BAB I PENDAHULUAN
F. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat praktis bagi pembaca.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sosisal emosional anak usia dini khususnya dalam hal kerjasama. Serta dapat menambah ilmu pengetahuan tentang bagaimana upaya meningkatkan kemampuan kerjasama anak menggunakan model pembelajaran berbasis proyek dan sebagai bahan bagi peneliti lain yang bermaksud mengadakan penelitian dengan permasalahan yang sama.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru PAUD
Sebagai penambah wawasan bagi guru tentang model pembelajaran yang dapat digunakan dalam upaya meningkatkan kerjasama anak salah satunya dengan model pembelajaran berbasis proyek. Dan juga menjadi masukan bagi guru agar lebih memahami social emosi anak.
b. Bagi Sekolah
Dengan adanya penelitian diharapkan dapat menambah model pembelajaran baru yang dapat diimplementasikan oleh lembaga sebagai salah satu peningkatan kualitas mutu lembaga. Sehingga dapat mewujudkan lembaga pendidikan yang berhasil membentuk anak yang memiliki sikap kooperatif yang tinggi.
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Kemampuan Kerjasama Anak Usia Dini a. Pengertian Kerjasama
Siklus hidup manusia mengalami perkembangan sehingga dapat menjadi pribadi yang baik. Salah satu aspek perkembangan dalam kemampuan dasar di taman kanak-kanak ialah pengembangan sosial emosional. Sosial emosional memungkinkan anak untuk mengenal dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar. Dengan adanya aspek perkembangan sosial emosional diharapkan dapat membantu anak dalam berinteraksi baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Menurut Narwoko dan Suyanto dalam (Laksmi, 2018) menjelaskan kerjasama diartikan sebagai salah satu proses social yang menunjukkan adanya dua orang atau lebih yang bersepakat untuk bekerja bersama untuk mencapai tujuan tertentu secara bersama-sama. Kerjasama merupakan suatu aktivitas dalam kelompok kecil dimana terdapat kegiatan saling berbagi dan bekerja secara kolaboratif untuk menyelesaikan sesuatu (Nur Asma, 2006). Menurut makna tersebut maka dapat diartikan bahwa aktivitas kerjasama akan terjadi apabila ada dua orang atau lebih dalam suatu aktivitas dan melakukan kegiatan secara bersama-sama untuk menyelesaikan sesuatu. Jika aktivitas tersebut dilakukan hanya satu orang maka tidak termasuk dalam konsep kerjasama, begitu pula sebaliknya. Persamaan tujuan dalam kegiatan juga menentukan layak tidaknya aktivitas tersebut dikatakan kerjasama.
Kerjasama dapat juga diartikan sebagai upaya umum manusia yang secara simultan mempengaruhi berbagai macam keluaran instruksional (David W Johnson, 2010). Keluaran tersebut antara lain tingkat penalaran, retensi, motivasi, daya tarik interpersonal, persahabatan, prasangka, menghargai perbedaan, dukungan sosial, rasa harga diri, serta kompetensi social. Pernyataan-pernyataan itu menjelaskan suatu pengertian bahwa kerjasama merupakan berbagai usaha yang dilakukan manusia yang menghasilkan berbagai perilaku yang terkait dengan interaksi sosial.
Keterampilan-keterampilan kolaboratif dan sosial, adanya tanggung jawab masing-masing serta adanya saling ketergantungan satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama merupakan unsur-unsur yang ada di dalam kerjasama (Nur Asma, 2006). Kerjasama cenderung mengarah kepada esensi bahwa di dalam diri masing-masing orang yang bekerjasama haruslah ada perasaan satu dan saling bergantung dengan yang lainnya.
Kerjasama juga dapat terbangun apabila ada komunikasi di dalamnya (Nur Asma,2006).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kerjasama adalah proses interaksi dua individua atau lebih yang melakukan suatu kegiatan bersama-sama dengan saling membantu satu sama lain untuk mencapai satu tujuan. Selama proses tersebut diperlukan kemampuan diri untuk menjaga sikap dan saling bersinergi.
Kerjasama anak usia dini merupakan kemampuan anak untuk dapat saling berbagi dan berkolaborasi, membina hubungan baik dengan teman sebaya dan orang-orang dewasa.
b. Perkembangan Kerjasama Anak Usia Dini.
Anak usia ini mulai melepaskan diri dari keluarga serta mulai dekat dan berinteraksi dengan orang-orang di luar anggota keluarganya. Anak biasanya juga mulai terlibat dan berusaha menjadi anggota kelompok. Pada mulanya anak belum mengerti perilaku seperti apa yang dapat membuat ia diterima di dalam kelompok sehingga terkadang terlihat perilaku meniru anak-anak yang tergolong populer dan berkuasa dalam kelompoknya.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa anak usia dini tengah mengalami perkembangan sosial yang terlihat pada hubungan dengan teman sebaya. Hubungan sebaya yang baik diperlukan untuk perkembangan sosial emosional yang normal, belajar berinteraksi dalam hubungan yang simetris dan timbal balik yang berupa memformulasikan dan menyatakan pendapat, menghargai sudut pandang sebaya, menegosiasikan solusi secara kooperatif serta mengubah standar perilaku yang diterima oleh semua (Santrock, 2017).
Berdasarkan penjelasan di atas maka hubungan sebaya dapat dikatakan merupakan salah satu komponen penting dalam aspek perkembangan sosial anak. Hubungan dengan teman sebaya juga merupakan salah satu ciri sosialisasi periode prasekolah (Ali Nugraha, 2004). Hurlock menyatakan kerjasama merupakan salah satu pola perilaku dalam situasi sosial pada awal masa kanak-kanak (Ali Nugraha, 2004). Anak usia prasekolah sudah mulai memperlihatkan perilaku-perilaku
sosial yang mengarah pada aktivitas bekerjasama. Hal tersebut dapat terlihat dari cara anak berkomunikasi serta berkembangnya tahapan bermain ke arah bermain kooperatif. Anak-anak usia prasekolah tampak mulai berkomunikasi satu sama lain, memilih teman untuk bermain serta mengurangi tingkah laku bermusuhan (Ali Nugraha, 2004).
Kemampuan kerjasama juga merupakan salah satu poin penting dalam aspek yang merupakan unsur-unsur dalam kecerdasan emosi. Syamsu Yusuf menyatakan salah satu unsur tersebut yaitu aspek membina hubungan, diantaranya bersikap senang berbagi rasa dan bekerjasama, memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain serta bersikap demokratis dalam bergaul (Ali Nugraha, 2004). Poin-poin tersebut menggambarkan pentingnya kerjasama dalam aspek perkembangan sosial emosional anak.
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh tersebut maka dapat disimpulkan bahwa anak usia dini tengah mengalami perkembangan sosial dimana anak mengalami perkembangan dalam hubungan antar teman sebaya. Anak pada usia ini mulai memisahkan diri dari orang terdekatnya dan mulai tertarik untuk berinteraksi dengan teman sebaya atau teman sepermainan, namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi optimal atau tidaknya perkembangan sosial khususnya dalam hubungan sebaya ini, sehingga sering terjadi perkembangan sosial yang tidak optimal, khususnya dalam kemampuan kerjasama.
c. Unsur-unsur Kerjasama Anak Usia Dini.
Secara khusus di dalam kerjasama terdapat unsur-unsur yang merupakan komponen esensial di dalam kemampuan tersebut. Menurut David W Johnson dalam (Anita, 2007) unsur-unsur tersebut antara lain:
1) Saling ketergantungan yang positif
Saling ketergantungan secara positif adalah perasaan untuk saling membantu dalam aktivitas tersebut, dengan kata lain di dalam kerjasama terdapat perasaan saling terhubung satu sama lain.
2) Tanggung jawab perseorangan
Tanggung jawab perseorangan dibutuhkan agar masing-masing merasa bahwa aktivitas tersebut adalah tanggung jawab mereka dan harus diselesaikan.
3) Interaksi
Interaksi atau hubungan penting dalam sebuah kerjasama agar masing-msing dapat memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan. Selain itu akan lebih baik jika dalam
interaksi kerjasama yang terjadi adalah tatap muka secara langsung.
4) Komunikasi
Komunikasi jelas merupakan komponen penting dalam kerjasama, karena melalui komunikasi masing-masing dapat memahami satu sama lain sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Komunikasi ini juga merupakan salah satu komponen dalam skil-skil interpersonal yang penting dalam kerjasama. Selain itu komunikasi tidak akan terlepas dari skil-skil interpersonal lain antara lain kepemimpinan, pengambilan keputusan, kepercayaan, serta manajemen konflik.
5) Evaluasi
Untuk mengetahui keberhasilan dalam kerjasama maka diperlukan suatu aktivitas yang disebut evaluasi. Evaluasi ini merupakan bagian dari komponen pemrosesan kelompok (group processing).
d. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini.
Secara garis besar terdapat tiga faktor yang menpengaruhi proses perkembangan sosial yang optimal bagi seorang anak yaitu kondisi fisik, kondisi psikologis, dan kondisi lingkungan (Suryana, 2016). Apabila kesehatan fisik terganggu anak akan mengalami emosi yang tinggi. Begitu juga dengan psikologisnya, apabila kondisi psikologi anak tidak stabil maka emosi anak akan mengalami kecemasan yang berlebihan dan akan sulit untuk bekerjasama. Dari lingkungan apa yang anak dapat akan mengganggu perlikau social anak. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak usia dini adalah : (Novan Ardy Wiyani, 2014)
1) Faktor Hereditas
Faktor hereditas merupakan factor bawaan yang diturunkan dari orangtua biologis atau orangtua kandung kepada anaknya. Dalam perspektif hereditas, perkembangan seorang anak sangat dipengaruhi oleh hal-hal berikut :
a) Bakat : setiap anak yang dilahirkan memiliki bakat tertentu. Berbagai macam baka bisa dimiliki oleh anak seperti bakat musik, seni, melukis termasuk kerjasama.
Bakat yang dimiliki oleh anak tersebut biasanya diwariskan dari orangtuanya.
b) Sifat-sifat Keturunan : sifat-sifat yang diwariskan oleh orangtua atau nenek moyang pada seorang anak bias berupa fisik maupun psikis. Seperti salah satu bentuk
anggota tubuh dan sifat pemalas, pandai, mudah bergaul dan sebagainya.
2) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan memiliki kekuatan yang sangat besar terhadap perkembangan social anak. Lingkungan memberikan pengalaman psikologis dari sebelum ada sampai dilahirkan ke dunia. Faktor lingkungan ini meliputi :
a) Keluarga
Keluarga menjadi lingkungan pertama dan paling utama dalam perkembangan social anak. Orang tua adalah pendidik bagi anak. Pola asuh orangtua, sikap serta situasi dan kondisi yang melingkupi orang tua dapat berpengaruh terhadap perkembangan social anak.
b) Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan kedua bagi anak.
Disekolah ia dapat berhubungan dengan teman sebaya dan guru. Teman sebaya akan memberikan pengaruh dalam perkembangan social anak ketika mereka bermain.
Stimulus yang diberikan guru juga memiliki pengaruh yang besar untuk mengoptimalkan perkembangan social anak. Guru menjadi contoh perilaku bagi anak dimana anak usia dini adalah peniru yang unggul. Oleh karena itu, guru harus mampu menjadi contoh teladan yang baik bagi anak.
c) Masyarakat
Masyarakat adalah kumpulan individua tau kelompok yang di ikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama. Terdapat lima unsur yang ada dalam maysarakat ; Hidup Bersama dua orang atau lebih, Hidup bercampur dan bergaul cukup lama, Hidup dalam kesatuan yang utuh, Kehidupan bersama menimbulkan sebuah kebudayaan tersendiri sehingga merasa adanya keterikatan diantara mereka, Adanya aturan yang jelas dan disepakati bersama.
3) Faktor Umum
Faktor umum merupakan campuran antara factor hereditas dan factor lingkungan. Faktor umum yang dapat memengaruhi perkembangan anak usia dini antara lain : a) Jenis Kelamin
Dalam menghadapi suatu masalah dalam pergaulan anak laki-laki cenderung akan menyelesaikan berdasarkan logika sedangkan anak perempuan cenderung dengan perasaan atau emosi.
b) Kelenjar Gondok
Hasil penelitian bidang menunjukkan betapa pentingnya peranan yang dimainkan oleh kelenjar gondok terhadap perkembangan fisik-motorik dan psikis, termasuk didalamnya perkembangan social dan anak usia dini.
Kelenjar gondok tersebut memengaruhi perkembangannya, baik pada waktu sebelum lahir maupun pada pertumbuhan dan perkembangan sesudahnya.
c) Kesehatan
Kesehatan merupakan factor umum yang memengaruhi perkembangan anak usia dini. Anak-anak yang memiliki kesehatan yang baik akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang baik pula termasuk didalamnya perkembangan socialnya.
Berdasarkan penjelasan dari kedua teori di atas maka penulis dapat menyimpulkan, bahwa dalam meningkatkan perkembangan kerjasama anak usia dini terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kerjasama anak usia dini berbeda antara anak satu dengan anak lainnya. Namun semua faktor sama-sama dapat mempengaruhi perkembangan kerjasama anak.
e. Manfaat kerjasama untuk anak usia dini
Sebuah kutipan sederhana dari Henry Ford yang berbunyi berkumpul bersama adalah sebuah permulaan, tetap bersama adalah kemajuan, bekerja bersama adalah kesuksesan (David W Johnson dkk, 2010). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan kerjasama mengandung manfaat yang cukup besar dalam kehidupan individu. Secara umum kemampuan kerjasama memiliki manfaat yakni aktivitas menjadi lebih cepat terselesaikan dan cenderung memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Kemampuan kerjasama ini juga dinilai sangat penting apabila dimanfaatkan pada ranah pendidikan anak usia dini.
Menurut Nur Asma (2006), bagi anak usia dini kemampuan kerja sama ini dapat:
1) Menumbuhkan rasa kebersamaan
Anak akan terlibat dalam kegiatan atau aktivitas berkelompok sehingga secara otomatis anak akan berinteraksi dengan temannya pada saat ada dalam aktivitas kerjasama. Hal tersebut apabila dilaksanakan secara kontinyu maka bukan tidak mungkin rasa kebersamaan anak akan semakin kuat.
2) melatih anak untuk terbiasa berkomunikasi di dalam kelompok.
Anak yang berada pada situasi bekerjasama dalam kelompok mau tidak mau anak akan dipaksa untuk memunculkan berbagai interaksi sosial. Interaksi tersebut dapat terwujud secara verbal maupun nonverbal. Secara nonverbal anak berinteraksi melalui aktivitas fisik atau bahasa tubuh sedangkan interaksi verbal berupa saling berdialog atau bercakap-cakap. Kegiatan berdialog tersebut akan membuat anak terbiasa berkomunikasi dengan orang lain.
3) Menumbuhkan keaktifan anak
Aktivitas-aktivitas anak dalam kelompok dilakukan dengan teman sebayanya. Hal tersebut memungkinkan anak untuk lebih leluasa beraktivitas serta mengungkapkan ide dan pendapat. Keleluasaan tersebut secaraotomatisakan memunculkan kenyamanan dalam diri anak sehingga saat anak merasa nyaman dalam lingkungan kelompok tersebut, keaktifan anak juga tumbuh semakin besar.
4) Memunculkan semangat dalam diri anak.
Saat anak bekerjasama dalam kelompok dan dia merasa dirinya diterima dalam kelompoknya tersebut maka semangat dalam diri anak juga akan semakin meningkat. Anak menjadi semakin termotivasi untuk melakukan berbagai hal yang dapat membuat kelompoknya menjadi semakin baik dan dirinya semakin diterima dalam kelompok tersebut.
5) Memacu anak untuk lebih berani mengungkapkan pendapatnya.
Sebelumnya menyatakan bahwa perasaan anak akan menjadi nyaman dan leluasa saat dirinya berada dalam kelompok sebaya sehingga semakin anak merasa nyaman maka anak semakin berani dalam berpendapat dan menggali idenya.
Kerjasama juga dapat meningkatkan kecakapan individu anak dalam memecahkan masalah, dapat menghilangkan perasaan-perasaan negatif dengan teman sebaya anak, serta tidak membuat anak terlampau kompetitif atau dengan kata lain bersikap individual dan mementingkan diri sendiri (Nur Asma 2006). Kerjasama atau interpedensi positif juga akan menghasilkan interaksi promotif atau bersifat meningkatkan ketika masing-masing anak saling mendukung dan memfasilitasi usaha dari teman-teman sebayanya satu sama lain (David W Johnson dkk, 2010).
Piaget juga menyatakan bahwa anak-anak yang bekerjasama akan memunculkan konflik-konflik sosio kognitif yang menciptakan ketidakseimbangan kognitif yang pada gilirannya akan memicu kemampuan pengambilan persepsi dan perkembangan kognitif mereka (David W Johnson, 2010).
Selama melakukan kerjasama tersebut anak-anak secara tidak langsung akan terlibat dalam diskusi dimana konflik-konflik kognitif akan dapat diselesaikan sehingga memungkinkan kemampuan kognitif anak akan berkembang lebih baik saat dalam situasi kerjasama.
2. Anak Usia Dini
a. Pengertian Anak Usia Dini
Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 1 ayat 14 dinyatakan bahwa anak usia dini diartikan sebagai abak yang baerusia lahir (0 tahun) sampai dengan 6 tahun. Kesepakatan UNESCO anak usia dini adalah kelompok anak yang berada pada rentang usia 0-8 tahun. Menurut Novan Ardy Wiyani M.Pd.I (2016) anak usia dini adalah anak yang berusia 0 hingga 6 tahun yang melewati masa bayi, masa batita dan masa prasekolah.
Masa usia dini (0-6 tahun) merupakan masa keemasan (golden age) dimana stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan anak selanjutnya (Mulyasa, 2017). Anak usia dini sering disebut anak prasekolah, masa ini merupakan saat yang paling tepat untuk meletakan dasar pertama dan utama dalam mengembangkan berbagai potensi dan kempuan, salah satunya ialah mengembangkan aspek sosial emosional.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia dini adalah individu yang berusia 0-6 tahun dimana anak tersebut mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat oleh karena itu perlu adanya stimulus atau rangsangan yang baik agar pertumbuhan dan perkembangan anak berkembang secara optimal.
b. Karakteristik Anak Usia Dini
Menurut Agus F. Tangyong dkk (2009) asumsi dasar mengenai anak usia 4-6 tahun adalah sebagai berikut :
1) Setiap anak adalah unik
Setiap anak akan mengembangkan pola reaksi yang berbeda terhadap rangsangan yang didapat, mereka berkembang dengan tempo dan kecepatan masing-masing.
2) Anak berkembang melalui beberapa tahapan
Manusia adalah suatu keutuhan dimana perkembangan aspek fisik, kognitif, afektif maupun intuitif saling
berkaitan. Perkembangan setiap anak selalu melalui beberapa tahapan dimana setiap peningkatan usia kronologis akan menampilkan ciri-ciri perkembangan yang khas.
3) Setiap anak adalah pembelajar aktif
Belajar bagi anak adalah segala sesuatu yang dikerjakannya ketika bermain. Bermain adalah wahana belajar dan bekerja secara alamiah bagi anak. Anak usia dini senang memperhetikan, mencium, membuat suara meraba dan mengecap. Anak lebih mudah belajar apabila pengalaman belajar sejalan dengan kematangan mental atau sesuai dengan tahap perkembangannya.
Menurut Madyawati, (2016) karakteristik anak usia dini, sebagai berikut:
1) Bersifat egosentris
Anak memandang dunia luar dari pandangannya sendiri, sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya sendiri, dibatasi oleh perasaan dan pikirannya yang masih sempit.
2) Bersifat unik
Masing-masing anak berbeda satu sama lain. Anak memiliki bawaan, minat dan latar belakang kehidupan masing-masing. Meskipun terdapat pola urutan umum dalam perkembangan anak yang dapat diprediksi, pola perkembangan dan belajar anak akan tetap memilki perbedaan satu sama lain.
3) Mengekspresikan perilakunya secara spontan
Perilaku yang ditampilkan anak umumnya relatif asli atau tidak ditutup-tutupi. Ia akan marah kalau memang mau marah, dan ia akan menangis kalau memamang mau menangis, ia kan memperlihatkan wajah yang ceria disaat gembira.
4) Bersifat aktif dan energik
Anak suka melakukan berbagai aktivitas, gerak dan aktivitas bagi anak merupakan suatu kesenangan. Selain itu, apa yang dilakukan oleh anak merupakan kebutuhan belajar dan juga perkembangan.
5) Bersifat eksploratif dan berjiwa petualang
Terdorong rasa ingin tahu yang kuat, anak suka menjelajah, mencoba, dan mempelajari hal yang baru.
6) Kurang melakukan pertimbangan dalam melakukan sesuatu Anak belum memilki pertimbangan yang matang termasuk hal yang membahayakan. Oleh karena itu, perlunya lingkungan perkembangan dan belajar yang
aman bagi anak sehingga anak dapat terhindar dari hal yang membahayakan.
Menurut Novan Ardy Wiyani (2016) karakteristik anak usia dini yang tengah tumbuh dan berkembang adalah sebagai berikut:
1) Memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ini ditunjukkan dengan berbagai pertanyaan-pertanyaaan kritis yang cukup menyulitkan orang tua maupun gurun untuk menjawab.
2) Menjadi pribadi yang unik. Hal ini ditunjukkan dengan kegemarannya dalam melakukan sesuatu yang berulang- ulang tanpa arasa bosan.
3) Memiliki sikap egosentris. Ini ditunjukkan dengan sikpanya yang cenderung posesif terhadap benda-benda yang dimilikinya.
4) Memiliki daya konsentrasi yang rendah. Anak mudah gelisah ketika duduk dan mudah beralih perhatian ketika mendapatkan objek baru.
5) Menghabiskan sebagian aktifitasnya untuk bermain.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia dini memiliki karakteristik yang berbeda-beda, oleh karena itu setiap anak tidak boleh di bandingkan satu dengan yang lainnya, karen setiap anak itu unik. Dengan diberikan stimulus atau rangsangan yang baik dari pendidik maupun orang tua akan mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak.
c. Standar tingkat pencapaian perkembangan social anak usia 4 - 6 tahun
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini standar capaian anak usia dini pada usia 4 – 6 tahun dalam aspek perkembangan sosial emosional, dapat dijabarkan dalam tabel berikut :
Menjaga diri sendiri dari lingkungannya
Menghargai
Tahu akan hak nya
keunggulan orang lain
Mau berbagi, menolong, dan
membantu teman
Mentaati aturan kelas (kegiatan, aturan)
Mengatur diri sendiri
Bertanggung jawab atas perilakunya untuk kebaikan diri sendiri Perilaku Prososial Menunjukan
antusiasme dalam melakukan
permainan kompetitif secara positif
Menaati aturan yang berlaku dalam suatu permainan
Menghargai orang lain
Menunjukkan rasa empati
Bermain dengan teman sebaya
Mengetahui perasaan temannya dan merespon secara wajar
Berbagi dengan
orang lain
Menghargai hak/pendapat/kary a orang lain
Menggunakan cara yang diterima secara sosial dalam
menyelesaikan masalah (menggunakan fikiran untuk menyelesaikan masalah)
Bersikap
kooperatif dengan teman
Menunjukkan sikap toleran
Mengenal tata krama dan sopan santun sesuai
dengan nilai sosial budaya setempat
*Sumber PERMENDIKBUD Nomor 137 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini
3. Model Pembelajaran Berbasis Proyek
a. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Proyek
Model pembelajaran berbasis proyek dalam Pendidikan anak usia dini merupakan model pembelajaran yang menekankan pada pengadaan proyek atau kegiatan penelitian kecil didalamnya (Muhammad Fathurrohman, 2017). Menurut CORD, pembelajaran berbasis proyek adalah sebuah model pembelajaran yang inovatif dan lebih menekankan pada belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks. Padia dalam (Tinenti, 2018) menyatakan model pembelajaran berbasis proyek merupakan suatu model pembelajaran yang dalam pelaksanannya dapat mengajarkan siswa untuk menguasai keterampilan proses dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat proses pembelajaran menjadi bermakna.
Berdasakan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan model pembelajaran berbasis proyek ialah pembelajaran kongkrit
Berdasakan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan model pembelajaran berbasis proyek ialah pembelajaran kongkrit