• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat Penelitian

Dalam dokumen TESIS OLEH YASMINE F. SIREGAR NIM: (Halaman 21-0)

BAB I PENDAHULUAN

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah mengenai peran nilai rasio neutrofil-limfosit dalam menilai keadaan kolateral arteri koroner pada penderita penyakit jantung koroner stabil dengan multivessel disease.

1.5.2 Kepentingan Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penderita penyakit jantung koroner, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan tatalaksana dan dapat memperbaiki luaran.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Jantung Koroner Stabil

Penyakit jantung koroner (PJK) stabil merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh adanya plak ateromatosa di arteri koroner yang menyebabkan obstruksi dan secara perlahan akan mempersempit satu atau lebih arteri koroner epikardial (Marzili, 2012; Pepine, 2012). Kondisi ini akan menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard yang dapat menyebabkan iskemia/hipoksia miokard serta akumulasi sisa metabolit. Gejalanya terinduksi oleh aktivitas, tetapi dapat juga terjadi secara spontan dan ditandai dengan gejala tidak nyaman di dada secara transien (angina pektoris) (Wilder, 2016; Montalescot, 2013).

PJK stabil memiliki gejala klinis yang beragam. Nyeri dada adalah gejala yang paling banyak ditemukan, baik pada angina pektoris stabil, angina pektoris tidak stabil, Prinzmetal angina, angina mikrovaskular dan infark miokard akut.

Meskipun demikian, PJK stabil bisa memiliki keluhan selain angina, manifestasi klinis yang lain adalah iskemia miokard tersamar, gagal jantung, aritmia dan henti jantung mendadak. Pada pasien PJK stabil dengan diabetes mellitus, biasanya keluhan bersifat atipikal atau ekuivalen angina, seperti nyeri midepigastrium, intoleransi aktivitas, sesak nafas dan mudah lelah (Morrow, 2015).

Nyeri akibat iskemia miokard (angina pektoris) memiliki 4 kriteria klinis, yaitu:

a. Lokasi

Nyeri terasa bagian tengah dada di dekat sternum, dapat pula terasa dari epigastrium hingga ke rahang bawah, di antara tulang belikat atau antara lengan dan pergelangan tangan.

b. Karakteristik

Nyeri dada terasa seperti tekanan, ikatan, perasaan ditimpa, dicekik atau terbakar.

c. Durasi

Durasi nyeri dada tidak lebih dari 10 menit.

d. Hubungan dengan aktivitas

Nyeri dada dicetuskan oleh aktivitas atau tekanan emosional dan hilang/membaik dengan istirahat dan/atau pemberian nitrat dalam beberapa menit (Montalescot, 2013).

Klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society secara luas telah digunakan sebagai sistem untuk menentukan derajat angina pektoris. Sistem ini membagi derajat angina menjadi 4 kelas dan pembagian dilakukan berdasarkan kapan simptom nyeri dada mulai muncul akibat aktivitas fisik tertentu (Campeau, 2002).

Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Angina berdasarkan Canadian Cardiovascular Society (Montalescot, 2013)

Kelas I Aktivitas sehari-hari tidak menyebabkan angina, seperti berjalan dan naik tangga. Angina pektoris muncul saat melakukan aktivitas berat atau cepat atau dalam waktu lama.

Kelas II Ditemukan ada keterbatasan ringan saat melakukan aktivitas sehari-hari.

Angina muncul saat berjalan, menaiki tangga dengan cepat, berjalan atau menaiki tangga setelah makan, saat udara dingin, atau ada tekanan stress atau beberapa jam setelah bangun tidur.

Kelas III Keterbatasan fisik bermakna saat beraktivitas. Angina muncul saat berjalan pada permukaan datar lebih dari 2 blok atau menaiki lebih dari 1 tangga dengan kecepatan normal pada keadaan normal.

Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa disertai angina muncul saat istirahat.

2.1.1. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner Stabil 2.1.1.1. Formasi Plak Aterosklerosis

Aterogenesis merupakan hasil dari interaksi kompleks dari dinding pembuluh darah, darah dan molekul-molekul di dalam darah. Salah satu hal yang penting adalah keterlibatan inflamasi yang memegang peran penting dalam semua tahap aterogenesis. Inflamasi terjadi pada level lokal, miokard dan komplikasi sistemik dari aterosklerosis.

Ketika dinding endotelium terpapar dengan bakteri, hormon vasokonstriksi, produk glikosidasi dan sitokin proinflamasi, hal ini meningkatkan ekspresi dari molekul adhesi yang menyebabkan leukosit menempel pada permukaan dinding arteri. Migrasi dari leukosit bergantung pada ekspresi dari sitokin penarik yang sinyalnya berhubungan dengan faktor risiko aterosklerosis.

Setelah berada di tunika intima arteri, leukosit (terutama monosit dan limfosit) berinteraksi dengan sel endotel dan sel otot polos dari dinding arteri. Disini terjadi interaksi antara sel yang bersifat pro aterogenesis (melalui proses inflamasi dan imunitas) dan mediatornya, serta dilepaskan juga autakoid (contohnya histamin) yang meningkatkan tonus vaskular (Libby, 2005).

Akibat utama dari proses inflamasi ini adalah pembentukan ateroma dini, dimana otot polos bermigrasi dari tunika media ke tunika intima. Sel-sel berproliferasi, berikatan dengan matriks ekstraselular dan melepaskan matriks metalloproteinase (MMP). MMP adalah bentuk respon dari berbagai stress oksidatif, gangguan hemodimanik, inflamasi dan autoimun. MMP memodulasi aktivasi, proliferasi, migrasi dan kematian sel, pembentukan pembuluh darah baru, remodeling, proses destruksi dan penyembuhan dari matriks ekstraseluler arteri dan miokard (Libby, 2000).

Selanjutnya MMP berikatan dengan lipoprotein dan menetap di tunika intima. Ikatan ini menyebabkan lipoprotein lebih mudah mengalami oksidasi dan glikasi (William KJ, 1998). Hasil akhir proses oksidasi dan glikasi lipoprotein merupakan produk yang mencetuskan proses inflamasi (Tabas, 1999; Berliner, 2001). Proses pembentukan lesi terus berlanjut dan dilanjutkan dengan proses kalsifikasi sehingga lesi menjadi keras (Demer, 2002). Disamping proses

proliferasi sel, terjadi juga kematian sel (apoptosis) pada inti lesi aterosklerosis (Geng, 2002). Kematian sel makrofrag yang berisi lipid akan mengaktivasi deposisi faktor jaringan ekstraseluler (Bogdanov, 2003). Lipid ekstraseluler bersatu dengan tunika intima dan membentuk plak aterosklerosis dengan inti kaya lipid yang nekrotik.

2.1.1.2. Remodelling arteri

Proses pembentukan plak aterosklerosis terus berlangsung. Namun bertambahnya ukuran plak belum menyebabkan penyempitan lumen yang bermakna. Dinding arteri mengalami remodelling, lumen belum menyempit sampai volume plak > 40% dari lumen arteri (Ambrose, 1988). Fenomena ini disebut remodelling positif atau fenomena Glagovian (Glagov, 1987).

2.1.1.3. Stenosis arteri koroner

Penyempitan arteri koroner mempengaruhi hemodinamik bergantung pada derajat stenosis segmen epikardial dan seberapa besar kemampuan vasodilatasi segmen distal (Gambar 2.1). Jika stenosis masih dibawah 60% dari lumen pembuluh darah, aliran darah maksimal yang dapat melewati arteri koroner tidak mengalami gangguan yang berarti, selain itu sebagai respon aktivitas fisik, pembuluh darah dapat berdilatasi untuk mencukupi aliran darah yang adekuat. Di saat stenosis, mencapai 70% dari lumen, aliran darah saat istirahat masih normal, akan tetapi aliran darah maksimal akan berkurang walaupun sudah dengan dilatasi maksimal pembuluh darah. Pada kondisi ini, saat kebutuhan oksigen meningkat, aliran cadangan koroner tidak adekuat, kebutuhan oksigen melebihi suplai yang ada, dan menyebabkan iskemia miokard. Apabila stenosis mencapai 90% lumen, bahkan dengan dilatasi yang maksimal pun aliran darah tidak adekuat untuk mencukupi kebutuhan basal sehingga iskemia miokard dapat terjadi saat istirahat (Wilder, 2016; Hasan, 2016).

Gambar 2.1. Kurva aliran darah koroner maksimal dan saat istirahat dipengaruhi oleh stenosis di proksimal arteri (persentase lesi terhadap lumen) (Wilder, 2016).

Karakteristik gejala pada PJK stabil yaitu angina pektoris yang dapat disebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard ataupun menurunnya suplai oksigen ke miokard. Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal, seperti peningkatan denyut jantung, tekanan dinding ventrikel kiri, dan kontraktilitas, yang kemudian akan dipengaruhi oleh aliran darah koroner dan kadar oksigen arteri koroner (Gambar 2.2) (Morrow, 2015).

Gambar 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan antara kebutuhan (kiri) dan suplai (kanan) oksigen. Tanda panah menunjukkan efek nitrat. AoP =

tekanan aorta, LVEDP = tekanan akhir diastolik ventrikel kiri; N.C. = tidak ada perubahan (Morrow, 2015).

Pada kondisi meningkatnya kebutuhan oksigen miokard (demand angina), terjadi peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan peningkatan kontraktilitas. Hal ini biasanya disebabkan oleh respon fisiologis terhadap aktivitas fisik, respon emosional dan status mental yang meningkatkan respon hemodinamik dan katekolamin, meningkatkan tonus adrenergik, dan menurunkan aktivitas vagal. Selain itu, latihan fisik serta kebutuhan metabolik yang meningkat, seperti demam, tirotoksikosis, takikardia, hipertensi tidak terkontrol, serta hipoglikemia, juga dapat meningkatkan kebutuhan oksigen (Morrow, 2015; Hasan, 2016).

Angina juga dapat terjadi karena menurunnya suplai oksigen (supply angina) secara transien, akibat dari vasokonstriksi koroner yang menyebabkan stenosis dinamik. Dengan adanya stenosis yang disebabkan aterosklerosis, trombus oleh platelet dan leukosit dapat mengaktifkan substansi-substansi vasokonstriktor seperti serotonin dan tromboksan A2. Kerusakan endotel akibat aterosklerosis arteri koroner menyebabkan penurunan produksi substansi vasodilator, menyebabkan respons vasokonstriksi yang abnormal terhadap aktivitas dan stimulus lain (Hasan, 2016; Morrow, 2015).

2.1.2 Diagnosis Penyakit Jantung Koroner Stabil

Penilaian faktor risiko penting untuk memperkirakan seberapa besar seseorang berisiko menderita PJK stabil. Beberapa faktor risiko yaitu, merokok, hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemia, dan riwayat keluarga.

Manifestasi klinis PJK stabil paling awal adalah angina yang dijumpai pada 50% pasien, biasanya disebabkan oleh obstruksi arteri koroner utama oleh plak aterosklerosis. Angina pektoris dikarakteristikan dengan rasa tidak nyaman di substernal, terasa berat, atau seperti ditimpa, yang dapat menjalar ke rahang, bahu, punggung, atau lengan, dan berlangsung selama beberapa menit. Gejala ini biasanya dicetuskan oleh aktivitas dan hilang dengan istirahat setelah beberapa

menit atau dengan penggunaan nitrogliserin. Pasien dengan PJK stabil dapat asimptomatik atau datang dengan gejala sindroma koroner akut, gagal jantung, aritmia atau mati mendadak (Cassar, 2009).

Dari pemeriksaan fisik biasanya tidak dijumpai kelainan yang berarti pada pasien dengan kondisi stabil. Akan tetapi, pemeriksaan adanya penyakit-penyakit penyerta lain seperti hipertensi, penyakit paru obstruktif kronis (akibat merokok), xanthelasma (hiperlipidemia), adannya bukti penyakit aterosklerosis selain koroner (pulsasi perifer yang lemah, karotis, atau aneurisma aorta abdominal) sangat penting. (Cassar, 2009; Hasan, 2016).

2.1.2.1. Pemeriksaan non Invasif

Pada pasien dengan sangkaan PJK stabil, pemeriksaan non invasif utama perlu dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium, EKG istirahat, ekokardiografi dan foto toraks. Pemeriksaan laboratorium meliputi total kolesterol, kolesterol low-density lipoprotein (LDL), kolesterol high-density lipoprotein (HDL), trigliserida, kreatinin serum (laju filtrasi glomerulus) dan kadar gula darah puasa (Morrow, 2015). Kemajuan dalam bidang patobiologi aterotrombosis mengajukan pentingnya pemeriksaan penanda inflamasi untuk mendeteksi aterosklerosis dan risiko kardiovaskular. Pemeriksaan high-sensitivity C-reactive protein (hsCRP) fase akut secara konsisten menunjukkan adanya risiko kejadian kardiovaskular yang dibuktikan dengan temuan plak aterosklerosis dari hasil pencitraan (Ridker, 2011).

Pemeriksaan EKG normal pada setengah dari pasien PJK stabil. EKG normal menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang baik. Gambaran EKG abnormal yang bisa ditemukan adalah perubahan gelombang ST-T non spesifik dengan atau tanpa gelombang Q patologis. Pada pasien yang terbukti memiliki lesi koroner, abnormalitas segnem ST-T berhubungan dengan keparahan penyakit.

Pemeriksaan noninvasif lainnya yang dapat dilakukan adalah uji latih jantung, myocardial perfusion imaging, stress echocardiography, CT-scan jantung, dan cardiac magnetic resonance imaging. Pemeriksaan non-invasif sebelumnya memang dapat digunakan dalam menegakkan diagnosa PJK stabil,

namun sebagian iskemia miokard dapat terjadi tanpa adanya lesi di arteri koroner epikardial. Sehingga, prosedur invasif, yaitu dengan angiografi koroner merupakan pemeriksaan yang paling objektif dan merupakan baku emas dalam menentukan suatu penyakit arteri koroner (Wilder, 2016; Hasan H, 2016).

2.1.2.2. Pemeriksaan Invasif

Angiografi koroner adalah baku emas untuk mendiagnosis PJK stabil dan mampu menilai keparahan anatomi koroner (Marzili, 2012; Pepine, 2012).

Angiografi koroner memiliki 2 tujuan utama, yaitu menilai risiko kejadian kardiovaskular dan kematian pasien serta membantu menentukan pilihan terapi revaskularisasi. Angiografi koroner dapat menjelaskan mengenai anatomi arteri koroner, termasuk lokasi, panjang pembuluh darah, diameter, dan bentuk epikardial dari pembuluh darah (Hasan, 2016; Krishnaswamy, 2013). Selain itu, angiografi koroner juga dapat menentukan lokasi lesi koroner, derajat obstruksi, aliran kolateral, dan aliran darah di lumen arteri tersebut. Pada oklusi kronis, lesi umumnya multipel dan difus (Claessen, 2012).

2.2. Anatomi Sirkulasi Koroner

Pada manusia dan mamalia, pembuluh darah epikardial utama adalah left main (LM) dan right main coronary artery (RCA). Arteri koroner kiri dan kanan berasal dari ostium koroner yang berada di basis aorta, di sebelah kanan dan kiri sinus Valsava. Ostium koroner kiri berjumlah tunggal. Dari ostium koroner, keluar LM yang pendek yang bercabang menjadi left anterior descending artery (LAD) dan left circumflex (LCx) (Green, 1967; Virmani, 1984).

LAD berjalan di sepanjang interventricular groove. LAD berjalan mengelilingi arteri pulmonalis, sepanjang septum interventrikel hingga hampir mencapai apeks. Pada beberapa kasus, LAD gagal mencapai apeks dan memiliki sedikit cabang di dinding anterolateral ventrikel kiri (Angelini, 1989). Namun sebagian LAD berjalan hingga mengelilingi apeks (wraparound LAD) dan menyuplai darah ke sebagian septum posterior bahkan menggantikan posterior

descending artery (PDA). LAD memiliki beberapa cabang, yaitu diagonal arteries dan septal perforating branches (Musselman, 1992). Pada umumnya manusia memiliki 1-3 diagonal arteries, dengan ukuran cabang paling besar berasal dari LAD proksimal dan cabang semakin kecil jika berasal dari dekat apeks. Diagonal arteries terletak paralel terhadap satu sama lain (Ilia, 1991).

Septal perforating branches berasal dari sudut kanan LAD dan masuk ke dalam septum interventrikular. Septal perforator arteries dapat menjadi bifurkasio atau trifurkasio dengan pola susunan yang tidak beraturan (Rath, 1986).

LCx berjalan di posterior sepanjang apendiks atrium kiri, atrioventricular groove, hingga annulus mitral. LCx bercabang menjadi 1-4 obtuse marginal branch, dengan pola paling sering adalah 2-3 cabang (Nerantzis, 1980). Distribusi LCx dan cabangnya berlawanan dengan RCA. Jika LCx memiliki distribusi yang luas, RCA akan memiliki cabang yang lebih sedikit dan begitu pula sebaliknya.

Ramus LCx memperdarahi bagian lateral ventrikel kiri. Obtuse marginal branch memperdarahi bagian posterolateral ventrikel kiri.

RCA berjalan di sepanjang atrioventricular groove kanan dan mengelilingi annulus katup trikuspid. Cabang pertama adalah cabang infundibular, yang bertugas memperdarahi otot di sepanjang right ventricular outflow tract atau infundibulum. Cabang selanjutnya adalah sinus node artery.

Sinus node artery berasal dari proksimal RCA. Pada 50-70% pasien, sinus node artery mendapat perdarahan dari RCA dan sekitar 3% pasien, sumber perdarahan didapat dari LCx (Kyriakidis, 1983). Dari bagian mid RCA, keluar right ventricular marginal branch yang memperdarahi bagian lateral dinding ventrikel kanan. Beberapa cabang halus dari RCA memperdarahi atrium. Bagian distal RCA memiliki anatomi beragam. Pada pasien dengan pola koroner dominan kanan, sebanyak 50-60% PDA muncul dari lengkungan RCA, 13% berasal dari acute marginal branch dan 19% berasal dari antara acute marginal branch dan lengkungan RCA (Adams, 1985).

Muskulus papilaris anterolateral mendapat sumber perdarahan dari diagonal branch dari LAD dan marginal branch dari LCx. Hal ini bertujuan untuk melindungi muskulus papilaris dari disfungsi akibat iskemia. Sebaliknya,

muskulus papilaris posteromedial hanya mendapat perdarahan dari PDA sehingga lebih rentan terhadap kerusakan akibat infark miokard (Voci, 1995).

Gambar 2.3. Anatomi arteri koroner. (A) Arteri koroner kanan, (B) Arteri koroner kiri (Kern, 2011).

2.3. Kolateral Arteri Koroner

Kolateral arteri koroner (KAK) adalah cabang-cabang anastomosis kecil yang berhubungan secara langsung ke arteri koroner besar dan sebagai prekursor sirkulasi kolateral untuk mempertahankan perfusi miokard pada kondisi stenosis berat akibat aterosklerotik di proksimal arteri koroner (Popma, 2015). Jaringan yang terbentuk dari anastomosis cabang kecil arteri koroner merupakan prekursor dari sirkulasi kolateral. Perkembangan sirkulasi kolateral diawali dengan pembentukan pembuluh kolateral yang menghubungkan beberapa komponen dari sirkulasi arteri koroner. Pada jantung dewasa normal, kolateral dibentuk dari pembuluh darah kecil berdinding tipis, berdiameter < 50 µm dan hanya berperan kecil dalam sirkulasi darah koroner. Pembuluh kolateral tidak tampak pada keadaan normal atau stenosis arteri koroner ringan karena kaliber yang kecil.

Sebagai respon dari stenosis arteri koroner dan iskemia miokard, perbedaan tekanan transstenosis memungkinkan aliran darah melewati sirkulasi anatomis tersebut. Akibatnya, diameter pembuluh kolateral semakin besar (200-600 µm) dan otot polosnya semakin tebal sehingga mampu mempertahankan aliran darah

(Gregg, 1980; Erwin, 2018). Sirkulasi kolateral berperan sebagai sumber alternatif suplai darah terhadap miokard yang mengalami iskemia atau berisiko mengalami iskemia. Kolateral tidak hanya bisa mempertahankan perfusi normal saat istirahat tetapi juga dapat mencegah iskemia terinduksi stress dalam latihan jantung submaksimal (Canty JM, 2015).

Gambar 2.4. Angiografi koroner pada PJK dengan oklusi multipel. a) oklusi total kronis pada proksimal arteri LAD, b) injeksi kontras ke RCA, kontras tanpak mengisi secara retrograde ke LAD melalui cabang kolateral (Seiler, 2013).

a b

a

Gambar 2.5. Suplai kolateral ke tiga arteri koroner utama. a) kolateral yang berkembang pada oklusi left anterior descending (LAD), b) kolateral yang berkembang pada oklusi right coronary artery (RCA) dan c) kolateral yang berkembang pada oklusi left circumflex artery (LCx) (Levin, 1974; Erwin 2018).

2.3.1 Mekanisme pembentukan kolateral (angiogenesis & arteriogenesis) Terbentuknya pembuluh darah kolateral meliputi proses angiogenesis dan arteriogenesis. Pembuluh darah baru dapat terbentuk dari pleksus yang sudah ada sebelumnya melalui proses penonjolan atau intususepsi. Pembentukan pembuluh darah baru ini disebut angiogenesis. Sel-sel endotelial dan sel otot polos sangat penting untuk kematangan pembuluh yang baru terbentuk. Selama proses angiogenesis, kapiler-kapiler baru terbentuk disekitar daerah yang mengalami iskemia, sebagaimana terjadi juga pada infark miokard dan stroke. Proses remodelling yang mencakup ambilan kolateral-kolateral yang sudah ada menjadi suatu pembuluh darah yang lebih matang, disebut arteriogenesis (Seiler, 2013).

Dengan terjadinya iskemia, growth factors seperti faktor 1α yang diinduksi oleh hipoksia dan mediator-mediator inflamasi akan dilepaskan dan menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskular, dan akumulasi monosit dan makrofag yang akan mensekresikan lebih banyak growth factors dan mediator-mediator inflamasi (Arras, 1998). Sel-sel inflamasi ini akan

mengeluarkan metalloproteinase yang akan meleburkan matriks dan lapisan basal sekitar pembuluh darah. Hipoksia akan mensensitisasi sel-sel endotelial untuk efek kemotaktik dan proliferasi dari berbagai growth factor dengan cara memperbanyak reseptor. Sel-sel endotel akan berlekatan, bermigrasi, berproliferasi, dan membentuk lumen pembuluh darah yang baru. Sel-sel sekitar dan sel otot polos juga terlibat dalam proses ini.

Tabel 2.2. Definisi angiogenesis, arteriogenesis dan pembuluh kolateral (Berry, 2007)

Istilah Definisi

Angiogenesis Pembentukan kapiler baru melalui yang keluar dari venula post kapiler

Arteriogenesis Transformasi dari arteriol yang sudah ada menjadi arteriol kolateral fungsional yang memiliki komponen vasomotorik

Pembuluh darah kolateral

Pembuluh darah kolateral adalah pembuluh yang menghubungkan arteri-arteri yang paralel tanpa adanya capillary bed

Pencetus proses arteriogenesis yang paling utama adalah tekanan tangensial pada dinding pembuluh darah (shear stress) dan sel-sel mononuklear sum-sum tulang. Stenosis, obstruksi ataupun oklusi arteri besar, menyebabkan penurunan tekanan post-stenosis, terjadi gradien tekanan yang besar dan membentuk jalur anastomosis kolateral dari vaskular yang tidak mengalami kelainan. Gradien tekanan ini yang meningkatkan aliran darah melalui arteriol-arteriol kolateral, sehingga semakin meningkatkan tekanan dinding pembuluh darah, dan kemudian mengaktifkan endotelium arteriol kolateral, perlekatan molekul, dan growth factor. Dalam beberapa hari, monosit yang ada di sirkulasi melekat ke endotel kolateral menghasilkan reaksi inflamasi. Disolusi matriks terjadi dan pembuluh darah mulai berkembang dengan proliferasi aktif dari sel-sel endotel dan otot polos (Seiler, 2013; Meier, 2013).

Selain karena stimulasi monosit dan makrofag, arteriogenesis berhubungan dengan tekanan dinding pembuluh darah yang meningkatkan aliran

darah, sehingga induksi arteriogenesis melalui latihan fisik yang rutin juga dapat menjadi pilihan terapi.

Gambar 2.6. Skema hipotesa beberapa faktor yang berperan dalam proses angiogenesis.

Pencetus utama angiogenesis dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu mekanik, kimiawi, dan faktor molekular. Terbentuknya pembuluh darah baru melibatkan beberapa tahap, migrasi, adesi, dan proliferasi dari sel-sel endotel. Hingga pada akhirnya mengalami pembentukan dan maturasi dari struktur tubular yang baru yang dapat memberikan aliran darah (Tabibiazar, 2001).

2.3.2 Determinan Sirkulasi Kolateral Arteri Koroner

Iskemia miokard berat dan rekuren, gradient tekanan, shear stress, dan faktor pertumbuhan adalah beberapa faktor yang menstimulasi sirkulasi arteri koroner. Takeshita dkk. (1982) melaporkan bahwa KAK berkembang sebagai respon dari intermiten iskemia. Kolateral ini membantu menyediakan sirkulasi pada saat kebutuhan berat, seperti pada oklusi akibat sindroma koroner akut.

Herlitz dkk. (1993) menyatakan bahwa angina pektoris kronik sebelum infark miokard menginduksi lebih banyak kolateral sehingga luas infark menjadi lebih kecil. Paparan terhadap kadar oksigen yang rendah menyebabkan akumulasi vascular endothelial growth factor (VEGF), mRNA dan TGF- ß.

Tidak seperti angiogenesis yang dirangsang oleh proses hipoksia jaringan, arteriogenesis tidak diinduksi oleh hipoksia, namun dirangsang oleh shear stress.

Growth factor yang terlibat dalam arteriogenesis antara lain TGF-α, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), dan b-FGF (van Royen, 2001).

Perbedaan tekanan pada arteri utama menyebabkan aliran melalui kolateral digunakan. Tekanan di distal stenosis menurun, aliran darah beredistribusi melalui arteriol yang menghubungkan area tekanan tinggi dengan area tekanan rendah (Sasayama, 1992; van Royen, 2001). Peningkatan aliran darah meningkatkan shear stress pada arteri kolateral, upregulasi molekul adhesi endotel dan meningkatkan adherensi monosit yang berubah menjadi makrofag. Akibatnya, terjadi perubahan morfologi dan remodelling vaskular. (Conway, 2001; van Royen, 2001).

Terdapat perbedaan kemokin dan growth factor yang terlibat pada angiogenesis dan arteriogenesis. Beberapa growth factor yang sama antara lain b-FGF dan PDGF (platelet-derived growth factor) (Conway, 2001; van Royen, 2001). Pada keaadaan iskemia, ekspresi faktor angiogenesis bertambah. Namun pada keadaan diabetes mellitus, hiperlipidemia dan usia tua, sirkulasi kolateral buruk disebabkan oleh faktor angiogenesis yang terganggu (Waltenberger, 2001).

2.3.3. Klasifikasi Kolateral Arteri Koroner

Kolateral fungsional dapat tumbuh di antara dua terminal arteri koroner, antara dua cabang arteri koroner, antara cabang-cabang arteri yang sama atau via vasa vasorum pembuluh darah yang sama (Levin, 1974). Levin menjelaskan aliran kolateral ke tiga pembuluh darah utama. Kugel arteri adalah kolateral yang berasal dari RCA proksimal atau arteri sinus nodal atau LCx melewati septum intraatrial, beranastomosis ke arteri nodal AV dan mensuplai ke RCA atau LCx distal. Cincin Vieussens adalah kolateral yang menghubungkan arteri konus RCA dengan proksimal cabang ventrikel kanan dari LAD (Kugel, 1927).

Ada beberapa klasifikasi dalam menilai kolateral, yaitu klasifikasi Rentrop dan Werner, keduanya dinilai dari angiografi koroner. Klasifikasi Werner membagi kolateral menjadi 3 kelompok, yaitu CC 0 (tidak ada hubungan antara

Dalam dokumen TESIS OLEH YASMINE F. SIREGAR NIM: (Halaman 21-0)

Dokumen terkait