• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh pada penelitian ini secara umum terbagi ke dalam dua katagori. Katagori pertama yaitu manfaat secara akademis dan katagori kedua yaitu manfaat secara praktis. Berikut penjelasan manfaat dari penelitian yaitu:

1. Manfaat Akademis

a. Di harapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan juga dapat memberi informasi serta menjadi data bagi pengetahuan.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambahan referensi dan wawasan ilmu pengetahuan bagi penelitian lain yang tertarik dalam mengambil judul Model Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa Labbo.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat diharapkan penelitian ini menjadi informasi kepada masyarakat agar tidak menyalahgunakan model perumusan kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng yang peruntukannya bagi masyarakat di Kabupaten Bantaeng.

b. Bagi penulis, memberikan pengetahuan dan memperoleh pengalaman langsung dalam model perumusan kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng dan sebagai salah satu persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Makassar

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

Sebelum peneliti melakukan penelitian, ada bebrapa peneliti terdahulu yang telah melakukan penelitian tentang yaitu:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Nama Penulis Judul Hasil Penelitian

1. Nurul hidayah,

Commitment

Berdasarkan uraian tabel di atas mengenai penelitian terdahulu, terdapat beberapa kesamaan diantaranya pembahasan tentang stunting. Namun saat ini belum di temukan penelitian tentang model perumusan kabijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat tema penelitian mengenai model perumusan kebijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng. Hal ini dimaksudkan agar masalah dalam pelaksanaan Program Stunting dapat teratasi guna mendukung keberhasilan pelaksanaan di tahun selanjutnya. Dengan demikian program ini

bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sesuai dengan tujuan perumusan kebijakan stunting khususnya di desa labbo.

B. Teori dan Konsep Model Kebijakan

Model menurut Thoha (1984) adalah bentuk abstraksi dari suatu kenyataan. Ia merupakan suatu perwakilan yang disederhanakan dari beberapa gejala dunia nyata. Model yang dipergunakan dalam kebijakan publik termasuk golongan model konsepsual, model seperti ini berusaha untuk menyederhanakan dan menjelaskan pemikiran-pemikiran tentang politik dan kebijakan publik. Mengidentifikasikan aspek-aspek yang penting dari persoalan-persoalan kebijakan, menolong seseorang untuk berkomunikasi dengan orang-orang lain dengan memusatkan pada aspek-aspek (features) yang esensial dalam kehidupan politik. Mengarahkan usaha-usaha kepada pemahaman yang lebih baik mengenai kebijakan public dengan menyarankan hal-hal manakah yang dianggap penting dan yang tidak penting.

1. Model Perumusan Kebijakan

a. Model Kelembagaan (Institusional)

Pada model ini secara sederhana bermakna bahwa “tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah”. Jadi semua yang dibuat

oleh pemerintah dengan cara apa pun merupakan kebijakan publik.

Model ini pada dasarnya lebih mengutamakan fungsi-fungsi setiap kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat dalam memformulasikan kebijakan. Menurut Thomas R. Dye, ada tiga hal yang membenarkan tentang pendekatan teori ini, yaitu ; pemerintah

memang sah dalam membuat kebijakan publik, formulasi kebijakan publik yang dibuat oleh pemeritah bersifat universal (umum), pemerintah memonopoli/menguasai fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama.

b. Model Teori Kelompok (Group)

Dalam pengambilan kebijakan penganut teori ini mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Intinya adalah interaksi yang terjadi di dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan dan keseimbangan tersebut adalah yang terbaik. Individu di dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung atau melalui media massa menyampaikan tuntutan/gagasan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Sistem politik pada model ini berperan untuk memanage konflik yang muncul akibat adanya perbedaan tuntutan, melalui :

a. Merumuskan aturan main antarkelompok kepentingan.

b. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.

c. Memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan publik (yang akan dibuat).

d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.

c. Model Teori Elit (Elite)

Model teori ini mengasumsikan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat 2 kelompok, yaitu pemegang kekusaan (elit) dan yang tidak

berkuasa (massa). Di dalam formulasi kebijakan, sedemokratis apa pun selalu ada bias karena pada akhirnya kebijakan tersebut merupakan preferensi politik dari para elit-politik. Sisi negatifnya adalah dalam sistem politik, para elit-politiklah yang akan menyelengarakan kekuasaan sesuai kehendaknya. Sisi positifnya adalah seorang elit-politik yang berhasil memenangkan gagasan membawa negara-bangsa ke kondisi yang lebih baik dibanding dengan pesaingnya. Secara top down, elit-politiklah yang membuat kebijakan, sedang implementasi kepada rakyat dilakukan oleh administrator publik. Jadi model elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana kebijakan publik merupakan perspeksi elit-politik. Prinsip dasarnya kebijakan yang dibuat bersifat konservatif karena para elit-politik ingin mempertahankan status quo. Kelemahannya yaitu kebijakan yang dibuat elit-politik tidak selalu mementingkan kesejahteraan rakyat.

C. Teori dan Konsep Kebijakan Publik

Anderson (dalam Islamy, 1998) mengatakan bahwa kebijakan itu adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Berdasarkan pengertian tentang kebijakan yang telah diurai-kan di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya kebijakan da-pat dilakukan secara umum, namun pada kenyataannya lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam tindakan-tindakan atau perilaku pemerintah serta perilaku

Negara pada umum-nya yang lebih dikenal dengan sebutan kebijakan Negara atau kebijakan publik (publik policy).

Berdasarkan pengertian tentang kebijakan dan kebijakan publik yang telah diuraikan di atas, Islamy mengemukakan beberapa elemen penting tentang kebijakan Negara (public policy), yaitu:

a. Bahwa kebijakan Negara itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah.

b. Kebijakan Negara itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata.

c. Kebijakan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perlu dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.

d. Kebijakan Negara harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat. (Islamy, 2002: 20).

Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus menerus, karena itu yang paling penting adalah siklus kebijakan. Siklus kebijakan meliputi formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan (Parsons, 1997). Kebijakan yang telah diformulasikan atau dirumuskan bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini dapat dimengerti, bahwa kebijakan tidak akan sukses, jika dalam pelaksanaannya tidak ada kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan. Seringkali ada anggapan setelah kebijakan disahkan oleh pihak yang berwenang dengan sendirinya kebijakan itu akan dilaksana-kan, dan hasil-hasilnya pun akan mendekati seperti yang diharapkan oleh pembuat

kebijakan tersebut. Dalam proses kebijakan publik yang akan diterapkan, melalui proses/tahapan yang cukup panjang.

Dunn (2000) menambahkan bahwa masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum ter-penuhi, tetapi yang dapat diidentifikasikan dan dicapai mela-kukan tindakan publik. Perumusan masalah, sebagai salah satu tahap dalam proses penelitian di mana analis mera-ba-raba untuk mencari definisi yang mungkin mengenai situasi problematis, tak disangkal merupakan aspek yang paling rumit tatapi paling sedikit difahami dalam analisa kebijakan. Proses perumusan masalah kebijakan tidak mengikuti aturan-aturan yang definitif, karena masalah kebijakan itu sendiri sedemi-kian kompleks. Karena itu, masalah kebijakan merupakan tahap paling kritis dalam analisa kebijakan, karena analis lebih sering memecahkan masalah yang salah dari pada menemukan pemecahan yang salah atas masalah yang benar.

Kesalahan fatal dalam analisa kebijakan adalah memecahkan rumusan masalah yang salah karena analis dituntut untuk memecahkannya secara benar.

D. Teori dan Konsep Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan merupakan suatu tahapan yang tidak dapat di hilangkan dari proses kebijakan. Penelitian mengenai proses formulasi kebijakan pada umumnya memiliki kekurangan. Berlan dkk (2014:28) dalam Pritasari, L. A., & Kusumasari, B. 2019 , Kebijakan yang baik akan terlaksana apabila kebijakan tersebut di implementasikan sesuai dengan tujuan utama kebijakan tersebut diformulasikan. Masukan dari kelompok kepentingan untuk sebuah kebijakan kerap kali dicari karena kelompok tersebut memiliki sesuatu

yang berharga untuk ditawarkan. Kelompok tersebut berniai karena mereka mampu. Kelompok dikatakan mampu karena mereka memiliki informasi:

mereka memberikan gagasan kebijakan dan memiliki fakta. Ketika angka keterwakilan kelompok tersebut tinggi, mereka juga dapat meningkatkan persentase keberhasilan kebijakan yang mereka usulkan (Halpin, Daugbjer dan Schvartzman, 2011:150) dalam Pritasari, L. A., & Kusumasari, B. 2019.

Menurut Suharno (2010:52) dalam Laniari, M. 2015 proses pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun demikian, para administrator sebuah organisasi institusi atau lembaga dituntut untuk memiliki tanggung jawab dan kemauan, serta kemampuan atau keahlian, sehingga dapat membuat kebijakan dengan resiko yang diharapkan (intendedrisks) maupun yang tidak di harapkan (unintendedrisks).

Dalam perspektif lain sebagaimana ditegaskan oleh Anderson bahwa model atau tipe pengambilan kebijakan dikaitkan dengan proses pembahasannya dalam agenda kebijakan publik dapat dibedakan dalam tiga bentuknya, yaitu pola kerjasama (bargaining), persuasif (persuasion), dan pengarahan (commanding). Anderson menegaskan bahwa prhoses bargaining dapat terjadi dalam tiga bentuknya yaitu negosiasi (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise).

Sesungguhnya penjelasan bargaining berakar pada istilah bahwa jika terdapat dua atau lebih aktor atau kelompok aktor yang masing-masing memiliki

kewenangan dan posisi tertentu tetapi dapat melakukan penyesuaian yang diharapkan dapat terbangun dalam sistem pembahasannya.

Pada pembahasan mengenai kebijakan publik, maka aktor mempunyai posisi yang sangat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi) kebijakan itu sendiri. Kelembagaan merupakan penentu proses perjalanan dan strategi yang dilakukan oleh komunitas kebijakan dalam makna yang lebih luas. Perumusan permasalahan publik merupakan fundamen besar dalam merumuskan kebijakan publik sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai (Bintari, 2016).

Menurut Howlett dan Ramesh dalam Madani (2011:36)45 menjelaskan bahwa pada prinsipnya aktor kebijakan adalah mereka yang selalu dan harus terlibat dalam setiap proses analisa kebijakan publik, baik berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan yang senantiasa aktif dan proaktif di dalam melakukan interaksi dan interelasi di dalam konteks analisis kebijakan publik.

Anderson dalam Madani (2011:37) bahwa aktor kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu mempunyai konsen terhadap kebijakan. Aktor individu maupun kelompok yang turut serta dalam setiap perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa aktor kebijakan yaitu seorang maupun sekelompok orang yang terlibat dalam penentu kebijakan, baik pada proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan publik. Aktor kebijakan ini

dapat berasal dari pejabat pemerintah, masyarakat, kaum buruh, maupun kelompok kepentingan.

Menurut Anderson dalam Madani (2011:41), menyatakan bahwa: Dengan memperhatikan berbagai ragam dan pendekatan dalam memahai berbagai aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik, maka konsep dan konteks aktor adalah sangat terkait dengan macam dan tipologi kebijakan yang akan dianalisis. Dalam perspektif formulasi masalah kebijakan publik, maka aktor yang terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi (the official policy makers) dan yang lain adalah keelompok di luar birokrasi (un-official policy maker).

Winarno dalam Madani (2011:41) berpandangan bahwa: Kelompok yang terlibat dalam proses kebijakan publik adalah kelompok formal dan kelompok non formal. Kelompok formal seperti badan-badan administrasi pemerintah yang meliputi: eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sementara itu, kelompok non formal terdiri dari:

Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) yang dikutip Winarno (2012) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (whatever government choose todo or not to do). Definisi ini menunjukkan bahwa kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah dan kebijakan publik juga menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Segala keputusan yang di ambil pemerintah adalah kebijakan, namun tidak mengambil keputusan pun adalah suatu kebijakan.

Proses pembuatan sebuah kebijakan publik melibatkan berbagai aktivitas yang kompleks. Pemahaman terhadap proses pembuatan kebijakan oleh para ahli dipandang penting dalam upaya melakukan penilaian terhadap sebuah kebijakan publik. tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan. Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan besaran pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama tersebut.

Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik menarik diantara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi.

Stone menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan teori stratifikasi (stratification theory), perumusan kebijakan menempatkan suatu sistem yang mana para pejabat publik merumuskan suatu kebijakan dalam konteks yang secara strategis mempunyai sumber daya yang amat penting yaitu susunan hierarki (hierarchichally arrange). Oleh karena itu berkenaan dengan kebijakan publik, maka para pejabat publik keberadaannya amat bergantung pada kepentingan strata kekuasaan yang lebih tinggi. Stone menjelaskan bahwa perilaku pejabat publik seperti itu merupakan asumsi dasar daripada pendekatan kekuasaan sistemik dimana para pejabat publik berusaha mengejar apa yang menjadi kepentingan mereka yang kemudian menghasilkan suatu relasi dimana tingkatan jabatan tertinggi akan lebih diuntungkan daripada kepentingan strata yang paling rendah.

E. Konsep Kebijakan Stunting

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang dan tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting merupakan masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa mendatang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Kemenkes RI, 2018).

Stunting masa kanak-kanak berhubungan dengan keterlambatan perkembangan motorik dan tingkat kecerdasan yang lebih rendah. Selain itu, juga dapat menyebabkan depresi fungsi imun, perubahan metabolik, penurunanperkembangan motorik, rendahnya nilai kognitif dan rendahnya nilai akademik. Anak yang menderita stunting akan tumbuh menjadi dewasa yang berisiko obesitas, glucose tolerance, penyakit jantung koroner, hipertensi, osteoporosis, penurunan performa dan produktivitas.

Perawakan pendek (stunting) adalah indeks status gizi di mana panjang badan atau tinggi badan berdasar umur berada di bawah garis normal. Pada dasarnya definisi stunting bersifat relatif, bergantung pada tinggi badan orangtua dan pola pertumbuhan setempat. Populasi yang dimaksud berkaitan dengan ras atau golongan tertentu, sedangkan daerah atau ketinggian dataran tempat tinggal tidak berkaitan dengan kondisi perawakan pendek meskipun banyak orang yang tinggal di dataran tinggi cenderung lebih pendek dari orang-orang yang tinggal didataran rendah. Stunting juga merupakan jenis malnutrisi

terbanyak dan masih menjadi masalah gizi utama hampir di seluruh provinsi Indonesia ditandai dengan gangguan pertumbuhan dan berdampak pada kecerdasan intelektual, motorik, psikosoial yang buruk karena perkembangan fisik dan mental anak dapat bermasalah. Seorang anak dikatakan memiliki tinggi badan di bawah garis normal atau pendek jika hasil pengukuran tinggi badan atau umur (TB/U) berada di bawah -2 standar deviasi (SD) dan dikatakan sangat pendek jika TB/U berada di bawah -3SD. Pengukuran tersebut dinilai dengan WHO Chart.

Schmidt 2014 dalam Fikawati (2017) mengatakan bahwa stunting juga didefinisikan sebagai tinggi badan menurut usia di bawah -2 standar median kurva pertumbuhan anak WHO (WHO, 2010). Stunting merupakan kondisi kronis buruknya pertumbuhan linear seorang anak yang merupakan akumulasi dampak berbagai faktor seperti buruknya gizi dan kesehatan sebelum dan setelah kelahiran anak tersebut (El Taguri et al., (2008), WHO (2010). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Schmidt (2014) yang menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari kurang gizi yang terjadi dalam periode waktu yang lama yang pada akhirnya menyebabkan penghambatan pertumbuhan linear.

Asas penurunan stunting yaitu:

a. Bertindak cepat dan akurat;

b. Penguatan kelembagaan dan kerja sama;

c. Akuntabilitas;

d. Transparansi.

Intervensi gizi sensitif mencakup: (a) Peningkatan penyediaan air bersih dan sarana sanitasi; (b) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; (c) Peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; (c); serta (d) Peningkatan akses pangan bergizi. Intervensi gizi sensitif umumnya dilaksanakan di luar Kementerian Kesehatan. Sasaran intervensi gizi sensitif adalah keluarga dan masyarakat dan dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan sebagaimana tercantum di dalam Tabel 2-2.

Program/kegiatan intervensi di dalam tabel tersebut dapat ditambah dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Tabel 2.2 Intervensi Gizi Sensitif Percepatan Penurunan Stunting

JENIS INTERVENSI PROGRAM/ KEGIATAN INTERVENSI Peningkatan

penyediaanair minum dan sanitasi

 Akses air minum yang aman

 Akses sanitasi yang layak Peningkatan akses

dankualitas pelayanan gizidan kesehatan

 Akses pelayanan keluarga berencana (KB)

 Akses jaminan kesehatan (JKN)

 Akses bantuan uang tunai untuk keluarga miskin (PKH)

Peningkatan

kesadaran,komitmen, dan praktikpengasuhan dan gizi ibu dan anak

 Penyebarluasan informasi melalui berbagai media

 Penyediaan konseling perubahan perilaku antar pribadi

 Penyediaan konseling untuk pengasuh orang tua

 Penyediaan akses pendidikan anak usia dini (PAUD), promosi stimulasi anak usia dini, dan pemantuan tumbuh kembang anak

 Penyediaan konseling kesehatan dan reprodusi untuk remaja

 Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak

Peningkatan aksespangan bergizi

 Akses bantuan pangan non tunai (BPNT) untuk keluarga kurang mampu

 Akses fortifikasi bahan pangan utama (garam, teping terigu, minyak goring)

 Akses kegiatan kawasan rumah pangan lestari (KRPL)

F. Faktor-faktor Yang Mengmpengaruhi Kebijakan Stunting 1. Pola Makanan

Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari segi, serta seringkali tidak seragam.

2. Pola Asuh

Stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola asuhyang kurang baik dalam praktek pemberian makanan bagi bayi dan balita.

3. Sanitasi dan akses air bersih

Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih, mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Untuk itu perlu membiasakan cuci tangan pakai sabun pada air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.

G. Kerangka Pikir

Kerangka pemikiran merupakan penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi objek permasalahan di sebuah topik penelitian. Yang menjadi

kriteria utama dalam membuat suatu kerangka berpikir agar dapat meyakinkan ilmuwan adalah alur-alur pemikiran yang logis, bisa dibilang bahwa kerangka berpikir adalah sintesa tentang hubungan antara variabel yang disusun berdasarkan beragam teori yang telah dideskripsikan.

Dalam penelitian ini, penulis berusaha meninjau Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng dengan cara menggambarkan proses pelaksanaan Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo dengan menggunakan model dan tipe perumusan kebijakan menurut Anderson yaitu model pola kerja sama (bargaining), model persuasif (persuasion) dan pengarahan (commanding). Berdasarkan penjelasan kerangka piker, maka penulis akan menyederhanakan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng

Gambar 2.1 : Bagan Kerangka Pikir

H. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif digunakan sebagai faktor untuk memperdalam penelitian. Adapun fokus dalam penelitian ini yang di maksud adalah implementasi kebijakan berkaitan dengan model perumusan kebijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng menggunakan model dan tipe perumusan kebijakan menurut Anderson yaitu model pola kerja sama (bargaining), model persuasif (persuasion), dan pengarahan (commanding).

I. Deskriptif Fokus Penelitian

Pengarahan (Commanding)

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perumusan

Kebijakan Desa Mengenai Stunting

Perumusan Kebijakan Menurut Anderson

Pola Kerja Sama (Bargaining)

Model Persuasif (Persuasion)

Berdasarkan fokus penelitian yang telah di uraikan penulis kemudian akan dideskripsikan berikut ini:

1. Model pola kerja sama (bargaining)

Pada model kerja sama (bargaining) dapat terjadi dalam tiga bentuknya yaitu negosiasi (negotiation) adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaukan tujuan yang berbeda dan bertentangan, saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise) merupakan upaya untuk memperoleh kesepakatan di antara dua pihak yang saling berbeda pendapat atau pihak yang berselisih.

2. Model persuasif (persuasion).

Model persuasi (persuasion) ialah adanya polarisasi kelompok dalam perumusan kebijakan, yang di maksudkan polarisasi kelompok adalah adanya kelompok aktor yang menyebabkan aktor lain mengubah keputusan mereka ini bisa di lihat dari adanya negosiasi dan kompromi yang di lakukan oleh aktor perumus kebijakan, baik ke arah yang lebih teliti, atau lebih mengandung resiko dengan mengumpulkan pendapat kelompok aktor sampai tahap penentuan suatu kebijakan.

3. Pengarahan (commanding).

Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada model ini adalah berkaitan dengan pola perumusan kebijakan yang sangat struktural, dimana satu kelompok aktor menjadi superordinat dan kelompok yang lain tentu saja menjadi subordinat. Tipe pengambilan kebijakan menempatkan posisi ini

mirip dengan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga perumus pengelolaan sumber daya alam daerah dalam bentuk kebijakan.

29 SBAB III

METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kantor Desa labbo Kabupaten Bantaeng selama 2 bulan yang dimulai dari tanggal 15 Agustus 2020 sampai 15 Oktober 2020 dimana titik pengambilan data penelitian tentang Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng.

B. Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif (Qualitative Research). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan cenderung menggunakan analisis, penelitian ini membahas tentang objek yang alamiah sesuai dengan apa yang telah terjadi maupun belum terjadi dilapangan.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang merupakan bentuk penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum berbagai macam data yang dikumpul dari lapangan secara objektif berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang merupakan bentuk penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum berbagai macam data yang dikumpul dari lapangan secara objektif berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi

Dokumen terkait