• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persamaan dan Perbedaan Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak

PERBANDINGAN STRUKTUR KEKUASAAN KERAJAAN MAJAPAHIT DAN DEMAK

A. Legitimasi Kekuasaan

3. Persamaan dan Perbedaan Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak

Sebelum membandingkan legitimasi antara Majapahit dan Demak terlebih dahulu kita eksplorasi masalah keyakinan dalam tradisi kepercayaan Nusantara masih melekat simbol-simbol bahkan banyak unsur keyakinan pribumi asli masih hidup dikalangan muslim dan kristen. “Animisme“ ada di dasar semua konsepsi religius orang Indonesia. Menurut keyakinan asli ini, semua perwujudan alam adalah kosekwensi karya kekuatan supranatural, biasanya roh jahat yang harus dilayani dengan persembahan dan yang murkanya harus dihindari. Unsur-unsur utama agama Indonesia primitif ini adalah sebagai berikut:16

Pertama, keyakinan panteistik bahwa segala sesuatu dan segala mahluk hidup punya “jiwa“, “energi kehidupan“, yang sama untuk semua tapi mugkin lebih kuat pada seseorang dari pada orang lain dan lebih terkonsentrasi di bagian tertentu tubuh manusia daripada dibagian lain. Kebiasaan kanibalisme dan pengayauan yang kini sudah punah betujuan untuk mengambil alih “energi kehidupan“ dari musuh yang terbunuh tersebut. Barang dengan bentuk tertentu sering kali dianggap punya khasiat luar biasa dan karena itu dihargai secara khusus.

Kedua, Keyakinan pada keberadaan jiwa personal yang mendiami seorang manusia seumur hidup. Jiwa ini tetap hidup sesudah tubuh mati dan kemudian tetap tinggal disekitar tempat dimana tubuh itu pernah hidup. Jiwa itu tidak mengundurkan diri dari komunitas orang hidup tapi terus melibatkan diri dalam

16

Bernard H. M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, (Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, cetakan ketiga, 2008) h. 15

kehidupan komunal. Akbitnya, jiwa-jiwa orang mati mungkin akan marah apabila keturunan mereka mengabaikan tradisi lama atau tidak memenuhi kewajiban mereka terhadap roh-roh itu. Pemujaan nenek moyang selalu merupakan salah satu kekuatan terkokoh dalam pemeliharaan adat istiadat dan tradisi.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa kedua kerajaan yang pernah memimpin Jawa memiliki peran sentral dalam perkembangan kebudayaan. Namun perkembangan tersebut tentunya memiliki imbas yang cukup berbeda. Lihatlah tabel skema perbandingan berikut ini :

Asal legitimasi kekuasaan Aktor

Majapahit - Turun temurun

- Dihimpun melalui tepa brata atau mengumpulkan beda atau barang yang memiliki karomah sehingga kebesaran dan keagungan penguasa makin bertambah.

- Legitimasi agama sebagai penguat kekuasaan raja

Raja (kekuasaan seperti yang disebutkan dalam tradisis Jawa Kuno bahwa kekuasaan terpusat dan berada di tangan seorang raja).

Demak - Turun temurun

- Berdasar sidang Wali sanga

- Legitimasi agama sangat kuat namun semuanya di ejewantahkan dalam pemahaman kelompok Wali sanga

Umara (Raja) dengan Ulama (Wali sanga) yang diaplikasikan dalam sidang-sidang wali dalam setiap menyelesaikan masalah.

4. Skema legitimasi kekuasaan Majapahit dan Demak

Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa terdapat dua kesamaan dalam mendapatkan legitimasi kekuasaan. Pertama, unsur keturunan merupakan legitimasi yang paling kuat dalam meneruskan kepemimpinan. Dapat dilihat bahwa hampir seluruh pemimpin dalam kerajaan Majapahit dan Demak adalah keturunan langsung dari Raja sebelumnya atau kerabat dekat raja. Untuk menjaga kontinuitas kepemimpinan, sebuah kerajaan biasanya menggunakan wewenang (legitimasi) berdasarkan keturunan. Garis keturunan yang dimiliki oleh setiap penerus kerajaan harus dikuatkan lagi dengan keyakinan bahwa garis keturunan yang dimilikinya berasal atau dekat dengan keturunan dewa-dewa, sehingga wewenang yang berdasarkan keturunan tadi tidak hanya merupakan wewenang yang kuat, tetapi juga keramat.17

Kedua, Unsur legitimasi Agama. Dalam orientasi nilai kekuasaan atau nilai politik, kekuasaan politiklah yang terpenting. Sedangkan agama menempati urutan kedua.18 Salah satu bukti tidak dominannya Agama dalam menentukan kebijakan tercermin melalui bangunan candi semacam candi Borobudur, candi Prambanan, juga melalui sikap raja Erlangga hingga raja-raja Majapahit yang menganut agama rangkap, yaitu Syiwa-Budha (Syiwa-Boja). Padahal di negeri asalnya kedua agama ini saling berseteru.19 Dalam budaya Hindu-Kejawen yang lebih unggul justru golongan priyayi atau ksatriya. Golongan pendeta berada di

17

Koentjaraningrat, “Kepemimpianan dan Kekuasaan : Tradisional, masa Kini Resmi dan Tak Resmi” dalam Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran tantang Kuasa dan Wibawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 136

18

Simuh, Islam dan Pegumulan Budaya Jawa, (Jakarta : Teraju, 2003), h. 58

19

Ibid., h. 59

bawah kelas priyayi ini. Artinya, kekuasaan politik menjadi institusi tertinggi, sedangkan agama hanya sebagai pelengkap saja. 20

Hampir sama dengan Majapahit, Demakpun menitik beratkan legitimasi kepada agama. Agama termaksud tentu berbeda dengan Majapahit. Islam sebagai sebuah agama memberikan legitimasi yang cukup kuat dalam mempertahankan dan memberikan mandat kepada pemimpin, mandat tersebut biasanya diperoleh melalui sebuah mekanisme yang disebut Musyawarah. Seperti dijelaskan di atas, wali sanga mempunyai pengaruh yang cukup kuat untuk kemajuan Islam dan tegaknya kesultanan Demak. Selain kecerdikan dan kepandaiananya dalam berdakwah ternyata para wali sanga sangat piawai dalam berpolitik, tidak jarang suksesi akhirnya melibatkan legitimasi para wali sehingga terdapat beberapa pertentangan antara wali-wali tersebut.

Hasanu Simon membagi beberapa kategori angkatan Walisanga menurut garis keturunan, dia menyebutkan bahwa dari angkatan pertama sampai angkatan ketiga kebanyakan (mayoritas) anggota walisanga adalah orang-orang Timur Tengah. Baru pada angkatan keempat banyak anggota walisanga yang merupakan putera-putera bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu orientasi ajaran Islam mulai berubah dari Arab-sentris menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisanga mulai terbelah antara kelompok futi’ah dan aba’ah. Barangkali pada saat itulah mulai muncul istilah walisanga. Kitab Walisana karya sunan GIRI II ditulis beberapa tahun sesudah itu, kira-kira awal abad ke-16. isi kitab walisana

ini sangat berbeda dengan buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan

20

Ibid., h. 59

tentang ajaran Islam yang murni.21 Begitu kuatnya pengaruh walisanga dalam legitimasi kekuasaan Demak, terlihat dari pemutusan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar melalui musyawarah pertama walisanga angkatan keempat.22

Sebagai dua entitas dan identitas yang bebeda tentu Majapahit dan Demak banyak perbedaan dalam legitimasi kekuasaan yang dihimpunnya, dalam Tradisi Majapahit yang Hindu-Budha setidaknya mempengaruhi pola legitimasi karena agama dalam tradisi Majapahit hanya dijadikan penguat legitimasi kekuasaan para raja, hal ini tentu berbeda dengan Demak yang mempergunakan agama sebagai landasan yang diturunkan dalam sidang-sidang para Wali.

Sedangkan perbedaan yang paling mencolok dalam legitimasi kekuasaan yang diperoleh raja antara Majapahit dan Demak adalah : Petama, bagi raja Majapahit kekuasaan harus dihimpun dengan cara tapa brata. Anderson membagi dua pandangan Jawa mengenai cara memperoleh kekuasaan, yakni golongan ortodoks dan heterodoks.

Golongan ortodoks biasanya memperoleh kekuasaan melalui praktik-praktik yoga, berpuasa, tidak tidur, bersemadi, tidak melakukan hubungan seksual, pemurnian ritual dan mempersembahkan berbagai sesaji.23 Praktik-praktik ini dilakukan agar kekuatan dan kesatuan berpusat kepada orang yang melakukan ngelmu tadi. Sedangkan heterodoks memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang tak lajim, yakni melalui mabuk-mabukan, pesta-pesta seks dan pembunuhan ritual, tradisi ini disebut juga Bhairavis (Tantri). Kepercayaan Bhairavis, mengikuti hawa nafsu secara sistematis dalam bentuk yang paling

21

Simon, Misteri Syekh Siti Jenar., h. 61 22

Ibid., h. 61 23

Anderson, “Gagasan Tentang Kekauasaan Dalam Kebudayaan Jawa,”h. 53

ekstrem dianggap dapat menghabiskan napsu itu sendiri, sehingga memungkinkan dipusatkannya kekuasaan seseorang tanpa mengalami halangan lebih lanjut.24 Dua tradisi di atas dapat dilihat bahwa tujuan terakhir adalah pemusatan kekuasaan walaupun jalan yang dicapai oleh kedua tradisi tersebut berbeda.

Sedangkan bagi Demak seperti dijelaskan di atas, peranan wali sangat sentral dalam memberikan legitimasi atau mendudukan permasalahan sejajar antara ulama dan raja.

Perbedaan yang lainya adalah aktor dari pemegang legitimasi tersebut, dalam tradisi Majapahit Raja menjadi aktor utama mengingat kekuasaan dalam tradisi Jawa kuno yang dipraktikan oleh Raja-raja Majapahit konsep pokok kekuasaan tradisional Jawa itu terpusat, biasanya pusat kekuasaan ini terjelma dalam diri seorang penguasa yang mampu menyerap dan melakukan sinkretis terhadap ajaran-ajaran baru yang kemudian muncul demi mempertahankan pusat kekuasaannya. Raja Bimathara atau raja titising Dewa. Konsep God-King atau raja dewata ini selalu ditonjolkan dalam sastra Hindu-Kejawen, yakni sastra yang merupakan pengembangan kitab Mahabharata dan Ramayana.25 Begitu kuatnya kekuasaan sanga raja, sehingga otoritas politik berada ditangan raja, karena raja dianggap penjelmaan dewa. Oleh karena itu kerajaan Majapahit dapat digolongkan kerajaan teokratis.26

Sedangkan aktor politik dalam kesultanan Demak adalah raja tetapi setelah mendapat legitimasi dari wali sanga dengan melakukan musyawarah. Aktor dalam

24

Ibid., h. 55 25

Simuh, Islam dan pergumulan Budaya Jawa, h. 59-60 26

Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit”, dalam Sartono Kartodirdjo, dkk, 700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampai, h. 35

kesultanan Demak terdiri dari beberapa kelompok yakni kelompok yang menentukan garis (syariat) yang harus di jalankan oleh pemimpin kerajaan dan raja sebagai pengemban amanat sidang wali.