• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3 Sejarah Lahir dan Pemaknaan Pancasila

B. Perkembangan Masyarakat Madani

Sebagai sebuah konsep, masyarakat madani (civil society) berasal dari proses sejarah masyarakat Barat. Akar perkembangan-nya dapat dirunut mulai dari Cicero dan bahkan lebih ke belakang lagi, yakni sampai ke Aristoteles. Tetapi dalam catatan Hikam, Cicerolah yang memulai menggunakan istilah societes civilis dalam filsafat politiknya.32 Cicero33 menyebut masyarakat madani sebagai masyarakat politik (political society) yang memiliki kode-kode hukum tertentu yang mengatur hidup bersama dan pergaulan hidup antar individu. Hukum yang mengatur pergaulan antar individu merupa-kan tanda dari keberadaan suatu masyarakat tertentu. Konsep Cicero mencakup kondisi individu maupun masyarakat secara ke-seluruhan yang memiliki budaya hidup kota dan menganut norma-norma kesopanan tertentu. Dalam kehidupan kota, warga masya-rakat hidup di bawah hukum sipil (civil law) sebagai dasar yang mengatur kehidupan bersama.34

Sebutan masyarakat politik (political society) yang berasal dari Cicero tersebut, mengindikasikan adanya hukum yang mengatur

31Hikam, Demokrasi…., h. 3

32Ibid., h. 1.

33Nama lengkapnya adalah Marcus Tillus Cicero hidup pada tahun 106-43 SM, ia adalah seorang orator dan pujangga Roma yang hidup dalam abad pertama sebelum Kristus.

pergaulan antar individu menandai keberadaan suatu jenis masya-rakat tersendiri. Pengertian ini erat kaitannya bahkan merupakan bagian dari konsep tentang bangsa atau warga Romawi yang hidup di kota-kota yang memiliki kode hukum (ius civile) yang merupakan ciri dari masyarakat atau komunitas politik yang beradab (civilized political community) berhadapan dengan warga di luar Romawi yang dianggap belum beradab.35

Konsep masyarakat madani memang tidak bisa dipisahkan dari pemikiran tentang negara-kota (city-state) Yunani kuno. Namun ada sedikit perbedaan, istilah masyarakat madani yang dipergunakan Aristoteles merujuk pada koinia politike (terjemahan Latin societas civilis) berlatar pandangan hidup warga Yunani yang lebih menekan-kan kolektivitas, sedangmenekan-kan konsep masyarakat madani Cicero disebut didasarkan pada pandangan warga Romawi yang sangat menjunjung individualitas.36

Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18, pengertian civil society

dianggap sama dengan pengertian negara (the state), yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masya-rakat lain. Barulah pada paruh abad ke-18 terminologi masyamasya-rakat madani secara perlahan-lahan mengalami perubahan, karena konsep masyarakat madani telah dikaitkan dengan negara, sebagai-mana yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778).

Inti dari pemikiran dari Hobes, Rousseau, dan Locke adalah tidak membedakan antara masyarakat madani (civil society), masyarakat politik (political society), dan negara (state) sebagai domain politik yang terpisah. Rousseau dan Locke menghendaki suatu bentuk masyarakat beradab sebagaimana yang dicita-citakan oleh Aristoteles dan Cicero, yaitu tatanan masyarakat yang menjamin segala kehidupan anggota di bawah suatu tertib hukum atau negara

35 Rahardjo, Masyarakat Madani…., h. 137.

36Ridwan dan Nurjulianti (ed.), Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia; Sebuah Laporan dari Penelitian dan Seminar, (Jakarta: LSAF dan The Asia Foundation, 1999), h. 23.

beradab (demokratis). Term masyarakat politik (political society) itu sendiri merupakan hasil dari suatu perjanjian kemasyarakatan (social contract), yaitu suatu konsep yang ditawarkan oleh Rousseau.

Sedangkan menurut Hobes, masyarakat madani yang identik dengan negara merupakan wujud dari kekuasaan absolut. Karenanya masyarakat madani hadir untuk meredam konflik dan mencegah masyarakat agar tidak jatuh chaos dan anarki. Untuk mengontrol dan mengawasi perilaku politik warga, masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak.37 Artinya, dalam konsep Locke dan Rousseau belum dikenal perbedaan antara masyarakat madani dan negara. Karena negara, lebih khusus lagi pemerintah, adalah merupakan bagian dan salah satu bentuk masyarakat madani. Bahkan keduanya beranggapan bahwa masyarakat madani itu adalah pemerintahan sipil, yang membedakan diri dari masyarakat alami atau keadaan alami.38

Pada tahapan selanjutnya, konsep masyarakat madani mengalami pergeseran makna. Masyarakat madani pada fase ini tidak lagi diidentikkan dengan masyarakat politik (negara). Akan tetapi, masing-masing berdiri terpisah, otonom, bahkan berlawan-an. Adam Ferguson misalnya, adalah orang yang memisahkan kedua entitas tersebut, dan melihat masyarakat madani sebagai hasil dari pergeseran peradaban dari masyarakat primitif-kasar menjadi masyarakat yang halus dan beradab yang ditandai oleh kemajuan akal-budi, pengetahuan, teknologi, dan industri.39 Masyarakat madani dalam perspektif Ferguson merupakan masyarakat yang cukup kuat untuk mengimbangi peran negara serta dapat meng-hindar dari dominasi dan despotisme negara.

Pemikiran lain yang menganggap perlu pemisahan masya-rakat madani vis-a-vis negara dikemukakan oleh Adam Smith yang

37Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik di Barat,(Bandung: Mizan, 1997), h. 105.

38Lihat Rahardjo, Masyarakat Madani…., h. 142. Lihat juga Rahardjo, “Sejarah Agama dan Masyarakat Madani”, dalam Usman dkk. (ed.) Membongkar…..,

h. 18.

memasukkan kerangka ekonomi-politik dalam konsep masyarakat madani. Masyarakat madani adalah sekelompok individu yang penuh dengan kebajikan dan mampu mengatur diri sendiri; memiliki self regulating dari segi ekonomi. Karena peran dominan negara terhadap masyarakat dapat membawa negatif, maka peran negara harus dibatasi supaya tidak masuk dan mengintervensi masyarakat madani.40

Pemikiran serupa juga dikemukakan oleh Thomas Paine dan dikembangkan oleh Immanuel Kant. Paine menganggap kekuasaan negara harus dibatasi (reduksi kekuasaan), karena suatu keniscayaan buruk (necessary evil) belaka. Dengan membatasi kekuasaan atau campur tangan negara, maka setiap individu dalam masyarakat madani dapat berinteraksi secara kompetitif dan membangun solidaritas timbal balik untuk mencapai tujuan bersama. Di sisi lain, negara menurut Paine akan legitimated, jika dibentuk melalui persetujuan eksplisit individu, dan ini berbentuk persetujuan aktif secara konstitusional yang dicapai dan dipertahankan melalui mekanisme perwakilan atau parlemen. Negara lanjut Paine, tidak mempunyai hak, melainkan hanya memiliki kewajiban terhadap warga negara.41 Dengan begitu, negara secara otomatis akan memperoleh legitimasi dari masyarakat madani.42

Fase selanjutnya adalah pemikiran Hegel. Masyarakat madani menurut Hegel, bukanlah satu-satunya yang dibentuk dalam perjanjian kemasyarakatan (social contract). Dengan perkataan lain, masyarakat madani adalah satu bagian saja dari tatanan politik, sedangkan bagian lain dari tatanan politik adalah negara (state). Karena itu yang dimaksud dengan masyarakat madani dalam pe-mikiran Hegel adalah perkumpulan merdeka antara seorang yang membentuk apa yang disebutnya dengan burgerlische Geseelschaft

atau masyarakat borjuis (bourgeois society). Sedangkan hubungan

40Ibid., h. 139.

41 Culla, Masyarakat Madani…..,h. 90.

42Ryas Rasyid, “Belum Terbentuk Civil Society di Indonesia”, dalam

antara negara dan masyarakat madani tidak bersifat independen. Entitas masyarakat madani yang disebutnya masyarakat borjuis itu akan sangat berbahaya, jika dibiarkan tumbuh tanpa diawasi. Me-nurut Hegel, akan tumbuh anarki jika masyarakat madani tidak di kontrol.

Hegel memetakan gagasan masyarakat madani pada tiga ranah; famili, masyarakat madani, dan negara. Famili merupakan wilayah pribadi yang ditandai oleh hubungan individual yang harmonis dan menjadi tempat sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat. Sedangkan masyarakat madani merupakan ruang bagi pemenuhan kepentingan-kepentingan individu dan kelompok, terutama kepentingan ekonomi. Bagi Hegel, masyarakat madani bukanlah arena bagi praksis politik, karena itu adalah wilayah negara. Adapun negara merupakan representasi dari ide universal yang melindungi kepentingan politik warganya dan karenanya ia memiliki hak penuh melakukan intervensi terhadap masyarakat madani.43 Suatu pemikiran yang tentunya sangat sulit untuk diterima, terutama di zaman modern ini di mana independensi, kebebasan dan hak-hak asasi individu sangat dijunjung tinggi.

Pemikiran Hegel ini diikuti oleh Karl Marx yang melihat masyarakat madani sebagai masyarakat Borjuis. Masyarakat borjuis bagi Marx mencerminkan sistem kepemilikan modern yang ber-muatan nilai materialisme yang kasar, di mana setiap orang memen-tingkan diri sendiri, dan setiap orang berjuang untuk melawan orang lain. Dalam masyarakat borjuis, kedudukan individu lebih diutamakan.

Meskipun begitu, Marx tidak mengidealisasikan negara sebagaimana Hegel. Karena baginya, negara tak lain adalah badan pelaksana kepentingan kaum borjuis. Adalah suatu ironi kata Marx, bahwa negara yang diidealisasikan sebagai wadah nilai-nilai uni-versal, moral dan cita-cita kemasyarakatan, ternyata hanya melayani kepentingan manusia secara parsial, yakni individu-individu yang

mengejar kepentingan diri sendiri secara serakah dan terpisah dari kepentingan umum. Karenanya lanjut Marx, negara harus dihapus-kan, atau diruntuhkan oleh kelas buruh.

Kedua konsep atau pandangan yang dikemukakan oleh Hegel dan Marx, ternyata belum bersesuaian dengan cita-cita masya-rakat madani yang sesungguhnya, sebab di satu sisi – pandangan Hegel – masa depan masyarakat madani akan runtuh, jika negara telah mampu mengayomi seluruh kepentingan masyarakat. Dalam bahasa lain, menurut Hegel masyarakat madani harus dikendalikan dan menjadi alat kepentingan negara. Sedangkan di sisi lain – pandangan Marx – jika masyarakat madani telah kuat, maka negara harus dihapuskan. Akan tetapi yang dimaksud oleh Marx tentang masyarakat madani yang kuat adalah kelas borjuis, sehingga me-nafikan rakyat miskin, kelas bawah atau yang disebut sebagai kaum proletar. Sehingga bagaimanapun juga konsep tersebut akan me-munculkan persoalan, karena mengabaikan dimensi kemandirian, solidaritas dan egaliterisme yang menjadi inti dari masyarakat madani.

Namun Antonio Gramsci – pemula komunisme Eropa dan seorang Marxis yang berkebangsaan Italia – menolak konsep yang dipersepsikan oleh Hegel terutama lagi Marx. Masyarakat madani menurut Gramsci bukanlah arena ekonomi, sebagaimana Hegel dan Marx, tetapi arena sarat dengan pergulatan politik. Dengan kata lain, Gramsci melihat sifat kemandirian dan politis masyarakat madani. Masyarakat madani bukan semata-mata mewadahi kepentingan individu, tetapi di dalamnya juga terdapat organisasi-organisasi yang berusaha melayani kepentingan orang banyak. Masyarakat madani juga memiliki potensi untuk bisa mengatur dirinya sendiri secara rasional dan mengandung unsur kebebasan.44

Pemikiran lain yang berbeda dengan konsep Hegel namun memiliki kesamaan dengan Thomas Paine, dikemukakan oleh

se-44 Rahardjo, Masyarakat Madani…., h. 143. Bandingkan dengan Keith Faulks, Sosiologi Politik, terj. Helmi Mahadi dan Shohifullah (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 59.

orang penulis sekaligus ahli politik Prancis yaitu Alexis de Tocqueville. Masyarakat madani menurut Tocqueville bukan sub-ordinat negara, tetapi merupakan suatu entitas yang keberadaannya dapat menerobos batas-batas kelas, memiliki kapasitas politik cukup tinggi, dan bisa menjadi kekuatan pengimbang terhadap kecende-rungan intervensionis negara. Oleh karena itu, masyarakat madani akan mampu melakukan kritik dan mengontrol negara yang cenderung despotik. Interaksi asosiasi-asosiasi bebas dan mandiri yang mampu mengimbangi kekuasaan negara itu disebut Tocqueville sebagai independent eye of civil society.45

Menurut Hikam, gagasan masyarakat madani ala Tocqueville itulah yang kemudian diangkat sebagai paradigma alternatif oleh para aktivis pro-demokrasi di penghujung abad ke-20, ketika rezim-rezim totaliter komunis dan otoriter kapitalis mulai kehilangan legitimasinya dan mengalami krisis sistemik. Pangkal penyebab dari hal itu adalah kegagalan sistem-sistem tertutup dalam memberi peluang kepada warga negara untuk terlibat dalam ruang politik. Kontrol masyarakat terhadap penguasa tidak diperkenankan dan bahkan hak-hak asasi manusia pun dibungkam. Sistem totaliter tersebut menafikan kodrat manusia sebagai makhluk yang mandiri, plural dan memiliki harga diri (dignity).46

Dengan paradigma masyarakat madani seperti itulah diusaha-kan mengembalidiusaha-kan harkat dan martabat warga negara sebagai pemilik kedaulatan dan demokrasi sebagai sistem politik yang mampu menjamin partisipasi mereka secara terbuka. Dalam masyarakat madani setiap kecenderungan partikularisme dihindari namun ia juga menolak totalisme dan uniformisme. Ia menghargai kebebasan individu namun menolak anarki; ia membela kebebasan berekspresi tetapi pada saat yang sama menuntut tanggung jawab etik; ia menolak intervensi negara, tetapi tetap memerlukan negara sebagai pelindung dan penengah konflik, baik internal maupun eksternal.47

45 Chandhoke, Benturan Negara…., h. 161.

46Hikam, Demokrasi…., h. 226.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipilah tiga macam visi tentang hubungan masyarakat madani dan negara. Pertama, kehadiran masyarakat madani hanya bersifat sementara dalam perkembangan masyarakat. Karena kecenderungan untuk rusak dari dalam, maka pada akhirnya masyarakat madani akan di koop-tasi oleh negara. Kedua, karena negara hanya cerminan saja dari masyarakat madani dan berfungsi melayani individu yang serakah, maka negara akan diruntuhkan atau runtuh dengan sendirinya dalam suatu revolusi proletar. Jika negara lenyap, maka yang tinggal hanya masyarakat, yakni suatu masyarakat tanpa kelas. Ketiga, visi yang melihat bahwa masyarakat madani tidak saja bisa menjadi benteng kelas yang memegang hegemoni, dalam hal ini kelas borjuasi, tetapi bisa pula menjalankan fungsi etis dalam mendidik masyarakat dan mengerahkan perkembangan ekonomi yang mela-yani kepentingan masyarakat. Di lain pihak, masyarakat madani sendiri juga terdiri dari organisasi-organisasi yang melayani kepen-tingan umum, atau memiliki rasionalitas dan mampu mengatur dirinya secara bebas. Bisa terjadi keduanya saling mendukung, dalam arti buruk maupun baik dari segi kepentingan umum.48

Selain itu, teori masyarakat madani dalam kerangka yang lebih luas di kemukakan oleh Jean-Louis Cohen dan Andrew Arato. Bagi keduanya, masyarakat madani setidaknya memiliki empat karakter, yaitu otonomi (autonomy); wilayah publik yang bebas (a free public sphere); wacana publik (public discourse); dan interaksi berdasarkan prinsip-prinsip kewarganegaraan (citizenship).49 Menu-rut Cohen dan Arato, pandangan yang menekankan perbedaan dan hubungan dikotomis antara domain masyarakat madani dan domain negara sesungguhnya sangat menyederhanakan masalah, karena terdapat dua domain lain yang tidak kalah penting, yaitu masyarakat politik (political society) dan masyarakat ekonomi (

eco-48Rahardjo, Masyarakat Madani…..,h. 144.

49Lihat Jean-Louis Cohen dan Andrew Arato, Civil Society and Political Theory, (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1992), h. 46.

nomic society).50 Pendekatan dikotomis masyarakat madani dan negara menafikan interaksi di antara masyarakat madani dengan masyarakat ekonomi dan masyarakat politik. Sebagai sebuah gagas-an, masyarakat madani merupakan basis kritis terhadap demokrasi-liberal maupun diktator-otoriterianisme. Dengan kata lain, entitas masyarakat madani berperan sangat menentukan dalam pertum-buhan demokrasi di suatu negara.

Tentang ragam konsep masyarakat madani dapat digambar-kan sbb: -* $$ & . / . & . ' ) / . * 0 & / . , 1 " 2 & / 3

Diadaptasi dari Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society...., hlm. 55.

Dari semua perspektif yang telah dikemukakan, penulis beranggapan dan memandang yang paling cocok untuk memahami realitas politik pada negara berkembang seperti Indonesia, adalah perspektif yang mendikotomisasi antara masyarakat madani dan negara. Dikotomisasi tersebut tidaklah berarti bahwa antara keduanya tidak memiliki hubungan sama sekali apalagi saling berhadap-hadapan secara antagonis. Hal ini dimaksudkan pada pengertian di mana keduanya memiliki otonomi dan independensi, tetapi keduanya juga saling membutuhkan. Dengan kata lain, masyarakat madani hanya mungkin ada dalam sebuah negara, atau

meminjam istilah Nurcholish Madjid “tidak mempunyai makna apa-apa membicarakan masyarakat madani, tanpa negara yang tangguh”.51 Dan negara – jika betul-betul kembali ke asal-usulnya yakni dibentuk oleh masyarakat – harus mengayomi dan mem-berikan kebebasan kepada warganya untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat secara adil. Dengan kata lain, masya-rakat madani hanya akan terwujud dalam sebuah negara, dan negara akan dapat menjalankan fungsinya dengan sesungguhnya jika masyarakat madani turut pula berkembang di dalamnya.