• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini memberi wawasan bagi ibu rumah tangga sebagai orang tua mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018-2019 mengenai kanker serviks dan pencegahannya sehingga ibu memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk melakukan pencegahan dan deteksi dini kanker serviks.

b. Penelitian ini dapat menjadi acuan data dan informasi untuk kegiatan sosialisasi mengenai kanker serviks dan pencegahannya kepada masyarakat.

c. Penelitian ini menjadi pedoman untuk melakukan kegiatan penyuluhan kanker serviks pada masyarakat dengan cara memahami perbedaan pola pikir masyarakat berdasarkan latar belakang pendidikan dan usia. Kegiatan penyuluhan tersebut diharapkan dapat menyesuaikan karakter populasi, misalnya, dengan bahasa yang sederhana dalam mengedukasi sehingga masyarakat lebih memahami kanker serviks dan pencegahannya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tingkat Pengetahuan 2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan berasal dari kata baku “tahu”. Kata tahu memiliki arti mengerti sesudah melihat sedangkan pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, yang berkenaan mengenai suatu hal (KBBI, 2016).

Menurut Notoadmodjo (2014), pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu.

Pengindraan termasuk pancaindra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk membentuk perilaku atau tindakan seseorang.

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan mempunyai enam tingkatan dalam domain kognitif (Notoadmodjo, 2014), yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu berarti mengingat kembali suatu materi yang telah diterima sebelumnya (recall). Tahu termasuk ke dalam tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur tingkat pengetahuan ini adalah menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan suatu obyek yang diketahui dengan benar dan dapat mengintepretasikan materi tersebut. Orang yang telah paham mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan mengenai obyek atau materi tersebut.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi sesungguhnya atau kondisi real (sebenarnya).

Contoh aplikasi adalah penggunaan hukum-hukum, metode, prinsip, rumus, dan hal-hal lainnya.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan menjabarkan suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi atau hal yang berkaitan satu dengan yang lain. Kemampuan analisis dilihat dari penggunaan kata kerja, misalnya menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis merupakan kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian tertentu dalam suatu bentuk keseluruhan. Dengan kata lain, sintesis merupakan suatu kemampuan untuk membentuk atau menyusun formulasi baru dari fomulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi merupakan kemampuan seseorang untuk menilai suatu materi atau obyek. Penilaian berdasarkan kriteria yang ditetapkan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Menurut Arikunto (2010), pengukuran tingkat pengetahuan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

a. Pengetahuan baik apabila responden menjawab 76%-100% pertanyaan dengan benar.

b. Pengetahuan cukup apabila responden dapat menjawab 56%-75%

pertanyaan dengan benar.

c. Pengetahuan kurang apabila responden menjawab <56% pertanyaan dengan benar.

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain yaitu:

a. Faktor pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah untuk seseorang menerima atau memahami informasi yang berkaitan dengan obyek tertentu. Pengetahuan umumnya diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh orang tua, guru, dan media massa. Pendidikan termasuk salah satu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk pengembangan diri. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah untuk menerima dan mengembangkan pengetahuan dan teknologi.

b. Faktor pekerjaan

Pekerjaan merupakan kebutuhan yang harus dilakukan untuk menunjang kehidupan. Pekerjaan berpengaruh terhadap proses seseorang dalam mengakses informasi yang dibutuhkan mengenai suatu obyek.

c. Faktor pengalaman

Semakin banyak pengalaman seseorang terkait hal-hal tertentu, makan akan semakin bertambah pengetahuan seseorang mengenai hal tersebut. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket terkait materi yang ingin diukur.

d. Keyakinan

Keyakinan seseorang biasanya diperoleh secara turun temurun dan tidak dapat dibuktikan terlebih dahulu, sehingga keyakinan positif atau negatif dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang.

e. Sosial budaya

Kebudayaan serta kebiasaaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan status sosial, maka tingkat pengetahuannya semakin tinggi pula (Notoadmojo, 2010).

f. Umur

Semakin cukup umur, tingkat kematangan seseorang dalam berpikir dan bekerja akan lebih matang. Seseorang juga akan lebih percaya diri dari pada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini akibat dari pengalaman jiwa (Nursalam, 2011).

2.2 Serviks 2.2.1 Anatomi

Serviks merupakan bagian bawah dari uterus. Serviks berbentuk silindris atau kerucut, dengan panjang 3-4cm dan diameter 2,5cm. Ligamen kardinal dan uterosakral menyokong posisi serviks, meregangkan serviks bagian lateral dan posterior dari serviks dan tulang panggul. Setengah bagian bawah serviks, disebut porsio vaginalis. Porsio vaginalis menonjol ke dalam vagina melalui dinding anteriornya. Setengah bagian atas serviks menetap di atas vagina. Porsio vaginalis menuju vagina melalui lubang yang disebut orifisium eksterna. Porsio supravaginalis bertemu dengan uterus di orifisium interna. Bagian dari serviks yang menghubungkan ke orifisium eksterna disebut ektoserviks. Ektoserviks adalah bagian dari serviks yang dapat kita lihat secara makroskopis melalui pemeriksaan spekulum. Bagian proksimal dari orifisium eksterna disebut endoserviks. Orifisium eksterna perlu diregangkan untuk melihat endoserviks. Kanal endoserviks menghubungkan kavum uterus dengan vagina, dan menghubungkan orifisium interna menuju eksterna, yang menghubungkan uterus ke vagina. Ruang yang mengelilingi serviks di rongga vagina disebut vaginal fornix (Sellors &

Sankaranarayanan, 2003).

Vaskularisasi serviks dimulai dari arteri iliaka interna yang melewati serviks dan arteri tersebut bercabang ke vagina melalui arteri uterus. Sedangkan, vena yang bersirkulasi pada serviks berjalan parallel ke arteri dan menuju plexus vena hipogastrik (Sellors & Sankaranarayanan, 2003).

Gambar 2.1 Anatomi rahim dan serviks

Gambar 2.2 Vaskularisasi rahim dan serviks

2.2.2 Histologi

Kanalis servikalis dilapisi oleh epitel kolumnar penghasil mukus. Epitel ini berbeda dari epitel uterus. Epitel serviks dilapisi oleh kelenjar serviks dengan tubular bercabang yang membentuk sudut pada kanalis servikalis ke dalam lamina propria. Pada ujung bawah serviks, yaitu ostium serviks yang menonjol ke dalam lumen kanalis vaginalis. Epitel silindris kanalis servikalis berubah menjadi epitel berlapis gepeng tanpa taduk untuk melapisi porsio vagina dan permukaan luar fornix vagina. Endoserviks dilapisi oleh epitel selapis silindris penghasil mukus pada lamina propria yang tebal. Mukosa endoserviks mengandung banyak kelenjar yang menghasilkan mukus. Taut khas pada serviks, zona transformasi, ditemukan

pada perubahan mendadak epitel kolumnar selapis menjadi epitel kolumnar berlapis (Sellors & Sankaranarayanan, 2003).

Gambar 2.3 Histologi serviks

2.3 Kanker Serviks

2.3.1 Definisi

Kanker merupakan suatu penyakit yang terjadi ketika sel pada tubuh tumbuh tanpa kendali. Kanker selalu dinamakan sesuai dengan asal organnya.

Maka, kanker serviks adalah suatu keganasan yang berasal dari serviks. Serviks menghubungkan vagina dengan bagian atas dari uterus, dan uterus adalah tempat pertumbuhan bayi ketika wanita hamil. Semua perempuan berisiko terkena kanker serviks. Kejadian kanker serviks paling sering terjadi pada wanita umur 30 atau lebih. (CDC, 2021).

2.3.2 Epidemiologi

Kanker serviks merupakan salah satu kanker dengan angka kejadian yang sangat tinggi di dunia. Kanker serviks merupakan kanker keempat yang paling banyak ditemukan pada perempuan setelah kanker payudara, kanker kolorektal, dan kanker paru-paru dengan perkiraan 517.000 kasus baru pada tahun 2018 dan dapat menyebabkan kematian pada perempuan. Angka kejadian kanker serviks di dunia

13,1 per 100.000 perempuan, dan angka kejadian ini bervariasi tergantung asal negara (WHO, 2020; Arbyn et al., 2019).

Kejadian kanker secara umum di Indonesia juga masih sangat tinggi.

Indonesia menduduki urutan ke-8 di Asia Tenggara dan urutan ke-23 di Asia berdasarkan angka kejadian kanker. Prevalensi tumor atau kanker di Indonesia juga menunjukkan adanya peningkatan dari 1,4 per 1.000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1.000 penduduk pada tahun 2018. Berdasarkan Kementerian Kesehatan (2019), kejadian kanker serviks di Indonesia sebesar 23,4 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk. Global Cancer Observatory mencatat dari 213.546 perempuan dengan kanker di Indonesia, 17,2%

dari angka tersebut adalah perempuan dengan kanker serviks. (Kemenkes, 2019;

GLOBOCAN, 2021)

Kanker serviks menyerang perempuan dengan berbagai usia, diantaranya 15-24 tahun (0,675), usia 25-34 tahun (11,25%), usia 35-44 tahun (31,40%), dan paling sering ditemukan pada usia 45-54 tahun (42,40%). Kanker serviks banyak ditemukan sudah dalam stadium lanjut mencapai 80% diantarannya stadium I (19,1%), stadium II (32,0%), stadium III (40,7%), stadium IV (7,4%) dan tidak diketahui sebanyak 0,7% (Muchlis, 2011).

2.3.3 Klasifikasi

Klasifikasi stadium kanker serviks berdasarkan TNM dan FIGO 2019 (Bhatla et al., 2019).

Tabel 2.1 Stadium kanker serviks.

TNM FIGO Kriteria

TX Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 Tidak ada bukti menunjukkan tumor primer

Tis Karsinoma pre-invasif.

T1 I Karsinoma terbatas pada serviks uteri

T1a IA Karsinoma invasif yang dapat didiagnosis hanya di bawah mikroskop, dengan maksimal kedalaman invasi <5mm

T1a1 IA1 Invasi stromal dengan kedalaman <3mm

T1a2 IA2 Invasi stromal dengan kedalaman ≥3mm dan <5mm

T1b IB Karsinoma invasif dengan kedalaman invasi ≥5mm (lebih besar dari stadium IA), lesi terbatas pada serviks uteri.

T1b1 IB1 Karsinoma invasif dengan kedalaman invasi stroma ≥5mm dengan diameter terbesar <2 cm

T1b2 IB2 Karsinoma invasif dengan diameter terbesar ≥2cm dan <4cm T1b3 IB3 Karsinoma invasif dengan diameter terbesar ≥4cm

T2 II Karsinoma menginvasi melewati uterus, belum mengenai 1/3 bagian bawah vagina, invasi belum mencapai dinding pelvis.

T2a1 IIA1 Karsinoma invasif <4cm dengan diameter terbesar T2a2 IIA2 Karsinoma invasif ≥4cm dengan diameter terbesar

T2b IIB Menginvasi parametrium tapi belum mencapai dinding pelvis.

T3 III Karsinoma mencapai 1/3 bagian bawah vagina dan/atau hingga dinding pelvis dan/atau hingga para aorta nodus limfatik.

T3a IIIA Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina, tidak sampai ke dinding pelvis.

T3b IIIB Kanker menginvasi hingga dinding pelvis dan/atau menimbulkan hidronefrosis atau gagal ginjal (kecuali adanya penyebab lain).

T3c IIIC Kanker menginvasi hingga dinding pelvis dan/atau para aorta nodus limfatikus, tanpa melihat ukuran tumor

T3c1 IIIC1 Metastasis hingga nodus limfatik pelvis T3c2 IIIC2 Metastasis hingga para aorta nodus limfatik

T4 Kanker telah menyebar melewati pelvis atau melibatkan mukosa kandung kemih atau rectum; dengan catatan edema bulosa tidak dapat diklasifikasikan pada stadium IV.

IVA Pertumbuhan kanker hingga ke organ terdekat IVB Menyebar hingga ke organ yang jauh

2.3.4 Etiologi

Infeksi Human Papillomavirus (HPV) ditetapkan menjadi penyebab utama dari kanker serviks. Cara transmisi HPV paling umum adalah transmisi horizontal melalui vagina, sebagai akibat dari hubungan seksual. Kasus infeksi HPV 90%

sembuh dalam 2 tahun karena sistem imun tubuh, namun infeksi yang menetap membuat infeksi berkembang menjadi lesi prekanker dan kanker serviks (Lafaurie et al., 2018).

Sekitar 200 genotipe HPV telah teridentifikasi. HPV secara umum dikelompokkan menjadi 5 berdasarkan jaringan atau sel pejamu. HPV grup alpha diyakini dapat menginfeksi kulit dan mukosa. HPV dari grup alpha diklasifikasikan lagi menjadi HPV berisiko tinggi dan HPV berisiko rendah. HPV6 dan HPV11 berisiko rendah, sedangkan HPV16 dan HPV 18 berisiko tinggi dan prevalensi paling sering yang menyebabkan kanker serviks (Burd & Dean, 2016).

HPV 16 adalah HPV yang paling berhubungan dengan high-grade cervical intraepithelial neoplasia (CIN 2-3) di zona transformasi (ZT) dan dianggap sebagai prekursor kanker serviks. HPV18 juga merupakan tipe HPV onkogenik dengan risiko tinggi, dan lebih sering dihubungkan dengan adenokarsinoma, yang sedikit ditemukan pada sel glandular di kanal endoservikal (National Cancer Institute, 2021).

Virus yang bersifat onkogenesis mempunyai onkoprotein yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan protein host. HPV E6 dan E7 berfungsi sebagai onkoprotein dominan dengan cara mengubah protein seluler. HPV E6 mendegradasi p53, yang berperan penting di siklus sel dan apoptosis sebagai respon dari kerusakan DNA. HPV E7 menginaktivasi fungsi dari penekan protein retinoblastoma tumor (Rb) (Wuerthner & Wallace, 2016).

2.3.5 Faktor Risiko a. Infeksi HPV

Infeksi yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) adalah faktor risiko paling penting untuk kanker serviks. HPV adalah kelompok virus yang terdiri dari sekitar 150 jenis. Beberapa diantaranya menyebabkan pertumbuhan papilloma, yang biasa dikenal sebagai kutil (American Cancer Society, 2019).

Sekitar 30-40 jenis HPV dapat menginfeksi berbagai lapisan epitel, termasuk lapisan epitel saluran anogenital dan area mukosa lainnya. Berdasarkan infeksi HPV dan lesi kanker yang dihasilkan, maka HPV diklasifikasikan menjadi Low HPV (LR-HPV), potential High HPV (pHR-HPV), dan High Risk-HPV (HR-Risk-HPV). LR-Risk-HPV tipe 6 dan 11 menyebabkan kutil kelamin atau lesi jinak yang cenderung tidak berkembang menjadi ganas, sedangkan HR-HPV tipe 16 dan 18 merupakan penyabab utama lesi pra ganas dan lesi ganas sehingga terjadi kanker serviks invasif (Serrano et al., 2017; Stark & Aleksandra, 2018).

Gejala paling umum yang disebabkan oleh HPV adalah kutil. Kutil bisa saja berbentuk flat/ tidak menonjol seperti pada tangan dan kaki, atau kutil pada kelamin (kondiloma akuminata). Virus ini menyebar melalui hubungan seksual dan sekitar 10% orang dewasa di negara maju pernah terinfeksi virus ini di organ reproduksi (Britannica, 2017).

b. Merokok

IARC mengklasifikasikan peran merokok dalam pertumbuhan kasus kanker serviks. Di Britania Raya, sebesar 21% kasus kanker serviks berhubungan dengan merokok (Brown KF, 2018). Sel skuamosa karsinoma pada serviks berisiko 46%

lebih tinggi pada perokok aktif daripada orang yang belum pernah merokok. Risiko sel skuamosa karsinoma pada serviks meningkat sesuai dengan jumlah rokok yang dikonsumsi per hari. Risiko kanker serviks ini tidak berhubungan dengan orang yang sudah tidak merokok lagi, hanya berhubungan pada perokok aktif (Cancer Research UK, 2018).

Pada penelitian sebelumnya menunjukkan kejadian infeksi HPV di serviks pada perempuan yang merokok lebih besar 1,9 kali daripada perempuan yang tidak

merokok (OR: 1.905, p<0.05). Beberapa hipotesis menunjukkan bahwa tembakau di rokok berkontribusi pada sel karsinogenesis di serviks, dan hipotesis lainnya mengatakan tembakau menghambat respon imun pada HPV (Ono, 2019).

c. Kekebalan tubuh

Human immunodeficiency virus (HIV), virus yang menyebabkan AIDS, melemahkan kekebalan tubuh, dan menyebabkan ODHA berisiko lebih tinggi untuk terinfeksi HPV (American Cancer Society, 2020).

Sistem kekebalan tubuh sangat penting untuk (membunuh) sel kanker dan memperlambat pertumbuhan serta metastasis. Perempuan dengan HIV, empat sampai lima kali lipat lebih cenderung berkembang dari pra-kanker serviks menjadi kanker serviks invasif (UNAIDS, 2020). Menurut WHO, 5% kasus kanker serviks sedunia diakibatkan oleh HIV.

d. Infeksi Chlamydia

Perempuan yang terinfeksi Chlamydia trachomatis memiliki risiko lebih tinggi pada kanker serviks. C. trachomatis adalah salah satu penyebab paling sering penyakit menular seksual. Penelitian menunjukkan infeksi C. trachomatis berulang meningkatkan risiko neoplasia serviks, dan juga infeksi HPV menetap. Penelitian lain menyatakan bahwa hubungan HPV dan C. trachomatis melalui 2 mekanisme;

Pertama, infeksi HPV di basal keratin dari epitelium membutuhkan abrasi mikro dan infeksi Chlamydia bisa menyebabkan kerusakan epitel, sehingga memungkinkan virus untuk masuk. Kedua, infeksi Chlamydia dapat mengganggu respon kekebalan tubuh terhadap virus (Zhu H et al., 2016).

e. Lama penggunaan kontrasepsi hormonal

Kontrasepsi hormonal berperan sebagai alat yang mempertinggi pertumbuhan neoplasma. Hal ini ditunjukkan pada hasil penelitian Darmayani tahun 2015 bahwa kontrasepsi hormonal memiliki pengaruh pada kejadian kanker serviks. Penggunaan kontrasepsi hormonal membuat viskositas mukosa serviks mendukung keberadaan agen karsinogenik yang ditransmisikan melalui hubungan

seksual. Lama penggunaan kontrasepsi juga berpengaruh karena mempertebal mukosa serviks. Penebalan mukosa serviks yang abnormal dapat mengarah ke kanker serviks (Kusmiyanti et al., 2019).

f. Paritas

Paritas adalah kemampuan perempuan untuk melahirkan secara normal.

Pada proses persalinan, bayi bergerak melalui mulut rahim sehingga terjadi robekan selaput serviks dan ada kemungkinan sedikit merusak jaringan epitel di tempat tersebut (Wikjosastro, 2005). Pada kasus perempuan yang melahirkan sering dengan jarak yang terlalu dekat, kerusakan jaringan epitel ini berkembang ke arah pertumbuhan sel abnormal yang berpotensi ganas. Pada persalinan yang sering mempunyai kesempatan untuk terkontaminasi oleh virus yang menyebabkan infeksi. Bakteri tersebut ada karena karena kebersihan vagina yang tidak terawat sehingga dapat berkembang menjadi keganasan (Rasjidi, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Raden (2013), menunjukkan bahwa responden dengan paritas ≥3 berisiko 4,32 kali lebih tinggi terkena kanker serviks dibandingkan seseorang dengan paritas <3 kali. Penelitian ini juga didukung oleh Darmayanti et al. (2015), bahwa adanya hubungan paritas >3 dengan lesi pra kanker. Hal ini juga memungkinkan terjadi disebabkan meningkatnya hubungan seksual. Beberapa penelitian juga menyatakan perubahan hormon selama masa kehamilan membuat perempuan lebih rentan terhadap infeksi HPV (Darmayanti et al., 2015).

g. Hubungan seksual pada usia muda

Salah satu penyebab kanker serviks adalah kawin di usia muda, terutama di bawah 17 tahun. Penelitian Setyarini menunjukkan bahwa responden yang menikah pada usia ≤ 20 tahun berisiko terkena kanker serviks 5 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang menikah pada usia >20 tahun (15). Penelitian Louie menyatakan usia muda saat berhubungan seksual pertama kali menjadi faktor risiko kanker serviks di 8 negara berkembang. Perempuan yang berhubungan seksual

pertama kali pada umur 17-20 tahun memiliki risiko 1,8 kali lebih besar untuk terkena kanker serviks (Ningsih et al., 2017).

h. Status ekonomi

Status ekonomi yang rendah berhubungan dengan angka kejadian dan angka kematian kanker serviks yang tinggi. Status ekonomi yang rendah juga berhubungan dengan latar belakang pendidikan yang rendah. Perempuan dengan status ekonomi rendah atau pendapatan rendah tidak mempunyak akses memadai di fasilitas kesehatan, termasuk skrining kanker serviks dengan tes Pap atau tes HPV. (American Cancer Society, 2020).

i. Pasangan seksual berganti-ganti

Perempuan dengan pasangan seksual yang lebih dari satu atau berganti-ganti sangat rentan terhadap infeksi HPV dan kanker serviks. Bahkan, mereka juga rentan dengan berbagai infeksi virus lainnya. Risiko terkena kanker serviks meningkat 10 kali lipat jika perempuan memiliki pasangan seksual lebih dari satu (Sari, Mudigdo & Nurdiati, 2016).

2.3.6 Pencegahan

Ada berbagai cara untuk mencegah kanker serviks. Salah satunya adalah vaksinasi HPV. Vaksin HPV direkomendasikan pada usia muda mulai dari 11-12 tahun, namun bisa mulai diberikan pada anak berusia 9 tahun. HPV tetap direkomendasikan pada semua orang sampai umur 26 tahun (CDC, 2021).

Cara lain untuk mencegah kanker serviks adalah dengan skrining. Skrining bertujuan untuk deteksi dini lesi pra kanker. Skrining yang dapat dilakukan adalah pap smear. Pap smear berguna untuk mendeteksi perubahan sel di serviks pada tahap awal dan mencegah terjadinya kanker serviks. Wanita disarankan melakukan pap smear mulai usia 21 tahun. Jika hasil pap smear normal, maka dapat dilakukan pap smear kembali 3 tahun kemudian, Tes DNA-HPV juga dapat membantu untuk mendeteksi adanya infeksi virus HPV pada serviks (CDC, 2021).

Penggunaan alat kontrasepsi juga menjadi salah satu langkah untuk mencegah kanker serviks. Penggunaan kondom dan spermisida dapat mencegah penularan virus HPV yang ditransmisikan melalui hubungan seksual. Selain itu, aktif seksual sesuai usia mulai dari usia 21 tahun dan hindari merokok juga menjadi langkah pencegahan kanker serviks (CDC, 2021; American Cancer Society, 2019).

2.3.7 Patogenesis

Human papillomavirus adalah virus kecil, tidak memiliki amplop, dan memiliki untai ganda DNA, anggota dari famili Papillomaviridae. DNA pada virus ini menyandi 6 jenis protein yaitu protein E1, E2, E4, E5, E6, E7. Protein ini berfungsi menjaga keberlangsungan hidup virus. DNA virus ini juga menyandi protein L1 dan L2 (Evriarti & Yasmon, 2019).

Infeksi HPV terjadi pada lapisan basal dari epitel pipih berlapis. Infeksi ini mengaktifkan proliferasi sel di epitel dan menginfeksi sel sehingga terjadi perubahan yang abnormal, mulai dari hiperplasia jinak menjadi displasia dan akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sebagai cara untuk replikasi efektif, HPV harus memanfaatkan sel pejamu. Protein virus mengikat E6 pada p53 (protein penekan tumor) sehingga menghasilkan p53 imatur. Protein E7 mengikat ke protein penekan tumor yaitu retinoblastoma (rb) sehingga retinoblastoma terhambat fungsinya. Protein virus ini menjadi mediasi dari potensi virus onkogenik dan perbedaan protein ini yang membedakan HPV yang berisiko rendah mau pun berisiko tinggi (Hahn et al., 2019; Pang & Thierry, 2013).

Saat virus menginfeksi sel basal, replikasi virus terjadi lamban namun konstan. Saat sel pejamu sudah matang dan tidak berdiferensiasi, replikasi genom HPV mulai meningkat. Gen E6 dan E7 mengaktifkan onkoprotein, gen L1 dan L2 mulai diekspresi. Pada tahap ini mulai terjadi perubahan sel abnormal, dan masih akan menginfeksi sel epitel lainnya. Perubahan ini terhitung CIN tahap I (Moody

& Laimins, 2010).

Protein E6 berikatan dengan protein selular yang disebut E6-AP (E6 associated protein) membentuk ubiquiting ligase E3 dengan target degradasi protein penekan tumor p53. Interaksi E6-p53 adalah kunci dari E6 yang mengakibatkan

malignansi melalui degradasi p53. Degradasi ini berlangsung terus menerus sehingga terjadi akumulasi dari mutasi genetik pada sel yang terinfeksi. Hilangnya p53 mengakibatkan perkembangan tumor tahap awal (Mammas & Sourvinos, 2008).

Protein E7 mengikat bentuk aktif dari p105rb dan anggota famili retinoblastoma sehingga mengakibatkan hilangnya kompleks pRb/E2F dimana pRb/E2F berfungsi menekan transkripsi gen yang dibutuhkan untuk progresi siklus sel. P53 dan pRb saling berhubungan dalam satu siklus: fosforilasi p105Rb mengakibatkan lepasnya kompleks Rb/E2F yang diperantai oleh cyclin-dependent kinase (cdk), dan dihambat oleh p21 yang merupakan target transkripsi dari p53 (Fischer et al., 2017).

Sebagian besar sel kanker serviks mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam tipe ganas. Namun, aktivitas gen tersebut dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari HPV. Apabila ekspresi onkogen E6 dan E7 dihambat, maka p53 dan retinoblastoma aktif sehingga sel kanker serviks sehingga penuaan sel dan apoptosis terhambat (Fischer et al., 2017).

Tiga pola utama pada pra kanker yaitu:

1. CIN I (Cervical Intraepithelial Neoplasia I) atau Low Grade Squamous Intraepithelial Lesions (LSILs). Pada tahap ini, dimulai infeksi sel sehingga terjadi perkembangan sel abnormal. Perubahan ini masih dalam skala yang sangat kecil dan respon imun sebenarnya masih dapat mengeliminasi infeksi pada tahap ini. Namun, jika terjadi toleransi, infeksi HPV akan menetap.

1. CIN I (Cervical Intraepithelial Neoplasia I) atau Low Grade Squamous Intraepithelial Lesions (LSILs). Pada tahap ini, dimulai infeksi sel sehingga terjadi perkembangan sel abnormal. Perubahan ini masih dalam skala yang sangat kecil dan respon imun sebenarnya masih dapat mengeliminasi infeksi pada tahap ini. Namun, jika terjadi toleransi, infeksi HPV akan menetap.

Dokumen terkait