• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3 Sejarah Lahir dan Pemaknaan Pancasila

B. Pemaknaan Pancasila Masa Orde Lama

3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Dengan keluarnya Dekrit Presiden, maka secara otomatis UUD 1945 diberlakukan kembali. Soekarno berasumsi bahwa konstitusi ini merupakan refleksi dari sistem pemerintahan orisinal bangsa Indonesia. Asumsi tersebut tentu dapat diperdebatkan. Namun Soekarno bergeming. Pancasila, menurut Soekarno adalah orisinil Indonesia sehingga dengan sendirinya Batang Tubuh UUD 1945 juga mengandung keasliannya. Begitu pula sistem peme-rintahan. Kendati tidak satu kata pun secara implisit dalam UUD 1945. Soekarno mempersepsikan sistem pemerintahan yang di-kehendaki konstitusi adalah Demokrasi Terpimpin.91 Model demokrasi seperti itu dipahami sebagai pengejawantahan sistem musyawarah mufakat yang dikandung sila keempat di dalam Pancasila, dan dianggap mencerminkan kepribadian bangsa. Alur berpikir demikian mendasari Soekarno untuk menggagas dan menerapkan sistem politik baru yang dinamakannya Demokrasi Terpimpin. Hubungan antara UUD 1945 dan Demokrasi Ter-pimpin dijelaskan Soekarno dalam pidatonya:

Undang-Undang Dasar 1945 adalah asli cerminan kepribadian (identity) bangsa Indonesia, yang sejak zaman purbakala-mula mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral di tangan seorang sesepuh – seorang tetua – yang tidak mendiktator, tetapi “memimpin”, “mengayomi”. Demokrasi Indonesia sejak zaman

90Lihat Fachry Ali, “Religiusitas Pancasila”, dalam Republika, tanggal 2 Juni 2011.

purbakala-mula adalah Demokrasi Terpimpin, dan ini adalah karakteristik bagi semua demokrasi-demokrasi asli di benua Asia.92

Soekarno juga menekankan bahwa Pancasila merupakan satu-satunya alat pemersatu dan jawaban terhadap berbagai per-soalan bangsa. Dalam pandangan As’ad Said Ali, hal tersebut jelas menunjukkan keinginan Soekarno untuk meletakkan Pancasila sebagai ideologi yang konklusif.93 Sosialisasi terhadap pemikiran seperti itu menjadi penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang tampil hegemonik. Hal ini dapat dilihat ketika Soekarno menafsirkan Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”.94

Gagasan Manipol/USDEK menurut Soekarno adalah tafsir resmi terhadap Pancasila, dan merupakan satu kesatuan. Doktrin Manipol/USDEK mengajarkan pentingnya menyatukan kekuatan-kekuatan “revolusi”, termasuk aliran Nasionalis, Agama dan Komunis (NASAKOM), dalam rangka memberantas “musuh-musuh revolusi” khususnya kekuatan imperialisme-kolonialisme untuk mewujudkan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Ter-pimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional.

Upaya Soekarno menjadikan Manipol/USDEK sebagai tafsir resmi menandai perubahan penting Pancasila menjadi

92"Djalannja Revolusi Kita”, Pidato Soekarno, 17 Agustus 1960.

93 Ali, Negara Pancasila…., h. 30. Lihat juga Mujiburrahman,

Mengindonesiakan Islam; Representasi dan Ideologi,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 257.

94Manifesto Politik (Manipol) adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 dengan berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 tentang GBHN. Sedangkan USDEK adalah singkatan dari [U]UD 1945, [S]osialisme ala Indonesia, [D]emokrasi Terpimpin, [E]konomi Terpimpin dan [K]epribadian Indonesia. Merupakan materi pokok pidato Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul “Djalannja Revolusi Kita (Jarek)”. USDEK menurut Soekarno adalah intisari dari Manipol.

“ideologi negara” yang bersifat resmi dan tunggal. Pancasila di dalam tafsir Manipol/USDEK bersifat resmi, tunggal, dan hegemonik. Seluruh kekuatan masyarakat dikerahkan hanya untuk mengenal dan “mengamalkan” pengertian resmi itu sambil menolak segala paham yang tidak bersesuaian dengannya.

Kebijakan Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin tersebut menimbulkan reaksi keras dari banyak pemimpin politik, karena lebih banyak petunjuknya dari pada Demokrasi. Soekarno yang disebut sebagai Pimpinan Besar Revolusi, dan menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, adalah penguasa otoriter yang bisa melakukan apa saja atas nama revolusi dan Nasakom. Muhammad Hatta misalnya, yang sudah terbiasa bekerja sama dengan Soekarno, mengkritik Demokrasi Terpimpin dan Nasakom Soekarno yang telah bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang disebut-kan dalam Pancasila, sebuah prinsip yang diformulasidisebut-kan oleh Soekarno sendiri. Hatta bahkan sepakat dengan banyak kritik yang menuduh Soekarno telah “mengubur Pancasila yang telah ia gali sendiri”.95

Partai politik ketika itu pun ikut melakukan reaksi terhadap apa yang di formulasikan oleh Soekarno tersebut. Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) serta beberapa pemimpin politik yang lain menunjukkan oposisi keras mereka. M. Natsir sebagai tokoh Masyumi dalam hal ini mengatakan “bahwa segala-galanya akan ada dalam Demokrasi Terpimpin itu, kecuali demokrasi. Segala-galanya mungkin ada kecuali kebebasan jiwa…. Dalam istilah biasa yang semacam itu kita namakan suatu diktator sewenang-wenang”.96

Itulah sebabnya, tokoh-tokoh Islam yang berada dalam partai Masyumi, bagi Soekarno, merupakan kelompok “berkepala batu” yang tidak layak hidup dalam era demokrasi terpimpin dan

di-95Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum, (Jakarta: Idayu Press, 1980), h. 16. Lihat juga Mohammad Hatta, Demokrasi Kita; Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat,(Bandung: Sega Arsy, 2008), h. 99.

96Lihat Kholid O. Santosa, Paradigma Baru Memahami Pancasila dan UUD 1945,(Bandung: Sega Arsy, 2005), cet. III, h. 125.

anggap sebagai musuh-musuh revolusi dan harus disingkirkan. Proses penyingkiran, atau dalam istilah Mohammad Roem, “adanya garis tegas antara kawan dan lawan”97 ini menemukan bentuknya setelah pembubaran parlemen tanggal 20 Maret 1960, dan diganti-kan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Pertentangan ini bahkan membawa sejumlah pimpinan Masyumi dan PSI terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), sementara beberapa pimpi-nan yang lain ambil bagian dalam pendirian Liga Demokrasi.98 Banyak di antara mereka yang terlibat, baik dalam pemberontakan maupun gerakan demokrasi, ditangkap dan dipenjara, seperti; M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Prawiro Mangku-sasmito, Muhammad Roem, Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain. Soekarno tidak hanya memenjarakan para pemimpin Masyumi, tetapi juga melarang partai ini pada tanggal 13 September 1960.99

Berbeda dengan fenomena tersebut, NU menata kembali orientasi politiknya dalam menghadapi kebijakan Demokrasi Terpimpin, dan menerima Manipol/USDEK-nya Soekarno. Akibat akomodasi tersebut, NU sering dipandang sebagai partai yang opor-tunistik.100 Meskipun demikian, para pemimpin NU menganggap

97Mohammad Roem, Pelajaran dari Sejarah, (Surabaya: Decumenta, 1970), h. 9.

98Lahirnya Liga Demokrasi merupakan bentuk protes terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang dibentuk oleh Presiden Soekarno. Liga Demokrasi dibangun oleh orang-orang partai yang partainya diikutsertakan maupun tidak oleh Soekarno dalam Dewan Perwakilan Gotong Royong. Titik pertemuan mereka adalah membela demokrasi yang dilaksanakan secara tidak demokratis. Lihat Hatta, Menuju Negara…., h. 121.

99Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 37-38.

100Walaupun menurut Gus Dur, tuduhan opurtunistik dalam watak politik NU menjadi tidak tepat. Sebab perubahan-perubahan yang terkesan inkonsisten itu harus dipahami dalam kerangka fleksibilitas fikih, bukan sebagai siasat opurtunistik yang dibangun tanpa prinsip. Lihat Asep Saeful Muhtadi,

Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama; Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif, (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 122.

bahwa sikap akomodatif tersebut adalah untuk mengimbangi posisi PKI yang semakin dominan.

Langkah NU ini berangkat dari kerangka pendekatan fiqh, yang dalam pandangan mereka Soekarno adalah penguasa yang sah. Jadi, adalah hak kepala negara untuk menetapkan kebijakan Demokrasi Terpimpin, karena konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan Umum telah gagal berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam fiqh ada prinsip dar ul-mafasid muqaddam ‘ala jalbil masalih. Maksudnya, ada prioritas untuk menghindari bahaya, yaitu bahaya vakum, bila mana konstituante lama dibubarkan. Lagi pula, menurut pendekatan fiqh, dalam keadaan darurat, pemegang kekuasaan dapat membubarkan lembaga perwakilan yang ada. Kon-disi demikian dalam terminologi fiqh disebut sebagai alhajjah tanzilu manzilah al-dharurah. Selain itu, NU juga meminta agar segera diadakan Pemilu baru. Prinsip lain adalah kaidah; ma la yatimmul wajib illa bihi fa huwal wajib, yang berarti syarat untuk dapat melakukan kewajiban, menjadi wajib itu sendiri. Prinsip-prinsip fiqh tersebut dapat menjelaskan mengapa NU menetapkan Presiden Soekarno sebagai kepala negara Indonesia yang sah. Karenanya Idham Chalid, Ketua NU, menyatakan bahwa Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli adalah sah.101

Banyak pengamat yang memberikan komentar terhadap eksistensi Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno. Mereka meng-anggap Demokrasi Terpimpin sebagai sebuah sistem pemerintahan, suatu percobaan yang agak mirip dengan melukiskan bentuk amuba. Beberapa ilmuwan menyetujui pendapat Soekarno bahwa ini merupakan langkah kembali ke sesuatu yang lebih sesuai dengan masa lalu Indonesia dan khususnya Jawa. Kadang-kadang

analisis-101Beberapa tulisan yang membahas hal tersebut, lihat di antaranya; Abdurrahman Wahid, “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa ini”, dalam Prisma, No. 4, 1984, h. 33; Syaifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 36; Andree Feillard, NU Vis-a-Vis Negara, (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 61.

analisis semacam itu mempunyai ciri determinasi psiko-kultural, seolah-olah arwah Sultan Agung berbisik di telinga Soekarno. Memang benar, dalam beberapa hal, Soekarno mirip seorang raja Jawa dari masa prakolonial. Dia merupakan suatu pusat legitimasi yang diperlukan oleh para pemimpin lainnya.102 Kritik lain juga dikemukakan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif; Butir-butir pidato Soekarno yang disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1959, kedenga-rannya baik-baik saja; tetapi yang repot dengan Soekarno ialah bahwa ia mengatakan satu hal, sementara ia berbuat yang lain.103

Lebih jauh dan keras lagi apa yang dikatakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana terhadap kebijakan Soekarno ini dengan menyatakan; “Posisi Soekarno sebagai Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, yang menguasai kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tidak jauh berbeda dengan kekuasaan absolut raja-raja masa lalu, yang mengklaim sebagai inkarnasi Dewa atau Wakil Tuhan di dunia.104

Menyoroti jalannya Demokrasi Terpimpin, Alfian meng-ungkapkan; di zaman itu kehidupan politik bangsa kita amat diwarnai oleh pertentangan ideologi dan politik yang sangat tajam. Pada waktu itu UUD 1945 tidak berlaku. Meskipun melalui Dekrit Presiden menegaskan resmi kembali ke UUD 1945, realitas politik ketika itu memperlihatkan ketidakkonsekuenan bangsa kita dalam melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Beberapa penyimpangan, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden yang menjurus ke arah otoriterisme dan kehidupan politik yang cenderung bersifat totaliter yang penuh intrik dan suasana saling curiga yang amat tidak sehat.105 Di era Demokrasi Terpimpin kata Gumilar Rusliwa Somantri, Pancasila yang dirujuk sebagai basa-basi. Demokrasi

Ter-103Lihat Ma’arif, Islam dan Pancasila…., h. 186.

104Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia: Social and Cultural Revolution, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1996), h. 173.

105Lihat Alfian, “Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Politik”, dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Peny.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara,(Jakarta:BP-7 Pusat, 1993), h. 205.

pimpin telah menempatkan Soekarno sebagai individu secara sangat kuat.106

Apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai basa-basi tersebut, tentunya dapat dipahami bahwa di era Demokrasi Terpimpin, Soekarno memosisikan diri sebagai seorang yang ber-kuasa dan menjadi tempat bagi setiap orang untuk mendapatkan petunjuk. Oleh karena itu, Soekarno tidak dapat disalahkan. Hal ini dapat diibaratkan raja-raja Jawa zaman dahulu, di mana semua rakyat harus patuh dan tunduk kepadanya. Dengan kata lain, demokrasi sebagai ciri khas pemikiran founding fathers mendirikan negeri ini menjadi tidak berjalan.

Akhirnya, penerapan Demokrasi Terpimpin Soekarno atas dasar formula Nasakom sangat menguntungkan PKI, yang pada gilirannya pada tahun 1965 PKI melancarkan kudeta berdarah, biadab dan sangat keji,107 dalam usahanya yang gagal untuk merebut kekuasaan di Indonesia. Gerakan kudeta ini kemudian dikenal dengan Gestapu atau G 30 S/PKI. Ambisi besar PKI tersebut ter-nyata menjadi bumerang bagi PKI dan terutama Soekarno. Me-nyusul kegagalan kudeta PKI ini, Soekarno pada gilirannya

diturun-106Gumilar Rusliwa Somantri, “Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern”, dalam Nasution dan Agustinus (Peny.), Restorasi Pancasila….,

h. 1.

107Korban yang menjadi kebiadaban PKI adalah 1) Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi), 2) Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat Bidang Administrasi), 3) Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat Bidang Perencanaan dan Pembinaan), 4) Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat Bidang Intelijen), 5), Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/ Panglima Angkatan Darat Bidang Logistik), 6). Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat), 7) Lettu CZI Pierre Tendean (Ajudan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution). Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka baru ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965. Lihat JF. Tualaka (Peny.), Buku Pintar Politik; Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: Great Publisher, 2009), h. 41.

kan dari kekuasaannya, dan merupakan momen strategis muncul-nya pemerintahan Orde Baru.

Berdasarkan urian di atas, bahwa pemaknaan Pancasila pada masa Orde Lama, apalagi pada kurun waktu yang disebut dengan “Demokrasi Terpimpin”, menandakan Pancasila diberikan tafsir secara sepihak oleh pemerintah. Sehingga dengan semangat yang begitu kuat untuk menjadikan Pancasila sebagai payung bagi rakyat Indonesia, ternyata telah diselewengkan dengan cara-cara yang tidak bersesuaian dengan semangat Pancasila itu sendiri. Atau mengutip Fachry Ali, bahwa fakta sejarah menunjukkan, Pancasila pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah penggalinya sendiri belum diterapkan dengan sungguh-sungguh, bukan saja jargon politik yang sering berubah-ubah, melainkan juga sifat pemerintahan yang cenderung otoriter.108