• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3 Sejarah Lahir dan Pemaknaan Pancasila

B. Pemaknaan Pancasila Masa Orde Lama

1. Masa Revolusi (1945-1949)

Walaupun Indonesia telah memproklamasikan kemerdeka-annya, tetapi perlu dipahami bahwa “kabar gembira” tersebut belum sepenuhnya tersiar ke seluruh pelosok negeri ini. Selain itu, Belanda ternyata masih tetap ingin menguasai Indonesia yang terkenal akan kesuburannya. Bagi Belanda tujuannya adalah menghancurkan sebuah negara yang dipimpin oleh orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang dan memulihkan suatu rezim kolonial yang menurut keyakinan mereka telah mereka bangun selama 350 tahun. Rencana ini tentu mendapatkan perlawanan dari kaum revolusio-ner Indonesia, sebab bagi mereka tujuannya adalah untuk meleng-kapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional yang telah dimulai empat pada dasawarsa sebelumnya.

Menurut Ricklefs, usaha Belanda untuk menaklukkan Indonesia telah terjadi selama tiga kali; Pertama, pada abad XVII dan XVIII, telah berakhir dengan penarikan mundur di pihak mereka dalam menghadapi perlawanan bangsa Indonesia serta ketidakcakapan mereka sendiri, sehingga akhirnya mereka dikalahkan oleh Inggris. Kedua, pada abad XIX dan awal abad XX yang telah berakhir dengan dikalahkannya mereka oleh Jepang.

Ketiga, agresi militer Belanda I dan II dengan maksud untuk menaklukkan seluruh wilayah Nusantara.67

Dari percobaan Belanda yang masih ingin menguasai Indo-nesia, setidaknya memberikan dampak positif bagi rakyat Indonesia. Hal ini dapat dilihat di tengah masih lemahnya pemerintahan baru Indonesia, akan tetapi semangat persatuan dalam kebhinekaan semakin terjalin dengan kokoh demi untuk melawan penjajah.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa pada saat merumuskan dasar negara Indonesia telah terjadi tarik-menarik keinginan. Di satu pihak golongan nasionalis Islam ingin men-jadikan Islam sebagai negara, sedang di pihak yang lain yaitu golo-ngan nasionalis sekuler, mengharapkan agar Indonesia tidak

didasari oleh agama tertentu tetapi oleh Pancasila. Dan dalam per-jalanannya, dicapailah kesepakatan bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila.

Selama masa revolusi ini pertentangan antara kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler sedikit mereda, paling tidak untuk sementara waktu bersedia melupakan perbedaan-perbedaan ideologis di antara mereka. Pada masa itu, para pendiri republik merasa bahwa mereka harus menguras seluruh energi dan kemam-puan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.68 Boland menjelas-kan masa ini sebagai suatu periode yang relatif memiliki persatuan dalam perjuangan.69

Meskipun begitu sebagai negara yang berdaulat dalam suatu entitas yang bersatu, saat itu Indonesia masih sangat lemah. Pada tengah malam tanggal 20 Juli 1947, Belanda melancarkan agresi – aksi ini disebut Ricklef sebagai ‘aksi polisional’ – pertama.70 Pasukan mereka bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Jawa Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan di Jawa. Di Sumatera, per-kebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batu bara di Palembang, dan daerah Padang di amankan. Tetapi pihak Amerika dan Inggris yang tidak menyukai ‘aksi polisional’ tersebut menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklu-kan sepenuhnya terhadap Indonesia. Hingga akhirnya Belanda harus menerima imbauan PBB untuk diadakan gencatan senjata. Puncaknya ketika terjadi agresi Belanda kedua pada tanggal 18 Desember 1948, yang merupakan bencana militer maupun

68Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2009), cet. II, h. 98.

69B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, terj. Safroedin Bahar (Jakarta: Grafiti Press, 2002), h. 43.

politik bagi mereka walaupun pada saat itu mereka memperoleh kemenangan dengan mudah, sehingga tanggal 19 Desember, Yogyakarta diduduki. Sampai akhir Desember, semua kota besar di Jawa dan Sumatera telah jatuh ke tangan Belanda. Satu-satunya wilayah besar yang tetap berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia adalah Aceh yang di pimpinan oleh Daud Beureu’eh.71

Melihat aksi tersebut, Dewan Keamanan PBB merasa sangat tersinggung, karena pada saat itu Komite PBB sedang berada di Kaliurang yang letaknya hanya beberapa kilometer saja dari kota Yogyakarta. Dengan hal tersebut martabat, wewenang, serta jasa-jasa baik PBB telah diperlakukan secara tidak pantas oleh Belanda, Amerika pun menjadi berang. Hingga pada tanggal 22 Desember, Amerika menghentikan pemberian bantuan dana kepada Belanda, bahkan di dalam kongres Amerika, tekanan untuk menghentikan bantuan semakin meningkat.

Belanda kemudian menerima imbauan PBB supaya menga-dakan gencatan senjata tanggal 31 Desember 1948 di Jawa dan tanggal 5 Januari 1949 di Sumatera. Dan setelah melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November di Den Haag, akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan secara resmi kedaulatan atas Indonesia dengan dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). 72

Berdasarkan uraian di atas ditemukan bahwa, pada masa revolusi ini kata Pancasila jarang muncul bahkan nyaris tenggelam, sebab tidak banyak tokoh yang menyebut-nyebut Pancasila. Akan tetapi yang sering muncul adalah kata “Kedaulatan Rakyat” bahkan lebih populer. Hilangnya pamor Pancasila pada masa revolusi tentu dapat dipahami, sebab pada saat itu para tokoh nasionalis dari beragam spektrum lebih memusatkan perhatian pada upaya me-menangkan perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan.

Kata Pancasila baru muncul kembali pada tahun 1947 seiring terbitnya buku Lahirnja Pantjasila dengan kata pengantar dari Dr.

71Ibid., h. 347.

Radjiman Wedyoningrat mantan ketua BPUPKI, yang isi pokoknya menyatakan bahwa Soekarno adalah tokoh yang pertama kali me-ngemukakan dasar negara. Namun buku tersebut kalah populer dibanding riuh rendah perjuangan dalam menghadapi agresi Be-landa atau debat mengenai bentuk negara, federal atau Republik.73

Karena “situasi dan kondisi” pada masa ini yang masih terkonsentrasi untuk melawan penjajah, maka tidak banyak pihak yang mempersoalkan ketika rumusan Pancasila mengalami perubahan dalam Pembukaan UUD Republik Indonesia Serikat. Rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Ke-bangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial” kemudian disalin kem-bali dalam pembukaan UUD Sementara tahun 1950. Minimnya reaksi tokoh-tokoh elite nasional saat itu dalam pandangan As’ad Ali, menandakan bahwa Pancasila bukan doktrin pokok yang layak diperdebatkan, sehingga saat terjadi perubahan redaksional, tidak banyak yang mempersoalkannya.74 Toh hanya redaksional Panca-sila dalam UUD RIS dan UUDS 1950 saja yang berubah. Esensinya, sebagaimana diakui Muhammad Yamin, tidak banyak berubah, karena rumusan Pancasila di kedua UUD tersebut diambil dari gagasan-gagasan pokok Piagam Jakarta.75

Hal ini disetujui Marsilam Simanjuntak, bahwa ketiga kon-sep Pancasila di dalam tiga UUD yang pernah berlaku di Indonesia adalah sama. Sebab bila dianggap berbeda, niscaya ada tiga negara

73Lihat As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009), h. 20.

74Ibid., h. 21.

75Mohammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 99. Sejak Proklamasi Kemerdekaan, di Indonesia telah diterapkan tiga buah konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan UUDS 1950. Konstitusi RIS berlaku dari tanggal 27 Desember 1949 sampai 18 Agustus 1950. UUDS 1950 berlaku dari tanggal 18 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. UUD 1945 berlaku di seluruh wilayah Indonesia dalam dua kurun waktu; pertama, antara tahun 1945 sampai 1949, kedua, sejak 5 Juli 1959 hingga sekarang. Lihat Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1990), edisi ke-4, Jilid VI, h. 122.

berbeda yang pernah didirikan. Ada semacam diskontinuitas se-hingga dalam sejarah Indonesia pernah terjadi tiga kali pembentu-kan negara yang terpisah satu sama lain. Konsekuensi demikian jelas membingungkan dari sudut ketatanegaraan.76

Masa lima tahun pertama usia Republik yang baru itu ditandai hasrat bersama yang kuat untuk mempertahanan kesatuan dan keutuhan wilayah. Ali Haidar menerangkan bahwa, inilah salah satu faktor mengapa para pemimpin Islam rela mengorbankan tuntutannya menghapuskan tujuh kata dan pasal lain yang ber-kaitan dengan itu yang sudah dicapai dengan susah payah dan diterima kalangan nasionalis sebagai suatu kompromi.77 Hasrat yang demikian selain bagi golongan Islam sendiri, pada tingkat tertentu juga tercermin antara golongan Islam dan nasionalis, mereka dalam banyak hal memiliki persamaan, walaupun tidak dipungkiri ada perbedaan-perbedaan. Sudah tentu juga terjadi insiden lain yang kadang-kadang menimbulkan persaingan sengit untuk memperebut-kan pengaruh dalam menyelesaimemperebut-kan persoalan, khususnya dalam menghadapi Belanda. Salah satu konflik yang timbul yaitu setelah perjanjian Renvile pada awal 1948 dengan gerakan Darul Islam, dan disusul pemberontakan komunis di Madiun.78

Walaupun terjadi insiden yang menegangkan, kurun lima tahun pertama dapat dianggap suatu periode yang relatif memiliki daya tarik persatuan yang kuat untuk mempertahankan negara proklamasi yang merdeka.