• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUA KERAJAAN JAWA A. Gambaran Umum Geohistoris Politik Nusantara

I. Latar Belakang Berdiri Kerajaan Majapahit

3. Masa Kehancuran Majapahit

Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada tahun 1478, dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi yang berarti tahun 1400 Jawa. Keruntuhan Majapahit ini membuat daerah pantai seperti, Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara dan Kudus menyatakan diri lepas dari kekuasaan Majapahit.53

Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa terdapat banyak motif kehancuran Majapahit diantaranya : Pertama, keadaan-keadaan dalam negeri, yaitu : a. Timbulnya perang saudara memperebutkan kekuasaan, yang paling terkenal adalah terjadinya perang Paregreg.; b. Pemerintah raja yang lemah; c. Beberapa raja melepaskan diri dari Majapahit. Kedua, masalah ekonomi, yaitu : a. Kemunculan kota Malaka yang mengambil perdagangan Sriwijaya dan Majapahit, hingga kota tersebut menjadi pusat perdagangan seluruh nusantara; b. Segala macam perdagangan tidak dapat dikuasai lagi oleh Majapahit sendiri dan jatuh ke tangan pihak lain; c. Kota perdagangan di Jawa tidak mendapat perlindungan dari Majapahit lagi, oleh karena itu mereka mencoba berdiri sendiri.54 Umar Hasyim menambahkan bahwa perkembangan Islam termasuk salah satu awal kehancuran Majapahit.55

Dalam penelitiannya tentang jaringan ulama di Kendal, Ismawati menggambarkan lebih kategoris keruntuhan Majapahit sebagai negara Maritim

53

Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga., h. 52-53.

54

Ibid., h. 54 55

Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, (Kudus: Menara, t.t.), h. 34-35

disebabkan oleh beberapa aspek sosial politik, ekonomi, dan keagamaan sebagai berikut56 :

1. Aspek Sosial Politik :

a. Perang saudara Paregreg menyebabkan kerajaan maritim Majapahit mundur secara mencolok, kini armada lautnya tidak mampu lagi menguasai wilayah-wilayah luar Jawa secara efektif. Munculnya berbagai kemelut internal dan eksternal, seperti pemerintahan Liang Tau-Ming yang didukung para petualang dan bajak laut Cina membuat pemerintahan Majapahit semakin tidak mampu lagi mengendalikannya.

b. Kemerosotan kekuasaan Majapahit mengakibatkan penciutan wilayah dan runtuhnya kewibawaan. Kekuasaan Majapahit di Jawa hanya tinggal inti kekuasaan sembilan kadipaten, yaitu: Kahuripan, Daha, Wengker, Lasem, Matahun, Pajang, Pamanahan, Wirabumi, dan Trowulan. Masing-masing kadipaten itu dikuasai keluarga raja sebagai bupati, dibantu patih atau Amangkubumi.

2. Aspek Ekonomi

a. Sementara armada laut Majapahit mengalami kemunduran, pedagang muslim telah tumbuh sebagai kekuatan baru menggantikan kedudukan pedagang non-muslim. Pedagang muslim tersebar di pesisir utara Jawa dan menjadikan pelabuhan-pelabuhan pesisir utara Jawa sebagai pangkalan, tempat pelaut membeli air dan perbekalan untuk masa pelayaran yang panjang.

56

Ismawati, Continuity And Change ; Tradisi Pemikiran Islam di jawa Abad XIX – XX,

(Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2006), h. 46-49

b. Akibat mundurnya kekuatan maritim Majapahit, terjadilah perubahan arus perdagangan. Keberadaan pedagang asing muslim yang tinggal di pesisir utara Jawa sejak abad ke-11 sebagai komunitas kecil, menjadi semakin berkembang pengaruhnya. Mereka menguasai perdagangan di pelabuhan-pelabuhan sepanjang pesisir utara Jawa, tempat penimbunan komoditi beras ekspor yang akan dikulak para pedagang asing. Keberadaan pedagang asing muslim memperoleh dukungan para petani yang selama ini tidak memperoleh peluang untuk terlibat pada sirkulasi beras dan komoditi lainnya. Para petani sangat mengharapkan keberadaan pedagang asing muslim itu dapat mengakhiri kondisi ketertindasan dan kemiskinan mereka.

3. Aspek Keagamaan

a. Praktik upacara Syiwa-Budha yang disebut Thantra Bhairawa telah berkembang luas pada masa itu. Upacara ini dilakukan dengan Ma-jima, yaitu: melakukan makan mamsha (daging) dan matsya (ikan) sebanyak-banyaknya, meminum madya (minuman keras dicampur darah musuhnya) sepuas-puasnya, melaksanakan maithuna (persetubuhan) dengan lawan jenis sebanyak-banyaknya dan melaksanakan mudra (semedi) yang terfokus sesudah melakukan empat hal sebelumnya. Khususnya para bangsawan melakukan upacara Ma-lima, karena sangat yakin akan menjadi sakti dan digdaya. Tantra Bhairawa telah lama dipraktikkan tidak saja di Jawa, namun juga di Sumatera dan Bali sejak masa Erlangga, raja Kahuripan. Raja Kertanegara dan kerajaan Hindu-Budha Singasari, digelari dengan nama Joko Dolok karena terkenal melakukan ritual Tantra Bhairawa. Tradisi ini semakin memerosotkan pemerintahan Majapahit.

b. Para pedagang muslim yang bermigrasi di pelabuhan pesisir utara Jawa membangun masjid dan mendatangkan guru-guru dari tempat asal mereka untuk mengajar anak-anak hasil perkawinan mereka dengan perempuan setempat. Mereka berinteraksi dengan masyarakat bawah dan atas, seperti aristokrat dan pemuka agama kota pelabuhan. Pengaruh mereka menarik simpati masyarakat untuk memeluk agama Islam. Karena dengan agama baru, masyarakat bawah dapat meningkatkan statusnya, memperoleh derajat sama dalam hidup sehari-hari karena Islam tidak membenlakukan sistem kasta.

C. Demak

Sebelum membahas Demak sebagai sebuah kerajaan Islam di Pulau Jawa, tentu perlu dieksplorasi mengenai keberadaan Islam sebagai agama. Bagaimana masuk dan berkembangnya Islam di wilayah Nusantara khususnya di pulau Jawa.

Berdasarkan data artefak dan teks dapat diketahui bahwa Islam disyiarkan di Nusantara melalui tiga saluran, pertama, oleh para pedagang Muslim dalam jalur perdagangan, yang datang dari Arab, Persia, India, dan tempat lain. Kedua,

oleh para ulama lokal yang telah menguasai pengetahuan Islam melalui studi literatur, dan para pengikut sufi yang datang dari luar yang sengaja bertujuan mengajarkan Islam dalam segala aspeknya serta meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman; ketiga, melalui institusi kekuasaan politik yang dipadukan dengan perluasan kepentingan ekonomi.57

Asia tenggara merupakan sebuah kawasan yang menjadi wilayah persinggahan perdagangan internasional sejak awal masehi. Bahkan kawasan yang

57

Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga; Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural,

h. 47

disebut Nusantara telah menjadi sebuah magnet persinggahan antara kawasan Asia Timur dan Asia Selatan.

Tulisan yang membicarakan mengenai masuknya Islam ke kepulauan yang kemudian dikenal dengan Indonesia, memang sangat jarang hal ini terkait dengan kekurangan bahan tulisan atau informasi yang bersumber dari fakta peninggalan Islam. Inskripsi tertua tentang Islam tidak membicarakan kapan masuknya agama Islam ke Nusantara. Pada inskripsi ini hanya membicarakan tentang adanya kekuasaan politik Islam, Samudera Pasai pada abad ke-13 masehi.58

Teori-teori yang kemudian sering dipakai untuk mengidentifikasi keberadaan awal Islam di Indonesia dan asalnya mengerucut menjadi tiga teori besar yang sering dipakai, yakni teori Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia. Teori-teori tersebut adalah teori yang sering dipakai oleh sejarawan, tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat teori-teori lain yang menjelaskan keberadaan Islam di Nusantara.

Pertama, Teori Gujarat, teori ini berdasar kepada asal mula dibawa agama Islam ke kepulauan Nusantara. Peletak dasar teori ini menurut Ahmad Mansyur Suryanegara adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L’Arabie et les Indes Neerlandaises. Snouck lebih menitik beratkan pandanganya kepada Gujarat berdasarkan : Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang

58

Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah ; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1995), h. 73

terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dan Gujarat.59

Teori Gujarat yang dirintis oleh Snouck ternyata memberikan andil besar bagi para sejarawan Barat sebagai dasar pijakan teori. W.F. Stutterheim menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-13. Pendapatnya ini di dasarkan pada bukti batu nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera, yakni Malik Al-Saleh yang wafat tahun 1297. W.F. Stutterheim berpendapat bahwa relief nisan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat.60

Untuk persoalan awal kedatangan Islam di Nusantara, J.C. Van Leur berbeda dengan W.F. Stutterheim. J. C. Van Leur berpendapat bahwa pada tahun 674 di pantai Barat Sumatra telah terdapat perkampungan (koloni) Arab Islam. J. C. Van Leur menegaskan bahwa masuknya Islam ke Nusantara tidak terjadi pada abad ke-13 melainkan telah terjadi sejak abad ke-7. Sedangkan abad ke-13 merupakan saat perkembangan agama Islam. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat adanya perubahan politik yang terjadi di India.61 J. C. Van Leur menganggap bahwa pada abad ke-13 merupakan perubahan jalur perdagangan di Asia Tenggara yang tadinya melalui selat Sunda, berubah melewati selat Malaka. Perubahan ini mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan Islam di Malaka.

Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16 ketika terjadi perubahan politik di India: runtuhnya kekuasaan Brahmana yang diikuti dengan timbulnya 59 Ibid., h. 75 60 Ibid., h. 75-76 61 Ibid., h. 76 54

kekuasaan politik Mongol (1526) dan jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan politik inilah yang memberi peluang kepada agama Islam untuk mengembangkan pengaruhnya di Nusantara.62 Bertolak dari kesadaran struktural yang diperkenalkan oleh Weber, J. C. Van Leur antara lain membantah kemungkinan pedagang sebagai pembawa kebudayaan India dan membantah kemungkinan penaklukan dari India. Namun Leur tidak membantah bahwa Islam datang ke Indonesia melewati Jalan Dagang. Berbeda dengan sejarawan lainya Leur lebih melihat motif-motif berkembangnya Islam di Indonesia. Leur menyebutkan bahwa perkembangan Islam disebabkan oleh “situasi politik dan motif politis”. Kecenderungan peng-Islam-an makin lebih politis dengan kedatangan Barat Kristen. 63

Bila diperhatikan baik W.F. Stutterheim maupun J. C. Van Leur tidak bisa melepaskan diri dari grand teori Gujarat. India sebagai pusat persebaran awal Islam di Nusantara namun Leur lebih menkankan motif politis sebagai dasar berkembangnya Islam di wilayah Nusantara.

Pada umumnya kebanyakan penulis lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam. Seperti yang dikerjakan oleh Bernard H. M. Vlekke dan Schrieke yang melihat terdapat hubungan erat antara Malaka dengan Cambay, khsusnya dalam perdagangan.64

Clifford Geertz dalam The Religion Of Java juga masih berpendapat masuknya Islam ke Nusantara berasal dari India. Perkembangan ajaran Islam di

62

Ibid., h. 76-77 63

Taufik Abdullah, “Tesis Weber dan Islam di Indonesia” dalam Taufik Abdullah Ed,

Agama, Etos kerja dan Perkembangan Ekonomi, (Jakarta : LP3ES, 1993), h. 29 64

Suryanegara, Menemukan Sejarah ; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, h. 77-78

Indonesia diwarnai oleh ajaran Hindu, Budha bahkan Animisme, sebagai ajaran-ajaran yang telah lama berkembang di Indonesia sebelum Islam. Geertz berpendapat barcampur baurnya ajaran Islam dengan tradisi-tradisi terdahulu karena terputusnya hubungan Indonesia dengan negara sumber Islam, yakni Makkah dan Kairo. Sehingga terlihat praktik mistik Budha yang diberi nama Arab, Raja Hindu berubah namanya menjadi Sultan, sedangkan rakyat masih mempraktikan ajaran Animisme. Baru pada abad ke-19 ketika hubungan antara Makkah dan Indonesia terjalin kembali, karena banyaknya umat Islam yang berhaji ke Mekkah, ajaran Islam mulai kembali kepada ajaran yang telah digariskan. Sekalipun demikian yang mampu menyerap ajaran Islam asli hanyalah sekelompok kecil yakni kalangan santri. Sebagian besar rakyat Indonesia masih dikatakan belum mempraktikan ajaran Islam yang sebenarnya.65

Selain sarjana-sarjana yang telah disebutkan di atas, belakangan sarjana seperti Harry J. Benda pun berpendapat senada dengan pendahulunya. Bahkan Harry J. Benda menegaskan bila agama Islam berasal langsung dari Timur Tengah dan menerapkan ajaran asli di Nusantara mungkin tidak akan menemukan tempat untuk memasuki pulau-pulau Indonesia, terlebih pulau Jawa. Benda membuktikan bahwa sejak lama terdapat perkampungan Arab di pesisir utara Jawa namun baru pada abad ke-15 dan ke-16 agama Islam menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di Nusantara. Benda berpendapat hanya dengan pemantulan dua kali,

65

Ibid., h. 79

agama Islam mendapatkan pertemuan dengan Indonesia, khususnya dengan pulau Jawa yang dipengaruhi oleh India. 66

Kedua, Teori Makkah. Teori ini diperkenalkan oleh Hamka. Hamka berpendapat bahwa Agama Islam masuk ke Nusantara bukan abad ke-13 tetapi jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7 agama Islam telah masuk ke Nusantara. Berbeda dengan teori Gujarat yang hanya melihat aspek perdagangan dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara dengan bukti-bukti fisik seperti inskripsi batu nisan Malik Al-Saleh yang memiliki kesamaan dengan batu nisan yang terdapat di Cambay India. Hamka menggambarkan bahwa agama Islam di Nusantara berasal dari Makkah dan Mesir bisa dilihat dari ajaran Madzhab Syafi’i yang banyak di anut oleh penduduk Nusantara dan Makkah.67

Dalam penelitian Desertasi Ismawati, Countinuity and Change ; Tradisi Pemikiran Islam di Jawa Abad XIX-XX, dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara Timur Tengah (Makkah) dengan Indonesia. Hal ini senada dengan penelitian Dhafier, Azra serta Martin van Bruinessen yang mengungkapkan bahwa penyebaran keilmuan Islam di Nusantara sampai abad ke-19 bersumber dari ulama yang terlibat jaringan intelektual dengan ulama Makkah dan Madinah.68

Azra mencatat proses dan alur historis yang terjadi di Nusantara dalam hubungannya dengan perkembangan Islam di Timur Tengah, bisa dilacak sejak masa-masa awal kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara, menurut Azra tedapat perubahan penting dalam bentuk interaksi yang terjadi, dari hubungan 66 Ibid., h. 80 67 Ibid., h. 81-90 68

Ismawati, Continuity And Change., h. 20

ekonomi dan dagang, kemudian disusul hubungan politik-keagamaan, dan selanjutnya hubungan intelektual keagamaan.69

Penyebaran keilmuan Islam yang terjalin langsung dengan Makkah di kawasan Jawa telah dilakukan paling tidak sejak masa Maulana Malik Ibrahim abad ke-14. Dia melakukan penyebaran Islam di wilayah pesisir utara Jawa, bahkan pernah mencoba mengajak raja Hindu-Budha Majapahit, Wikramawardhana (berkuasa 788-833 H/ 1386-1429 M) untuk memeluk Islam meskipun gagal. 70

Ketiga, Teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah P. A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta madzhab Syafi’inya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup dikalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia. Diantara kesamaan kebudayaan tersebut adalah71 :

Pertama, peringatan 10 Muharam atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas kematian syahidina Husain.peringatan ini bisa dilihat di Minangkabau.

Kedua, Adanya kesamaan ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi Iran Al-Hallaj. Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Qur’an tingkat awal :

69

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), h. 23.

70

Ibid., h. 30. lihat juga : Ismawati, Continuity And Change., h. 5. 71

Suryanegara., Menemukan Sejarah ; Wacana pergerakan Islam di Indonesia, h. 90-91

Bahasa Iran Bahasa Arab

Jabar – zabar fathah

Jer – ze-er Kasrah

P’es – py’es Dhammah

Bausani menyimpulkan bahwa paling sedikit 90% dari kata-kata Persia dalam bahasa Melayu menunjukan benda-benda kongkrit, dan tidak sampai 10% berupa paham-paham abstrak atau adjektif.72

Keempat, nisan pada makan Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresk dipesan dari Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang utama di daerah Malabar.

Perbedaan mendasar dari ketiga teori tersebut adalah mengenai masalah cara atau motif. Bagi Teori Gujarat, bentuk peninggalan fisik lebih mendominasi. Teori Persia lebih melihat kesamaan-kesamaan dalam ritual keagamaan dan kebudayaan yang dijalankan oleh masyarakat Indonesia sedangkan Teori Makkah seperti di jelaskan Hamka berusaha menggali inti ajaran yang di anut sebagai sebuah gejala yang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, masuk dan diterimanya mazhab Syafi’i diperkuat oleh penelitian berikutnya mengenai Jaringan Ulama di Nusantara karya Azyumardi Azra yang lebih menitikberatkan adanya hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah.

Dalam banyak kasus, orang-orang yang menjadi raja-raja pesisir sudah menjadi Muslim sebelum kedatangan mereka di Jawa; meskipun hal ini tidak mengesampingkan usaha mereka untuk menandingi aristokrasi Jawa non-Muslim.

72

G.W.J. Drewes, “Pemahaman Baru tentang kedatangan Islam di Indonesia.” Dalam Ahmad Ibrahim, dkk, ed. Islam Asia Tenggara: Perspektif Sejarah (Jakarta : LP3ES, 1989). 11-12.

Bagi raja-raja pesisir semacam ini, perubahan kultural utama yang mereka alami tentunya adalah Jawanisasi, bukan Islamisasi.73 Seperti diterangkan oleh Ricklef bahwa di pesisir utara manapun, tidak terbukti adanya ide mengenai Islam sebagai suatu “revolusi dari bawah“, Ricklef mengatakan bahwa “kemungkinan para kawula kerajaan beragama Islam karena raja-raja mereka beragama Islam.“74

Di Jawa, penyebaran agama Islam dihadapkan kepada dua jenis lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme, dan hanya lapisan luarnya saja yang terpengaruh oleh Hinduisme. Dari perjalanan sejarah proses islamisasi di Jawa, tampak bahwa Islam sulit diterima di lingkungan budaya Jawa istana, bahkan dalam cerita Babad Tanah Jawa, dijelaskan bahwa raja Majapahit menolak agama baru itu. Bila sang raja menolak, akibatnya tentu tidak mudah bagi Islam untuk masuk ke dalam lingkungan istana. Karena itu, para penyebar agama Islam kemudian lebih menekankan kegiatan dakwahnya di lingkungan masyarakat pedesaan, khususnya di daerah-daerah pesisir pulau Jawa. Islam diterima dengan baik oleh masyarakat pesisir utara Jawa ini.75

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Islam memperoleh penganut pertamanya di kota-kota pantai utara. Salah satu penyebar Islam paling telaten adalah kelompok wali sanga, para wali meskipun masing-masing hidup tidak sejaman, tetapi dalam pemilihan wilayah dakwahnya tidak sembarangan.

73

M.C. Ricklef, "Islamisasi di Jawa: Abad ke-14 Hingga ke-18” dalam Ibrahim, Ahmad, dkk. Islam Asia Tenggara: Prespektif Sejarah. (Jakarta : LP3ES, 1989) h. 79

74

Ibid., h. 79

75

Simuh, Islam dan Pegumulan Budaya Jawa, (Jakarta : Teraju, 2003) h. 66

Penentuan tempat dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor geostrategi yang sesuai dengan zamannya.76 Pantai utara menjadi basis dan pusat berbagai keraton Islam yang independen, yang akhirnya berhasil menghancurkan Majapahit di daerah pedalaman.77

Salah satu basis kekuataan Islam pesisir adalah Demak, Demak merupakan kerajaan (kesultanan) yang berbasis di Jawa Tengah. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan Pesisir yang banyak menorehkan sejarah penyebaran Islam di Nusantara khususnya di pulau Jawa. Ada dua hal yang perlu disebutkan di sini, sehubungan dengan adanya Islamisasi di Jawa. Pertama, agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan lama telah berkembang lebih dulu jika dibandingkan dengan agama Islam. Kedua, meskipun masih diperdebatkan kapan Islam masuk ke Jawa, tetapi islamisasi besar-besaran baru terjadi pada abad ke-15 (periode Gresik) dan ke-16 (periode Demak) dengan momentum kejatuhan Majapahit, keraton Hindu Jawa pada tahun 1478.78