• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini dapat dijadikan dasar dalam memahami bentuk deiksis terutama dalam bahasa Mandarin.

2. Memberi motivasi kepada peneliti selanjutnya dalam melakukan kajian mengenai deiksis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini penulis memaparkan enam tinjauan pustaka yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Penelitian yang relevan dengan ini ialah :

Hasibuan (2011) Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan disertasinya yang berjudul “Deiksis dalam Bahasa Mandailing”. Di dalam penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa bahasa Mandailing mengenal deiksis persona (personal deixis), deiksis tempat (spacial deixis), deiksis waktu (temporal deixis), deiksis sosial (social deixis), dan deiksis wacana (discourse deixis). Kontribusi penelitian tersebut dengan penelitian ini ialah terdapat pada metode yang digunakan adalah sama dengan penelitian ini, yaitu metode kualitatif.

Simanjuntak (2011) Mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan, dalam skripsinya yang berjudul

“Deiksis Persona dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”. Penelitian ini memfokuskan pada bentuk deiksis persona dalam novel Laskar Pelangi.

Kontribusi penelitian tersebut dengan penelitian ini ialah teori yang digunakan.

Pada kedua penelitian ini menggunakan teori Pragmatik dan juga metode yang digunakan adalah metode padan dan teknik pilah unsur penentu.

Rahman (2012) Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Gadjah Mada, dalam tesisnya yang berjudul “Deiksis dalam Bahasa Jerman”.Dalam penelitian tersebut peneliti mendeskripsikan masalah deiksis dalam bahasa Jerman.

Peneliti tersebut menjelaskan mengenai tiga macam deiksis yang ada dalam bahasa Jerman, yaitu (1) bentuk dan fungsi deiksis persona bahasa Jerman; (2) bentuk dan fungsi deiksis lokatif bahasa Jerman; dan (3) bentuk dan fungsi deiksis waktu bahasa Jerman. Kontribusi penelitian tersebut dengan penelitian ini ialah memiliki persamaan pada metode penelitiannya yaitu menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif.

Mahardhika (2013) Mahasiswi jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, dalam jurnalnya yang berjudul

“Penggunaan Deiksis pada Rubrik Cerkak dalam Majalah Penjebar Semangat”. Di dalam penelitian tersebut, jenis deiksis yang dipaparkan ialah jenis deiksis dalam-tuturan dan deiksis luar-dalam-tuturan saja. Berdasarkan data yang telah diperoleh, ditemukan deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, anafora, katafora dan deiksis sosial. Kontribusi penelitian tersebut dengan penelitian ini ialah teknik analisis data yang digunakan yaitu deskriptif dan memiliki persamaan pada objek penelitian yaitu penelitian mengenai penggunaan deiksis yang terdapat pada suatu karya sastra.

Merentek (2016) Mahasiswi jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sam Ratulangi, Manado, dalam jurnal skripsinya yang berjudul

“Deiksis dalam Film Cinderella: Analisis Pragmatik”. Penelitian tersebut memfokuskan pada bentuk dan makna deiksis yang terdapat pada film Cinderella berdasarkan teori dari Stephen C. Levinson (1983). Kontribusi penelitian tersebut dengan penelitian ini ialah teori yang digunakan. Pada kedua penelitian ini menggunakan teori dari Stephen C. Levinson (1983) dan juga kedua penelitian ini menggunakan film sebagai sumber data penelitian.

Noberty (2016) Mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dalam skripsinya yang berjudul “Fenomena Deiksis pada Rubrik Kolom di Harian Jawa Pos Edisi September-Desember 2015”. Penelitian tersebut berfokus pada wujud dan maksud fenomena deiksis pada rubrik kolom di harian Jawa Pos edisi September-Desember 2015. Kontribusi penelitian tersebut dengan penelitian ini ialah kedua penelitian ini sama-sama termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif, dan metode pengumpulan data pada kedua penelitian ini ialah metode simak dengan menggunakan teknik catat.

2.2 Konsep 2.2.1 Deiksis

Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk” (Yule, dalam Mustika, 2012: 6). Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu. Itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya:

dia, disini, sekarang. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna ujaran dapat dipahami dengan tegas. Waktu juga merupakan jenis deiksis. Misalnya “kemarin” hanya dapat di rujuk dari situasinya.

Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya.

Contohnya dalam kalimat “saya bersama dia”, informasi dari kata ganti “saya”

dan “dia” hanya dapat di telusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang disebut deiksis.

Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata

seperti saya, sini, sekarang, adalah kata-kata deiksis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang, baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan.

2.2.2 Deiksis dalam Bahasa Mandarin

Deiksis bahasa Mandarin adalah kata-kata dalam bentuk bahasa Mandarin yang mengandung sifat deiksis atau kata, frasa, atau ungkapan yang rujukannya berpindah-pindah tergantung siapa yang menjadi pembicara dan waktu, dan tempat dituturkannya satuan bahasa tersebut. Contohnya sebagai berikut.

Bentuk Tuturan (1) : 唐三藏 : “你还住在这儿?”

Táng Sānzàng : “Nǐ hái zhù zài zhè'er?”

Tang Sanzang : “Mengapa kau tinggal di sini ?”

Kutipan dialog di atas merupakan dialog pada durasi 00:08:47 pada film The Monkey King 2. Penutur pada dialog tersebut adalah biksu Tang Sanzang dan mitra tuturnya adalah nenek tua jelmaan Bai Gujing. Kata 这儿 (zhè'er) pada tuturan (1) merujuk pada rumah gubuk yang ditempati oleh nenek jelmaan Bai Gujing. Pada saat ujaran berlangsung, Biksu Tang bertanya kepada nenek jelmaan Bai Gujing bahwasannya mengapa nenek tersebut tinggal di rumah itu.

2.2.3 Film

2.2.3.1 Pengertian Film

Film atau gambar hidup merupakan gambar-gambar dalam frame di mana frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar terlihat gambar itu hidup. Film bergerak dengan cepat dan bergantian sehingga memberikan visual yang kontinu. Atau film adalah serangkaian gambar

yang diproyeksikan ke layar pada kecepatan tertentu sehingga menjadikan urutan tingkatan yang berjalan terus sehingga menggambarkan pergerakan yang nampak normal. Film pada hakikatnya merupakan penemuan baru dalam interaksi belajar mengejar yang mengkombenasikan dua macam indera pada saat yang sama.

Film yang dimaksudkan di sini adalah film sebagai alat audio visual untuk pelajaran, penerangan, atau penyuluhan. Banyak hal-hal yang dapat dijelaskan melalui film, antara lain tentang proses yang terjadi dalam tubuh kita atau yang terjadi dalam suatu industri, kejadian-kejadian dalam alam, tata cara kehidupan di negara asing, berbagai industri dan pertambangan, mengajarkan suatu ketrampilan, sejarah kehidupan orang-orang besar, dan sebagainya.

2.2.3.2 Sejarah Film

Hubungan masyarakat dengan film memiliki sejarah yang cukup panjang.

Hal ini dibuktikan oleh ahli komunikasi Oey Hong Lee, yang menyatakan bahwa film merupakan alat komunikasi massa yang muncul kedua di dunia setelah surat kabar, mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19. Pada awal perkembangannya, film tidak seperti surat kabar yang mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial, dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya pada abad ke-18 dan permulaan abad ke-19.

Oey Hong Lee menambahkan bahwa film menncapai puncaknya di antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Namun, kemudian merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya medium televisi.

Ketika pada tahun 1903 kepada publik Amerika Serikat diperkenalkan

sebuah film karya Edwin S. Porter yang berjudul “The Great Train Robbery”, para pengunjung bioskop dibuat terperanjat. Mereka bukan saja seolah-olah melihat kenyataan, tetapi seakan-akan tersangkut dalam kejadian yang digambarkan pada layar bioskop itu. Film yang hanya berlangsung selama 11 menit ini benar-benar sukses. Film “The Great Train Robbery” bersama nama pembuatnya, yaitu Edwin S. Porter terkenal ke mana-mana dan tercatat dalam sejarah film (Effendy, dalam Rochmawati, 2016: 51). Namun, film ini bukan yang pertama sebab setahun sebelumnya, yahun 1902, Edwin S. Porter juga telah membuat film yang berjudul “The Life of an American Fireman”, dan Ferdinand Zecca di Perancis pada tahun 1901 membuat film yang berjudul “The Story of Crime”. Tetapi film “The Great Train Robbery” lebih terkenal dan dianggap film cerita yangpertama.

Pada tahun 1913 seorang sutradara Amerika, David Wark Griffith, telah membuat film berjudul “Birth of a Nation” dan pada tahun 1916 film

“Intolerance”, yang keduanya berlangsung masing-masing selama kurang lebih tiga jam. Ia oleh sementara orang dianggap sebagai penemu “grammar” dari pembuatan film. Dari kedua filmnya itu tampak hal-hal yang baru dalam editing dan gerakan-gerakan kamera yang bersifat dramatis, meskipun harus diakui bahwa di antaranya ada yang merupakan penyempurnaan dari apa yang telah diperkenalkan oleh Porter dalam filmnya “The Great Train Robbery”.

Film tersebut adalah film bisu, akan tetapi cukup mempesona dan berpengaruh kepada jiwa penonton. Orang-orang yang berkecimpung dalam perfilman menyadari bahwa film bisu belum merupakan tujuannya. Pada tahun

1927 di Broadway Amerika Serikat muncul lah film bicara yang pertama meskipun dalam keadaan belum sempurna sebagaimana dicita-citakan. Menurut sejarah perfilman di Indonesia, fim pertama di negeri ini berjudul “Lely Van Java”

yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh seorang yang bernama David.

Film ini disusul oleh “Eulis Atjih” produksi Krueger Corporation pada tahun 1927/1928sampai pada tahun 1930 film yang disajikan masih merupakan film bisu, dan yang mengusahakannya adalah orang-orang Belanda dan Cina.

2.2.3.3 Jenis-JenisFilm

Secara umum film dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni dokumenter, fiksi, dan eksperimental. Pembagian ini didasarkan atas cara bertuturnya yakni, naratif (cerita) dan non naratif (non cerita).

Film fiksi memiliki struktur naratif yang jelas sementara film dokumenter dan eksperimental yang memiliki konsep relism (nyata) berada di kutub yang berlawanan dengan film eksperimental yang memiliki konsep formalism (abstrak).

Sementara film fiksi berada persis di tengah-tengah dua kutub tersebut. Anda nantinya akan mengetahui jika ternyata film fiksi berada persis ditengah-tengah dua kutub tersebut. Anda nantinya akan mengetahui jika ternyata film fiksi bisa mempengaruhi film dokumenter atau film eksperimental baik secara naratif maupun sinematik.

1) FilmDokumenter

Kunci utama dari film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter behubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi atau otentik. Tidak seperti film fiksi, film dokumenter tidak memiliki plot namun

memiliki struktur yang umumnya didasarkan oleh tema atau argumen dari sineasnya,film dokumenter juga memiliki tokoh protagonis dan antagonis, konflik, serta penyelesaian seperti halnya film fiksi. Struktur bertutur film dokumenter umumnya sederhana dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk memahami dan mempecayai fakta-fakta yang di sajikan. Film dokumenter dapat digunakan untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti informasi atau berita, biografi, pengetahuan, pendidikan, social, ekonomi, politik (propaganda), dan lain sebagainya.

2) FilmFiksi

Film fiksi terikat oleh plot. Dari sisi cerita, film fiksi sering menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata serta memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal. Struktur cerita fim juga terikat hukum kausalita. Cerita biasanya juga memiliki karakter protagonis dan antagonis, masalah dan konflik, penutupan serta pola pengembangan cerita yang jelas.

3) FilmEksperimental

Film eksperimental merupakan jenis film yang sangat berbeda dengan dua jenis film lainnya. Para sineas eksperimental umumnya bekerja di luar industri film utama (mainstream) dan bekerja pada studio independen atau perorangan.

Mereka umumnya terlibat penuh dalam seluruh produksi filmnya sejak awal hingga akhir. Film eksperimental tidak memiliki plot namun tetap memiliki struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi oleh insting subyektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman batin mereka. Film eksperimental juga umumnya tidak bercerita tentang apapun bahkan kadang menentang kausalitas, seperti yang dilakukan para sineas surealis dan dada. Film-film eksperimental

umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami. Halini disebabkan karena mereka menggunakan simbol-simbol personal yang mereka ciptakan sendiri.Beberapa jenis film diatas merupakan perkembangan yang luar biasa dalam seni drama yang memasuki dunia perfilman yang semakin mengalami kemajuan. Film yang syarat dengan simbol-simbol, tanda-tanda, atau ikon-ikon akan cenderung menjadi film yang penuh tafsir. Film memiliki kemajuan secara teknis juga mekanis, ada jiwa dan nuansa didalamnya yang dihidupkan oleh cerita dan skenario yang memikat. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan film The Monkey King 2 termasuk di dalam jenis film fiksi.

2.2.4 Hubungan Deiksis dengan Film

Di dalam sebuah film terdapat tokoh-tokoh pemain yang berperan. Tokoh-tokoh tersebut menggunakan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi sehingga dapat menyampaikan maksud dan makna-makna kepada penonton. Di dalam sebuah film terdapat dialog yang sudah disiapkan untuk dituturkan oleh masing-masing pemeran dalam film. Di dalam dialog tersebut terdapat berbagai macam kata yang bersifat deiksis. Maka hubungan deiksis dengan film sangat lah jelas ada karena di dalam film The Monkey King 2terdapat dialog-dialog yang dituturkan oleh tokoh-tokoh dalam film.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini merupakan penelitian pragmatik yang mengkaji tulisan pada film The Monkey King 2. Teori yang digunakan untuk menjadi pisau analisis penelitian yang berjudul “Penggunaan Deiksis Bahasa Mandarin pada Film The Monkey King 2” yaitu teori pragmatik dan deiksis. Teori pragmatik dan deiksis digunakan sebagai acuan dasar untuk menganalisis data yang ditemukan pada film The Monkey King 2. Paparan mengenai teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.

2.3.1 Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang menjadi dasar penentuan pemahamannya (Levinson dalam Merentek, 2016: 2).

Levinson juga menambahkan bahwa pragmatik mencakup bahasan tentang pranggapan, tindak tutur, implikatur percakapan, aspek-aspek struktur wacana dan deiksis. Parker (dalam Merentek, 2016: 2) menyatakan perbedaannya semantik ialah studi tentang makna yang berkaitan dengan makna kata atau makna leksikal yakni makna bebas akan konteks sedangkan makna dalam pragmatik yakni terikat konteks, tujuan dari pembicara atau perasaan pembicara.

Deiksis merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu deitikos, yang artinya ‘menunjuk’ melalui bahasa. Segala bentuk linguistik yang digunakan untuk mencapai hal ini ‘menunjuk’ disebut ekspresi deiksis. Ketika kita melihat sebuah benda dan bertanya “apa itu?”, kita akan menggunakan ekspresi deiksis

‘itu’ untuk menunjukkan sesuatu dalam konteks langsung (Yule, dalam Merentek, 2016: 3). Deiksis adalah kata-kata yang mengambil makna dari situasi ujaran (persona, waktu, dan tempat) saat kata-kata itu digunakan. Menurut Levinson

(dalam Merentek, 2016: 3) hubungan antara bahasa dan konteks yang tercermin terdapat di dalam struktur bahasa itu sendiri. Konteks pada ilmu pragmatik memiliki peran yang sangat penting karena ilmu pragmatik merupakan kajian makna tuturan berdasarkan konteks tuturan. Konteks adalah pengetahuan yang melatarbelakangi tuturan yang sama dimiliki dan dipahami oleh penutur dan mitra tutur sehingga mitra tutur mengerti dan memahami apa yang dimaksudkan oleh penutur ketika melakukan tuturan. Konteks sangat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman ketika melakukan komunikasi antara penutur dan mitra tutur.

2.3.2 Deiksis

Penelitian ini menggunakan teori dari Levinson (1983). Levinson (dalam Merentek, 2016: 6) mengatakan bahwa deiksis merupakan suatu cara yang sangat mudah untuk diteliti, hubungan antara bahasa dan konteks yang tercermin terdapat di dalam struktur bahasa itu sendiri. Levinson (dalam Merentek 2016: 6) membagi deiksis menjadi lima jenis, yaitu:

1. Deiksis persona

Deiksis persona yakni pemberian bentuk menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa saat ujaran tersebut diucapkan. Deiksis persona terbagi atas tiga kategori yaitu: a) Kategori persona pertama, yakni kategori rujukan penutur kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya (aku, saya, kami, kita), b) Kategori persona kedua, yakni pemberian bentuk rujukan penutur kepada seseorang atau lebih yang melibatkan dirinya (kamu, anda, kalian), c) Kategori persona ketiga, yakni pemberian bentuk rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu (dia, mereka).

2. Deiksis tempat

Deiksis tempat yakni pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa (sana, sini).

3. Deiksis waktu

Deiksis waktu yakni pemberian bentuk pada rentang wakktu tertentu saat suatu ujaran diujarkan (hari ini, sekarang, setahun kemudian, malam ini, 500 tahun yang lalu).

4. Deiksis wacana

Deiksis wacana yakni rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (itu, ini, begitu).

5. Deiksis Sosial

Deiksis sosial yakni pemberian bentuk menurut perbedaan sosial yang merujuk pada peran peserta, khususnya aspek-aspek hubungan sosial antara pembicara dan pendengar atau pembicara dengan beberapa rujukan (tuan, nyonya, Yang Mulia).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Data dan Sumber Data

Data didefinisikan sebagai sekumpulan informasi atau nilai yang diperoleh dari proses pengamatan atau observasi. Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari film The Monkey King 2karya Kiefer Liu yang berdurasi 120 menit yang dirilis pada tanggal 8 Februari 2016 di Hongkong. Data dalam penelitian ini berupa kalimat dalam bahasa Mandarin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang di dalamnya berupa deiksis.

Sumber data dalam penelitian ini adalah film The Monkey King 2. Film ini dipilih sebagai sumber data dalam penelitian ini karena di dalam film tersebut memiliki dialog dan percakapan antartokoh sehingga memungkinkan adanya deiksis. Film The Monkey King 2 merupakan salah satu karya sastra yang di dalamnya terdapat jenis-jenis deiksis, dan deiksis tersebut tidak dapat diketahui bila tidak memperhatikan konteksnya.

3.2 Lokasi Penelitian

Dalam rangka memperoleh data dan informasi yang digunakan untuk penelitian ini, penulis melakukan pengamatan pada film The Monkey King 2 ini di rumah penulis sendiri tepatnya di Jl. Klumpang Gg. Sumber Waras, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data menurut Sudaryanto (dalam Pranita, 2015: 29) dibagi menjadi dua, yaitu metode simak dan metode cakap. Metode simak adalah metode

yang digunakan dalam penelitian bahasa dengan cara menyimak penggunaan bahasa pada objek yang akan diteliti. Metode yang kedua yang dikemukakan oleh Sudaryanto adalah metode cakap. Metode ini digunakan dalam penelitian bahasa yang objek kajiannya berupa percakapan antara penanya dan narasumber.

Metode simak digunakan untuk melakukan pengumpulan data dalam penilitian ini. Penulis sekaligus peneliti hanya terlibat sebagai pemerhati apa yang dikatakan oleh orang-orang yang terlibat dalam dialog. Metode simak dipilih karena objek yang diteliti berupa bahasa yang sifatnya teks. Dalam penelitian yang menggunakan metode penelitian simak ini harus disertai dengan teknik catat, yang berarti peneliti mencatat data yang dinilai tepat dalam kajian deiksis bahasa pada kartu data. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Simak

Menyimak adalah langkah awal yang dilakukan dengan memperlihatkan dan mempelajari dengan seksama objek yang diteliti yaitu teks percakapan atau dialog antar tokoh pada film The Monkey King 2. Setelah itu dipilih kalimat mana saja yang di dalamnya terdapat kata yang bersifat deiksis.

2. Mencatat

Pencatatan dilakukan setelah data yang berupa kalimat-kalimat yang di dalamnya terdapat kata-kata yang bersifat deiksis yang dinilai cukup untuk dijadikan data penelitian. Data kemudian dicatat dalam kartu data untuk dianalisis.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Tujuan dari penelitian ini yaitu: pertama, mendeskripsikan jenis deiksis yang terdapat pada film The Monkey King 2; kedua, menganalisis deiksis yang terdapat pada film The Monkey King 2. Semua tujuan dicapai menggunakan

metode dan teknik yang sama yaitu metode padan referensial. Sudaryanto (dalam Fitrati, 2014: 42) mengemukakan bahwa alat penentu dari metode padan referensial adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referen bahasa.

Teknik dasar dalam metode padan referensial yang digunakan adalah pilah unsur penentu (PUP). Realisasi dalam penelitian, data dipilih oleh peneliti, lalu data yang relevan dibedakan dengan jalan memberikan cetakan tebal. Data yang telah terpilah menggunakan teknik dasar PUP, dianalisis kembali menggunakan teknik lanjutan hubung banding menyamakan (HBS). Dalam hal ini, deiksis yang ditemukan dalam film The Monkey King 2 dibandingkan kembali dengan referennya dengan bantuan dialog dan adegan. Perhatikan contoh analisis deiksis berikut ini.

Gambar 3.1: Sun Wukong gembira ketika Tang Sanzang mengatakan tidak perlu ditemani oleh nya. (durasi 00:07:54)

Bentuk Tuturan (2) : 孙悟空 : “那我可以走了。”

Sūn Wùkōng : “Nà wǒ kěyǐ zǒu le.”

Sun Wukong : ”Kalau begitu aku pergi.“

Konteks tuturan : Siang hari di pegunungan Lima Jari. Terdapat tokoh Sun Wukong dan biksu Tang Sanzang. Situasi pada gambar 3.1

adalah Sun Wukong baru saja bebas dari hukumannya yaitu terkurung di dalam gua gunung dan ia bebas berkat biksu Tang Sanzang yang menarik kain busuk di dalam gua tersebut. Kemudian ia diperintahkan dewi Kuan In untuk menemani biksu Tang Sanzang mencari kitab suci.

Namun biksu Tang Sanzang tidak memaksa Sun Wukong untuk menemaninya dan Sun Wukong gembira ketika biksu Tang Sanzang berkata tidak perlu ditemani olehnya.

Analisis : Kata 我 (wǒ) pada tuturan (1) merujuk pada diri penutur yaitu Sun Wukong yang baru saja mendengar biksu Tang

Analisis : Kata 我 (wǒ) pada tuturan (1) merujuk pada diri penutur yaitu Sun Wukong yang baru saja mendengar biksu Tang

Dokumen terkait