• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN STUNTING DI DESA LABBO KABUPATEN BANTAENG. Disusun dan Diajukan Oleh ANDI SRI SULASTRI. Nomor Stambuk:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN STUNTING DI DESA LABBO KABUPATEN BANTAENG. Disusun dan Diajukan Oleh ANDI SRI SULASTRI. Nomor Stambuk:"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN BANTAENG

Disusun dan Diajukan Oleh ANDI SRI SULASTRI Nomor Stambuk: 105641116716

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020

(2)

i

KABUPATEN BANTAENG

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan

Disusun dan Diajukan Oleh ANDI SRI SULASTRI Nomor Stambuk : 105641116716

Kepada

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv Saya yang bertandatangan di bawahini :

NamaMahasiswa : Andi Sri Sulastri NomorStambuk : 105641116716 Program Studi : IlmuPemerintahan

Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain atau telah ditulis/dipublikasikan orang lain atau melakukan plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sangsi akademik sesuai aturan yang berlaku, sekalipun itu pencabutan gelar akademik.

Makassar,9 September 2020 Penulis,

Andi Sri Sulastri

(6)

v

Andi Sri Sulastri. 2020. Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng yang di bombing oleh Bapak H. Muhlis Madani selaku pembimbing I dan Ibu Hj. Budi Setiawan selaku pembimbing II.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perumusan kebijakan Stunting di desa labbo kabupaten bantaeng.

Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan studi kasus. Data diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Sumber data penelitian adalah data primer dan sekunder. Jumlah informan penelitian adalah 5 orang.

Teknik analisis data yang digunakan yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data dan verifikasi dan penarikan data.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perumusan kebijakan stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng belum optimal. Hal tersebut disebabkan kurangnya sosialisasi dari Pemerintah Daerah, infrastruktur kesehatan yang belum memadai dan kualitas SDM terhadap masyarakat Kabupaten Bantaeng. Faktor yang mempengaruhi Perumusan Kebijakan stunting dapat diketahui bahwa untuk dapat menilai keefektifan pemerintah dapat dilihat dari beberapa faktor yang diantaranya ialah, kesehatan masyarakat desa yang kurang cukup meningkat, tingkat kesadaran masyarakat tentang kesehatan yang menunjukkan grafik peningkatan dan pola hidup sehat yang mulai diterapkan pada masyarakat yang ada di desa. Kebijakan desa dibuat karena adanya peraturan presiden tentang gerakan percepatan perbaikan gizi dan peraturan bupati tentang konvergensi program pencegahan stunting maka dari itu dibuatlah kebijakan desa atau perdes No. 04 Tahun 2019 tentang percepatan penurunan stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng.

Kata Kunci: Model, Perumusan Kebijakan, Stunting

KATA PENGANTAR

(7)

vi

Assalamuikum warahmatullahi wr. wb

Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Model Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng”.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitan membutuhkan waktu yang cukup lama. Meskipun dalam prosesnya peneliti mendapat hambatan dan tantangan, namun itu semua tidak mematahkan semangat dan perjuangan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. H. Muhlis Madani, M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Dr.

Hj. Budi Setiawati, M.Si selaku pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga skripsi ini dapat di selesaikan.

2. Ibu Dr.Hj Ihyani Malik, S.Sos., M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar beserta seluruh stafnya.

3. Ibu Dr.Nuryanti Mustari, S.IP., M.Si selaku ketua jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik dan staf pegawai

(8)

vii Makassar.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberi ilmu kepada penulis selama menempuh perkuliahan.

5. Drs. H. Ansyari Mone, M.Pd selaku penasehat akademik (PA) yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.

6. Kedua orang tua tercinta, Bapak Kr. Dawing dan Ibu Halipa yang telah melahirkan, membesarkan, merawat, memberikan pendidikan sampai pada jenjang saat ini, mendoakan, memberi semangat dan motivasi serta bantuan baik moral ataupun materi dan tak lupa kasih sayang yang tak hentinya beliau berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Terima kasih untuk segala pihak yang terlibat dalam hal ini Kepala Desa Labbo, Serta kepada para narasumber yang memberikan bantuan kepada penulis berupa informasi sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.

8. Kedua saudara dan saudari penulis, Andi Ahmad Junaedi dan Ayu Ahriani terima kasih atas dukungan dan motivasi kepada penulis.

9. Teman-teman jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 016, terima kasih saling membantu selama kurang lebih 4 tahun ini.

10. Kepada teman-teman seperjuangan Riske Asmawati, Sakina Kumalasari, Rifkatul Mukarramah, Umi Umairah Suhardi dan Nursanti

(9)

viii

disetiap susah dan senang kehidupan penulis.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini sangatlah jauh dari kesempurnaan karena segala sesuatu yang sempurna itu hanya milik ALLAH SWT dan oleh karena itu demi kesempurnaan skripsi ini, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang membutuhkan.

Makassar, 9 September 2020 Penulis,

Andi Sri Sulastri

DAFTARISI

SAMPUL ... i

(10)

ix

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu ... 10

B. Teori dan Konsep Model Kebijakan ... 12

C. Teori dan Konsep Kebijakan Publik ... 14

D. Teori dan Konsep Perumusan Kebijakan ... 16

E. Konsep Kebijakan Stunting ... 21

F. Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Stunting ... 24

G. Kerangka Pikir ... 25

H. Fokus Penelitian... 26

I. Deskriptif Fokus Penelitian ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 29

B. Jenis dan Tipe Penelitian ... 29

C. Sumber Data ... 29

D. Informan Penelitian ... 30

E. Teknik Pengumpulan Data ... 31

F. Teknik Analisis Data ... 32

G. Keabsahan Data ... 33

BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 35

1. Gambaran Umum Kabupaten Bantaeng ... 35

2. Kantor Desa Labbo... 39

B. Bagaimana Model Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng ... 51

1. Pola Kerja Sama ... 51

2. Persuasi ... 55

3. Pengarahan ... 57

(11)

x

Labbo Kabupaten Bantaeng ... 58 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 64 DAFTAR PUSTAKA ... 65 LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1Jumlah Stunting Di Kabupaten Bantaeng Tahun 2019 ... 6

(12)

xi

Tabel 2.2 Intervensi Gizi Sensitif Percepatan Penurunan Stunting ... 23 Tabel 3.1 Informan Penelitian ... 31 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Bantaeng Berdasarkan Kecamatan ... 36

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir ... 26

(13)

xii

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembuatan sebuah kebijakan seringkali dinyatakan dengan kata atau istilah yang berbeda-beda. Proses penyusunan kebijakan merupakan satu rangkaian aktivitas yang tidak terpisahkan dari sebuah proses kebijakan, artinya suatu aktivitas yang berlangsung secara simultan. Dalam proses penyusunan kebijakan terdapat proses tawar menawar (bargaining) yang terjadi antara aktor-aktor pembuat kebijakan dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangan dilaksanakan bukan untuk menyinkronkan kepentingan rakyat namun digunakan untuk meraih kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) itu sendiri (Madani, 2010:9).

Kebijakan yang baik akan terlaksana apabila kebijakan tersebut di implementasikan sesuai dengan tujuan utama kebijakan tersebut diformulasikan. Masukan dari kelompok kepentingan untuk sebuah kebijakan kerap kali dicari karena kelompok tersebut memiliki sesuatu yang berharga untuk ditawarkan. Kelompok tersebut berniai karena mereka mampu.

Kelompok dikatakan mampu karena mereka memiliki informasi: mereka memberikan gagasan kebijakan dan memiliki fakta. Ketika angka keterwakilan kelompok tersebut tinggi, mereka juga dapat meningkatkan persentase keberhasilan kebijakan yang mereka usulkan (Halpin, Daugbjer dan Schvartzman, 2011:150).

(15)

Secara makro, dibutuhkan ketegasan kebijakan, strategi, regulasi, dan koordinasi lintas sector dari pemerintahan dan semua stekholder untuk menjamin terlaksana poin-poin penting seperti pemberdayaan masyarakat, pemberantasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan pendidikan yang secara tidak langsung akan mengubah nudaya buruk dan paradigm di dataran bawah dalam hal perawatan gizi terhadap keluarga. Pemerintah Kabupaten Bantaeng terus mengintensifasikan program dan kegiatan tersebut untuk mengantisipasi kasus itu agar tidak melabar ke balita lain di daerah ini.

Pemerintah telah menetapkan penurunan stunting sebagai prioritas nasional yang dilaksanakan secara lintas sektor di berbagai tingkatan sampai dengan tingkat desa. Berdasarkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa berkewajiban untuk mendukung kegiatan-kegiatan pembangunan yang menjadi program prioritas nasional. Oleh karena itu, pemerintah desa diharapkan untuk menyusun kegiatan-kegiatan yang relevan dengan penurunan stunting terutama yang bersifat skala desa melalui pemanfaatan Dana Desanya.

Penurunan stunting penting dilakukan sedini mungkin untuk menghindari dampak jangka panjang yang merugikan seperti terhambatnya tumbuh kembang anak. Stunting mempengaruhi perkembangan otak sehingga tingkat kecerdasan anak tidak maksimal. Hal ini berisiko menurunkan produktivitas pada saat dewasa. Stunting juga menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit. Anak stunting berisiko lebih tinggi menderita penyakit kronis di masa dewasanya. Bahkan, stunting dan berbagai bentuk masalah gizi

(16)

diperkirakan berkontribusi pada hilangnya 2-3% Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya.

Diketahui stunting merupakan kondisi dimana anak mengalami gangguan pertumbuhan. Menjadikan anak tersebut lebih pendek dibanding anak seusianya karena tidak tercukupinya asupan gizi, bahkan sejak dalam kandungan. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh (kerdil) akibat kekurangan gizi kronis dalam waktu yang lama. Mata rantai terjadinya stunting dimulai dari usia remaja putri, ibu hamil, ibu menyusui, pemberian MPASI, berlanjut dengan pola hidup sehari-hari, terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK).

Stunting atau balita pendek adalah balita dengan masalah gizi kronik, yang memiliki status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference umur balita jika dibandingkan dengan standar baku Study) tahun 2005, memiliki nilai z-score kurang dari - 2SD dan apabila nilai z-scorenya kurang dari-3SD dikategorikan sebagai balita sangat pendek (Pusdatin, 2015). Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia. Permasalahan Stunting merupakan isu baru yang berdampak buruk terhadap permasalahan gizi di Indonesia karena mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh anak serta meningkatnya angka kesakitan anak, bahkan kejadian stunting tersebut telah menjadi sorotan WHO untuk segera dituntaskan (Kania, 2015).

Permasalahan Stunting atau gangguan pertumbuhan pada anak akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, terus menjadi fokus

(17)

pemerintah untuk segera diselesaikan. Bahkan, upaya untuk mengurangi angka stunting di daerah terus dilakukan, termasuk hingga di tingkatan puskesmas (pusat kesehatan masyarakat). Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari segi jumlah dan kualitas gizi, serta seringkali tidak beragam. Selain itu, stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola asuh yang kurang baik dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan Balita.

Waktu terbaik untuk mencegah stunting adalah selama kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan. Stunting di awal kehidupan akan berdampak buruk pada kesehatan, kognitif, dan fungsional ketika dewasa. Pasalnya, stunting sangat dipengaruhi oleh seribu hari pertama kehidupan, dimulai dari dalam kandungan. Stunting pada anak-anak merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia dan menjadi masalah yang serius karena dikaitkan dengan kualitas sumber daya manusia di kemudian hari.

Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi perorangan dan masyarakat Indonesia. Intervensi pada seribu hari pertama penting untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah Indonesia pun melakukan sejumlah intervensi untuk mencapai target turunnya prevalensi stanting pada anak di bawah umur dua tahun dari 37% (2013) menjadi 28% pada tahun 2019. (MCA- Indonesia; 2017).

(18)

Walaupun berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bantaeng namun tetap banyak warga yang mengalami kekurangan gizi (kerdil).

Hal tersebut tentu menjadi salah satu penilaian terhadap kinerja Pemerintah Daerah dalam mengatasi kekurangan gizi. Perlu diketahui upaya-upaya lain yang telah dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng dalam hal mengatasi kekurangan gizi.

Untuk meminimalisir permasalahan kesehatan yang ada di Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Bantaeng, maka Pemerintah berupaya keras melakukan berbagai kebijakan dan program untuk menurunkan jumlah penduduk yang mengalami kekurangan gizi buruk yang ada di Kabupaten Bantaeng, sehingga penduduk yang kekurangan gizi buruk dapat merasakan perubahan yang menuntut adanya peningkatan kualitas manusia. Hal ini disebabkan oleh tuntutan era globalisasi dan modernisasi pembangunan di Indonesia melahirkan tuntutan mengenai tingginya kualitas kesehatan masyarakat.

Sejalan dengan program pemerintah dalam konvergensi integrasi pencegahan stunting maka pemerintah Kabupaten Bantaeng membuat Surat Keputusan Bupati Nomor 71 tahun 2019 tentang konvergensi program percepatan pencegahan stunting Kabupaten Bantaeng, kemudian diperkuat dengan menerbitkan Surat Keputusan Desa Labbo Nomor 04 tahun 2019 tentang percepatan penurunan stunting.

Adapun alasan saya mengangkat rumusan masalah mengenai perumusan kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng adalah karena

(19)

saya ingin mengetahui bagaimana model perumusan kebijkan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng itu sendiri, strategi apa yang dilakukan desa labbo dalam mengimplementasikaan kebijakan stunting ini. Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantaeng, Desa Labbo termasuk salah satu dari lokasi yang terdapat kasus stunting di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng dengan prevalensi kasus stunting sebesar 21.6%. Adapun jumlah kasus stunting tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 1.1

Jumlah Stunting di Kecamatan Tompobulu Tahun 2019 No Desa/Kelurahan Jumlah Anak

Stunting

1 Balumbung 6

2 Bonto-bontoa 2

3 Bonto tappalang 5

4 Labbo 10

5 Pattalassang -

6 Pattaneteang 3

7 Banyorang -

8 Campaga -

9 Ereng-ereng -

10 Lembang Gatarangkeke

Jumlah 26

Sumber : Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantaeng Tahun 2019 Pada hasil observasi awal, belum didapatkan banyak informasi dari seluruh desa yang ada di Kabupaten Bantaeng tentang bagaimana efektifitas dan efisiensi terhadap pelaksanaan Stunting, baik dari aspek konteks, pelaksanaan,

(20)

maupun hasil yang ditimbulkan dari pelaksanaan Stunting dan juga didapatkan bahwa perumusan kebijakan ataupun penelitian tentang Stunting di Kabupaten Bantaeng terkhusus di Desa Labbo belum pernah dilakukan, sehingga sangat perlu dilakukan penelitian tentang permasalahan ini.

Berdasarkan permasalahan mengenai kebijakan Program Stunting di atas maka, peneliti ingin mengetahui seberapa baik kebijakan Program Stunting tersebut. Penulisan ini akan menjelaskan bagaimana pelaksanaan kebijakan tersebut berjalan dengan lokus penelitian di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng, dengan alasan karena di Desa Labbo merupakan salah satu desa yang menjalankan program Stunting.

Di kabupaten Bantaeng pemberian makanan tambahan pada ibu hamil dan balita, pemberian tablet zat besi bagi remaja putri minimal 4 tablet setiap bulan. Dan tambahan tablet zat besi pada ibu hamil minimal 90 tablet selama kehamilan, pemberian tablet zat besi pada ibu nifas, pemberian vitamin A pada balita minimal 2 kali dalam setahun. Berdasarkan data riset kesehatan daerah tahun 2018, Bantaeng masuk dalam daerah terendah stunting yakni 21, 8 persen.

Hal itu tak terlepas dengan pemberian susu bagi ibu hamil dan menyusui.

Berdasarkan uraian diatas, merupakan suatu hal yang menarik bagi peneliti untuk mengkaji lebih jauh tentang bagaimana kebijakan pemerintah dalam menurungkan angka stunting dengan mengangkat judul penelitian,

“Model Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng”.

(21)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah di uraikan permasalahan dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana Model Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perumusan kebijakan stunting di desa Labbo Kabupaten Bantaeng?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui Bagaimana model perumusan kebijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng.

2. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perumusan kebijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh pada penelitian ini secara umum terbagi ke dalam dua katagori. Katagori pertama yaitu manfaat secara akademis dan katagori kedua yaitu manfaat secara praktis. Berikut penjelasan manfaat dari penelitian yaitu:

1. Manfaat Akademis

(22)

a. Di harapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan juga dapat memberi informasi serta menjadi data bagi pengetahuan.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambahan referensi dan wawasan ilmu pengetahuan bagi penelitian lain yang tertarik dalam mengambil judul Model Perumusan Kebijakan Stunting Di Desa Labbo.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat diharapkan penelitian ini menjadi informasi kepada masyarakat agar tidak menyalahgunakan model perumusan kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng yang peruntukannya bagi masyarakat di Kabupaten Bantaeng.

b. Bagi penulis, memberikan pengetahuan dan memperoleh pengalaman langsung dalam model perumusan kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng dan sebagai salah satu persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Makassar

(23)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

Sebelum peneliti melakukan penelitian, ada bebrapa peneliti terdahulu yang telah melakukan penelitian tentang yaitu:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Nama Penulis Judul Hasil Penelitian

1. Nurul hidayah, Marwan (2020)

Upaya

Pemberdayaan Masyarakat Dalam Menciptakan Generasi Milenial Sadar Gizi Yang Bebas Stunting Melalui Kegiatan 1000 HKP

Dari hasil peenelitian stunting merupaka gizi kronis yang disebabkan kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, sehingga menunggu pertumbuhan perkembangan, kesehatan dan produktivitas anak.

2. Merri Syafrina, Masrul , Firdawati (2018)

Analisis Komitmen Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman Dalam Mengatasi Masalah Stunting Berdasarkan Nutrition

Hasil dari penelitian dari 12 indikator NCI, total skor adalah 6 diantaranya skor 1 yaitu promosi MP-ASI, kondisi program gizi dalam kebijakan daerah, prioritas gizi dalamperencanaan daerah, koordinasi

(24)

Commitment Index 2018

lintas sektor, target program gizi dan survei gizi.

3. Ni Ketut

Aryastami, Ingan Tarigan (2017)

Kajian Kebijakan Dan

Penanggulangan Masalah Gizi Stunting Di Indonesia

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya penurunan masalah gizi harus di tangani secara lintas sektoral di semua lini.

Ibu dan calon penganting harus dibekali dengan pengetahuan cukup tentang gizi dan kehamilan, ASI Eksklusif pada ibu bersalin yang sehat.

Berdasarkan uraian tabel di atas mengenai penelitian terdahulu, terdapat beberapa kesamaan diantaranya pembahasan tentang stunting. Namun saat ini belum di temukan penelitian tentang model perumusan kabijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat tema penelitian mengenai model perumusan kebijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng. Hal ini dimaksudkan agar masalah dalam pelaksanaan Program Stunting dapat teratasi guna mendukung keberhasilan pelaksanaan di tahun selanjutnya. Dengan demikian program ini

(25)

bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sesuai dengan tujuan perumusan kebijakan stunting khususnya di desa labbo.

B. Teori dan Konsep Model Kebijakan

Model menurut Thoha (1984) adalah bentuk abstraksi dari suatu kenyataan. Ia merupakan suatu perwakilan yang disederhanakan dari beberapa gejala dunia nyata. Model yang dipergunakan dalam kebijakan publik termasuk golongan model konsepsual, model seperti ini berusaha untuk menyederhanakan dan menjelaskan pemikiran-pemikiran tentang politik dan kebijakan publik. Mengidentifikasikan aspek-aspek yang penting dari persoalan-persoalan kebijakan, menolong seseorang untuk berkomunikasi dengan orang-orang lain dengan memusatkan pada aspek-aspek (features) yang esensial dalam kehidupan politik. Mengarahkan usaha-usaha kepada pemahaman yang lebih baik mengenai kebijakan public dengan menyarankan hal-hal manakah yang dianggap penting dan yang tidak penting.

1. Model Perumusan Kebijakan

a. Model Kelembagaan (Institusional)

Pada model ini secara sederhana bermakna bahwa “tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah”. Jadi semua yang dibuat

oleh pemerintah dengan cara apa pun merupakan kebijakan publik.

Model ini pada dasarnya lebih mengutamakan fungsi-fungsi setiap kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat dalam memformulasikan kebijakan. Menurut Thomas R. Dye, ada tiga hal yang membenarkan tentang pendekatan teori ini, yaitu ; pemerintah

(26)

memang sah dalam membuat kebijakan publik, formulasi kebijakan publik yang dibuat oleh pemeritah bersifat universal (umum), pemerintah memonopoli/menguasai fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama.

b. Model Teori Kelompok (Group)

Dalam pengambilan kebijakan penganut teori ini mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Intinya adalah interaksi yang terjadi di dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan dan keseimbangan tersebut adalah yang terbaik. Individu di dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung atau melalui media massa menyampaikan tuntutan/gagasan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Sistem politik pada model ini berperan untuk memanage konflik yang muncul akibat adanya perbedaan tuntutan, melalui :

a. Merumuskan aturan main antarkelompok kepentingan.

b. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.

c. Memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan publik (yang akan dibuat).

d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.

c. Model Teori Elit (Elite)

Model teori ini mengasumsikan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat 2 kelompok, yaitu pemegang kekusaan (elit) dan yang tidak

(27)

berkuasa (massa). Di dalam formulasi kebijakan, sedemokratis apa pun selalu ada bias karena pada akhirnya kebijakan tersebut merupakan preferensi politik dari para elit-politik. Sisi negatifnya adalah dalam sistem politik, para elit-politiklah yang akan menyelengarakan kekuasaan sesuai kehendaknya. Sisi positifnya adalah seorang elit- politik yang berhasil memenangkan gagasan membawa negara-bangsa ke kondisi yang lebih baik dibanding dengan pesaingnya. Secara top down, elit-politiklah yang membuat kebijakan, sedang implementasi kepada rakyat dilakukan oleh administrator publik. Jadi model elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana kebijakan publik merupakan perspeksi elit-politik. Prinsip dasarnya kebijakan yang dibuat bersifat konservatif karena para elit-politik ingin mempertahankan status quo. Kelemahannya yaitu kebijakan yang dibuat elit-politik tidak selalu mementingkan kesejahteraan rakyat.

C. Teori dan Konsep Kebijakan Publik

Anderson (dalam Islamy, 1998) mengatakan bahwa kebijakan itu adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Berdasarkan pengertian tentang kebijakan yang telah diurai-kan di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya kebijakan da-pat dilakukan secara umum, namun pada kenyataannya lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam tindakan-tindakan atau perilaku pemerintah serta perilaku

(28)

Negara pada umum-nya yang lebih dikenal dengan sebutan kebijakan Negara atau kebijakan publik (publik policy).

Berdasarkan pengertian tentang kebijakan dan kebijakan publik yang telah diuraikan di atas, Islamy mengemukakan beberapa elemen penting tentang kebijakan Negara (public policy), yaitu:

a. Bahwa kebijakan Negara itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah.

b. Kebijakan Negara itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata.

c. Kebijakan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perlu dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.

d. Kebijakan Negara harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat. (Islamy, 2002: 20).

Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus menerus, karena itu yang paling penting adalah siklus kebijakan. Siklus kebijakan meliputi formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan (Parsons, 1997). Kebijakan yang telah diformulasikan atau dirumuskan bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini dapat dimengerti, bahwa kebijakan tidak akan sukses, jika dalam pelaksanaannya tidak ada kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan. Seringkali ada anggapan setelah kebijakan disahkan oleh pihak yang berwenang dengan sendirinya kebijakan itu akan dilaksana-kan, dan hasil-hasilnya pun akan mendekati seperti yang diharapkan oleh pembuat

(29)

kebijakan tersebut. Dalam proses kebijakan publik yang akan diterapkan, melalui proses/tahapan yang cukup panjang.

Dunn (2000) menambahkan bahwa masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum ter-penuhi, tetapi yang dapat diidentifikasikan dan dicapai mela-kukan tindakan publik. Perumusan masalah, sebagai salah satu tahap dalam proses penelitian di mana analis mera- ba-raba untuk mencari definisi yang mungkin mengenai situasi problematis, tak disangkal merupakan aspek yang paling rumit tatapi paling sedikit difahami dalam analisa kebijakan. Proses perumusan masalah kebijakan tidak mengikuti aturan-aturan yang definitif, karena masalah kebijakan itu sendiri sedemi-kian kompleks. Karena itu, masalah kebijakan merupakan tahap paling kritis dalam analisa kebijakan, karena analis lebih sering memecahkan masalah yang salah dari pada menemukan pemecahan yang salah atas masalah yang benar.

Kesalahan fatal dalam analisa kebijakan adalah memecahkan rumusan masalah yang salah karena analis dituntut untuk memecahkannya secara benar.

D. Teori dan Konsep Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan merupakan suatu tahapan yang tidak dapat di hilangkan dari proses kebijakan. Penelitian mengenai proses formulasi kebijakan pada umumnya memiliki kekurangan. Berlan dkk (2014:28) dalam Pritasari, L. A., & Kusumasari, B. 2019 , Kebijakan yang baik akan terlaksana apabila kebijakan tersebut di implementasikan sesuai dengan tujuan utama kebijakan tersebut diformulasikan. Masukan dari kelompok kepentingan untuk sebuah kebijakan kerap kali dicari karena kelompok tersebut memiliki sesuatu

(30)

yang berharga untuk ditawarkan. Kelompok tersebut berniai karena mereka mampu. Kelompok dikatakan mampu karena mereka memiliki informasi:

mereka memberikan gagasan kebijakan dan memiliki fakta. Ketika angka keterwakilan kelompok tersebut tinggi, mereka juga dapat meningkatkan persentase keberhasilan kebijakan yang mereka usulkan (Halpin, Daugbjer dan Schvartzman, 2011:150) dalam Pritasari, L. A., & Kusumasari, B. 2019.

Menurut Suharno (2010:52) dalam Laniari, M. 2015 proses pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun demikian, para administrator sebuah organisasi institusi atau lembaga dituntut untuk memiliki tanggung jawab dan kemauan, serta kemampuan atau keahlian, sehingga dapat membuat kebijakan dengan resiko yang diharapkan (intendedrisks) maupun yang tidak di harapkan (unintendedrisks).

Dalam perspektif lain sebagaimana ditegaskan oleh Anderson bahwa model atau tipe pengambilan kebijakan dikaitkan dengan proses pembahasannya dalam agenda kebijakan publik dapat dibedakan dalam tiga bentuknya, yaitu pola kerjasama (bargaining), persuasif (persuasion), dan pengarahan (commanding). Anderson menegaskan bahwa prhoses bargaining dapat terjadi dalam tiga bentuknya yaitu negosiasi (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise).

Sesungguhnya penjelasan bargaining berakar pada istilah bahwa jika terdapat dua atau lebih aktor atau kelompok aktor yang masing-masing memiliki

(31)

kewenangan dan posisi tertentu tetapi dapat melakukan penyesuaian yang diharapkan dapat terbangun dalam sistem pembahasannya.

Pada pembahasan mengenai kebijakan publik, maka aktor mempunyai posisi yang sangat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi) kebijakan itu sendiri. Kelembagaan merupakan penentu proses perjalanan dan strategi yang dilakukan oleh komunitas kebijakan dalam makna yang lebih luas. Perumusan permasalahan publik merupakan fundamen besar dalam merumuskan kebijakan publik sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai (Bintari, 2016).

Menurut Howlett dan Ramesh dalam Madani (2011:36)45 menjelaskan bahwa pada prinsipnya aktor kebijakan adalah mereka yang selalu dan harus terlibat dalam setiap proses analisa kebijakan publik, baik berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan yang senantiasa aktif dan proaktif di dalam melakukan interaksi dan interelasi di dalam konteks analisis kebijakan publik.

Anderson dalam Madani (2011:37) bahwa aktor kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu mempunyai konsen terhadap kebijakan. Aktor individu maupun kelompok yang turut serta dalam setiap perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa aktor kebijakan yaitu seorang maupun sekelompok orang yang terlibat dalam penentu kebijakan, baik pada proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan publik. Aktor kebijakan ini

(32)

dapat berasal dari pejabat pemerintah, masyarakat, kaum buruh, maupun kelompok kepentingan.

Menurut Anderson dalam Madani (2011:41), menyatakan bahwa: Dengan memperhatikan berbagai ragam dan pendekatan dalam memahai berbagai aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik, maka konsep dan konteks aktor adalah sangat terkait dengan macam dan tipologi kebijakan yang akan dianalisis. Dalam perspektif formulasi masalah kebijakan publik, maka aktor yang terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi (the official policy makers) dan yang lain adalah keelompok di luar birokrasi (un-official policy maker).

Winarno dalam Madani (2011:41) berpandangan bahwa: Kelompok yang terlibat dalam proses kebijakan publik adalah kelompok formal dan kelompok non formal. Kelompok formal seperti badan-badan administrasi pemerintah yang meliputi: eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sementara itu, kelompok non formal terdiri dari:

Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) yang dikutip Winarno (2012) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (whatever government choose todo or not to do). Definisi ini menunjukkan bahwa kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah dan kebijakan publik juga menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Segala keputusan yang di ambil pemerintah adalah kebijakan, namun tidak mengambil keputusan pun adalah suatu kebijakan.

(33)

Proses pembuatan sebuah kebijakan publik melibatkan berbagai aktivitas yang kompleks. Pemahaman terhadap proses pembuatan kebijakan oleh para ahli dipandang penting dalam upaya melakukan penilaian terhadap sebuah kebijakan publik. tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan. Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan besaran pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama tersebut.

Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik menarik diantara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi.

Stone menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan teori stratifikasi (stratification theory), perumusan kebijakan menempatkan suatu sistem yang mana para pejabat publik merumuskan suatu kebijakan dalam konteks yang secara strategis mempunyai sumber daya yang amat penting yaitu susunan hierarki (hierarchichally arrange). Oleh karena itu berkenaan dengan kebijakan publik, maka para pejabat publik keberadaannya amat bergantung pada kepentingan strata kekuasaan yang lebih tinggi. Stone menjelaskan bahwa perilaku pejabat publik seperti itu merupakan asumsi dasar daripada pendekatan kekuasaan sistemik dimana para pejabat publik berusaha mengejar apa yang menjadi kepentingan mereka yang kemudian menghasilkan suatu relasi dimana tingkatan jabatan tertinggi akan lebih diuntungkan daripada kepentingan strata yang paling rendah.

E. Konsep Kebijakan Stunting

(34)

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang dan tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting merupakan masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa mendatang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Kemenkes RI, 2018).

Stunting masa kanak-kanak berhubungan dengan keterlambatan perkembangan motorik dan tingkat kecerdasan yang lebih rendah. Selain itu, juga dapat menyebabkan depresi fungsi imun, perubahan metabolik, penurunanperkembangan motorik, rendahnya nilai kognitif dan rendahnya nilai akademik. Anak yang menderita stunting akan tumbuh menjadi dewasa yang berisiko obesitas, glucose tolerance, penyakit jantung koroner, hipertensi, osteoporosis, penurunan performa dan produktivitas.

Perawakan pendek (stunting) adalah indeks status gizi di mana panjang badan atau tinggi badan berdasar umur berada di bawah garis normal. Pada dasarnya definisi stunting bersifat relatif, bergantung pada tinggi badan orangtua dan pola pertumbuhan setempat. Populasi yang dimaksud berkaitan dengan ras atau golongan tertentu, sedangkan daerah atau ketinggian dataran tempat tinggal tidak berkaitan dengan kondisi perawakan pendek meskipun banyak orang yang tinggal di dataran tinggi cenderung lebih pendek dari orang- orang yang tinggal didataran rendah. Stunting juga merupakan jenis malnutrisi

(35)

terbanyak dan masih menjadi masalah gizi utama hampir di seluruh provinsi Indonesia ditandai dengan gangguan pertumbuhan dan berdampak pada kecerdasan intelektual, motorik, psikosoial yang buruk karena perkembangan fisik dan mental anak dapat bermasalah. Seorang anak dikatakan memiliki tinggi badan di bawah garis normal atau pendek jika hasil pengukuran tinggi badan atau umur (TB/U) berada di bawah -2 standar deviasi (SD) dan dikatakan sangat pendek jika TB/U berada di bawah -3SD. Pengukuran tersebut dinilai dengan WHO Chart.

Schmidt 2014 dalam Fikawati (2017) mengatakan bahwa stunting juga didefinisikan sebagai tinggi badan menurut usia di bawah -2 standar median kurva pertumbuhan anak WHO (WHO, 2010). Stunting merupakan kondisi kronis buruknya pertumbuhan linear seorang anak yang merupakan akumulasi dampak berbagai faktor seperti buruknya gizi dan kesehatan sebelum dan setelah kelahiran anak tersebut (El Taguri et al., (2008), WHO (2010). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Schmidt (2014) yang menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari kurang gizi yang terjadi dalam periode waktu yang lama yang pada akhirnya menyebabkan penghambatan pertumbuhan linear.

Asas penurunan stunting yaitu:

a. Bertindak cepat dan akurat;

b. Penguatan kelembagaan dan kerja sama;

c. Akuntabilitas;

d. Transparansi.

(36)

Intervensi gizi sensitif mencakup: (a) Peningkatan penyediaan air bersih dan sarana sanitasi; (b) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; (c) Peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; (c); serta (d) Peningkatan akses pangan bergizi. Intervensi gizi sensitif umumnya dilaksanakan di luar Kementerian Kesehatan. Sasaran intervensi gizi sensitif adalah keluarga dan masyarakat dan dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan sebagaimana tercantum di dalam Tabel 2-2.

Program/kegiatan intervensi di dalam tabel tersebut dapat ditambah dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Tabel 2.2 Intervensi Gizi Sensitif Percepatan Penurunan Stunting

JENIS INTERVENSI PROGRAM/ KEGIATAN INTERVENSI Peningkatan

penyediaanair minum dan sanitasi

 Akses air minum yang aman

 Akses sanitasi yang layak Peningkatan akses

dankualitas pelayanan gizidan kesehatan

 Akses pelayanan keluarga berencana (KB)

 Akses jaminan kesehatan (JKN)

 Akses bantuan uang tunai untuk keluarga miskin (PKH)

Peningkatan

kesadaran,komitmen, dan praktikpengasuhan dan gizi ibu dan anak

 Penyebarluasan informasi melalui berbagai media

 Penyediaan konseling perubahan perilaku antar pribadi

 Penyediaan konseling untuk pengasuh orang tua

 Penyediaan akses pendidikan anak usia dini (PAUD), promosi stimulasi anak usia dini, dan pemantuan tumbuh kembang anak

 Penyediaan konseling kesehatan dan reprodusi untuk remaja

(37)

 Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak

Peningkatan aksespangan bergizi

 Akses bantuan pangan non tunai (BPNT) untuk keluarga kurang mampu

 Akses fortifikasi bahan pangan utama (garam, teping terigu, minyak goring)

 Akses kegiatan kawasan rumah pangan lestari (KRPL)

F. Faktor-faktor Yang Mengmpengaruhi Kebijakan Stunting 1. Pola Makanan

Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari segi, serta seringkali tidak seragam.

2. Pola Asuh

Stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola asuhyang kurang baik dalam praktek pemberian makanan bagi bayi dan balita.

3. Sanitasi dan akses air bersih

Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih, mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Untuk itu perlu membiasakan cuci tangan pakai sabun pada air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.

G. Kerangka Pikir

Kerangka pemikiran merupakan penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi objek permasalahan di sebuah topik penelitian. Yang menjadi

(38)

kriteria utama dalam membuat suatu kerangka berpikir agar dapat meyakinkan ilmuwan adalah alur-alur pemikiran yang logis, bisa dibilang bahwa kerangka berpikir adalah sintesa tentang hubungan antara variabel yang disusun berdasarkan beragam teori yang telah dideskripsikan.

Dalam penelitian ini, penulis berusaha meninjau Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng dengan cara menggambarkan proses pelaksanaan Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo dengan menggunakan model dan tipe perumusan kebijakan menurut Anderson yaitu model pola kerja sama (bargaining), model persuasif (persuasion) dan pengarahan (commanding). Berdasarkan penjelasan kerangka piker, maka penulis akan menyederhanakan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng

(39)

Gambar 2.1 : Bagan Kerangka Pikir

H. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif digunakan sebagai faktor untuk memperdalam penelitian. Adapun fokus dalam penelitian ini yang di maksud adalah implementasi kebijakan berkaitan dengan model perumusan kebijakan stunting di desa labbo Kabupaten Bantaeng menggunakan model dan tipe perumusan kebijakan menurut Anderson yaitu model pola kerja sama (bargaining), model persuasif (persuasion), dan pengarahan (commanding).

I. Deskriptif Fokus Penelitian

Pengarahan (Commanding)

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perumusan

Kebijakan Desa Mengenai Stunting

Perumusan Kebijakan Menurut Anderson

Pola Kerja Sama (Bargaining)

Model Persuasif (Persuasion)

(40)

Berdasarkan fokus penelitian yang telah di uraikan penulis kemudian akan dideskripsikan berikut ini:

1. Model pola kerja sama (bargaining)

Pada model kerja sama (bargaining) dapat terjadi dalam tiga bentuknya yaitu negosiasi (negotiation) adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaukan tujuan yang berbeda dan bertentangan, saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise) merupakan upaya untuk memperoleh kesepakatan di antara dua pihak yang saling berbeda pendapat atau pihak yang berselisih.

2. Model persuasif (persuasion).

Model persuasi (persuasion) ialah adanya polarisasi kelompok dalam perumusan kebijakan, yang di maksudkan polarisasi kelompok adalah adanya kelompok aktor yang menyebabkan aktor lain mengubah keputusan mereka ini bisa di lihat dari adanya negosiasi dan kompromi yang di lakukan oleh aktor perumus kebijakan, baik ke arah yang lebih teliti, atau lebih mengandung resiko dengan mengumpulkan pendapat kelompok aktor sampai tahap penentuan suatu kebijakan.

3. Pengarahan (commanding).

Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada model ini adalah berkaitan dengan pola perumusan kebijakan yang sangat struktural, dimana satu kelompok aktor menjadi superordinat dan kelompok yang lain tentu saja menjadi subordinat. Tipe pengambilan kebijakan menempatkan posisi ini

(41)

mirip dengan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga perumus pengelolaan sumber daya alam daerah dalam bentuk kebijakan.

(42)

29 SBAB III

METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kantor Desa labbo Kabupaten Bantaeng selama 2 bulan yang dimulai dari tanggal 15 Agustus 2020 sampai 15 Oktober 2020 dimana titik pengambilan data penelitian tentang Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng.

B. Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif (Qualitative Research). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan cenderung menggunakan analisis, penelitian ini membahas tentang objek yang alamiah sesuai dengan apa yang telah terjadi maupun belum terjadi dilapangan.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang merupakan bentuk penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum berbagai macam data yang dikumpul dari lapangan secara objektif berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi berdasarkan pengalaman hidup seseorang.

C. Sumber Data

Jenis data yang akan digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya, diamati, dan dicatat pertama kalinya melalui wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder adalah data yang didapatkan dari buku dan materi tertulis yang

(43)

relevan dengan tujuan penelitian. Data sekunder ini juga biasa disebut data yang diperoleh dari sumber kedua melalui dokumentasi lembaga.

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari hasil observasi maupun wawancara oleh narasumber atau informan pada objek/lokasi penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung terkait dengan objek penelitian. Data sekunder berupa data pendukung yang bersumber dari literatur maupun dokumen-dokumen yang terkait dengan objek atau lokasi penelitian.

D. Informan Penelitian

Informan yaitu orang-orang yang paham atau pelaku yang terlibat langsung dengan permasalahan penelitian. Informan yang dipilih adalah yang dianggap relevan dalam memberikan informasi mengenai Model Perumusan Kebijakan Stunting di Desa Labbo Kabupaten Bantaeng. Penulis mentukan informan pokok sebanyak 7 orang, informan pokok sebagai berikut :

(44)

Tabel 3.1 Informan Penelitian

E. Teknik

Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara natural setting (kondisi yang alamiah), bahwa dalam metode ini peneliti mengunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data yaitu:

1. Wawancara

Wawancara merupakan suatu percakapan antara dua orang atau lebih untuk bertukar informasi mengenai suatu masalah tertentu, atau bertukar ide melalui tanya jawab, sehingga penulis bisa mendapatkan makna dalam suatu topic tersebut. Dengan wawancara penulis akan mengetahui hal-hal yang

NO JABATAN KETERANGAN

1. Kepala Desa Labbo

1 Orang

2. Sekertaris Desa Labbo

1 Orang

3. Ketua BPD Desa Labbo

1 Orang

4. Wakil BPD Desa Labbo

1 Orang

5. Sekertaris BPD Desa Labbo

1 orang

6. Staf Desa Labbo 1 Orang 7. Tokoh Masyarakat 1 Orang

(45)

lebih mendalam mengenai situasi dan fenomena yang terjadi di lapangan, yang dimana hal ini tidak bisa ditentukan melalui observasi.

Dalam melakukan wawancara penulis menyiapkan instrument penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis untuk diajukan dan mencatat apa yang dikemukakan informan. Penulis melakukan tanya jawab dengan informan yang berkaitan dengan pelaksanaan model perumusan kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng.

2. Observasi

Observasi bertujuan untuk mengamati subjek dan objek penelitian.

Observasi adalah instrument yang dipakaiuntuk melaksanakan pengamatan lamgsung mengenai fenomena yang ada rangkaian dengan masalah yang bakal membahas dalam penelitian ini. Dari segi teknik perwujudan penumpukan data observasi.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, dokumen bisa berupa gambar, tulisan atau karya-karya seseorang. Dengan dokumentasi penulis dapat mendapatkan data-data atau dokumen-dokumen yang dapat mendukung terhadap penelitian. Yang dimana, penulis mengumpulkan data seperti arsip-arsip mengenai model perumusan kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng.

F. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan yaitu model perumusan kebijakan stunting di desa labbo kabupaten bantaeng, maka mengenai hal

(46)

tersebut akan di kemukakan disini mengenai analisis data yang bertujuan untuk mencari dan menyusun data secara sistematis yang diperoleh berdasarkan dari hasil wawancara, observasi , dan dokumentasi.

Setelah mengadakan observasi, penulis mengumpulkan data-data yang didapatkan dari hasil wawancara dan dokumentasi atau sumber yang lain yang terkait dengan perumusan kebijakan stunting. Pada pengumpulan data dan analisis data secara praktiknya tidak mudah dipisahkan, keduanya dikerjakan bersamaan. Penulis mengumpulkan data dengan cara mengedit data yaitu memeriksa data yang didapatkan mengenai kelengkapan data dan kebenaran data sehingga data bisa untuk diproses lebih lanjut.

Penulis memberikan tanda tertentu pada data yang di dapatkan di lapangan, dan dikelompokkan serta mengklarifikasikan data dengan cara mengadakan seleksi data yang terkumpul sesuai dengan sumber data masing- masing, kemudian penulis menyimpulkan data yang didapatkan sehingga hasil penelitian mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

G. Pengabsahan Data

Keabsahan data merupakan data yang diperoleh, data yang teruji dan data valid. Yang dimana, penulis menulis keabsahan data yang sudah di uji kan melalui diskusi atau sharing dengan teman sejawat, mengenai referensi teori dan melihat realitas sosial yang terjadi di lapangan serta tentang isu-isu yang sedang berkembang mengenai perumusan kebijakan sunting, oleh karena itu penulis terus melakukan perbaikan pada data agar penulis mendapatkan data yang lebih baik.

(47)

Selain itu, penulis menggunakan teknik keabsahan data dengan cara Trigulasi sumber yang digunakan untuk mendapatan data dari sumber yang berbeda dengan teknik yang sama. Data dari sumber berbeda-beda yang didapatkan dari observasi dan wawancara merupakan gambaran atas data yang telah dikumpulkan sebagai cara perbandingan data. Dengan teknik ini, penulis melakukan wawancara dengan informan yang satu keinforman yang lain, dan melakukan wawancara terhadap hasil dari observasi yang di dapatkan di lapangan.

(48)

35 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Gambaran Umum Kabupaten Bantaeng

Kabupaten Banateng dikenal dengan sebutan “Butta Toa” terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini mempunyai luas wilayah 395,83 km.Terdiri atas 8 (delapan kecamatan),67 Desa dan Kelurahan, 502 Rukun Warga (RW) dan 503 Rukum Tetangga (RT). Kedelapan kecamatan tersebut adalah Kecamatan Bisappu, Kecamatan Bantaeng, Kecamatan Eremmerasa, Kecamatan Uluere, Kecamatan Tompobulu, Kecamatan Pajuku’kang, KecamatanGantarangkeke, dan Kecamatan Sinoa. Kecamatan Tompobulu meruapakan kecamatan terbesar dengan luas wilayah 76,99 km atau 19,45

(49)

persen dari luas Kabupaten Bantaeng ,sedangkan kecamatan dengan luas wilayah kecil yaitu 28,85.

Kabupaten Bantaeng adalah sebuah kabupaten di Sulawesi selatan yang memiliki luas wilayah 395,83 km2 dengan jumlah penduduk 182.283 jiwa (2016) dengan rincian Laki-laki sebanyak 88. 012 jiwa dan perempuan 94.271 jiwa. Terbagi atas 8 kecamatan serta 46 desa dan 21 kelurahan. Berikut jumlah penduduk berdasarkan kecamatan di Kabupaten Bantaeng:

Tabel 4.1

Jumlah Penduduk Kabupaten Bantaeng Berdasarkan Kecamatan Kecamatan Warga Negara Indonesia

Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Bisappu 15.691 16.619 32.310

2. Uluere 5.592 5 723 11.315

3. Sinoa 5.900 6.232 12.312

4. Bantaeng 18.539 19.450 37.989

5. Eremerasa 8.734 9.728 18.462

6. Tompobulu 10.801 12.102 22.903

7. Pajukukang 14.725 15.324 30.049

8. Gantarangkeke 8.030 9.093 17.123

Jumlah 88.012 94.271 182.283

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantaeng a. Karakteristik Lokasi Dan Wilayah

Kabupaten Bantaeng secara geografis terletak ±120 km arah selatan Makassar ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan dengan posisi 5°21’13”-5°35’27” Bujur Timur. Kabupaten Bantaeng terletak di daerah pantai yang memanjang pada

(50)

bagian barat ke timur kota yang salah satunya berpotensi untuk perikanan, dan wilayah daratannya mulai dari tepi laut Flores sampai ke pegunungan sekitar Gunung Lompo Battang dengan ketinggian tempat dari permukaan laut - 25 m sampai dengan ketinggian lebih dari 1.000 m di atas permukaan laut. Kabupaten Bantaeng dengan ketinggianantara 100 - 500 m dari permukaan laut merupakan wilayah yang terluas atau 29,6 persen dari luas wilayah seluruhnya, dan terkecil adalah wilayah dengan ketinggian 0 - 25 m atau hanya 10,3 persen dari luas wilayah. Kabupaten Bantaeng terletak di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan yang berbatasan dengan:

1) Sebelah Utara : Kabupaten Gowa dan Kabupaten Bulukumba 2) Sebelah Timur : Kabupaten Bulukumba

3) Sebelah Selatan : Laut Flores

4) Sebelah Barat : Kabupaten Jeneponto b. Keadaan Iklim

Letak geografis Kabupaten Bantaeng yang strategis memiliki alam tiga dimensi, yakni bukit pengunungan, lembah daratan dan pesisir pantai, dengan dua musim. Iklim di daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan tahunan rata-rata setiap bulan 200 mm. Dengan adanya kedua musim tersebut sangat menguntungkan bagi sektor pertanian.

c. Kesehatan

Pembangunan bidang kesehatan di Kabupaten Bantaeng diarahkan agar pelayanan kesehatan lebih meningkat lebih luas, lebih merata, terjangkau oleh lapisan masyarakat.Kesehatan merupakan bagian yang terpenting dan

(51)

diharapkan dapat menghasilkan derajat kesehatan yang lebih tinggi dan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial maupun ekonomis.

Penyedia sarana pelayanan kesehatan berupa rumah sakit, puskesmas dan tenaga kesehatan semakin ditingkatkan jumlahnya sesuai dengan rencana pentahapannya, sejalan dengan itu peyediaan obat-obatan, alat kesehatan, pemberantasan penyakit menular dan peningkatan penyuluhan dibidang kesehatan.

Salah satu tujuan pembangunan, khususnya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) adalah terciptanya kehidupan masyarakat yang sehat, beriman dan menguasai teknologi. Sehingga melahirkan generasi penerus yang beriman, cerdas dan menguasai teknologi.

d. Visi dan Misi Kabupaten Bantaeng 1. Visi:

“Yakni terwujudnya masyarakat Bantaeng yang sejahtera lahir dan batin, berpotensi pada kemajuan, keadilan, kelestarian, dan keunggulan berbasis agama dan budaya local”.

2. Misi:

a. Mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.

b. Meningkatkan akselerasi program pengentasan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja.

c. Meningkatkan akses, pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya.

(52)

d. Mengoptimalkan kualitas dan pemerataan pembangunan insfraktuktur yang berbasis kelestarian lingkungan.

e. Mengoptimalkan pengembangan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

f. Mewujudkan reformasi birokrasi dan pelayanan publik.

e. Gambaran Khusus Lokasi Penelitian

Secara khusus lokasi penelitian ini berada di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng tepatnya di Desa Labbo, alasan peneliti memilih lokasi tersebut karena Desa Labbo merupakan desa dengan penduduk terbanyak dalam Kecamatan tompobulu selain itu Desa Labbo merupakan desa yang sebagian besar kondisi kesehatan anak masih kurang, sedangkan untuk program stunting yang kondisi gagal tumbuh pada anak akibat dari kekurangan gizi memerlukan makanan yang bergizi. Diantara 10 desa/kelurahan yang terletak di Kecamatan Tompobulu, Desa Labbo merupakan desa yang terletak di dataran rendah.

2. Kantor Desa Labbo

Desa Labbo adalah Desa yang paling tua dalam wilayah Kecamatan Tompobulu. Menurut sejarahnya Desa Labbo berasal dari perkataan Labboro yang berarti longsoran Tanah yang pada waktu itu merupakan bagian kampung Ganting, nama ini diberikan oleh pada leluhur kampong Ganting (Tau toana Ganting) yaitu Ni Camma.

(53)

Tahun 1961, masyarakat yang bermukim diluar kampung Ganting disatukan dalam kampung Labbo ini diprakarsai olek karaeng Naikang yang saat itu berada di Kampung Ganting. Tahun 1963 awal mula terbentuknya Desa Labbo yang terbagi menjadi Dua Dusun yaitu Dusun Bagan (Bawa dan Ganting) dan Dusun Pattaneteang Kepala Desa pertama adalah Bapak Kaimuddin yang memimpin mulai Tahun 1963-1970.

Pada tahun 1970-1977, jabatan Kepala Desa dijabat oleh Bapak Padu, S menggantikan bapak Kaimuddin. Kemudian pada tahun 1977-1981 Bapak Padu,S digantikan Oleh Bapak Budu,S Dg Ngunjung dan pada waktu Pemerintahan beliau banyak mengubah Pola hidup Masyarakat tentang peduli kebersihan Lingkungan dan Penataan Pemukiman yang pada saat itu belum teratur. Dan hanya memimpin selama 4 Tahun.

Tahun 1881-1983 Kepala Desa dijabat oleh Bapak Haris, tahun 1983- 1986, dijabat oleh Bapak Kadir, tahun 1986-2002. Dijabat oleh Sahib Sehu yang dijabat selama Dua periode kepemimpinan pada waktu itu sudah Nampak pembangunan Pembukaan jalan Poros Kayu Tanning ke Taccepe (Dusun Bawa) yang dilakukan secara swadaya dan juga membagi wilayah menjadi Tiga dusun Yaitu Dusun Ganting, Panjang, dan Bawa, dan pernah mendapat Juara 1 Lomba P2WKSS Tingkat provinsi.

Selanjutnya tahun 2002-2013, dijabat oleh Bapak Subhan, S.Ag selama dua periode kepemimpinan melalui pemilihan secara Demokratis. Dimasa ini Pembangunan Desa Nampak secara pesat. Dan tahun 2003 wilayah kembali dimekarkan menjadi Empat Dusun yaitu Dusun Pattiro, Ganting, Panjang, Bawa

(54)

dan pada tahun 2005 meraih Juara III Lomba P2WKSS. Tahun 2007 dipercayakan lagi mengikuti Lomba Desa Tingkat provinsi dan mendapat juara III .dan Tahun 2009 dimekarkan lagi wilayah menjadi Enam dusun yaitu Pattiri,Labbo, Ganting,Panjang Selatan, Panjang Utara, Bawa dan masuk sebagai Desa Berprestasi pada tahun 2010. Tahun 2013 sampai sekarang Kepala Desa dijabat oleh Bapak Sirajuddin, S.Ag, dimana beliau sebelumnnya pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bantaeng.

a. Kondisi Geografis Desa labbo

Secara administrasi Desa Labbo terletak di wilayah kacamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng dengan luas wilayah 12,81 Km, yang terdiri atas beberapa jenis lahan dan peruntukkannya. Desa Labbo secara geografis berada diketinggian antara 800-1200 di atas permukaan air laut.

Dengan keadaan curah hujan 2000 mm dengan jumlah curah hujan 6 bulan, serta suhu rata-rata harian adalah 27ºC, dengan bentang wilayah 11 Km.

Adapun batas-batas wilayah Desa Labbo adalah : Sebelah Utara : Asayya dan Kab.Bulukumba

Sebelah Timur : Desa Pattaneteang dan Kab.Bulukumba Sebelah Barat : Desa Balumbung dan Kelurahan Ereng-ereng Sebelah Selatan : Kelurahan Ereng-ereng dan Kab.Bulukumba Dalam pembagian wilayah Desa Labbo terbagi atas beberapa wilayah Dusun antara lain :

1. Dusun Pattiro

2. Dusun Panjang Utara

(55)

3. Dusun Panjang Selatan 4. Dusun Bawa

5. Dusun Ganting 6. Dusun Labbo

Adapun orbitasi atau jarak Desa Labbo ke Ibu Kota Kacamatan adalah 7 Km, jarak Desa Labbo ke Ibu Kota Kabupaten 37 km dan jarak Desa Labbo ke Ibu Kota Propinsi 157 km.

Secara umum masyarakat Desa Labbo bermata pencaharian sebagai petani. Tanaman yang ditanam umumnya tanaman perkebunan seperti tanaman kopi dan cengkeh. Adapun sebagian kecil masyarakat sebagai wiraswasta. Saat ini Desa Labbo mengembangkan potensi hutan desa dan memiliki banyak potensi tanam baik kayu maupun non-kayu. Kawasan huatan desa dan memiliki banyak potensi tanaman baik kayu maupun non- kayu. Kawasan hutan desa yang terdapat di Desa Labbo sesuai badan planalogi kehutanan dan hasil peta paduserasi provinsi Sulawesi Selatan seluas 342 Hektar. Terkhusu ada hasil hutan non-kayu yang potensinya sangat besar dari area hutan desa yang ada di Desa Labbo berupa komoditi rotan, Banga Ponda (Berdaun besar dan tinggi), Banga Tambu (berdaun kecil dan banyak), anggrek tanah, bunga kembang doa, markisa, dan kopi.

Untuk rotan terdapat tiga jenis rotan yaitu, uhe tambu, uhe taning, uhe thumani. Untuk jenis tanaman berupa rotan berada pada wilayah barat laut dan berat daya dari hutan desa dengan luasa 93,3822 Ha, untuk tanaman Banga memiliki luas 6,0719 Ha, untuk anggrek tanah dan kembang doa

(56)

memiliki luas 0,089 Ha dan 0,3477 Ha yang masing-masing tanaman tersebut berada pada wilayah perbatasan antara Desa Labbo dan Desa Pattaneteang.

Hal ini mengidentifikasikan bahwa potensi hutan berupa non-kayu dari areal hutan desa yang ada di Desa Labbo sangat besar, mengingat dimana tanaman rotan dan Banga dapat dijakan pasokan untuk pembuatan bahan kerajiana dan sebagai bahan baku keperluan industri, sedangkan anggrek tanah, kembang doa dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias yang memiliki nilai jual cukup besar sehingga dapat dijadikan sebuah peluang untuk mendorong tumbuhnya pengembangan usaha-usaha dari tanaman tersebut dan secara tidak langsung akan mendorong terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari serta peningkatan pendapatan masyarakat.

Desa Labbo Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng merupakan salah satu wilayah pengembangan pasar produk hutan desa. Potensi hutan desa di desa Labbo Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng dapat dikembangkan seiring dengan meningkatnya permintaan pasar. Salah satu aspek yang perlu dikembangkan adalah aspek ekonomi dalam pengembangan pasar, di mana pengembangan pasar di desa ini kurang berkembang. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya informasi pasar, untuk itu perlu adanya pengamatan lingkungan untuk melihat peluang baru bagi masyarakat di Desa Labbo. Peluang pemasaran adalah suatu kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan.

(57)

b. Kesehatan 1. Puskesmas

Sarana kesehatan Puskesmas/Puskesmas Pembantu tersedia 1 unit yang terletak di dusun Labbo. Pelayanan Puskesmas masih kurang maksimal akibat kurangnya tenaga dan alat kesehatan yang tersedia, sehingga masyarakat lebih banyak mengakses Puskesmas Banyorang yang terletak di Ibu Kota Kecamatan.

Puskesmas adalah sarana unit fungsional kesehatan terdepan yang memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat di wilayah Desa Labbo. Puskesmas mempunyai fungsi utama menjalankan upaya pelayanan kesehatan untuk menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, terutama menggerakkan program promosi kesehatan, penanggulangan dan pencegahan penyakit.

2. Poskesdes

Sarana kesehatan Poskesdes tersedia 1 unit yang terletak di dusun Panjang Utara. Pelayanan poskesdes sudah maksimal baik dari segi tenaga maupun alat kesehatan, sehingga warga masyarakat dari dusun Panjang Selatan, dusun Panjang Utara, dusun Bawa’ dan desa tetangga dapat mengakses Poskesdes tersebut.

Dengan adanya Poskesdes permasalahan warga masyarakat di desa dapat terdeteksi dini, sehingga bisa ditangani cepat dan diselesaikan, sesuai kondisi potensi dan kemampuan yang ada agar warga masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan dasar yang dekat.

(58)

3. Posyandu

Di desa Labbo terdapat 2 unit Posyandu Permanen dan 5 unit Posyandu non permanen. Adapun mamfaat Posyandu bagi masyarakat adalah memperoleh kemudahan untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan bagi anak balita dan ibu, pertumbuhan anak balita terpantau sehingga tidak ada anak yang menderita gizi buruk. Bayi dan anak balita mendapatkan kapsul Vitamin A, bayi memperoleh imunisasi lengkap, ibu hamil juga akan terpantau berat badannya dan memperoleh tablet tambah darah serta mendapat penyuluhan kesehatan yang berkaitan tentang kesehatan ibu dan anak. Dan bagi kader posyandu mendapatkan berbagai informasi kesehatan lebih dahulu dan lebih lengkap, ikut berperan secara nyata dalam tumbuh kembang anak balita dan kesehatan ibu.

4. Sanitasi

Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia.

Sistem sanitasi rumah tangga di Desa Labbo masih sangat sederhana dengan pola konservatif. Pembuangan limbah rumah tangga tidak mendapat perhatian serius dari warga masyarakat akibat minimnya pengetahuan tentang kesehatan. Upaya peningkatan mutu

Gambar

Tabel 1.1Jumlah Stunting Di Kabupaten Bantaeng Tahun 2019 .................... 6
Tabel 2.2 Intervensi Gizi Sensitif Percepatan Penurunan Stunting ................. 23  Tabel 3.1 Informan Penelitian ......................................................................
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.2 Intervensi Gizi Sensitif Percepatan Penurunan Stunting
+3

Referensi

Dokumen terkait