• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEOLOGI PLURALIS: STUDI ATAS PEMIKIRAN KEAGAMAAN KOMARUDDIN HIDAYAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TEOLOGI PLURALIS: STUDI ATAS PEMIKIRAN KEAGAMAAN KOMARUDDIN HIDAYAT"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

TEOLOGI PLURALIS:

STUDI ATAS PEMIKIRAN KEAGAMAAN KOMARUDDIN HIDAYAT

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

Mohammad Haris NIM: 11150331000010

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1441 H/2020 M

(2)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya:

Nama : Mohammad Haris

NIM : 11150331000010

Program Studi : Aqidah dan Filsafat Islam Tempat dan Tanggal Lahir : Sumenep, 26 Agustus 1995 Menyatakan bahwa:

1. Skripsi dengan judul “Teologi Pluralis: Studi Atas Pemikiran Keagamaan Komaruddin Hidayat” murni hasil karya sendiri yang diajukan untuk memenuhi syarat utama memperoleh gelar strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber rujukan yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terdapat bukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain sebelumnya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 26 April 2020

Mohammad Haris

(3)

ii

TEOLOGI PLURALIS:

STUDI ATAS PEMIKIRAN KEAGAMAAN KOMARUDDIN HIDAYAT

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

Mohammad Haris NIM: 11150331000010

Pembimbing:

Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si.

NIP: 19710409 199803 2 003

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1441 H/2020 M

(4)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi dengan judul “Teologi Pluralis: Studi Atas Pemikiran Keagamaan Komaruddin Hidayat” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 Juni 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat utama memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Ciputat, 2 Juni 2020

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekertaris Merangkap Anggota,

Kusmana, Ph. D Dra. Banun Binaningrum, M.Pd NIP: 19650424 199503 1 001 NIP: 196806618 19993 2 002

Anggota

Penguji I, Penguji II,

Dr. Edwin Syarif, M.A Kusen, Ph. D

NIP: 19670918 199703 1 001 NIP: -

Pembimbing

Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si NIP: 19710409 199803 2 003

(5)

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ﺃ Tidak dilambangkan

ﺏ B Be

ﺕ T Te

ﺙ Ts te dan es

ﺝ J Je

ﺡ h̲ ha dengan garis bawah

ﺥ Kh Ka dan ha

ﺩ D De

ﺫ Dz de dan zet

ﺭ R Er

ﺯ Z Zet

ﺱ S Es

ﺵ Sy es dan ye

ﺹ s̲ es dengan garis di bawah

ﺽ d̲ de dengan garis di bawah

ﻁ ṯ te dengan garis di bawah

ﻅ z̲ zet dengan garis di bawah

ﻉ ، koma terbalik di atas hadap kanan

ﻍ Gh ge dan ha

ﻑ F Ef

ﻕ Q Ki

ﻙ K Ka

ﻝ L El

ﻡ M Em

ﻥ N En

ﻭ W We

ﻫ H Ha

ﺀ ‘ Apostrof

ﻱ Y Ye

Vokal Panjang

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ﺄ Ā a dengan topi di atas

ﻱﺇ Ī i dengan topi di atas

ﻭﺃ Ū u dengan topi di atas

(6)

v ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang Teologi Pluralis, salah satu wacana yang baru dalam studi pemikiran Islam sebagai bentuk turunan dari Teologi Islam Praktis. Peneliti menganggap adanya kebutuhan terhadap Teologi Pluralis tidak terelakkan, lebih-lebih dalam konteks Indonesia yang posisi agama menempati hampir dalam segala sektor kehidupan. Teologi Pluralis menjadi penting disebabkan tawaran yang dikandungnya memberikan jawaban terhadap persoalan yang timbul dan mengatasnamakan agama, lebih-lebih atas nama Tuhan.

Tokoh yang pemikirannya mengarah ke Teologi Pluralis adalah Komaruddin Hidayat, salah satu cendekiawan Muslim yang hidup di Indonesia dan telah memberikan sumbangan pemikirannya melalaui jalan dakwah dan pendidikan.

Dalam merumuskan pemikirannya, Komaruddin Hidayat tidak hanya terpaku kepada ajaran agama, tetapi juga pada sejarah yang dimiliki umat manusia itu sendiri. Pertanyaannya adalah bagaimana pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat tentang Teologi Pluralis?

Kata Kunci: Teologi Pluralis, Tuhan, Manusia, Agama.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Atas nama Allah, Tuhan sekalian alam. Penulis bersyukur karena berkat kasih dan sayang-Nya yang telah diberikan secara cuma-cuma kepada penulis sehingga skripsi dengan judul “Teologi Pluralis: Studi Atas Pemikiran Keagamaan Komaruddin Hidayat” dapat selasai dengan tepat dan baik, setidaknya demikian penulis tiada henti dalam harap.

Atas nama Muhammad, manusia paripurna yang diutus sebagai nabi dan pembawa risalah kepada bangsa manusia dan jin, bahkan seluruh alam yang atas namanya pula Tuhan mengadakan yang namanya makhluk ciptaan—berikut keluarga, sahabat, pengikutnya—semoga Allah memberkati, āmin ya rabbal

‘alamin.

Skripsi ini adalah tugas akhir untuk memperoleh gelar strata 1 Sarjana Agama (S.Ag) melalui program studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selesainya skripsi ini tidak lepas dari campur bantuan pemikiran dan tenaga beberapa orang yang terlibat langsung atau jarak jauh. Sebab itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada mereka sebagaimana namanya berikut ini:

1. Maina dan (alm) Ali Muqi, pasangan manusia yang telah mengenalkan penulis kepada dunia dan isinya. Atas dukungan tenaga, jasa dan doa yang tidak pernah penulis ketahui dan mampu dihitung jari, semoga Ibu diberi kesehatan, panjang umur dan hidup bahagia dan atas Bapak, semoga segala dosanya dihapuskan dan segala kebaikannya diterima sehingga Allah senang atas kedatangannya kembali.

(8)

vii

2. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof.

Amany Lubis, Prof. Dede Rosyada—yang menjabat selama penulis menjalani masa-masa kuliah.

3. Ibu Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah sudi memberikan arahan dan waktunya kepada penulis.

4. Ibu Dra. Tien Rahmatin, MA. selaku Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam sekaligus merangkap dosen penasehat akademik. Juga kepada Ibu Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Prodi Aqidah dan Filsafat Islam.

5. Seluruh civitas akademika lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama dosen di program studi Aqidah dan Filsafat Islam yang telah banyak menyalurkan ilmu pengetahuan. Ketersediaan buku rujukan adalah hal yang sangat saya syukuri, sehingga merasa nyaman untuk mengerjakan tugas atau hanya menambah wawasan melalui kegemaran membaca dengan penuh cinta, baik di perpustakaan Fakultas Ushuluddin, maupun di Perpustakaan Utama (PU) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang sangat mendukung baik dari segi layanan maupun efisiensi tempat yang disediakan. Sungguh, akan selalu saya rindukan!

6. Kakak pertama, Masniyah dan suami. Kakak kedua, Mustaqim dan istri, beserta keluarga lain yang memberikan semangat secara diam-diam tapi nyata.

(9)

viii

7. Kanca Kosan Buntu: Syarifuddin, Afif Muhammad, Amirullah AKB, Sulton Rifa’i M, Ubaidillah Arif beserta lainnya yang tidak bisa disebut nama demi nama.

8. Teman-teman dari dan yang ada di Madura, termasuk juga teman Republik Filsafat 2015 serta teman yang pernah penulis temui selama ini dan menyumbangkan sedikit banyak kenyataan dalam hidup penulis.

9. Secara khusus penulis sampaikan terima kasih juga kepada mereka yang telah mampu dan berani menulis buku dan tidak bisa disebutkan satu per satu namanya, yang telah penulis baca karyanya dan mempengaruhi arah pikiran penulis dalam hidup. Sungguh, kalian hebat. Tabik!

10. Terakhir, saya berterimakasih kepada diri sendiri.

Dan, kepada semuanya tersebut, sekali lagi terima kasih. Semoga Allah, Tuhan semesta alam memberikan balasan sebagaimana harusnya, sebagaimana layaknya.

Ciputat, 11 Mei 2020

Mohammad Haris

(10)

ix DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SIDANG ... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TEOLOGI PLURALIS DALAM TINJAUAN... 17

A. Pengertian Teologi ... 17

B. Sejarah Teologi Islam dan Perkembangannya ... 19

C. Sumber-Sumber Ilmu Kalam ... 27

D. Lahirnya Aliran Ontologi: Monisme, Dualisme dan Pluralisme ... 29

E. Memahami Konsep Plural, Pluralis, Pluralitas dan Pluralisme ... 34

BAB III BIOGRAFI KOMARUDDIN HIDAYAT ... 39

A. Latar Belakang Hidup ... 39

B. Riwayat Pendidikan ... 40

C. Kiprah Komaruddin Hidayat ... 47

D. Karya-Karya Komaruddin Hidayat ... 49

BAB IV TEOLOGI PLURALIS KOMARUDDIN HIDAYAT ... 58

A. Manusia, Agama, dan Tuhan ... 58

B. Melampui Konsep Pluralis ... 66

C. Prinsip Teologi Pluralis ... 71

D. Wujud Teologi Pluralis ... 73

E. Pluralitas Agama Masa Depan ... 74

F. Relevansi dan Kritik Atas Teologi Pluralis ... 76

(11)

x

BAB V PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

LAMPIRAN ... 85

(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini kegelisahan umat manusia tampak dihadapkan atas kesulitan dalam menjalani hidup. Agama yang selama ini dipercaya sebagai lembaga yang mampu memberikan jalan keluar terhadap berbagai persoalan kemanusiaan telah gagal melakukan transformasi sosial ketika memasuki kehidupan modern. Berbagai konflik atas nama agama terjadi di mana-mana: Yahudi dan Muslim di Palestina, Muslim dan Kristen di Nigeria, bahkan sesama umat beragama Islam seperti aliran Syiah dan NU (Ahlussunnah wal Jamā‘ah) di Madura, serta masih banyak contoh kasus lainnya. Oleh sebab itu wacana tentang agama menjadi pembahasan yang selalu menarik diperbincangkan baik di dunia Barat maupun di Timur.

Eksistensi agama pada zaman modern mengalami semacam guncangan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mencoba untuk menggantikan kedudukan agama sebagai jalan hidup (way of life) manusia dalam memberikan kenyamanan. Masyarakat sekarang sulit menjalani hidup tanpa teknologi modern seperti mobil, telepon, televisi dan lainnya. Namun meski nyatanya demikian, agama sebagai institusi paling tua dalam sejarah umat manusia disadari atau tidak telah memberikan dampak berupa arah jalan yang pasti menuju ketenangan dan keselamatan melebihi tawaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada.1 Bahkan kenyataan yang terjadi sampai saat ini penduduk dunia justru masih memerlukan agama serta meyakini adanya Tuhan.2

1 Komaruddin Hidayat, Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 4.

2 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. xviii.

(13)

Keyakinan manusia kepada Tuhan ini, atau yang sering dikenal sebagai teis, kemudian ilmunya disebut dengan istilah teologi. Teologi sendiri merupakan cabang ilmu yang membahas tentang ketuhanan.3 Namun ada yang memahami teologi secara lebih luas, yaitu ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama.4 Sedangkan ajaran paling dasar dari semua agama itu adalah mempercayai Tuhan. Dengan demikian, seorang tidak bisa dikatakan beragama apabila tidak memercayai adanya Tuhan.

Dalam Islam, teologi lebih dikenal dengan sebutan Ilmu Kalam. Sebagaimana teologi, Ilmu Kalam cakupannya juga terhadap persoalan ketuhanan. Selain itu, Ilmu Kalam juga disebut sebagai Ilmu Tauhid. Sebagai agama monoteis, Islam menekankan pada pengakuan akan Allah Yang Satu, Allah Yang Esa. Yang dalam ajaran Islam, sifat tersebut merupakan sifat terpenting dari sifat-sifat Allah yang lain.5

Oleh karena pokok dari ajaran agama adalah mengakui adanya Tuhan, peranti yang harus dilalui untuk memahami hal tersebut adalah Teologi atau Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid. Yang kemunculannya tidak terlepas dari sejarah filsafat yang muncul dan berkembang di Barat, khususnya di Yunani.

Perkembangan selanjutnya, umat Islam untuk mempertahankan keyakinannya dari golongan ateis (orang-orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan), Yahudi dan Nasrani, mereka mulai mempelajari ‘senjata-senjata’ yang dimiliki oleh lawan. Senjata-senjata tersebut mencakup filsafat, logika dan cara- cara berdebat (dialektika). Tersebab al-Quran sebagai sumber utama Islam, lalu

3 Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. v.

4 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI- Press, 1986), h. ix.

5 Nasution, Teologi Islam, h. ix.

(14)

mereka coba menjadikan ayat-ayat di dalamnya sebagai dalil, tetap saja saat itu tidak dapat diterima oleh lawan mereka yang melakukan diskusi rasional-filosofis.6

Pertemuan pemikiran tersebut melahirkan beberapa kelompok atau sekte.

Ada yang memiliki sifat liberal, ada juga yang bersifat tradisional dan ada pula diantara kedunya.7 Ada lagi yang memberi istilah dengan ahl al-‘Aql (Mu‘tazilah), ahl al-Naql (Ahlussunah Wal Jama‘ah) dan yang menyelaraskan keduanya (Asy‘ariyah).8

Adapun Teologi Islam Klasik ditandai dengan munculnya kaum Khawarij, Qadariyah, Jabariyah dan Murji‘ah sampai kepada tiga kelompok utama sebelumnya. Bahkan tidak hanya itu, muncul lagi aliran Maturidiyah, Salafiyyah bahkan Syi‘ah. Sedangkan persoalan yang sering dibahas dalam perdebatan mereka adalah mengenai keesaan Tuhan berkaitan dengan zat dan sifat, kebebasan yang dimiliki manusia apakah mutlak atau terkungkung, serta keadilan Tuhan yang ujungnya pada balasan surga atau neraka.9

Teologi Islam mengalami perkembangan ketika perubahan zaman tidak bisa dihindarkan. Kenyataan bahwa umat Islam mengalami kemandekan berpikir adalah sebuah fakta yang tidak bisa dibantah. Bersamaan dengan pengakuan atas kejumudan berpikir tersebut, secara perlahan muncul para pembaharu dalam tubuh Islam.

Para pembaharu ini mencoba melakukan rekonstruksi terhadap Teologi Islam yang dianggap mapan padahal monoton. Mereka melakukan rekonstruksi

6 Fuad Farid Isma‘il & Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam) Penerjemah Didin Faqihudin (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 162.

7 Nasution, Teologi Islam, h. x.

8 Isma‘il & Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat, h. 5.

9 Abdul Aziz Dahlan, Ilmu Kalam (Jakarta: Ushul Press, 2010), h. 5.

(15)

pemikiran agar Teologi Islam menjadi disiplin ilmu yang tidak hanya berkutat pada wacana, melainkan juga menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang lebih nyata, dengan demikian menjadi jelas manfaat dari sebuah ilmu.

Adapun studi kritis mereka terhadap Teologi Islam meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu:

1. Epistemologi

Bahwa penafsiran-penafsiran teologis pada umumnya telah mendekati sumber Islam, yakni al-Quran, yang secara atomistik dan parsial telah terlepas dari konteks sejarah dan kesusastraannya sehingga tampak membela sudut pandang tertentu. Kemudian adanya kecenderungan oleh para teolog untuk mencocokan ayat al-Quran dengan pandangan mazhabnya. Dari ini kemudian bertujuan agar terjadi pertentangan. Serta adanya anomali atau penyimpangan lain yang melekat dalam literatur ilmu kalam klasik.

2. Ontologi

Bahwa kenyataan yang terjadi dari awal munculnya Ilmu Kalam berkutat pada persoalan-persoalan ketuhanan yang tidak bisa terjangkau dan jauh dari persoalan hidup manusia.

3. Aksiologi

Bahwa kenyataan Ilmu Kalam tidak dapat mengantarkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi hanya kehidupan sufi yang bisa melakukan hal tersebut.10

10 Abdul Rozak & Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Edisi Revisi) (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016), h. 247.

(16)

Berdasarkan kenyataan itu, dan sebagaimana disebutkan sebelumnya, muncul para pembaharu Islam Modern. Mereka adalah kaum pemikir intelektual.

Seperti Muhammad ‘Abduh di Mesir, Ahmad Khan di India, Muhammad Iqbal di India-Pakistan.

Sejarah mencatat kemudian bermunculan lagi nama-nama lain seperti Isma‘il al-Faruqi di Palestina, Hasan Hanafi di Kairo Mesir. Dalam perkembangan dan penyebaran Islam yang semakin meluas termasuk ke Benua Asia, kemudian muncul pula nama H. M. Rasjidi, H. ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim ‘Abdullah alias HAMKA lalu Harun Nasution.

Tiga nama terakhir adalah para pemikir intelektual yang dimiliki Indonesia, guna memberikan kontekstualisasi ajaran Islam, khususnya bidang teologi agar tidak bersifat kontemplatif tetapi sekaligus menjadi implementasi pada isu-isu sosial kontemporer yang semakin pesat seperti demokrasi, kemiskinan, HAM dan pluralisme.

Respon atas isu-isu tersebut memunculkan gagasan baru dalam teologi modern seperti teologi pembebasan yang pada dasarnya memberikan pengakuan kepada manusia untuk bertindak dan menentukan nasibnya sendiri di samping takdir yang melekat pada dirinya.11 Hal ini mengindikasikan bahwa bisa dibenarkan dan patut dibanggakan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang ajarannya menembus ruang dan waktu.

11 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 2.

(17)

Namun, ada hal yang patut disayangkan ketika manusia kini menjadikan agama sebagai tujuan bukan jalan.12 Sehingga permasalahan yang paling nampak dari sikap beragama saat ini adalah adanya truth claim (klaim kebenaran) yang berlebihan oleh suatu suatu agama kepada agama yang lain, ironisnya bahkan oleh suatu kelompok kepda kelompok yang lain dalam satu rumpun agama. Padahal jika dilihat lebih mendalam lagi, justru setiap agama formal memiliki ajaran tentang kebenaran dan keselamatannya sendiri.

Padahal sesungguhnya konsep kebenaran dan tawaran keselamatan adalah spektrum yang klasik. Sebab tujuan dari semua agama adalah memberikan jawaban terhadap apa yang belum diketahui atau apa yang dipertentangkan oleh pikiran.

Dengan begitu, ketika agama memberikan jawaban secara tidak langsung sedang menyelamatkan manusia dari kebingungan. Walaupun pada dasarnya tradisi penyelatan bukan monopoli agama. Karena itu banyak juga orang yang tidak beragama tetapi pintar dan selamat dalam kehidupan sehari-harinya.13

Oleh karena itu, dan atas berbagai persoalan tersebut, peneliti menganggap perlu untuk mengangkat Pemikiran Komaruddin Hidayat tentang Teologi Pluralis, sebagai salah satu gagasan penting dalam perkembangan teologi modern selanjutnya karena bersifat progresif, apalagi dikontekskan dengan pengalaman keagamaan Indonesia saat ini bahkan kemungkinan nanti. Mengingat Komaruddin Hidayat juga menawarkan jalan keluar yang bijak bahkan cukup menarik dalam

12 Komaruddin Hidayat, The Wisdom of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama, (Jakarta: Kompas, 2008), h. 3.

13 Hidayat, Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi, h. 50-51.

(18)

mengatasi persoalan-persoalan yang dilakukan atas nama agama, baik intern maupun ekstern bahkan atas nama Tuhan sendiri.

Untuk merespon hal tersebut, Komaruddin Hidayat pernah menulis sebagai berikut:

Ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia.

Dengan bimbingan agama diharapkan manusia mendapatkan pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidupnya dan membangun peradabannya.

Bukannya manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama adalah jalan, bukan tujuan. Dengan bimbingan agama, manusia berjalan mendekati Tuhan dan mengharap ridha-Nya melalui amal kebajikan yang berdimensi vertikal (ritual kegamaan) dan horisontal (pengabdian sosial).14

Kutipan tersebut secara sadar menggambarkan pandangan umum Komaruddin Hidayat tentang teologi pluralis yang menawarkan nilai-nilai luhur dan bersifat praktis. Kesadaran kembali akan agama untuk manusia dan kemanusiaan tidak lebih dimaknai untuk mendorong manusia agar memperjuangkan sejumlah nilai moral dasar dalam agama yang tentu dalam dimensi horisontal berdampak positif pada lingkungan sekitarnya.

Teologi pluralis sendiri merupakan wacana baru dalam perkembangan sejarah pemikiran sampai saat ini. Meskipun terbilang baru, sudah sepantasnya dipublikasikan sebagai wacana yang memiliki nilai progresif utamanya dalam menyelesaikan persoalan keagamaan sebagaimana tercontoh di atas sebelumnya.

Teologi pluralis bisa dimaknai sebagai pemahaman keagamaan yang menghargai kemajemukan agama.15 Dalam makna lain, teologi pluralis adalah sikap seseorang

14 Hidayat, The Wisdom of Life, h. 3.

15 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), h. xviii.

(19)

yang berpegang teguh pada keyakinannya sendiri namun membuka diri, atau menerima keyakinan yang dimiliki oleh orang atau pemeluk agama lain.

Melalaui pendekatan teologi pluralis inilah rekonstruksi pemikiran dianggap mampu untuk menciptakan harmoni di antara umat beragama atau satu sama lainnya. Dalam artian teologi pluralis ingin menegaskan kembali pentingnya pemahaman akan agama yang diidentik dengan kepentingan umum (maslahah

‘āmmah) dan karena itu tidak bisa dipergunakan oleh segelintir orang apalagi kelompok. Termasuk juga agar peran utama agama sebagai agen liberatif (tahrir, pemerdekaan) dari kondisi gelap menuju terang (min al-zulumāt ila al-nur) yang mengejewantah berbagai persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan bukan hanya wacana langit tetapi sekaligus fakta yang membumi.16

Berangkat dari latar belakang masalah tersebut, penulis menganggap perlu menghadirkan penelitian tentang pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat.

Akan tetapi perlu diuraikan lebih mendalam lagi agar mendapat pemahaman utuh tentang teologi pluralis dalam pandangan Komaruddin Hidayat. Selain juga pendekatan teologi pluralis tetap berlaku untuk setiap zaman, lebih-lebih ketika konflik kekerasan di berbagai tempat di dunia ini masih sangat sensitif bahkan rentan terjadi. Maka daripada itu, penulis tertarik dan menganggap sangat penting untuk mengangkat tema dan menulis skripsi dengan judul “Teologi Pluralis: Studi Atas Pemikiran Keagamaan Komaruddin Hidayat”.

16 Nur Ahmad, ‘Pengantar’ dalam Komaruddin Hidayat, The Wisdom of Life, h. ix.

(20)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dan betapa luasnya permasalahan seperti yang telah diidentifikasi di atas, maka ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada pembahasan mengenai masalah teologi pluralis dalam pandangan Komaruddin Hidayat.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Pemikiran Keagamaan Komaruddin Hidayat tentang Teologi Pluralis?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama dari penelitian ini tidak lain adalah untuk mendapatkan pemahaman melalui ulasan dan analisa secara sistematis terhadap pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat tentang Teologi Pluralis guna menemukan jawaban atas berbagai konflik yang disandarkan pada agama. Selain juga untuk syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) Sarjana Agama (S.Ag) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

Memperkenalkan pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat tentang teologi pluralis di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, juga memberikan sumbangan wawasan serta dapat mengubah sudut pandangn masyarakat dalama memahami dasar agama kaitannya dengan kehidupan nyata, khususnya umat Islam Indonesia.

(21)

E. Tinjauan Pustaka

Mengingat penelitian ini bersifat library research, tinjauan pustaka di sini penulis lakukan melalui pencarian ke Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terkait judul serupa atau tokoh yang sama. Dalam hal judul, tidak satupun ada judul yang membahas tentang teologi pluralis, karenanya penelitian ini bersifat baru meski bukan yang pertama.

Sedangkan mengenai tokoh serupa, hanya ada dua judul skripsi yang ditulis oleh mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul: Pertama, Analisis Isi Buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat (2012). Kedua, Respon Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Terhadap Buku Psikologi Kematian Karya Komaruddin Hidayat (2017).

Tidak hanya itu, penulis juga melakukan penelurusan di Google mengenai hal tersebut. Hasil yang didapat dengan kata kunci ‘skripsi Komaruddin Hidayat’ hanya memunculkan satu hasil pencarian selain dua sebelumnya, yaitu skripsi tahun 2002 oleh salah satu mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari‘ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakrta dengan judul Riddah Dalam Islam (Studi Pemikiran An-Na‘im dan Komaruddin Hidayat).

Dengan demikian bisa dipastikan bahwa penelitian ini bersifat baru karena tidak ada yang meneliti secara langsung tentang pandangan keagamaan Komaruddin Hidayat khususnya mengenai teologi pluralis, dan sudah tentu orisinalitas karya ini dapat dipertanggungjawabkan.

(22)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif dengan metode library research (penelitian kepustakaan), baik berupa buku, catatan maupun hasil laporan dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Metode selanjutnya adalah wawancara, yaitu proses memperoleh keterangan untuk sebuah penelitian dengan tanya-jawab antara pewawancara dan narasumber, baik langsung atau tak langsung melalui media yang mendukung.

Melalui metode tersebut, peneliti mencoba untuk memahami biografi, kiprah dan karya-karya Komaruddin Hidayat sehingga menemukan keutuhan dalam pemikirannya tentang teologi pluralis. Dengan pendekatan tersebut penulis dapat menganalisa data untuk menemukan corak pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat.

Mengenai wawancara, penulis telah melakukan wawancara secara langsung dengan Komaruddin Hidayat. Penulis melakukan kontak langsung melalui media sosial sebagai pemberitahuan awal tentang penelitian yang sedang penulis kerjakan, sekaligus konfirmasi untuk membuat janji temu, saat itu bertepatan pada tanggal 25 Desember 2019.

Setelah menunggu kurang lebih dari 24 jam, akhirnya ada respon dari Komaruddin Hidayat. Dan penulis diberi nomor kontak asisten pribadinya untuk menentukan tanggal dan tempat wawancara. Bersama surat penelitian yang dikeluarkan fakultas yang penulis kirim, penulis baru mendapatkan kepastian tanggal dan tempat dua hari setelahnya.

(23)

Wawancara akhirnya dilaksanakan di kediaman beliau pada hari Senin, tanggal 6 Januari 2020. Tepatnya mulai jam 16:00-17:00 WIB.

2. Sumber Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini ada dua meliputi data primer dan sekunder. Sumber data primernya adalah wawancara yang hasilnya telah penulis cantumkan pada bagian lampiran. Lalu buku karangan beliau meliputi: Agama Untuk Peradaban: Membumikan Etos Agama Dalam Kehidupan (Komaruddin Hidayat, Tangerang Selatan: 2019), Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Komaruddin Hidayat &

Muhammad Wahyuni Nafis, Jakarta: 1995), Agama Punya Seribu Nyawa (Komaruddin Hidayat, Jakarta: 2012), The Wisdom of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama (Komaruddin Hidayat, Jakarta: 2008), Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi (Komaruddin Hidayat, Jakarta: 2003), Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Komaruddin Hidayat, Jakarta: 1996), Penjara-Penjara Kehidupan (Komaruddin Hidayat, Jakarta: 2015), serta karya lain Komaruddin Hidayat yang memiliki dukungan terhadap pembahasan seperti Iman yang Mengejarah (2018), Politik Panjat Pinang: Di Mana Peran Agama (2006), Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme (2008).

Sedangkan sumber data sekundernya meliputi karya orang lain yang juga mendukung terhadap isi pembahasan seperti Teologi Pluralis- Multikultural, karya Muhammad Ali, lalu Islam Dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, karya Mohammad Hassan Haikal, dan Membela

(24)

Kebebasan Beragama, editor Budhy Munawar Rahman serta karya lain yang terkait dan tidak bisa disebutkan satu persatu.

3. Teknik Pengumpulan Data

Demi mempermudah dalam pengumpulan data atau informasi-informasi terkait penelitian, penulis akan menggunakan metode dokumentasi selain library research. Lexi mengutip pendapat Guba dan Lincoln yang mendefinisikan bahwa dokumen adalah setiap bahan berupa tulisan atau film berbeda dengan record, yang tidak diarsipkan karena permintaan dari seorang penyidik.17 Sementara itu, Suharsimi Arikunto mendefinisikan metode dokumentasi sebagai cara pengumpulan data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, majalah, surat kabar, prasasti, notulen rapat, lengger agenda dan sebagainya. Metode ini cenderung lebih mudah, karena jika terjadi kekeliruan sumber datanya masih tetap, sebab data yang diteliti oleh metode dokumentasi adalah benda mati.18

Selanjutnya penulis akan menggali informasi mengenai data yang berkaitan dengan penelitian penulis dari berbagai sumber buku. Baik buku yang bersifat primer atau pun buku yang bersifat sekunder. Selain dari buku, tentu penulis juga akan mengambil data dari sumber-sumber dokumentasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian penulis jika ada.

17 Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosyda Karya, 2012) h. 216-217.

18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Cet. IVX (Jakarta:

PT Rineka Cipta, 2010), h. 274.

(25)

4. Pengolahan Data

Setelah data-data dikumpulkan seluruhnya, kemudian penulis melakukan pengolahan data dengan cara membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan mengklarifikasi data-data yang sesuai dan mendukung pembahasan. Kemudian penulis melakukan analisis, lalu disimpulkan sehingga menjadi satu kesatuan pembahasan yang utuh.

Seperti pernyataan Komaruddin Hidayat yang terdapat dalam buku Penjara-Penjara Kehidupan, bahwa apa yang disebut agama adalah jalan untuk mengenal dan mendekat kepada Tuhan. Lalu dalam buku lain yang berjudul The Wisdom og Life, Komaruddin Hidayat menyatakan: Ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia. Dengan bimbingan agama diharapkan manusia mendapatkan pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidupnya dan membangun peradabannya. Bukannya manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama adalah jalan, bukan tujuan. Dengan bimbingan agama, manusia berjalan mendekati Tuhan dan mengharap ridha-Nya melalui amal kebajikan yang berdimensi vertikal (ritual kegamaan) dan horisontal (pengabdian sosial).

Hal tersebut disebabkan oleh karena Komaruddin Hidayat dalam karya tulisnya lebih banyak mengarang buku dengan jenis kumpulan tulisan atau esai. Sebab bagi Komaruddin Hidayat, tulisan jenis esai serupa al-Quran yang temanya menyebar dan memiliki pengaruh kuat dan merupakan karya hebat. Sehingga untuk memetakan dan menemukan corak pemikiran Komaruddin Hidayat, menuntut untuk membaca seluruh karya yang pernah dikarangnya.

(26)

5. Teknik Analisa Data

Dalam teknik analisa data di sini penulis melakukan kajian pemahaman terhadap isi analisis (content analysis), dengan bentuk deskriptif sebagaimana telah dicontohkan sebelumnya dalam sub bab pengolahan data, yaitu dengan mencatat segala informasi apa adanya kemudian dengan pemaparan secara rinci terkait dengan penelitian. Dalam penelitian ini akan menggambarkan permasalahan-permasalahan yang dibahas dengan menggali seluruh data yang ada untuk kemudian dipadukan dengan tujuan akhir guna mendapat kesimpulan baru yang menyeluruh.

6. Pedoman Penulisan

Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 dengan tim penulis: Hamid Nasuhi, Ismatu Ropi, Oman Fathurrahman, M. Syairozi Dimyati, Netty Hartati dan Syopiansyah Jaya Putra.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini diuraikan melalui pokok permasalahan yang dibahas dan dituangkan dalam bentuk beberapa bab serta sub-sub bab sebagai berikut:

BAB I Merupakan pendahuluan yang akan mengarahkan pembaca terhadap isi dari pembahasan yang di dalamnya meliputi beberapa hal yaitu,

(27)

latar belakang sekaligus identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode yang digunakan dalam penelitian dan diakhiri dengan teknik serta sistematika penulisan.

BAB II Secara khusus mengulas tentang pengertian teologi, lalu perkembangannya dalam dunia Islam. Kemudian pengertian dari pluralitas serta hubungan bahkan sinkretisasi antara keduanya.

BAB III Membahas tentang biografi Komaruddin Hidayat sebagai salah seorang pemikir terkemuka yang ada pada zaman belakangan ini. Di dalam biografi tersebut terdapat riwayat hidup, latar belakang pendidikan, karya-karya serta kiprahnya.

BAB IV Mengulas pemikiran Komaruddin Hidayat tentang teologi pluralis.

Sedangkan sub-sub bahasan di dalamnya merupakan kerangkan umum dari pemikiran keagamaan Komaruddin Hidayat.

BAB V Merupakan penutup dari seluruh rangkaian pembahasan dari permasalahan yang penulis teliti, yang memuat sub bab kesimpulan dan saran guna dilakukan penelitian lebih lanjut.

(28)

17 BAB II

TEOLOGI PLURALIS DALAM TINJAUAN

A. Pengertian Teologi

Apakah teologi? Sesungguhnya tidak mudah mendefinisikan sebuah konsep yang dihadirkan kepada manusia dengan keterikatan pada ruang dan waktu. Sebuah konsep lahir dan terikat oleh pergumulan lingkungan antara seorang manusia dengan manusia lainnya, antara sekelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya. Tidak terkecuali konsep teologi sendiri. Lazim diketahui, secara harfiah teologi berarti ilmu ketuhanan. Terdiri dari dua suku kata yaitu, Theos berarti Tuhan, logos berarti ilmu.

William L. Resse (l. 1921 M) mendefiniskan teologi dengan discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan).1 Lebih jauh, Resse dengan mengutip kata-kata William Ockham (1287-1347) bahwa, Theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science (Teologi adalah disiplin ilmu yang berbicara mengenai kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan).

Sedangkan secara definitif yang lain, mengutip Eka Putra Wirman, “the study or science with which treats of God, His nature and attributes, and His relations with man and universe.” Dari definisi tersebut, tergambar jelas bahwa teologi merupakan sebuah pengetahuan atau ilmu yang membahas tentang Tuhan, termasuk segala hal yang disandarkan kepadaNya serta relasinya dengan manusia

1 William L. Resse, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought (USA: Humanities Press Ltd, 1999), h. 28.

(29)

dan alam semesta.2 Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan alam semesta berdasarkan nilai dan norma ketuhanan (rabbaniyah).

Menjadi menarik apabila membahas masalah hubungan antar manusia ketika dilatarbelakangi oleh agama. Perjumpaan seseorang dengan orang lainnya yang berbeda agama menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari apalagi dalam dunia kontemporer.

Tantangan budaya lokal dan budaya global universal semakin kompleks dan tak terhindarkan, sehingga dalam perjalanannya terjadi persentuhan nilai teologis baik dalam pemaknaan maupun penerapannya. Dengan begitu, istilah teologi tidak lagi terbatas pada ilmu-ilmu ketuhanan secara sempit-eksklusif, tetapi telah menjadi paduan dari sekian banyak ilmu keagamaan yang sudah barang tentu berlaku dalam pemikiran keagamaan Protestan, Katholik, Hindu, Buddha, tetapi juga bagi Islam sendiri.3

Teologi sebagai ilmu dalam perkembangannya kemudian masuk ke dalam Islam sebagaimana telah tersebut di atas, sehingga belakangan muncul istilah Teologi Islam. Konsep Teologi Islam sendiri memiliki kesamaan dengan Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid, Ilmu Akidah, Ilmu Ushuluddin, meski beberapa kalangan membedakannya. Akan tetapi pembahasan yang muncul dalam nama-nama ilmu tersebut tidak terlepas dari Tuhan, manusia dan alam semesta.

Adapun pembedaannya, salah satunya seperti Ilmu Tauhid yang dalam pembahasannya mengenai keesaan Allah SWT. dan hal-hal yang berkaitan

2 Eka Putra Wirman, Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran Harun Nasution (Bandung:

Penerbit Nuansa Aulia, 2013), h. 10.

3 Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 91.

(30)

denganNya. Sedangkan ilmu kalam juga membahas hal serupa, akan tetapi penekannya terletak pada argumentasi yang digunakan dengan pengonsentrasian terhadap penggunaan logika.4

Definisi Ilmu Kalam sendiri, mengutip Ahmad Hanafi, bahwa Muhammad Abduh dalam Risalat at-Tauhid mendefinisikannya sebagai ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang wajib ada padaNya, sifat-sifat yang tidak ada padaNya dan sifat-sifat yang mungkin ada padaNya dan membicarakan rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang wajib ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan mungkin sifat-sifat yang terdapat padanya.5

Terlepas dari perbedaan pemaknaan setiap tokoh tentang Ilmu Kalam, secara keseluruhan cakupannya tidak terlepas dari Tuhan dan segala yang terkait padaNya, lalu manusia hubungannya dengan Tuhan atau sesamanya, serta alam semesta kaitannya dengan manusia dan Tuhan. Adapun tujuan dari ilmu kalam tidak lain untuk mempertahankan keyakinan agama (iman) melalui argumentasi-argumentasi yang dapat diterima baik oleh akal manusia (rasional).6

B. Sejarah Teologi Islam dan Perkembangannya

Awal mulanya, kalam atau ilmu kalam merupakan nama cabang pengetahuan dalam Islam yang biasa diterjemahkan sebagai ‘teologi spekulatif’. Dalam makna harfiahnya, kalam bermakna ‘perkataan’, ‘pembicaraan’, atau ‘kata-kata’, dan

4 Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Edisi Revisi (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2016), h. 20.

5 Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), h. 3.

6 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Penerbit Baitul Ihsan, 2006), h. 130.

(31)

orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan atau diskusi ini kemudian dikenal sebagai mutakallimun.7

Perdebatan tentang kalam sebagai ilmu memanjang, jejaknya dapat dilacak hingga ke Nabi Muhammad.8 Salah seorang sepupu Nabi, yang kelak sekaligus menjadi menantunya yakni ‘Ali bin Abi Thalib dipercaya memiliki kemapanan dalam ilmu kalam, yang bisa dilihat melalui karya beliau yaitu Najh al-Balaghah (Path of Eloquence), yang berisi bukti-bukti rasional pertama tentang Keesaan Tuhan, setelah al-Quran dan Hadits.9

Selain juga sudah disebutkan di bab terdahulu, mengenai alasan mengapa umat Muslim mempelajari filsafat, logika dan cara-cara berdebat berkaitan dengan pertemuan dan debat antar kelompok agama. Besar kemungkinan hal tersebut terjadi di Syiria dan Iraq—di mana perdebatan-perdebatan terjadi antara orang- orang Muslim dan pengikut agama lain—terutama orang-orang Kristen, Mazda dan pengikut Mani, yang perjumpaan tersebut telah mengembangkan argumen- argumen secara filosofis dan teologis guna mempertahankan ajaran-ajaran pada keyakinan mereka—yang dalam hal ini membuat orang Muslim mencari suatu bentuk pengembangan rasional dari apa yang dimiliki, untuk melindungi dan mempertahankan Islam.10 Perbandingan ini dilakukan untuk menemukan kebenaran otentik lebih jauh.

7 Abdel Halem, Kalam Awal, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama. Penerjemah Tim Penerjemah Mizan (Bandung:

Penerbit Mizan, 2003), 85-86.

8 Dalam persoalan ini, pelacakannya dengan meneliti beberapa hadis Nabi yang di dalamnya menggunakan kata kalam, lebih lengkap lihat M. Abdel Halem, Kalam Awal, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 85-107.

9 Sayyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis. Penerjemah Suharsono dan Djamaluddin MZ (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 5.

10 Nasr, Intelektual Islam, h. 5.

(32)

Selanjutnya mazhab kalam pertama yang muncul secara sistematik pada abad kedua adalah Mu’tazilah, dan pendirinya bernama Wasil Ibn ‘Ata’ (w. 131/748).

Ajaran mereka yang paling terkenal adalah tekanan pada kebutuhan penalaran dan pentingnya kehendak bebas.11 Disusul oleh munculnya beberapa mazhab lainnya seperti Asy’ariyah, Maturidiyah (terbagi dua antara Maturidiyah Samarkand dan Bukhara), Tahawiyah, Syi’ah (terbagi ke dalam banyak kelompok, tapi yang terkenal tiga yaitu Syi’ah Ismai’iliyah, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imam Dua Belas), Murjiah, bahkan Salafiyah. Mazhab-mazhab kalam ini ada ajarannya yang bertahan sampai sekarang dan terus berkembang, ada yang sudah ditinggalkan sama sekali.

Mengenai persoalan yang paling menonjol dalam persoalan kalam diyakini Harun Nasution sebagai masalah politik. Lebih jauh Harun menggambarkan persoalannya pada peristiwa terbunuhnya ‘Utsman bin Affan yang berantai pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib. Insiden antara Ali dan Mu’wiyah menuai Perang Siffin yang menyebakan terjadinya arbitrase (tahkim).

‘Ali menerima tipu daya yang dilakukan oleh ‘Amr bin ‘Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam arbitrase tersebut. Hal ini diketahui oleh pengikut Ali dan mereka yang tidak setuju terhadap keputusan Ali dan menganggap ‘Ali bersalah, lalu pengikut ‘Ali ini memisahkan diri dari ‘Ali dan menamai dirinya sebagai Khawarij, yaitu kaum yang keluar dan memisahkan diri. Sedangkan pengikut ‘Ali yang paling setia kemudian menamai diri dengan Syi’ah.12

11 Nasr, Intelektual Islam, h. 6.

12 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah dan Analisa Perbandingan (Jakarta: UI- Press, 1986), h. 6.

(33)

Namun demikian, Ilmu Kalam diyakini sebagai disiplin ilmu baru pada masa dinasti Abbasiyah. Penyimpulan tersebut diperkuat dengan laporan sejarah mengenai adanya kegiatan diskusi di istana keluarga Barmak.13 Sejarah dunia mencatat, masa keemasan intelektual Islam terjadi pada masa dinasti Abbasiyah.

Akan tetapi masa emas itu baru terwujud pada tujuh masa pemerintahan setelah kepemimpinan al-Mansur (754-775 M), yaitu mulai dari al-Mahdi (775-785 M), al- Hadi (775- 786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al- Mu’tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).

Hanya saja dalam kejayaan ilmu pengetahuan, terjadinya dimulai pada masa Harun al-Rasyid yang terkenal memiliki kekayaan dan diplomasi politik dengan negara-negara jauh. Kekuasaannya ini juga digunakan oleh Harun al-Rayid untuk mencari dan menerjemahkan naskah-naskah berbagai ilmu. Hingga putreranya al- Ma’mun berkuasa, apa yang pernah dilakukan dirinya langsung dilanjutkan.

Khalifah Abbasiyah ke tujuh ini berpikiran bahwa masyarakat ideal masa depan hanya bisa diwujukan melalui ilmu pengetahuan dan rasionalisme. Untuk mencapai semua itu, ia harus mengumpulkan para pemikir, ilmuan dari berbagai bidang lalu disatukan dalam satu lokasi agar bisa saling belajar satu sama lain, maka akan terwujud kemungkinan tak terbatas tersebut. Dan puncak dari keinginannya itu berwujud dengan didirikannya institut pendidikan di Baghdad yaitu yang dikenal dengan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebajikan).14

13 Amin Syukur, Paradigma Baru Ilmu Kalam, dalam Af Idah Salmah ed., Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif terhadap Hedonisme Kehidupan Modern (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), h. 16.

14 Firas Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang: Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim Pada Masa Lalu. Penerjemah Mursyid Wijanarko (Yogyakarya: Bentang Pustaka, 2016), h. 90.

(34)

Melalui Bayt al-Hikmah ini ilmu pengetahuan berkembang pesat di dunia Islam. Al-Ma’mun sendiri bukan hanya pemimpin yang memberikan penekanan khusus pada ilmu pengetahuan. Hal yang menjadikan Masa Keemasan Muslim dan Bayt al-Hikmah ini, adalah konteks terjadinya. Setidaknya ada tiga hal, pertama ekspansi kerajaan Muslim berhasil meruntuhkan dinding-dinding kelompok yang berbeda sebelumnya.

Kedua, aspek bahasa, dalam hal ini Bahasa Arab. Jika sebelumnya orang- orang mengalami kendala untuk berinteraksi dengan kelompok lainnya, termasuk untuk menuntut ilmu pengetahuan, maka pada masa al-Ma’mun hal tersebut tidak ada lagi sehingga orang dari berbagai latar belakang suku, ras, bahasa dan agama bisa bersatu.

Ketiga, aspek dorongan agama. Islam sendiri sangat menekankan orang untuk mencari dan mencintai ilmu. Baik hadis maupun ayat al-Quran banyak memberikan gambaran tentang peran ilmu pengetahuan dalam kehidupan orang-orang saleh.

Tiga faktor unik dalam mencari ilmu inilah yang menarik dalam Islam.15

Termasuk di sini juga berkembang teologi. Persentuhan berbagai ilmu pengetahuan, ini memberikan dampak yang sangat luar biasa. Akan tetapi persentuhan itu tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan, adanya pergesekan ketika penerjemahan teks Yunani kuno, umat Muslim mulai membaca buku-buku filsafat dan menemukan gagasan serta meyakini bahwa rasionalisme dapat digunakan untuk menemukan kebenaran Ilahiah.16

Paham yang dipegang saat itu adalah Mu’tazilah, sehingga tidak heran jika al-Ma’mun menjunjung tinggi rasionalisme. Akan tetapi, tidak semua orang yang

15 Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang, h. 91-92.

16 Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang, h. 116.

(35)

ada dalam kekuasaannya mengikuti ajaran-ajaran yang ditetapkan istana. Di kubu sebelah al-Ma’mun ada Ahmad bin Hanbal sebagai pemimpin kaum tradisionalis, yang meyakini tafsir literal dan kaku terhadap al-Quran dan hadis jika berkaitan dengan teologi, dan tidak ada tempat bagi filsafat ketika menghasilkan kesimpulan yang berseberangan dengan kebenaran yang dinyatakan al-Quran.17

Mu’tazilah tumbang ketika muncul pemikir abad kesepuluh yakni Asy’ari. Ia mendukung kaum tradisionalis, tapi melalui penalaran. Hingga muncul juga pemikir, filsuf, sufi, ahli fiqh dan sederet gelar lainnya dinisbatkan kepada Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111). Setelah mempelajari kedua argumen teologis dua aliran tersebut (Mu’tazilah dan Asy’ariyah), dan mempelajari berbagai bidang ilmu, ia berpendapat bahwa keyakinan seseorang tidak boleh seluruhnya didasarkan kepada filsafat, tetapi logika juga harus digunakan untuk melawan gagasan tradisional. Bahkan baginya, jalan sejati menuju Tuhan adalah dengan ketaatan mutlak kepadaNya dan menyucikan jiwa dari keinginan duniawi. Sehingga kemudian ia dianggap sebagai orang paling berpengaruh setelah Nabi Muhammad dan sahabatnya, dan pemikirannya hampir merata dipakai dalam dunia Islam.18

Pemikiran al-Ghazali eksis di dunia Islam sampai yang disebut zaman modern tiba, ketika para pemikir intelektual dalam tubuh Islam menyadari ketertinggalan Islam terutama dalam bidang sains dan dan teknologi. Mereka mulai mencari sumber masalahnya dan menemukan salah satunya kalau bukan yang utama terletak pada kejumudan atau kemandekan berpikir.

Sejak awal, pemabahasan mengenai teologi selalu bertumpu pada hal yang ada di langit yaitu Tuhan. Pada dasarnya bukan hal yang mengherankan,

17 Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang, h. 117.

18 Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang, h. 118-119.

(36)

kemunculan teologi tidak lain untuk memantapkan dasar-dasar agama, selain kegunannya untuk mempertahankan iman dari serangan orang-orang yang tidak memprcayai adanya Tuhan.

Menjadi ironis apabila dasar-dasar tersebut selalu diperdebatkan selama berabad-abad, dan ini terjadi di dalam tubuh Islam. Padahal kehidupan manusia berkembang dan masalah yang muncul semakin kompleks tetapi persoalan teologi tetap salah tidak mengalami perubahan, yaitu persoalan langit yang dilakukan di bumi.

Penutupan pintu ijtihad dan taqlid bertahan lama dan menyapu hampir seluruh dataran Islam. Sehingga hampir semua yang agama tetapkan harus dijalani dengan seragam, padahal realitas manusia yang hendak menjalaninya beragam jika kemudian juga dikaitkan dengan keadaan, dan waktu mereka tinggal.

Beruntung kemudian pada abad ke-18, 19 dan 20 peran akal dan pentingnya menafsirkan ulang ajaran agama ‘kembali’ dibuka oleh pemikir intelektual Islam sendiri. Meskipun mendapat penentengan, tetapi mereka mampu meyakinkan umat Islam bahwa imperialisme Barat telah mengambil banyak hal dalam dunia Islam, dan jika umat Islam tetap stagnan, jumud dan diam dalam pemikiran maka lama- lama Islam hanya akan tinggal sejarah belaka.

Mereka ini sebagaimana disebutkan dalam bab sebelumnya, diantaranya ada Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Sir Sayyid Ahmad Khan, dan Muhammad Iqbal serta Harun Nasution untuk menyebutkan beberapa nama diantara yang paling menonjol.

Mereka melakukan rekonstruksi ajaran agama, khususnya teologi agar tidak hanya sebatas pembahasan langit yang berlangsung di bumi, tapi sekaligus

(37)

menyentuh permasalahan yang terjadi di bumi. Semakin menarik kemudian ketika ternyata Islam dilirik dan menjadi pembahasan yang mulai dikaji dan diminati di Dunia Barat.

Kesadaran akan ketertinggalan Islam di dunia modern terlihat dari semakin berkembangnya peradaban Eropa, hingga memasuki abad kontemporer, umat Islam semakin sadar dan mulai membenahi diri yang salah satunya menerima apa yang dianggap baik bagi kemanusiaan meskipun itu datang dari Barat. Dasar ini biasanya dalam kalangan Islam disandarkan pada kaidah ushul fiqh yang sangat populer yaitu, al-muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shaleh wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang bagus, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

Umat Islam sadar bahwa peradaban manusia berkembang, realitas dalam dunia sosial selalu berubah dan tiada hentinya dari waktu ke waktu, hal tersebut memberikan dorongan untuk membuka kembali cara berpikir yang kritis dan teologi aktual untuk menjawab tantangan di dunia kontemporer.

Tantangan teologi Islam di dunia kontemporer adalah menyangkut isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme agama, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya. Sebab teologi dalam rumpun agama apa pun yang pembicaraannya selalu berkutat pada Tuhan (teosentris) dan tidak mengaitkan diskursusnya dengan kemanusiaan universal (antroposentris), lambat laun rumusan teologinya akan out of the date.19

Antisipasi terhadap kemungkinan tersebut, dalam dunia Islam muncul dan berkembang wacara tentang teologi yang disandarkan pada konteks kejadiannya.

Beberapa wacana tersebut misalnya teologi pembebasan, teologi kerukunan, teologi

19 Abdullah, Falsafah Kalam, h. 42.

(38)

perdamaian, teologi multikultural, tidak terkecuali teologi pluralis sendiri yang menjadi kajian dalam pembahasan ini yang pemahamannya disandarkan pada pemikiran salah seorang cendekiawan muslim Indonesia yaitu Komaruddin Hidayat.

C. Sumber-Sumber Ilmu Kalam

Sumber utama Ilmu Kalam adalah al-Quran dan Hadits.20 Selain itu dalam perkembangan Ilmu Kalam selanjutnya, muncul Pemikiran Manusia dan Insting.21 Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Al-Quran

Banyak ayat dalam al-Quran yang menjelaskan tentang Tuhan. Semisal salah satunya adalah surah utuh yaitu Q.S sl-Iklhas (112): 1-4 sebagai berikut:

ۡ لُق

ۡ

َۡوُه ٱ

ُۡ َللّ

ۡ

ٌۡۡدَحَ أ ١

ۡٱ

ُۡ َللّ

ۡٱ

ُۡدَم َصل

ۡۡ

٢

ۡ

ۡۡ لَوُيۡ مَلَوۡ دلَِيۡ مَلَ ٣

ۡۡ

َُۡ

لّۡنُكَيۡ مَلَو

ۡۥۡ

ُُۡۡۢدَحَ أۡاًوُفُك ٤

ۡ

“Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

2. Hadis

Sebagai sumber kedua Ilmu Kalam, terdapat banyak hadis yang menyinggung soal ketuhanan. Salah satunya adalah hadis yang membahas

20 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 12.

21 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 21-26.

(39)

masalah keimanan seorang manusia, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yaitu:

ْﻡُكُﺩَحَﺃ ُﻥِم ْؤُي َلا : َﻝاَق يِبَّنلا ْﻥَع الله ﻝ ْﻭُسَﺭ ِﻡِﺩاَخ ٍﻙِلاَم ِﻥْب ِﺱَنَﺃ َة َﺯْمَح ْيِبَﺃ ْﻥَع ِهْي ِخَلأ َّﺏ ِحُي ىَّتَح

هِسْفَنِل ُّﺏ ِحُي اَم

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.”

Hadis tersebut menuntut adanya implikasi seorang yang beriman, yakni mereka yang memiliki hubungan secara vertikal, harus pula memiliki hubungan horizontal yang kuat sebagai cerminan atau bagian dari kemanusiaannya yang nilai daripadanya adalah sebab dari keberiman tersebut.

3. Pemikiran Manusia

Kesadaran akan penggunaan pikiran manusia sebagai salah satu sumber Ilmu Kalam mendapat dukungan dari al-Quran surah Muhammad (47):

24 yaitu:

ۡ َلَفَ أ

ۡ

َۡنوُرَبَدَتَي ٱ

َۡناَء رُق ل

ۡ

ۡۡٓاَهُلاَف قَ

أۡ ٍبوُلُقَٰۡ َعَلۡ مَأ ٢٤

ۡ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”

Sebelum masuknya filsafat Yunani dan berkembang dalam dunia Islam, umat Islam sendiri sudah menggunakan pemikiran rasionalnya untuk

(40)

menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran, terutama yang belum memiliki kejelasan maksudnya (al-mutasyabihat).

4. Insting

Manusia secara instingtif selalu ingin bertuhan. Ini disebabkan oleh diri manusia sendiri yang terbatas, dan kesadaran akan keterbatasannya itu menjadikan manusia merasa dirinya lemah dan membutuhkan sesuatu di luar dirinya sebagai bentuk harapan. Hal ini yang nantinya oleh Komaruddin Hidayat sendiri disebut bahwa dalam diri manusia terdapat ruh yang selalu mencari, merindukan perjumpaan dengan Tuhan yang bisa melindungi manusia dari kebutuhan dan bahaya yang mengintainya.

D. Lahirnya Aliran Ontologi: Monisme, Dualisme dan Pluralisme

Sebelum memasuki pembahasan mengenai konsep pluralisme, menarik untuk memahami salah satu aliran filsafat yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini, yaitu ontologi. Ontologi sendiri dipahami sebagai cabang filsafat yang membahas mengenai hal ihwal, atau ilmu yang mempelajari tentang yang ada.

Dengan demikian, cakupan dari ontologi ini objek pembahasannya berfokus pada segala sesuatu yang ada dan dapat ditangkap oleh panca indra.

Dalam perkembangannya, persoalan mengenai keberadaan ini melahirkan pandangan yang masing-masing menimbulkan aliran yang berbeda. Semisal tiga segi pandangan, yaitu:22

22 M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam (Malang: Bayu Media, 2003), h.

32

(41)

Keberadaan dipandang dari kualitas atau jumlah, melahirkan beberapa aliran sebagai jawaban, yaitu: monisme, dualisme, pluralisme serta agnotisisme.

Kemudian keberadaan dipandang dari segi sifat atau kualitas, melahirkan dua aliran yaitu spiritualisme dan materialisme. Dan terakhir, keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian atau perubahan, melahirkan aliran mekanisme, teologi dan vatalisme.

Dan, pembahasan ini hanya mengambil cakupan pada keberadaan dipandang dari segi kualitas atau jumlah yang membatasi tiga aliran pertama meliputi monisme, dualisme, pluralisme.

Pertama aliran monisme (monism) akar katanya dari Bahasa Yunani yaitu monos yang bermakna tunggal atau sendiri. Secara istilah monisme adalah paham yang menitikberatkan bahwa unsur pokok dari segala yang ada adalah unsur yang bersifat tunggal atau esa. Unsur dasar ini bisa berupa materi, pikiran, Allah dan lain- lain. Seperti bagi kaum materialis bahwa unsur itu adalah materi, dan bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide.23 Atau dengan bahasa lain, aliran monisme handak menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan atau kebenaran yang fundamental.24

Thales (625-545 SM) adalah salah seorang pemikir awal yang mencoba merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat ‘yang ada’ (being) itu, yang kemudian memiliki kesimpulan bahwa asal-usul atau sumber awal dari segala sesuatu yang ada itu adalah air.25 Sedangkan tokoh selanjutnya, yakni Anaximadros

23 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997), h. 681.

24 Surajiyo, Filsafat Ilmu: Suatu Pengantar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), h. 119.

25 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat: 1 Cet. Ke-28 (Yogyakarta: Penebit Kanisius, 2016), h. 16.

(42)

(610-540 SM) menyimpulkan bahwa asas dari segala sesuatu bukanlah air sebagaimana dikatakan oleh Thales. Anaximandros menyangkal kenyataan bahwa asas awal adalah air, karena baginya air terbatas, dan air harus ada di mana-mana, sedangkan kenyataannya tidak demikian. Oleh karenanya, kata Anaximandros, asas pertama haruslah asas yang menimbulkan segala sesuatu, maka asas harus melebihi dari air, dan Anaximandros menyebutnya dengan istilah to apeiron (yang tak terbatas).26

Pada abad modern, pemikiran sejenis dianut oleh Baruch de Spinoza (1632- 1677) yang meyakini adanya substansi tak terhingga, atau disebut Allah. Spinoza memahami substansi sebagai sesuatu yang ‘ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri.’ Dari definisi tersebut, Spinoza menghubungkan kepada konsep ‘attribute’ dan ‘modus’, yang atribut dimaksudkan adalah sesuatu yang ditangkap oleh intelek sebagai hakikat substansi, dan modus adalah hal-hal yang berubah-ubah pada substansi.

Keluasan dalam arti ekstensi ditolak oleh Spinoza sebagai substansi sebagaimana diyakini oleh Descartes. Baginya ekstensi adalah atribut karena ditangkap sebagai hakikat benda-benda jasmani. Keluasan itu menurutnya adalah atribut Allah yang adalah substansi tak terhingga. Sebagaimana juga berlaku bagi pikiran. Dengan demikian, karena keluasan dan pikiran hanyalah atribut, kita bisa melihat dunia dari atribut pikiran, dan kita menyebutnya Allah, tetapi kita juga

26 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat: 1, h. 17.

(43)

melihat atribut keluasan, dan kita menyebutnya alam. Karena itu, bagi Spinoza, Allah atau alam adalah kenyataan tunggal.27

Aliran kedua adalah dualisme. Berasal dari kata Latin duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang mengatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak-belakang. Masing-masing substansi memiliki sifat yang unik dan dan tidak dapat direduksi. Misalnya substansi antara adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, materi dengan roh, jiwa dengan badan dan lain sebagainya.28

Tokoh yang pemikirannya sejalan dengan dualisme adalah Plato (427-347) yang menyatakan bahwa ada dua macam dunia terdiri dari dunia yang serba berubah—serba jamak, yang di dalamnya tiada hal yang sempurna, dunia yang diamati dengan indera, yang bersifat inderawi. Dan, dunia ide, di mana tidak ada perubahan, tidak ada kejamakan (dalam arti ini bahwa yang baik hanya satu, yang adil hanya satu, yang indah hanya satu), dan itu bersifat kekal.29

Dalam dunia modern, ada Rene Descartes (1596-1650 M) yang meyakini adanya dua substansi, khususnya pada manusia yaitu jiwa dan materi, kedunya berbeda tetapi terdapat dalam diri manusia. Seperti adanya keinginan dalam diri seseorang, dan tubuh atau tangan akan bergerak meskipun keinginan itu tidak benar-benar bekerja.30 Sebagaimana hal ini juga dikonfirmasi terhadap ungkapan terkenal Descartes sendiri, bahwa cogito ergo sum! (aku berpikir maka, aku ada!).

27 F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli sampai Neitzsche) (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 41-42.

28 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 681.

29 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat: 1, h. 41.

30 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang, Cet. Ke-1V (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 737-738.

(44)

Aliran terakhir adalah pluralisme. Pluralisme berasal dari dari kata pluralis yang bermakna jamak atau banyak. Dalam aliran ini dipahami bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi dari banyak substansi yang memiliki sifat independen antara yang satu dengan yang lain. Akibatnya, alam semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontnuitas, harmonis, bahkan tatanan yang koheren, rasional dan fundamental. Sebab di dalamnya yang terdapat tidak lebih dari berbagai jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat diredusir.31 Dengan demikian, aliran pluralisme ini hendak menekankan realitas tidak hanya terdiri dari satu atau dua substansi, melainkan banyak. Pandangan tersebut diambil dari banyak teori, yang utama adalah teori filsuf Yunani Kuno yang menyatakan bahwa unsur realitas terdiri dari empat, yaitu: air, api, udara dan tanah.

Empidokles (492-432 SM) adalah filsuf yang memiliki kesimpulan tersebut.

Baginya realitas terdiri dari keempat unsur tersebut, yakni air, api, udara dan tanah.

Setiap benda memiliki takarannya sendiri, campuran antara satu benda dengan yang lainnya berbeda sehingga melahirkan perbedaan wujudnya. Proses pembentukan, pencampuran atau takaran pada setiap benda itu digerakkan oleh dua kekuatan besar yang saling berlawanan satu sama lain, yakni cinta (filotes) dan benci (neikos).

Menggabungkan adalah cara kerja dari cinta, sebaliknya benci bekerja dengan cara menceraikan atau memisahkan.32

Murid Empidokles lebih luas lagi, yaitu Anaxagoras (499-420 SM) yang menyatakan realitas tidak diciptakan darai empat unsur melainkan tidak terbilang jumlahnya. Anaxagoras menyebut realitas yang tak terhingga itu sebagai spermata

31 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 861.

32 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat: 1, h. 26-27.

Referensi

Dokumen terkait

Konsep Pieper tentang manusia dan masyarakat, sebagaimana dipaparkan dalam artikel ini, menjadi perspektif penulis untuk mengemukakan konsep tentang persahabatan yang disimpulkan

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 19 sasaran strategis yang ingin dicapai dengan prioritas sasaran adalah: meningkatkan penerimaan Fakultas (bobot 10%),

Berangkat dari masalah yang ditemukan, penulis mengadakan penelitian dengan metode studi pustaka, observasi, perancangan, instalasi, uji coba serta implementasi untuk menemukan

Mayoritas warga kampung nelayan pesisir Muara Angke memiliki keberanian menjadi wirausahawan karena tekanan ekonomi yang mendesak. Selain itu, mereka memiliki minat

Ia juga mengajak relawan dari mahasiswa IPB University terutama yang tinggal di dalam kampus untuk bersama-sama membantu memberikan makan kucing secara

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan

Keunggulan VMI membuat sistem ini banyak diterapkan pada sistem rantai pasok industri-industri saat ini seperti Wal-Mart yang menjadi pelopor penggunaan model VMI pertama

Fungsi speaker ini adalah mengubah gelombang listrik menjadi getaran suara.proses pengubahan gelombag listrik/electromagnet menjadi gelombang suara terjadi karna