BAB IV TEOLOGI PLURALIS KOMARUDDIN HIDAYAT
A. Manusia, Agama, dan Tuhan
Manusia adalah jenis makhluk hidup, sedangkan makhluk hidup sendiri memiliki tiga spesies yakni: hewan, tumbuhan, dan malaikat. Manusia sendiri masuk ke dalam golongan hewan yang didefinisikan sebagai hewan yang bergerak dan memiliki ciri khas berbicara, yang dari pembicaraan ini nanti dapat dipahami bahwa manusia memiliki akal.1
Harus disadari bahwa terciptanya manusia di muka ini memiliki ragam jenis kelamin, bangsa, dan suku. Dari tiga ragam utama yang melekat pada manusia tersebut, melahirkan budaya berupa bahasa, agama, dan pranata sosial lainnya. Hal ini didasarkan pada salah satu ayat al-Quran surah al-Hujarat (49): 13 yaitu:
اَهُّيَ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat tersebut memiliki implikasi bahwa realitas manusia itu plural. Adanya bangsa, suku dan budaya sudah membuktikan keaneragaman manusia dalam kehidupan. Kemajemukan itu merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditolak, oleh
1 Mulyadhi Kertanegara, Lentera Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia (Bandung: Mizan, 2017), h. 135-136.
karenanya kenyataan tersebut membuat penyelidikan tentang manusia, setidaknya meliputi dua hal, yaitu keadaan yang berubah dan keadaan yang tetap. Pendekatan yang dilakukan atas penyelidikan tersebut mencakup tiga hal, yaitu:
1. Orang dapat menyelidiki manusia dalam hakikatnya yang murni dan esensial. Pendekatan ini biasa dilakukan oleh para filosof.
2. Orang yang dapat melakukan penyelidikan dengan mencurahkan segala perhatiannya kepada prinsip-prinsip ideologis dan spiritual yang mengatur segala tindakan manusia serta memberikan pengaruh terhadap pembentukan personalitasnya. Penyelidikan ini dilakukan oleh ahli moral dan sosiolog.
3. Dengan mengambil konsep tentang manusia dari penyelidikan-penyelidikan tentang lembaga etika dan yuridis yang telah terbentuk dari pengalaman-pengalaman sejarah dan kemasyarakatan, dan dihormati karena lembaga tersebut telah dapat melindungi perorangan dan masyarakat dengan menerangkan hak dan kewajiban serta timbal-balik antar manusia. Pendekatan ini dilakukan oleh ahli hukum dan sejarawan.2 Bertalian dengan hal tesebut, menurut Komaruddin Hidayat bahwa terciptanya manusia memiliki lima mata rantai eksistensi, yaitu jasadi, nabati, hewani, insani, dan ruhani. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Jasadi, pada keadaan ini manusia yang tercipta dari tanah akan kembali ke tanah.
2. Nabati, kondisi ini manusia mengalami pertumbuhan dengan pemenuhan diri pada tubuhnya berserta keunikan yang ada di dalamnya.
2 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam. Penerjemah H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 92-93.
3. Hewani, adalah dimensi di manusia memulai hidupnya dengan tumbuh, bergerak, berlari dan melakukan aktivitas lainnya serupa binatang di sekitanya.
4. Insani, merupakan dimensi manusia yang mengungguli dunia flora dan fauna sebelumnya. Keadaan ini memberikan kesadaran kepada manusia akan kemampuan daya dirinya yang terletak pada otak untuk berpikir dan melakukan tindakan dalam menjalani kehidupan.
5. Ruhani, adalah dimensi tertinggi eksistensi manusia. Dimensi ini memberikan gambaran adanya ruh dalam diri manusia yang ditiupkan langsung, bukan hanya diciptakan oleh Tuhan. Didasarkan pada ayat al-Quran surah al-Sajadah [32]: 7-8 yang maknanya, Manusia diciptakan berasal dari tanah, lalu Allah menjadikan proses keturunannya dari air mani dan yang lebih hebat lagi, disempurnakanlah dengan ditiupkan ruhNya ke dalam diri manusia.3
Kelima eksistensi tersebut memberikan gambaran bagaimana manusia dibentuk dan membentuk dirinya dalam menjalani kehidupan. Manusia adalah ciptaan paripurna Tuhan. Jika bisa secara intens mampu melakukan penghayatan dan menemukan makna di dunia ini, sesungguhnya setiap hari adalah kelahiran dan kematian, dengan begitu setiap hari manusia melakukan dua perayaan sekaligus.4 Perayaan senang karena sudah kembali dihidupkan ke dunia, dan sedih serta penuh harap khawatir ajal tiba-tiba menjemput lantaran adanya keterikan dengan dunia yang belum dituntaskan.
3 Komaruddin Hidayat, Life’s Journey: Hidup Produktif dan Bermakna (Jakarta: Noura Books, 2013), h. 8-32.
4 Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Cet.
XI (Jakarta: Hikmah, 2008), h. 8.
Keterikatan tersebut karena manusia adalah makhluk yang senang bermain (homo luden). Kesenangan bermain ini juga diakibatkan adanya hikmah spiritual yang bisa dipetik. Seperti filosofi bahwa permainan hari ini harus lebih baik dan menyenangkan dari kemarin sehingga besok dan seterusnya akan memainkannya kembali.5
Kesadaran tersebut disebabkan karena manusia memiliki akal, sehingga dalam perjalanannya pun menjadikan manusia sebagai subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagaimana disebut di atas, pada dimensi insaninya manusia memiliki kesadaran dan penyadaran diri. Hal tersebut menjadi manusia sebagai makhluk yang selalu penasaran atau makhluk penanya.
Falsafah Jawa menyimpulkan dalam sangkang paraning dumadi yang menegaskan rumah sejati tempat manusia kembali. Dalam al-Quran sendiri terumus pada potongan ayat surah al-Baqarah [2]: 156 yaitu, “… inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNyalah kami kembali).
Kesadaran tersebut pada dasarnya juga karena manusia memiliki ruh, yang dalam al-Quran disebutkan dua kali dengan redaksi yang sama pada surah yang berbeda, yaitu QS. al-Hijr [15]: 29, dan QS. Shad [38]: 72 sebagai berikut:
اَذدإَف
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
5 Komaruddin Hidayat, Spiritual Side of Golf: Menjaga Konsistensi dan Kejujuran. Cet. II (Jakarta: Expose, 2012), h. 28.
Pengulangan redaksi yang sama tersebut tidak lain dimaksudkan untuk mengingatkan manusia yang memiliki sifat bawaan pelupa. Salah satu kata yang merujuk kepada manusia dalam Bahasa Arab adalah kata nisyan (pelupa) yang memiliki keterhubungan dengan kata insan (manusia), sehingga muncul adagium al-insanu mahallu al-khatha’ wa al-nisyan (manusia adalah tempat salah dan pelupa).
Sifat bawaan tersebut melekat pada manusia sehingga dalam perjalan hidup ini diutuslah seorang pengingat berupa nabi, rasul dan guru kehidupan yang mereka mendapat percikan kebenaran langsung dari Tuhan untuk menyampaikan kepada manusia tentang asal usul dirinya.
Pada gilirannnya, pesan-pesan Tuhan itu terlembagakan dan kemudian dikenal dengan istilah agama. Agama lahir sebagai institusi tertua umat manusia, terlepas dari rumpun yang ada dalam perjalanan nantinya. Dalam pemaknaannya pun beragam, para pemikir baik dari kalangan filsuf, teolog, dan sosiolog memaknainya dengan berbeda-beda. Hal tersebut disadari oleh Max Weber, memaknai agama adalah suatu hal yang mustahil, meskipun hal tersebut dapat diupayakan dan kalau memang bisa.6 Karenanya dapat dipahami bahwa sebuah konsep lahir dari pergumulan masyarakat yang panjang serta dalam kondisi waktu dan tempat yang berlainan, tidak terkecuali adanya kepentingan yang diselipkan.
Hal serupa juga disadari oleh Quraish Shihab, meski agama bisa digambarkan sebagai hubungan antara ruh manusia dengan kekuatan gaib, yang dia percaya bahwa kemaslahatannya bergantung atau ditentukan oleh kekuatan tersebut
6 Max Weber, Sosilogi Agama: A Handbook. Penerjemah Yudi Santoso, (Yogyakarta:
IRCiSoD), h. 97.
sehingga ia terdorong untuk berhubungan dan menyesuaikan diri dengan apa yang dikehendaki kekuatan tersebut.7
Sedikit tambahan dilakukan oleh Yuval Noah Harari, agama selain merupakan suatu sistem norma dan nilai manusia yang didasari suatu kepercayaan terhadap tatanan adimanusia, ternyata agama juga merupakan pemersatu akbar ketiga umat manusia setelah uang dan imperium.8 Harari kembali menambahkan dua sifat yang harus dimiliki oleh agama untuk mempersatukan wilayah yang sangat luas dan dihuni oleh beragam manusia di dalamnya meliputi: Pertama, agama harus mendukung adanya keberadaan tatanan adimanusiawi universal kapan pun dan di mana pun. Kedua, agama harus bisa bersikeras menyebarkan ajaran-ajaran kepercayaan itu kepada semua manusia, atau dalam kata lain, agama harus bersifat universal dan berdakwah (missionary).
John D. Caputo secara jujur mengatakan bahwa agama sebagai subyek yang berdiri sendiri tidak terjelaskan bagaimanapun. Baginya terlalu banyak makna dan terlalu majemuk untuk dimasukkan dalam satu subjek saja. Dengan menyebut
‘agama’, secara tidak langsung ia sedang memulai—meminjam istilah Augustinus—cinta kasih Tuhan.9
Menilik paham Parennialisme, agama Tuhan yang paling benar itu hanya satu, yaitu yang dalam penulisannya dimulai dengan huruf kapital, sebut saja Religion. Maksud dari Religion ini adalah yang kebenaranya bersifat absolut, universal, dan metahistoris,sebagai jalan lurus menuju Tuhan, yang pintu
7 M. Quraish Shihab, Islam Yang Saya Anut: Dasar-Dasar Ajaran Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2018), h. 32-35.
8 Yuval Noah Harari, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Penerjemah Damaring Tyas Wulandari Palar, Cet. VII (Jakarta: KPG, 2019), h. 248-249.
9 John D. Caputo, Agama Cinta: Agama Masa Depan. Penerjemah Martin Lukito Sinaga (Bandung: Al-Mizan, 2013), h. 1-2.
gerbangnya selalu terbuka bagi setiap hambaNya yang hendak melakukan pendakian spiritual-esoteris.10
Menjadi jelas bahwa keterikatan manusia dengan Tuhan semakin baik dengan adanya agama. Penjabaran agama tentang Tuhan membuat manusia mulai mengenal Tuhan. Sebab bagaimana pun, sepanjang sejarah manusia tak pernah berhenti mencari Tuhan dengan menempuh beragam cara dan jalan yang dilalui.
Bahkan apa yang disebut agama sesungguhnya tidak lain adalah jalan untuk mengenal dan dekat dengan Tuhan.11 Selain itu, Komaruddin Hidayat menyadari bahwa realitas agama itu plural. Dalam artian, agama yang ada di muka bumi ini ada yang memang langsung dari Tuhan, dan ada pula yang muncul dari hasil pemikiran komtemplatif manusia.
Perjalanan setiap agama yang ada mengalami pasang-surut. Dan, hanya agama yang dianggap cocok dan mampu menghadapi kritik dan kebutuhan manusia, itulah agama yang akan bertahan.12 Dari sini dapat ditarik kesimpulan perihal sifat dari agama atas pernyataan Komaruddin Hidayat, bahwa agama yang memiliki karakter inklusif (terbuka) yang akan bertahan. Sebaliknya, agama yang tertutup atau eksklusif (tertutup) cenderung tidak akan bertahan lama dan hanya menjadi sejarah bahwa agama tersebut pernah ada.
Salah satu orang yang fenomenal dalam menulis sejarah tentang pencarian mengenal, menemukan dan dekat dengan Tuhan itu adalah Karen Armstorng dalam bukunya Sejarah Tuhan yang mempertanyakan Tuhan dari kecil. Pergumulan
10 Hidayat, Wisdom of Life, h. 69-70.
11 Komaruddin Hidayat, Penjara-Penjara Kehidupan (Jakarta: Noura Books, 2016), h. 31.
12 Komaruddin Hidayat, Penjara-Penjara Kehidupan, h. 32.
Armstrong tersebut berlanjut seiring bertambahnya usia, dalam ‘pencarian’ Tuhan itupun ia tidak pernah puas karena dalam suatu waktu Tuhan dikatakan mati.13
Tidak berhenti di situ, tampaknya Armstrong hendak merekam jejak Tuhan dalam sejarah manusia di bumi. Dalam buku lain, Field of Blood dan Berperang Demi Tuhan, Armstrong ingin menegaskan bahwa tidak melulu agama dan Tuhan itu membuat manusia hidup damai. Hingga pada puncaknya, Armstrong seakan meramal masa depan Tuhan melalui catatan sejarah yang terjadi pada manusia beragama dan bertuhan14 Keterlemparan manusia ke bumi sepatutnya disadari sejak awal kelahirannya, bahwa dunia fisik itu keras, sehingga segala kemungkinan terjadi karena adanya kepentingan personal atau kelompok dari kebebasan yang tidak dikendalikan.
Kepercayaan manusia kepada rasionalisme dan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang sains dan teknolgi sempat membuat yang namanya tampak Tuhan tidak dibutuhkan lagi karena kehidupan teknis manusia hampir semua terpenuhi oleh hasil manusia sendiri dengan anggapan, sampai di sini Tuhan tidak lagi dibutuhkan, atau dalam istilah lain yang dikatakan Ricard Dawkins, salah seorang ahli biologi Inggris melalui bukunya yang kontroversial, bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu delusi atau tidak lebih sekedar khayalan.15 Hingga puncaknya, meminjam istilah Neitszche, ‘Tuhan telah mati’.
13 Lebih jauh lihat Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Penerjemah Zainul Am, Ed. III (Bandung: Mizan, 2018).
14 Lebih jauh lihat Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan (Bandung: Mizan, 2013), Field of Blood. Penerjemah Yuliani Liputo, Cet. II (Bandung: Mizan, 2017), Masa Depan Tuhan.
Penerjemah Yuliani Liputo, Ed. II (Bandung: Mizan, 2013)
15 Lebih jauh lihat Ricard Dawkind, The God Delution. Penerjemah Zaim Rofiqi (Depok:
BANANA, 2017).
Meski dalam perkembangan kehidupan orang tetap mempercayai adanya Tuhan, tetap saja pengaruh ilmu pengetahuan dan sains teknologi menciptakan tuhan-tuhan baru dalam diri manusia dengan segala macam bentuknya. Dan, kesadaran manusia atas adanya kebenaran (dalam Islam, sumber kebenaran utama adalah Allah, Tuhan semesta alam) adalah sesuatu yang bersifat mutlak. Dalam arti, bahwa manusia sama-sama sepakat akan adanya realitas di sekitarnya. Itu membuktikan adanya sesuatu yang mengadakan. Lalu, dalam proses menemukan kebenaran inilah tampak jelas bersifat relatif, karena pluralitas yang melekat pada individualitas manusia itu sendiri.
Sehingga catatan historis tidak bisa dihindari apalagi dilupakan, dan berbagai argumentasi telah bermunculan untuk membuat Tuhan tetap hidup, dan justru jika dihitung orang yang mempercayai adanya Tuhan lebih banyak dari sebaliknya.
B. Melampaui Konsep Pluralis
Terlihat jelas dalam bab sebelumnya, Komaruddin Hidayat menghindari untuk memberikan makna secara khusus dan utuh sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Baginya, tak ada argumen yang sempurna dan memuaskan semua pihak.16 Bukan berarti ia tidak bisa, kesadaran diri akan kontekstualitas sebuah konsep itulah yang menurutnya harus dipahami daripada sekadar membuat makna baru yang tidak jarang menuai mudarat ketimbang manfaat.
Baginya ada tiga faktor utama mengapa teologi pluralis menjadi penting disadari. Pertama, bahwa dalam diri manusia itu ada ruh. Fungsi ruh ini, sadar atau tidak, selalu ingin mencari, mengenal, merindukan kembali kepada Tuhannya.
16 Komaruddin Hidayat, Wisdom of Life: Agar Hidup Bahagia Penuh Makna (Jakarta: Noura Books, 2014), 12.
Tidak menutup kemungkinan dalam perjalanan manusia yang memiliki ruh mengalami interupsi kanan-kiri, tetapi tetap kehadiran ruh itu selalu menuntut untuk tersambung kepada Tuhan.17
Ruh itu ada pada setiap manusia, ditiupkan oleh Tuhan tidak hanya pada satu golongan tertentu. Semua manusia memiliki ruh, dan ruh sudah bersaksi kepada Tuhan sebelum memasuki tubuh manusia. Pernyataan tersebut dikonfirmasi oleh Komaruddin Hidayat kepada salah satu ayat al-Quran surah al-A’raf: 174, berikut:
ۡ ذوَإِ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."
Ayat tersebut menegaskan dengan jelas perihal kesaksian atau pengakuan akan adanya Tuhan oleh ruh manusia. Sebab ruh manusia memiliki sifat ruhani yang berasal dari Tuhan sehingga ingin selalu dekat sekaligus merindukan Tuhan.18
Hadirnya ruh menyebabkan keimanan seorang manusia adalah hubungan batin yang paling intim dengan Penciptanya.19 Hubungan tersebut dimulai dengan
17 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.
18 Komaruddin Hidayat, Iman Yang Menyejarah: Memeluk Agama: Kebutuhan Menemukan Pijakan (Jakarta: Noura Publishing, 2018), h. 193.
19 Hidayat, Iman Yang Menyejarah, h. 194.
bentuk syahadat atau persaksian sebagaimana ayat di atas. Persaksiannya bisa beragam; redaksinya berbeda, kalimatnya berbeda, tetapi karena ruh itu milik setiap orang, dan Tuhan sendiri yang meniupkan maka mustahil jika ia tidak kembali kepada Tuhan.
Faktor kedua adalah karena Allah itu Maha Mutlak, Allah Maha Kasih—yang firmanNya (kasih sayang) ditujukan kepada siapa saja tanpa mengenal suku, ras, dan agama. Komaruddin Hidayat kembali menyandarkan kepada firman Allah dalam al-Quran surah al-Baqarah: 186 berikut:
اَذوَإِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Asbabunnuzul ayat tersebut bercerita tentang seorang Badui yang mendatangi Rasulullah dan bertanya, “Apakah Tuhan kita dekat, sehingga kita cukup berbisik saat berdoa kepadaNya. Ataukah Dia jauh, sehingga kita harus berteriak saat memohon padaNya?” pertanyaan tersebut membuat Rasul diam sampai ayat tersebut diturunkan.20
20 Alhidayah: Al-Quran Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka (Depag RI, tt), h. 29.
Komaruddin Hidayat beranggapan bahwa doa itu bisa dilakukan oleh siapa saja, apakah orang itu beriman atau kufur. Dari sekian ragam pengalaman keberagamaan itu, salah satunya adalah doa. Doa merupakan bentuk puji dan puji setiap hamba kepada Tuhan dan merupakan laku yang sangat personal serta intim.
Bahkan jika diperhatikan lebih jauh, dalam aktivitas keberagamaan sejati hampir semuanya memiliki prinsip doa. Lebih jauh, doa bisa disebut sebagai inti keberagamaan.21 Sebab sami’ (pendengaran) Allah itu tidak hanya untuk orang Islam. Sami’ Allah itu berlaku untuk semua manusia. Jadi siapapun boleh berdoa sebab Allah Maha Mendengar.
Ayat selanjutnya adalah surat al-A’raf: 156 sebagai berikut:
َۡو۞
sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami".
Penekanan Komaruddin Hidayat hanya sebatas pada kalimat warahmati wasiat kulla syai’, yang sifatnya lebih universal. Kemudian ia juga menegaskan pada hadis qudsi yang berbunyi inna rahmati ghalabat ghadhabi (sesungguhnya
21 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 4.
rahmatKu mengalahka kemarahanKu). Sehingga, pintu Allah terbuka bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.22
Faktor ketiga, al-Quran menegaskan bagaimana hubungan lintas agama seharusnya berlangsung, tercantum dalam surah al-Baqarah: 285 berikut:
َۡنَماَء
“Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."
Mengenai asbabunnuzul ayat ini, sebenarnya bersinggungan dengan ayat sebelumnya (QS.2:284) menurut Abu Hurairah bahwa para sahabat merasa sedih.
Mereka lalu mendatangi Rasulullah, berlutut, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami tidak sanggup melaksanakan ayat ini.’ Rasulullah bersabda, ‘Apakah kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebelum kalian, ‘Kami mendengar dan kami mengingkari?’ Namun, katakanlah,
‘Kami ingin mendengar dan taat, ampuni kami ya Tuhan kami. Dan kepadaMu lah tempat kembali setelah para sahabat terbiasa.’23
22 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.
23 Alhidayah: Al-Quran Tafsir, h. 50.
Komaruddin juga menambahkan bahwa Rasulullah tidak membeda-bedakan yang namanya nabi. Jumlah nabi yang ada banyak sekali, maka sangat mungkin di luar komunitas Muslim—mereka juga memperoleh percikan, warisan, dan ajaran nabi. Sebab nabi turun pada ruang, waktu dan umat yang berbeda-beda serta bertebaran. Jika ajaran itu diibaratkan emas, kemungkinan besar sampai sekarang masih ada. Emas bagaimana pun tidak akan berubah karena ruang dan waktu, sebagaimana kebenaran ilahi.24
Lebih jauh, Komaruddin menganggap sebuah keberuntungan bagi mereka yang bertemu Rasulullah. Namun demikian, keberuntungan tidak hanya berlaku bagi mereka yang bertemu Rasul, orang yang tidak bertemu pun memiliki kesempatan sama dengan adanya ruh dan keimanan di dalam dirinya.
C. Prinsip Teologi Pluralis
Ada dua prinsip utama yang harus dipegang dan disadari dalam menjalani hidup yang kompleks dan majemuk ini. Pertama, hakikat agama adalah benar karena datang dari Tuhan yang Maha Benar. Kebenaran agama pada gilirannya akan direkonstruksi, diformulasi oleh sejarah sehingga kovernya bisa beragam yang muncul. Kebenaran bahwa Tuhan itu Tunggal menjadi kesepakatan pada akhirnya, meski dalam ranah teologi masih diperdebatkan.25 Demikianlah terus-menerus pluralitas persepsi dan keyakinan manusia tentang Tuhan akan tetap dan selalu berkembang karena kreatifitas berpikir manusia dibenturkan dengan perkembangan
24 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.
25 Wawancara Pribadi dengan Komaruddin Hidayat, Ciputat, Senin, 6 Januari 2020.
zaman yang pada gilirannya melahirkan bahkan mengawetkan pluralitas agama, pluralitas teologi, dan pluralitas ideologi keagamaan.26
Kedua, sikap toleransi atau menghargai. Adalah tugas negara, selain agamawan dan guru, yang harus mengembangkan hal ini ke dalam bentuk ajaran pendidikan yang merata. Sehingga kesadaran pentingnya merawat rumah bernama Indonesia, yang di dalamnya terdapat berbagai macam manusia berbudaya, berbahasa dan beragama sedang berlindung menjadi aman dengan memahami satu sama lain. Kecurigaan dan perpecahan hanya akan membuat rumah yang ditinggali hancur berantakan.27
Dalam menjalani prinsip tersebut, ada filosofi yang mesti ditanamkan kepada masyarakat, apapun agama, suku dan rasnya, adalah ‘menerima yang lain.’
Beberapa langkah yang harus diambil, antara lain: Pertama, reinterpretasi pandangan keagamaan yang konservatif dan fundamentalistik. Hal ini menjadi tanggungjawab pemuka agama untuk memberikan gambaran pentingnya beragama ke bawah; menyentuh nilai-nilai kemanusiaan, menghargai perbedaan, dan melihat masalah yang timbul karena beragama seringkali taqlid buta ke atas yang menyebabkan sumber pertikaian.
Kedua, masifikasi keagamaan moderat. Bertalian dengan sebelumnya, pandangan-pandangan yang mengedepankan nilai-nilai humanis-universal menjadi penting untuk mewujudkan sebuah tatanan yang lebih baik dan melawan segala bentuk konservatif-fundamentalis yang lebih suka mengendepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
26 Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif
26 Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif