tidak dapat diukur dengan andal. Contoh biaya reparasi yang dikapitalisasi sebagai elemen aset tetap adalah biaya-biaya spare-part yang masa manfaatnya lebih dari satu periode akuntansi dan menambah umur ekonomis aset tetap. Biaya spare-part yang sifatnya rutin dan tidak menambah usia aset tetap harus dibebankan pada tahun berjalan pada laporan laba rugi.

4. Pengukuran Setelah Pengakuan Awal

Perlakuan akuntansi untuk aset tetap pada pengukuran awal hanya

mengenal satu cara yaitu diukur sebesar nilai perolehan. Namun, hal ini

berbeda pada saat pengukuran setelah pengakuan awal. Metode penilaian

atau pengukuran untuk aset tetap setelah pengukuran awal yang

diperbolehkan di Indonesia terdiri dari dua metode. Hal ini tertuang dalam

PSAK 16 (2011) : Entitas memilih model biaya dalam paragraf 30 atau

model revaluasi dalam paragraf 31 sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama.

a. Model Biaya (Cost Model)

Berdasarkan PSAK 16 (2011) Setelah diakui sebagai aset, aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi penurunan nilai aset.

Menurut Azil (2009) dengan menggunakan model ini total nilai perolehan atas suatu aset tidak akan berubah selama tidak adatransaksi yang berkaitan dengan aset tetap tersebut. Transaksi yang dapat mempengaruhi nilai perolehan aset tetap antara lain pembelian, penjualan, penghapusan, pertukaran aset tetap, dan perbaikan aset tetap. Jadi, nilai perolehan aset tetap tidak akan berubah meskipun terjadi perubahan harga yang signifikan.

Menurut Purba (2013) Model biaya perolehan adalah pendekatan yang mengharuskan penggunaan harga perolehan sebagai nilai aset tetap setelah pengakuan awal. Sebelum diberlakukan PSAK 16, Model biaya adalah satu-satunya pendekatan yang digunakan dalam menilai aset tetap. Penyusutan dilakukan terhadap nilai tercatat aset atau harga perolehan setelah dikurangi akumulasi penyusutan dan penurunan nilai aset tetap.

Berdasarkan cost model, aset tetap akan diakui sebagai beban

secara bertahap selama masa manfaatnya. Pengakuan sebagai beban

tersebut dilakukan dengan melakukan depresiasi. Jadi entitas melakukan perhitungan depresiasi atas aset yang bersangkutan selama masa manfaatnya. Depresiasi itulah yang akan menjadi beban tiap periode.

Pada umumnya depresiasi termasuk dalam kategori beban operasi dalam pelaporan keuangan entitas. Pengecualiannya adalah depresiasi yang berhubungan dengan aset tetap yang berhubungan langsung dengan aktivitas produksi. Untuk aset tetap yang berhubungan langsung dengan aktivitas produksi depresiasinya dimasukkan dalam perhitungan biaya produksi.

Pada umumnya depresiasi hanya dihitung pada akhir periode akuntansi. Tetapi dalam hal tertentu depresiasi juga perlu dihitung walaupun bukan pada akhir periode. Contohnya adalah ketika terjadi transaksi yang berhubungan dengan pelepasan aset tetap. Pelepasan aset biasanya berhubungan dengan penjualan aset tetap, pertukaran aset, ataupun penghapusan aset yang tidak digunakan lagi.

Depresiasi yang dihitung oleh entitas pada tiap periode akan diakumulasikan dalam akun khusus yang disebut akumulasi depresiasi.

Jadi akumulasi depresiasi dapat dikatakan sebagai bagian dari nilai aset tetap yang sudah memberikan aliran manfaat ekonomis dan tidak lagi bisa memberikan tambahan aliran manfaat ekonomis.

Beban depresiasi tersebut akan dilaporkan sebagai beban

operasi dalam laporan laba rugi. Akumulasi depresiasi akan dilaporkan

dalam neraca sebagai pengurang nilai perolehan aset tetap. Nilai perolehan aset tetap dikurangi dengan akumulasi depresiasinya merupakan nilai buku dari aset tetap tersebut.

b. Model Revaluasi

Berdasarkan PSAK 16 (2011) setelah diakui sebagai aset, aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal. harus dicatat pada jumlah revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada akhir periode pelaporan.

Menurut Purba (2013) PSAK 16 mengijinkan aset tetap dengan menggunakan revaluation model dan fair value model. Model revaluasi mengharuskan aset tetap disajikan berdasarkan nilai revaluasi atau nilai wajar setelah dikurangi dengan akumulasi penyusutan. Nilai wajar adalah jumlah yang digunakan untuk mengukur aset yang dapat dipertukarkan melalui suatu transaksi wajar yang melibatkan pihak-pihak yang berkeinginan dan memiliki pengetahuan yang memadai.

PSAK 16 secara sederhana mendefinisikan nilai wajar sebagai jumlah

yang diperoleh dari penjualan aset dalam transaksi antara pihak-pihak

yang bebas. Berdasarkan PSAK 16, nilai wajar ditentukan dengan

menggunakan market-based evidence yang dilakukan oleh penilai

independen yang professional. Jika tidak terdapat market-based evidence, maka penilaian nilai wajar dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan “biaya pengganti yang disusutkan” atau depreciated replacement cost dan pendekatan “pendapatan”. Revaluasi

harus dilakukan terhadap kelompok aset, bukan aset secara individu, atau dengan kata lain revaluasi aset tidak dapat dilakukan secara sebagian – sebagian.

Secara konseptual, nilai wajar ditentukan dengan menggunakan tiga penentuan nilai wajar yaitu sebagai berikut:

(1) Harga pasar resmi pada pasar yang aktif.

(2) Harga aset sejenis pada suatu pasar yang aktif atau penilaian dengan observable input.

(3) Penilaian dengan unobservable input atau input yang diciptakan oleh manajemen.

Langkah yang pertama dilakukan dengan harga pasar resmi atau quoted market price pada suatu pasar yang aktif atau pasar dengan kondisi dimana terdapat permintaan dan penawaran. Di Indonesia, sangat sulit menemukan harga resmi suatu aset, karena memang tidak begitu banyak ditemukan pasar resmi.

Apabila harga pasar resmi tidak dapat diperoleh, maka nilai

wajar ditentukan dengan melakukan langkah kedua yaitu

menggunakan nilai aset sejenis atau price of similar assets pada suatu

pasar yang aktif. Apabila nilai aset sejenis juga tidak dapat diperoleh,

manajemen dapat menggunakan nilai wajar yang dihasilkan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai independen. Namun tidak semua penentuan nilai wajar harus melalui ketiga langkat tersebut. Dalam menentukan nilai wajar tanah dan bangunan, biasanya jasa penilai independen langsung digunakan karena menentukan harga pasar aset tersebut sulit dilakukan. dalam melakukan penilaian, hirarki teknik penilaian berikut ini harus dipilih.

Tabel 1.2 Penilaian Pendekatan Aset Tetap

No. Pendekatan Penjelasan

1. Market approach Menggunakan data yang diperoleh dari transaksi pasar.

2. Income approach

Menggunakan data nilai kini arus kas, dimana tingkat diskonto didasarkan pada ekspektasi pelaku pasar.

3. Cost approach Didasarkan pada jumlah uang yang diperlakukan menggantikan aset.

Seberapa seringkah revaluasi aset tetap dilakukan? Frekuensi revaluasi tergantung pada perubahan material dari nilai wajar aset yang direvaluasi. Revaluasi dilakukan terhadap kelompok aset secara individual. Berdasarkan PSAK 16 paragraf 35, teknik pencatatan revaluasi dapat dilakukan dengan dua teknik pencatatan sebagai berikut:

Sumber: Purba. 2013. (Akuntansi Keuangan Aset Tetap dan Aset TakBerwujud).

a. Penyajian kembali dilakukan secara proporsional terhadap nilai tercatat bruto aset sehingga nilai tercatatnya sama dengan nilai revaluasi atau;

b. Eliminasi dilakukan terhadap nilai tercatat bruto dan nilai tercatat neto disajikan kembali sehingga sama dengan nilai revaluasi.

Selisih antara nilai pasar wajar aset dengan nilai bukunya dibukukan pada akun surplus revaluasi (revaluation surplus) yang merupakan komponen ekuitas, bukan komponen laba rugi.

Berdasarkan PSAK 16, perlakuan akuntansi atas surplus revaluasi dilakukan sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 1.3 Perlakuan Akuntansi Atas Surplus Revaluasi

No. Kondisi Perlakuan Akuntansi

1. Penambahan nilai tercatat aset akibat revaluasi

Selisih diakui sebagai bagian dari ekuitas dengan membentuk pos baru bernama, ”surplus revaluasi”, 2. Penurunan nilai tercatat aset Selisih diakui sebagai rugi

tahun berjalan, 3. Penurunan nilai tercatat aset

yang sebelumnya mengalami penambahan akibat revaluasi

Selisih diakui sebagai pengurang terhadap “surplus revaluasi” hingga surplus tersebut habis atau hingga kembali ke original cost, dan apabila masih ada selisih maka selisih diakui sebagai rugi tahun berjalan,

4. Penambahan nilai tercatat Selisi diakui sebagai laba

aset yang sebelumnya mengalami penurunan

tahun berjalan hingga sebesar rugi yang diakui sebelumnya atau hingga kembali ke original cost, dan bila masih ada selisih, maka selisih diakui sebagai bagian

“surplus revaluasi”, 5. Pelepasan aset, baik melalui

penjualan maupun disposal

“surplus revaluasi” ditransfer atau diklasifikasikan ke laba ditahan.

5. Penyusutan Aset Tetap a. Pengertian Penyusutan

Ada beberapa sumber yang memberikan definisi aset tetap, diantaranya adalah:

(1) Menurut Warren (2010) : “Aset tetap seperti peralatan, gedung dan pengembangan tanah kehilangan kemampuannya untuk memberikan jasa seiring dengan berjalannya waktu. Akibatnya, biaya peralatan gedung, dan pengembangan tanah perlu dipindahkan ke akun beban secara sistematis selama masa kegunaannya. Pemindahan biaya ke beban secara berkala semacam ini disebut penyusutan atau depresiasi”.

(2) Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam PSAK 16 (2011) :

“Penyusutan adalah alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya”.

Sumber: Purba. 2013. (Akuntansi Keuangan Aset Tetap dan Aset Tak Berwujud).

(3) Menurut Tomas (2012) : “Pengalokasian sistematis atas biaya aset selama umur manfaatnya”.

(4) Menurut Surya (2012) : “Penyusutan adalah alokasi jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset tersebut dikurangi dengan estimasi nilai sisa (salvage value) aset tersebut pada akhir masa manfaatnya”.

(5) Menurut Purba (2013) : “Penyusutan adalah proses alokasi manfaat yang diperoleh suatu entitas dari aset tetap yang dimiliki”.

Semua jenis aktiva tetap kecuali tanah, akan semakin berkurang kemampuannya untuk memberikan jasa bersamaan dengan berlalunya waktu. Beberapa faktor yang mempengaruhi menurunnya kemampuan ini adalah pemakaian, keausan, ketidakseimbangan kapasitas yang tersedia dengan yang diminta dan keterbelakangan teknologi.

Berkurangnya kapasitas berarti berkurangnya nilai aktiva tetap yang bersangkutan. Hal ini perlu dilaporkan. Pengakuan adanya penurunan nilai aktiva tetap berwujud disebut penyusutan.

Setiap bagian dari aset tetap yang memiliki biaya perolehan

cukup signifikan terhadap total biaya perolehan seluruh aset harus

disusutkan secara terpisah. Entitas mengalokasikan jumlah pengakuan

awal aset pada bagian aset tetap yang signifikan dan menyusutkan

secara terpisah setiap bagian tersebut. Misalnya, adalah tepat untuk

menyusutkan secara terpisah antara badan pesawat dan mesin pada pesawat terbang, baik yang dimiliki sendiri maupun yang berasal dari sewa pembiayaan.

Suatu bagian yang signifikan dari aset tetap mungkin memiliki umur manfaat dan metode penyusutan yang sama dengan umur manfaat dan metode penyusutan bagian signifikan lainnya dari aset tersebut. Bagian-bagian tersebut dapat dikelompokkan menjadi satu dalam menentukan beban penyusutan. Sepanjang entitas menyusutkan secara terpisah beberapa bagian dari aset tetap, maka entitas juga menyusutkan secara terpisah bagian yang tersisa.

Bagian yang tersisa terdiri atas bagian yang tidak signifikan secara individual. Jika entitas ekspektasi yang bermacam-macam untuk bagian tersebut, teknik penaksiran tertentu diperlukan untuk menentukan penyusutan bagian yang tersisa sehingga mampu mencerminkan pola penggunaan dan atau umur manfaat dari bagian tersebut. Entitas dapat juga memilih untuk menyusutkan secara terpisah bagian dari aset yang biaya perolehannya tidak signifikan terhadap total biaya perolehan aset tersebut.

Beban penyusutan untuk setiap periode harus diakui dalam

laporan laba rugi, kecuali jika beban tersebut dimasukkan dalam

jumlah tercatat aset lainnya. Beban penyusutan untuk setiap periode

biasanya diakui dalam laporan laba rugi. Namun, kadang kala manfaat

ekonomis dimasa depan dari suatu aset adalah untuk menghasilkan

aset lainnya. Dalam hal ini, beban penyusutan merupakan bagian dari biaya perolehan aset lain dan dimasukkan dalam biaya konversi dari persediaan. Sama halnya, penyusutan aset tetap untuk aktivitas pengembangan mungkin dimasukkan dalam biaya perolehan aset tidak berwujud.

b. Jenis

Aset tetap dapat dibedakan menjadi dua (2) jenis berdasarkan penyusutannya, yaitu:

(1) Depreciable assets adalah aset tetap yang bisa disusutkan, seperti bangunan, mesin, peralatan.

(2) Nondepreciable assets adalah aset tetap yang tidak bisa disusutkan.

Aset tetap yang termasuk dalam jenis ini hanya satu (1) yaitu tanah sedangkan aset tetap yang lain termasuk dalam kategori depreciable assets.

c. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Biaya Penyusutan

Faktor–faktor yang mempengaruhi biaya penyusutan menurut Reeve (2010) yaitu:

(1) Harga Perolehan (Acquisition Cost)

Harga Perolehan adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap biaya penyusutan.

(2) Nilai Residu (Salvage Value)

Merupakan taksiran nilai atau potensi arus kas masuk

apabila aktiva tersebut dijual pada saat penarikan/penghentian

Dokumen terkait