BAB I PENDAHULUAN
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti ; penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti sehubungan dengan pengaruh partisipasi anggaran, kejelasan sasaran anggaran, group cohesiveness dan informasi asimetri
terhadap budgetary slack dengan etika sebagai variabel moderasi pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Mandailing Natal.
2. Bagi pihak Satuan Kerja Perangkat Daerah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pegawai yang terlibat dalam penyusunan anggaran agar lebih mengerti dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya budgetary slack sehingga tercipta efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, kohesivitas kelompok khususnya dalam hal partisipasi anggaran.
3. Bagi pihak lain; hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk penelitian lebih lanjut terutama bagi peneliti yang melakukan penelitian yang berkaitan dengan partisipasi anggran, kejelasan sasaran anggran, group cohesiveness, informasi asimetri dan budgetary slack lebih sempurna dan komprehensif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Partisipasi Anggaran
Anggaran adalah rencana tentang kegiatan perusahaan yang mencakup berbagai kegiatan operasional yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain sebagai pedoman untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran suatu organisasi. Pada umumnya disusun secara tertulis (Darsono, 2010).
Kenis (1979) mengemukakan bahwa dalam penyusunan anggaran perlu diperhatikan perilaku para pelaksana anggaran dengan cara mempertimbangkan hal – hal berikut ini:
1. Anggaran harus dibuat serealitas mungkin, secermat mungkin sehingga tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi. Anggaran yang dibuat terlalu tinggi hanyalah angan-angan.
2. Untuk memotivasi manajer pelaksana diperlukan adanya partisipasi dalam penyusunan anggaran.
3. Anggaran yang dibuat harus mencerminkan keadilan, sehingga pelaksana tidak merasa tertekan, tetapi termotivasi.
4. Untuk membuat laporan realisasi anggaran diperlukan laporan yang akurat dan tepat waktu, sehingga apabila aterjadi penyimpangan yang memungkinkan dapat segera diantisipasi lebih dini.
Menurut Brownell (1982), partisipasi anggaran adalah tingkat keterlibatan dan pengaruh individu dalam penyusunan anggaran, sementara Chong (2002) menyatakan sebagai proses dimana bawahan/pelaksana anggaran diberikan kesempatan untuk terlibat dalam dan mempunyai pengaruh dalam proses penyusunan anggaran. Kesempatan yang diberikan diyakini meningkatkan
Partisipasi manajer dalam proses penganggaran mengarah kepada seberapa besar tingkat keterlibatan manajer dalam menyusun anggaran serta pelaksanaannya untuk mencapai target anggaran (Kenis, 1979).
Partisipasi secara luas pada dasarnya merupakan proses organisasional, para anggota organisasi terlibat dan mempunyai pengaruh dalam suatu pembuatan keputusan yang berkepentingan dengan mereka. Partisipasi dalam konteks penyusunan anggaran merupakan proses para individu, yang kinerjanya dieveluasi dan memperoleh penghargaan berdasarkan budget emphasis, terlibat dan mempunyai pengaruh dalam penyusunan target anggaran (Brownell, 1982).
Sebagaimana yang dikemukakan Milani (1975), bahwa tingkat keterlibatan dan pengaruh bawahan terhadap pembuatan keputusan dalam proses penyusunan anggaran merupakan faktor utama yang membedakan antara anggaran partisipatif dengan anggaran non partisipatif.
Aspirasi bawahan lebih diperhatikan dalam proses penyusunan anggaran partisipatif, sehingga lebih memungkinkan bagi bawahan melakukan negosiasi dengan atasan mengenai target anggaran yang menurut mereka dapat dicapai.
Banyak penelitian bidang akuntansi manajemen yang menaruh perhatian terhadap masalah partisipasi dalam proses penyusunan anggaran, karena anggaran partisipatif dinilai mempunyai konsekuensi terhadap sikap dan perilaku anggota organisasi.
Partisipasi pekerja dalam proses penyusunan anggaran dapat mengakibatkan motivasi untuk mencapai target yang ditetapkan dalam anggaran, selain itu anggaran partisipatif juga menyebabkan sikap respek bawahan terhadap
pekerjaan dan perusahaan (Milani, 1975). Cherrington (1973) dalam Miyati (2014) menemukan hubungan yang positif antara partisipasi dengan kepuasan kerja dan kinerja manajerial. Studi eksperimental tersebut menguji pengaruh pengendalian melalui anggaran dan pemberian penghargaan terhadap kepuasan kerja dan kinerja manajerial. Menurut penelitian tersebut, ada tiga tujuan utama yang dapat dicapai melalui partisipasi penganggaran, yaitu :
1. Akseptasi anggota organisasi terhadap rencana kegiatan.
2. Peningkatan semangat kerja 3. Peningkatan produktivitas.
Proses penyusunan anggaran suatu organisasi, merupakan kegiatan yang penting dan sangat kompleks, karena anggaran mempunyai kemungkinan dampak fungsional atau disfungsional terhadap sikap dan perilaku anggota organisasi (Milani, 1975). Argyris (1952) dalam Octavia (2014) yang melakukan penelitian empiris terhadap proses penyusunan anggaran pada empat perusahaan manufaktor skala menengah menemukan adanya disfungsional anggaran terhadap sikap dan perilaku.
Anggaran yang terlalu menekan cenderung menimbulkan sikap agresi bawahan terhadap atasan dan menyebabkan ketegangan dan hal tersebut justru tidak memotivasi bawahan untuk meningkatkan kinerjanya, bahkan menyebabkan inefisiensi sebagai dampak dari penyusunan anggaran yang kaku dengan targetyang sulit dicapai.
Disamping itu, Merchant (1981) menemukan hasil bahwa dengan
yang dipengaruhi oleh kesenjangan anggaran yang timbul akan partipasi yang tinggi didalam penyusunan anggaran tersebut. Hal ini terjadi akibat terbuka seluas – luasnya bagi bawahan untuk berpartisipasi terhadap proses penyusunan anggaran. Partisipasi memberikan dampak positif terhadap perilaku karyawan, meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi dan meningkatkan kerjasama diantara para manajer.
Betapa pun demikian, Bentuk keterlibatan bawahan/pelaksana anggaran disini dapat bervariasi, tidak sama satu organisasi dengan yang lain. Tidak ada pandangan yang seragam mengenai siapa saja yang harus turut berpartisipasi, seberapa dalam mereka terlibat dalam pengambilan keputusan dan beberapa masalah menyangkut partisipasi (Siegel dan Ramanauskas-Marconi, 1989 dalam Octavia, 2014). Organisasi harus memutuskan sendiri batasanbatasan mengenai partisipasi yang akan mereka terapkan.
Ada dua alasan utama mengapa partisipasi anggaran penitng dalam penyusunan anggaran, yaitu (1) keterlibatan atasan/pemegang kuasa anggaran dan bawahan/pelaksana anggaran dalam partisipasi anggaran mendorong pengendalian informasi yang tidak simetris dan ketidakpastian tugas, (2) melalui partisipasi anggaran, individu dapat mengurangi tekanan tugas dan mendapatkan kepuasan kerja, selanjutnya dapat mengurangi senjangan anggaran.
2.1.2. Kejelasan Sasaran Anggara
Anggaran harus bisa menjadi tolak ukur pencapaian kinerja yang diharapkan, sehingga perencanaan anggaran harus bisa menggambarkan sasaran
kinerja secara jelas. Menurut Kenis (1979), kejelasan sasaran anggaran merupakan sejauh mana tujuan anggaran ditetapkan secara jelas dan spesifik dengan tujuan agar anggaran tersebut dapat dimengerti oleh orang yang bertanggung-jawab atas pencapaian sasaran anggaran tersebut.
Oleh sebab itu, sasaran anggaran harus dinyatakan secara jelas, spesifik dan dapat dimengerti oleh mereka yang bertanggung-jawab untuk menyusun dan melaksanakannya. Kenis (1979) menemukan bahwa pelaksana anggaran memberikan reaksi positif dan secara relatif sangat kuat untuk meningkatkan kejelasan sasaran anggaran. Reaksi tersebut adalah peningkatan kepuasan kerja, penurunan ketegangan kerja, peningkatan sikap karyawan terhadap anggaran, kinerja anggaran dan efisiensi biaya pada pelaksana anggaran secara signifikan, jika sasaran anggaran dinyatakan secara jelas.
Locke (1968) dalam Kenis (1979) menyatakan bahwa penetapan tujuan spesifik akan lebih produktif daripada tidak menetapkan tujuan spesifik. Hal ini akan mendorong karyawan untuk melakukan yang terbaik bagi pencapaian tujuan yang dikehendaki. Adanya sasaran anggaran yang jelas, maka akan mempermudah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas organisasi dalam rangka untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Locke (1968) dalam Kenis (1979) mengatakan kejelasan sasaran anggaran disengaja untuk mengatur perilaku karyawan. Ketidakjelasan sasaran anggaran akan menyebabkan pelaksana anggaran menjadi bingung, tidak tenang dan tidak
2.1.3. Group Cohesiveness
Kelompok formal dan informal dapat memiliki kedekatan atau kesamaan dalam sikap, perilaku, dan perbuatan. Kedekatan ini disebut sebagai Group Cohesiveness yang umumnya dikaitkan dengan dorongan anggota untuk tetap bersama dalam kelompoknya dibanding dorongan untuk mendesak anggota keluar dari kelompok (Gibson, 1982). Selanjutnya Robbins (1996) mendefinisikan Group Cohesiveness merupakan suatu tingkat yang menggambarkan para anggotanya tertarik satu sama lain dan dimotivasi untuk tetap berada di dalam kelompok.
Gibson (1982) mengemukakan bahwa ada banyak sumber daya – tarik bagi suatu kelompok. Suatu kelompok dapat mempunyai daya tarik karena :
1. Tujuan kelompok dan tujuan para anggota dapat cocok dan ditentukan secara jelas.
2. Kelompok mempunyai seorang pemimpin yang berkarisma.
3. Reputasi atau nama baik kelompok menunjukkan bahwa kelompok menyelesaikan tugasnya dengan berhasil baik.
4. Kelompok itu cukup kecil yang memungkinkan para anggotanya dapat saling mendengar pendapat dan saling mengevaluasi.
5. Para anggotanya mempunyai daya – tarik dalam arti bahwa mereka saling mendukung dan membantu mengatasi rintangan dan hambatan bagi perkembangan dan kemajuan pribadi.
Selanjutnya Ikhsan dan Arfan (2005) dalam Falikhatun (2007) menyatakan bahwa tingkat kohesivitas ddipengaruhi oleh jumlah waktu yang dihabiskan bersama oleh para anggota kelompok, tingkat kesulitan dari penerimaan anggota baru ke dalam kelompok, ukuran kelompok, ancaman eksternal yang mungkin, dan sejarah keberhasilan dan kegagalan kelompok di masa lalu. Semakin besar kesempatan bagi para anggota kelompok untuk bertemu dan berinteraksi satu sama lain, maka lebih besar juga kesempatan bagi anggota untuk menemukan minat yang sama dan menjadi tertarik satu sama lain. Semakin
sulit untuk diterima menjadi anggota kelompok tersebut, maka para anggotanya semakin menghargai keanggotaan yag mereka miliki.
Konsep kohesivitas penting bagi pemahaman kelompok organisasi.
Tingkat kohesivitas bisa mempunyai akibat positif atau negatif tergantung seberapa baik tujuan kelompok sesuai dengan tujuan organisasi formal. Bila kohesivitas tinggi dan kelompok menerima serta sepakat dengan tujuan formal organisasi, maka perilaku kelompok akan positif ditinjau dari sisi organisasi formal. Tetapi bila kelompok sangat kohesif tetapi tujuannya tidak sejalan dengan organisasi formal, maka perilaku kelompok akan negatif ditinjau dari sisi organisasi formal (Robbins, 1996).
Selanjutnya bila suatu kelompok mempunyai kohesivitas rendah dan tujuan yang diinginkan anggota tidak sejalan dengan manajemen, maka hasilnya mungkin negatif dari sisi organisasi. Sebaliknya suatu kelompok bisa menjadi rendah kohesivitasnya, tetapi mempunyai tujuan anggota yang sejalan dengan organisasi formal, maka hasilnya mungkin positif meskipun lebih berdasarkan basis individu dibanding kelompok.
2.1.4. Informasi Asimetri
Anthony dan Govindarajan (2001) menyatakan bahwa kondisi informasi asimetri muncul dalam teori keagenan (agency theory), yakni principal (pemilik/atasan) memberikan wewenang kepada agen (manajer/bawahan) untuk mengatur perusahaan yang dimiliki. Informasi asimetri adalah suatu kondisi
agen/bawahan sehingga atasan tidak dapat menentukan kontribusi bawahan terhadap hasil aktual perusahaan. Kondisi ketidakpastian lingkungan dapat menyebabkan informasi bawahan terhadap bidang teknisnya melebihi informasi yang dimiliki atasannya.
Dunk (1993) dalam Falikhatun (2007) mendefinisikan informasi asimetri sebagai suatu keadaan apabila informasi yang dimiliki bawahan melebihi informasi yang dimiliki atasannya, termasuk lokal maupun informasi pribadi.
Adanya asimetri informasi akan mendorong atasan untuk bertukar informasi dengan bawahannya. Oleh karena itu bawahan akan diikutsertakan dalam penyusunan anggaran.
Kesenjangan informasi ini sering dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan individu di satu sisi, dan kerugian bagi organisasi di sisi lain.
Selanjutnya Shields dan Young (1993) dalam Falikhatun (2007) mengemukakan beberapa kondisi perusahaan yang kemungkinan besar timbulnya informasi asimetri, yaitu : perusahaan yang sangat besar, mempunyai penyebaran secara geografis, memiliki produk yang beragam, dan membutuhkan teknologi.
2.1.5. Pertimbangan Etika
Etika berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana orang akan berperilaku terhadap sesamanya. Sedangkan menurut Maryani dan Ludigdo (2001) dalam Miyati (2014) mendefinisikan etika sebagai seperangkat aturan atau pedoman yang mengatur perilaku manusia baik yang harus dilakukan maupun
yang harus ditingalkan yang dianut oleh sekelompok orang atau segolongan manusia atau masyarakat atau profesi.
Menurut Joko Widodo (2001), etika sektor publik didefinisikan sebagai pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik, dan dapat digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparatur pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik dapat dikatakan baik atau buruk. Menurut Mathis dan Jackson, etika memiliki dimensi-dimensi konsekuensi luas, alternatif ganda, akibat berbeda, konsekuensi tak pasti, dan efek personal.
1. Konsekuensi Luas : keputusan etika membawa konsekuensi yang luas.
Misalnya, karena menyangkut masalah etika bisnis tentang pencemaran lingkungan maka diputuskan penutupan perusahaan dan pindah ke tempat lain yang jauh dari karyawan. Hal itu akan berpengaruh terhadap kehidupan karyawan, keluarganya, masyarakat dan bisnis lainnya.
2. Alternatif Ganda : beragam alternatif sering terjadi pada situasi pengambilan keputusan dengan jalur di luar aturan. Sebagai contoh, memutuskan seberapa jauh keluwesan dalam melayani karyawan tertentu dalam hal persoalan keluarga sementara terhadap karyawan yang lain menggunakan aturan yang ada.
3. Akibat Berbeda : keputusan-keputusan dengan dimensi-dimensi etika bisa menghasilkan akibat yang berbeda yaitu positif dan negatif. Misalnya mempertahankan pekerjaan beberapa karyawan di suatu pabrik dalam waktu
bekerja di pabrik itu. Di satu sisi keputusan itu menguntungkan perusahaan tetapi pihak karyawan dirugikan.
4. Ketidakpastian Konsekuensi : konsekuensi keputusan-keputusan bernuansa etika sering tidak diketahui secara tepat. Misalnya pertimbangan penundaan promosi pada karyawan tertentu yang hanya berdasarkan pada gaya hidup dan kondisi keluarganya padahal karyawan tersebut benar – benar kualifaid.
5. Efek Personal : keputusan-keputusan etika sering mempengaruhi kehidupan karyawan dan keluarganya, misalnya pemecatan terhadap karyawan disamping membuat sedih si karyawan juga akan membuat susah keluarganya. Misal lainnya, kalau para pelanggan asing tidak menginginkan dilayani oleh “sales” wanita maka akan berpengaruh negative pada masa depan karir para “sales” tersebut.
2.1.6. Budgetary Slack
Senjangan anggaran (budgetary slack) adalah perbedaan jumlah anggaran yang diajukan oleh bawahan dengan jumlah estimasi yang terbaik dari organisasi (Anthony dan Govindradjan, 2001). Dalam keadaan terjadinya senjangan
anggaran bawahan cenderung mengajukan anggaran dengan merendahkan pendapatan dan menaikkan biaya dibandingkan dengan estimasi terbaik yang diajukan, sehingga target akan mudah dicapai.
Schiff dan Lewin (1970) dalam Falikhatun (2007) menyatakan bahwa bawahan menciptakan budgetary slack karena dipengaruhi oleh keinginan dan kepentingan pribadi sehingga akan memudahkan pencapaian target anggaran, terutama jika penilaian prestasi manajer ditentukan berdasarkan pencapaian
anggaran. Upaya ini dilakukan dengan menentukan pendapatan yang terlalu rendah (understated) dan biaya yang terlalu tinggi (overstated).
Dalam proses partisipasi anggaran, budgetary slack merupakan ketidaksesuaian antara penggunaan dana yang lebih besar dari anggaran yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan tingginya budgetary slack akan mengakibatkan dua kemungkinan yaitu penambahan dana di luar rencana anggaran semula atau tetap sesuai dengan rencana anggaran dana yang ditetapkan tetapi menurunkan kinerja pelaksana anggaran.
Di dalam penyusunan anggaran keterlibatan bawahan sangat diperlukan, berdasarkan Agency Theory bawahan akan membuat target anggaran yang lebih mudah dicapai, dengan cara membuat target anggaran yang rendah pada sisi pendapatan dan mengajukan biaya yang lebih (Ali Maskun, 2008) dalam (Miyati, 2014). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Budgetary Slack :
a. Faktor Internal
Salah satu faktor yang diteliti dan dianggap memiliki terhadap budgetary slack adalah faktor individual seperti etika atau moral. Etika merupakan nilai, norma yang dianut individu memandang suatu permasalahan sebagai sesuatu yang baik atau tidak baik, jujur atau tidak jujur (Indrawati Yuhertiana, 2005) dalam (Miyati, 2014) . Dari sudut pandang etika, budgetary slack sebagai sesuatu yang positif (etis) atau negatif (non-etis). Apabila individu menganggap budgetary slack sebagai sesuatu yang tidak etis, maka semakin rendah kecenderungan untuk menciptakan budgetary slack. Begitu pula sebaliknya, apabila individu
menganggap budgetary slack sebagai sesuatu yang etis maka semakin tinggi kecenderungan untuk menciptakan budgetary slack.
Hal itu sejalan dengan pemikiran Douglas & Wier (2000) dalam Miyati (2014) bahwa budgetary slack can also be viewed as an ethical issue.
b. Faktor Eksternal
Budgetary slack tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal tetapi juga faktor eksternal. Faktor eksternal yang banyak diteliti dan dianggap memiliki pengaruh yang signifikan pada budgetary slack adalah partisipasi anggaran.
Partisipasi anggaran merupakan keterlibatan bawahan dalam proses penyusunan anggaran. Sebagian besar penelitian yang dilakukan pada sektor swasta mendukung hipotesis bahwa partisipasi anggaran dalam penyusunan anggaran akan menghasilkan budgetary slack seperti penelitian Young (1985), Arfan Ikhsan dan La Ane (2007), Falikhatun (2007), Andi Kartika (2010) dalam Miyati (2014), dan Karsam (2013).
Menurut Dunk (1993) dalam Miyati (2014) karakteristik budgetary slack antara lain :
a. Standar dalam anggaran tidak mendorong peningkatan produktivitas.
b. Anggaran secara mudah untuk diwujudkan.
c. Tidak terdapatnya batasan-batasan yang harus diperhatikan terutama batasan yang ditetapkan untuk biaya.
d. Anggaran tidak menuntut hal khusus.
e. Anggaran tidak mendorong terjadinya efisiensi.
f. Target umum yang ditetapkan dalam anggaran mudah untuk dicapai.
Menurut Hilton et al (2000) dalam Miyati (2014), alasan manajer menciptakan budgetary slack dalam proses penganggaran yaitu : Kesenjangan
anggaran akan membuat kinerja seolah-olah terlihat baik di mata pimpinan jika mereka dapat mencapai target anggaran.
a. Kesenjangan anggaran digunakan untuk mengatasi ketidakpastian memprediksi masa yang akan datang.
b. Pengalokasian sumber daya yang akan dilakukan berdasarkan proyeksi anggaran biaya, sehingga adanya kesenjangan membuat lebih fleksibel.
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Peneliatian Falikhatun (2007) meneliti tentang “ Interaksi Informasi Asimetri, Budaya Organisasi, dan Group Cohesiveness Dalam Hubungan Antara Partisipasi Anggaran dan Budgetary Slack (Studi Kasus pada Rumah Sakit Umum Daerah Se Jawa Tengah)” . Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack serta menguji informasi asimetri, budaya organisasi, dan Group Cohesiveness sebagai variabel pemoderasi dalam memperkuat pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah partisipasi penganggaran berpengaruh positif signifikan terhadap budgetary slack, informasi asimetri mempunyai pengaruh negatif tetapi signifikan terhadap hubungan partisipasi penganggaran dengan budgetary slack, sehingga dapat disimpulkan bahwa informasi asimetri merupakan variabel yang memoderasi pada pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack. Budaya organisasi tidak mempunyai pengaruh terhadap hubungan partisipasi penganggaran dengan budgetary clack, sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi yang berorientasi pada orang bukan merupakan variabel yang memoderasi pada pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack.
Group Cohesiveness yang tinggi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap hubungan partisipasi penganggaran dengan budgetary slack, sehingga dapat disimpulkan bahwa Group Cohesiveness merupakan variabel yang memoderasi pada pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack.
Penelitian Yohanes (2012) meneliti tentang “Pengaruh Moderasi Informasi Asimetri dan Group Cohesiveness Terhadap Hubungan Partisipasi Anggaran Dengan Budgetary Slack “. Penelitian ini menguji efek moderasi informasi asimetri dan kekohesifan kelompok terhadap hubungan antara partisipasi penganggaran dengan budgetary slack.
Sampel penelitian ini adalah manager-manager fungsional perusahaan dealer dan servis mobil. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa variabel asimetri informasi tidak berpengaruh signifikan terhadap hubungan partisipasi anggaran dan budgetary slack, sehingga asimetri informasi bukan merupakan variabel moderat. Variabel group cohesiveness juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hubungan partisipasi anggaran dan budgetary slack, sehingga group cohesiveness bukan merupakan variabel moderat.
Penelitian Mohamad Djasuli (2011) meneliti tentang “Efek Interaksi Informasi Asimetri, Budaya Organisasi, Group Cohesiveness dan Motivasi dalam Hubungan Kausal Antara Budgeting Participation dan Budgetary Slack“.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh budgeting participation terhadap budgetary slack yang dimoderasi oleh informasi asimetris, budaya organisasi, group cohesiveness dan motivasi. Penelitian dilakukan pada seluruh SKPD Kabupaten Bangkalan. Hasil analisis data dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa partisipasi anggaran memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap budgetary slack, maksudnya bahwa partisipasi anggaran akan meningkatkan budgetary slack di SKPD Bangkalan.
Informasi asimetri merupakan variabel yang memoderasi pada pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack. Informasi asimetri membuat pegawai lebih berpartisipasi dalam penyusunan anggaran untuk meningkatkan kesenjangan anggaran. Budaya organisasi bukan merupakan variabel pemoderasi pada pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack. Group cohesiveness merupakan variabel pemoderasi pada pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack di SKPD Bangkalan.
Dalam kaitannya dengan Budgetary Slack, proses pengambilan keputusan bergantung pada keselarasan sikap kelompok terhadap tujuan formal dan tujuan organisasi. Motivasi merupakan variabel yang memoderasi pada pengaruh partisipasi penganggaran terhadap budgetary slack. Jadi motivasi yang tinggi dapat meningkatkan slack anggaran.
Penelitian Rahmi (2012) meneliti tentang “Pengaruh Interaksi Budaya Organisasi, dan Group Cohesiveness dalam Hubungan Antara Partisipasi Penganggaran dan Senjangan Anggaran“. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris tentang pengaruh Partisipasi Penganggaran terhadap Senjangan Anggaran, pengaruh budaya organisasi memoderasi hubungan partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran, pengaruh Group Cohesiveness memoderasi hubungan partisipasi anggaran terhadap senjangan anggaran.
Hasil penelitian adalah partisipasi penganggaran berpengaruh signifikan positif terhadap senjangan anggaran, budaya organisasi yang berorientasi pada pekerjaan tidak dapat memperkuat hubungan partisipasi penganggaran terhadap senjangan anggaran, group cohesiveness tidak dapat memperkuat hubungan partisipasi penganggaran terhadap senjangan anggaran.
Penelitian yang dilakukan oleh Karsam (2013) dalam Jurnal Internasional Aplikasi Bisnis dan Keuangan. Penelitian Karsam meneliti tentang ”Pengaruh Partisipasi dalam Penganggaran terhadap Budget Slack dengan Informasi Asimetri sebagai Variabel Moderating dan Dampaknya terhadap Kinerja Manajerial (Studi pada Yayasan Pendidikan dan Koperasi di Provinsi Banten, Indonesia)”.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat Budgetary Slack dalam anggaran Yayasan Pendidikan dan Koperasi di Provinsi Banten. Kasus ini diduga karena informasi asimetri diantara atasan dan bawahan serta adanya adverse selection, dimana manajer dan orang-orang dalam mengetahui prospek agency dan juga karena moral buruk manajer yang bertindak tanpa sepengetahuan pemegang saham dan pemilik perusahaan.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa tingkat informasi asimetri dalam hubungan antara penganggaran partisipatif terhadap budgetary slack adalah 24%, sisanya 76% merupakan variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.
Untuk meningkatkan efektivitas anggaran, manajemen harus menyerahkan otoritas, mengevaluasi, dan memastikan bahwa tim penyusunan anggaran telah mempertimbangkan secara menyeluruh informasi asimetri, serta kinerja manajerial diukur dengan perencanaan dan penganggaran.
Berikut adalah penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Pengaruh Partisipasi Anggaran, Kejelasan Sasaran Aggaran, Group Cohesiveness, Informasi Asimetri dan Budgetary Slack yang ditunjukkan dalam tabel di bawah ini :
Berikut adalah penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Pengaruh Partisipasi Anggaran, Kejelasan Sasaran Aggaran, Group Cohesiveness, Informasi Asimetri dan Budgetary Slack yang ditunjukkan dalam tabel di bawah ini :