• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3 Sejarah Lahir dan Pemaknaan Pancasila

B. Pemaknaan Pancasila Masa Orde Lama

2. Masa Liberal (1950-1959)

Setelah terbebas dari agresi militer Belanda, Indonesia akhirnya betul-betul merdeka, setidaknya dalam pengertian hukum

76Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, (Jakarta: Grafiti, 1994), h. 37.

77 Haidar, Nahdatul Ulama….., h. 256.

78Tentang gerakan Darul Islam dan komunis di Madiun dapat dilihat pada Mohammad Hatta, Memoriam, h. 503-531. Juga Effendy, Islam dan Negara…., h. 103-106.

Internasional, sehingga bisa menentukan prospek masa depannya sendiri. Pada tahun 1950, di kalangan para pemimpin Indonesia, ada suatu kesepakatan bahwa negara yang ingin diciptakan ke adalah adalah negara demokrasi. Maka pada tahun itu juga, para elite politik membentuk suatu sistem parlementer yang berkiblat pada sistem demokrasi banyak partai di negeri Belanda. Kabinet bertanggung jawab kepada suatu parlemen atau majelis (Dewan Perwakilan Rakyat) yang anggotanya mencerminkan apa yang dianggap sebagai kekuatan-kekuatan partai.79 Pada masa ini, terkesan adanya percobaan demokrasi di mana sampai tahun 1957 telah terjadi jatuh bangun kabinet sebanyak tujuh kali,80 sehingga hal itu mengganggu stabilitas nasional, terlebih lagi dengan banyak-nya pertentangan di antara partai-partai yang diakibatkan oleh pengekspresian ideologi politik yang berbeda-beda.

Sebenarnya, salah satu agenda terpenting dari kabinet-kabinet tersebut pasca kemerdekaan adalah menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk parlemen majelis konstituante. Seperti kabinet Sjahrir yang akan melaksanakan Pemilu pertama pada awal Januari 1946, tetapi karena situasi revolusi (1945-1949) tidak me-mungkinkan untuk melaksanakan hal tersebut. Begitu juga dengan ketika kedaulatan negara diserahkan Belanda ke RI, maka setiap kabinet menjadikan mengagendakan pelaksanaan Pemilihan Umum untuk menyusun Majelis Konstituante. Baru pada kabinet Burhanuddin Harahap Pemilihan Umum pertama berhasil

diseleng-79 Ricklefs, Sejarah Indonesia…., h. 363.

80Kabinet-kabinet tersebut adalah: 1) Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) yang berintikan Masyumi dengan dukungan PSI; 2) Kabinet Sukiman Wirosandjojo (April 1951-Februari 1952) yang berhasil membentuk koalisi antara PNI dan Masyumi; 3) Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953) terjadi ketidakharmonisan antara PNI dan Masyumi; 4) Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955) merupakan kabinet PNI yang didukung oleh NU; 5) Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956) merupakan kabinet yang mendapat dukungan dari Masyumi, PSI dan NU; 6) Kabinet Ali Sastroadmidjojo II (Maret 1956-Maret 1957) membentuk koalisi PNI-Masyumi-NU sehingga tidak tergantung dengan PKI; 7) Kabinet Juanda Kartawidjaja (April 1957-Juli 1959) yang dibentuk oleh Soekarno, merupakan koalisi PNI dan NU. Ibid., h. 363-389.

garakan yaitu pada 29 September 1955. Dalam pandangan banyak kalangan dan pengamat, Pemilu tersebut merupakan Pemilu yang relatif “paling bersih”.81

Pemilu tersebut menghasilkan anggota Majelis Konstituante dengan perolehan suara 23,3 % bagi PNI, Masyumi 20,9%, NU 18,4 %, dan PKI 16,4 %. Meskipun hasil dari Pemilu tersebut tidak satu pun partai yang memenangkan secara mutlak, akan tetapi dari segi perolehan suara PNI-lah sebagai pemenangnya, maka PNI menggantikan posisi Masyumi sebagai partai berkuasa di massa Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.

Setelah dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1956, Majelis Konstituante mulai bekerja. Soekarno menyampaikan Pidato pembukaan di depan Majelis Konstituante dengan judul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica”. Pidato ini menurut Ma’arif pada prinsipnya meminta dengan sangat agar majelis mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh gagasan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagaimana yang telah dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Diharapkan bilamana usul tentang kembali kepada UUD 1945 itu disetujui, perdebatan sengit tentang dasar negara akan dapat diakhiri.82 Setelah menyam-paikan pidato di atas, Soekarno pergi ke luar negeri sambil mening-galkan di belakangnya kegaduhan politik dan perdebatan hangat dalam Majelis.83

Kegaduhan yang dimaksud adalah terkait dengan pem-bahasan tentang dasar negara Republik Indonesia. Pada mulanya ada tiga usul yang dikemukakan sebagai dasar negara, yaitu Pancasila, Islam, dan Sosial Ekonomi. Alternatif pertama didukung oleh PNI,

81Taufik Abdullah, “Prolog: Senjakala Islam Dalam Kepolitikan Indonesia”, dalam Irsyad Zamjani, Sekularisasi Setengah Hati; Politik Islam Indonesia dalam Periode Formatif,(Jakarta: Dian Rakyat, 2010), h. xxx.

82Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 2006), cet. I, Edisi Revisi, h. 181.

83Ide Anak Agung Gde Agung, Twenty Years of Indonesian Foreign Policy; 1945-1965, (The Hague: Mouton & Co., 1973), h. 277.

PKI, Parkindo, PSI, dan partai-partai kecil dengan jumlah suara 273 suara. Alternatif kedua didukung oleh Masyumi, NU, PSII, Perti dan sejumlah partai kecil dengan jumlah suara 230. Sementara alternatif ketiga oleh Partai Murba dan Partai Buruh dengan 9 suara.

Dengan jelas terlihat bahwa sampai pada sidang kons-tituante, dua kekuatan besar yang pernah ada pada saat sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan yaitu kelompok Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler, masih tetap mendominasi dalam pertarung-an mengenai dasar negara Indonesia. Sedpertarung-angkpertarung-an kelompok ypertarung-ang mengusulkan sosial ekonomi sebagai dasar negara, tidak muncul ke permukaan, karena hanya didukung oleh suara yang sedikit.

Mulai dari sinilah kemudian timbulnya perdebatan sengit yang berlarut-larut yang memakan waktu belasan bulan tanpa menghasilkan sesuatu keputusan. Roeslan Abdulgani menyatakan; “Konstituante dengan jumlah anggota 600 orang itu kemudian terlibat dalam perdebatan yang bertele-tele, belasan bulan lamanya, tanpa hasil konkret sedikit pun”.84 Sehingga dalam pidatonya pada tanggal 21 Februari 1957, Presiden Soekarno menganjurkan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.

Respons terhadap anjuran Presiden tersebut pun bermuncul-an; kelompok Nasionalis Islami mengajukan syarat dapat menerima anjuran tersebut, asalkan tujuh kata yang terdapat dalam Piagam Jakarta, dikembalikan lagi. Sedangkan kelompok Nasionalis sekuler, dapat menerima anjuran tersebut tanpa syarat sedikit pun. Dengan adanya dua macam respons tersebut, menjadikan anjuran Presiden tidak dapat diterima secara aklamasi. Akhirnya tanggal 30 Mei 1959 dilakukan pemungutan suara terhadap usul pemerintah “kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 tanpa perubahan”. Hasilnya menunjukkan bahwa dari jumlah anggota yang hadir pada waktu itu, yaitu 474 anggota, 269 mendukung dan 199 menolak. Dengan

84Roeslan Abdulgani, “Mengenang 20 tahun Dekrit Presiden: Kembali ke UUD 45 (5 Juli 1959-5 Juli 1979)”, dalam Kiblat, No. 4, Tahun XXVII, Juli 1979, h. 24.

demikian tidak tercapai jumlah 2/3 dari seluruh yang hadir sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Pasal 37. Sesuai dengan tata tertib Konstituante, maka dilakukan pemungutan suara untuk yang kedua kalinya, hasilnya; 263 setuju dan 204 menolak.85 Keesokan harinya Konstituante mengadakan reses.

Dengan hasil pemungutan suara yang demikian, dan muncul pula anggapan sebagian pihak dapat membahayakan kesatuan bangsa dan negara, karena telah dilaksanakan dalam kurun waktu lebih kurang dua tahun. Oleh sebab itu Soewirjo mengirim surat kepada Presiden Soekarno (yang ketika itu berada di Jepang), agar supaya Presiden mendekritkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan membubarkan Konstituante.86 Kegiatan sidang Konstituante yang semula dijanjikan akan dilanjutkan setelah masa reses, ternyata berakhir untuk selamanya dengan keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.87

Kegagalan Konstituante dalam menyelesaikan masalah paling mendasar itu membuahkan kekecewaan, Soekarno barang-kali satu di antaranya. Dalam pidato 17 Agustus 1959, Soekarno mengatakan:

“Saya tadinya benar-benar mengharap, konstituante mampu menyelesaikan soal yang dihadapinya. Tetapi apa kenyataannya? Konstituante ternyata tak mampu menyelesaikan soal yang dihadapinya. Konstituante ternyata tak mampu menjadi penyelamat revolusi. Maka karena kegagalan konstituante itu,

85Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional VI, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976), h. 102.

86Ibid., h. 103.

87 Muhammad, Multi Interpretasi…., h. 168. Setidaknya ada empat alasan pertimbangan dikeluarkannya dekrit tersebut, yaitu; 1) Konstituante tidak dapat mengambil keputusan mayoritas dua pertiga suara; 2) Kebanyakan anggota Konstituante menolak menghadiri rapat-rapat lebih lanjut; 3) Telah timbul situasi yang membahayakan bagi keselamatan dan kesejahteraan negara; 4) Adanya dukungan sebagian besar rakyat. Lihat Darmaputra, Pancasila….., h. 112.

demi kepentingan nusa dan bangsa, demi keselamatan revolusi, saya pada tanggal 5 Juli yang lalu mengeluarkan dekrit….”.88

Bagi sebagian kelompok – terutama kelompok modernis – tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit tersebut merupakan tindakan semena-mena dan cenderung menggunakan kekuasaan. Akan tetapi NU – yang oleh pengamat dianggap sebagai kelompok tradisionalis – memandang, tindakan tersebut adalah sah, karena NU dengan pendekatan fiqhnya memandang Soekarno sebagai

waliy al-amr al-dharuriy bi al-syawkah (pemegang kekuasaan temporer dengan kekuasaan penuh).89

Bahasan pada buku ini tidak untuk terlibat dalam berbagai polemik yang muncul, misalnya ada kalangan yang menyoroti dan menyoal konsiderasi Dekrit tersebut yang berbunyi “…bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Berdasarkan konsideran tersebut, maka ada semacam usaha-usaha untuk tetap menegakkan syariat Islam di negara Indonesia sebagai perjuangan yang tiada akhir, atau berbagai macam interpretasi lainnya yang pada intinya adalah untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Dengan keluarnya Dekrit Presiden tersebut, maka tugas Konstituante berakhir sebelum berhasil mempersembahkan karya yang sangat diharapkan, karena Soekarno telah mencabut “izin operasionalnya”.

Dari dua masa di atas yaitu masa revolusi dan masa liberal menurut Fachry Ali, sepanjang sejarah politik Indonesia, tidak ada data yang memberikan kepuasan penjelasan tentang penerapan Pancasila dengan sungguh-sungguh. Sulit menyatakan bahwa

88"Penemuan Kembali Revolusi Kita”, Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Jakarta, 17 Agustus 1959.

89Pengambilan keputusan ini dilaksanakan pada Konferensi Nasional para Ulama yang di sponsori oleh Menteri Agama Kyai Masykur – tokoh NU – pada tahun 1954. Lihat Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren,(Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 425. Lihat juga Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani; Gagasan, Fakta dan Tantangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 141.

periode 1945-1959 yang disebut sebagai masa politik parlementer adalah penerapan Pancasila.90 Argumentasi tersebut menjelaskan bahwa Pancasila dalam periode tersebut belum dijalankan sebagai-mana mestinya. Pancasila laksana hiasan yang di letakkan dalam sebuah etalase rumah tangga dan fungsinya hanya sebagai penyedap pandangan mata.