• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUA KERAJAAN JAWA A. Gambaran Umum Geohistoris Politik Nusantara

I. Latar Belakang Berdiri Kerajaan Majapahit

2. Masa Kejayaan Majapahit

Masa Kejayaan atau masa keemasan Majapahit menurut beberapa pengamat kerajaan Jawa dimulai dari kepemimpinan Hayam Wuruk dan kepatihan Gajah Mada, dari dua kepemimpinan tersebut luas wilayah kerajaan Majapahit meliputi : di sebelah timur Ambon atau Maluku, Seram, dan Timor; di semenanjung Melayu yakni Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dungun, Tumasik, Klang, Kedah, dan Djerai.35

Program yang dicanangkan oleh Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah Sumpah Nusantara, yakni sebuah keinginan dari Gadjah Mada untuk mempersatukan (memperluas) daerah jajahan Majapahit. Bunyi sumpah Nusantara itu seperti berikut: “Lamun huwus kalah nusantara, isun isun amukti palapa; lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik samana isun amukti

33

Lihat C.C. Berg, dikutif dari Ibid., h. 76 34

Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, h. 1

35

Slamet Mulyana, Menuju Puncak Kemegahan, h. 47

palapa.“ Artinya “ kalau Nusantara telah tunduk, saya baru akan beristirahat. Kalau Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjungpura (kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik (Singapura) telah tunduk, pada waktu itu saya akan beristirahat.36

Di bawah pimpinan Adityawarman, tentara Majapahit berhasil merebut kekuasaan Sumatera dari raja-raja kecil, daerah-daerah tersebut antara lain : Jambi, Palembang, Toba, Dharmaçraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Panai, Kampai, Haru atau Mandailing, Tumihang, Perlak, Samudera, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus.37 Daerah jajahan Majapahit di Sumatera sangat Luas.

Gadjah Mada dan Prapança berkata dalam abad ke-14 kepada segala pembaca surat-welingan yang ditingalkannya, surat tersebut seperti sebuah testamen : “Inilah daerah Nusantara, yang bersatu di atas pulau yang delapan, kami mengetahui mana yang menjadi tumpah darah kami, dan mana di luar batasan daerah!“38

Selain memperluas daerah jajahan, Kerajaan Majapahit pun mempunyai tingkat pertanian yang maju berdasarkan irigasi yang luas disertai perdagangan internasional yang berkembang, menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk meluaskan pengawasan teritorial, untuk mengembangkan birokrasi yang makin terperinci, dan untuk menyusun kekuasaan politik yang semakin

36

Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, h. 14, eksplorasi lebih banyak lihat catatan M. Yamin, Gadjah Mada, h. 48-53

37

Ibid., h. 15 38

M. Yamin, Gadjah Mada, h. 55

disentarlisasikan,39 tetapi tanpa peleburan terirtorialnya. Dengan bertambah luas dan majunya perhubungan antar daerah, sistem sosio-kultural di dalam wilayah politik Majapahit berintegrasi ke dalam secara lebih kuat dan lebih jelas, terpisah dari sosio-kultural yang lain secara teritorial.40

Hal yang paling menarik perhatian dari komunitas politik Majapahit adalah kekuasaannya yang bersifat teritorial. Struktur teritorial Majapahit bertalian dengan kepercayaan yang bersifat kosmopolitis dan menjadi proto type

struktur-struktur teritorial kerajaan-kerajaan Jawa dikemudian hari.41

Wilayah kerajaan di Jawa asli terbagi atas beberapa propinsi, yang terpenting di antaranya Kahuripan dan Kediri. Anggota-anggota keluarga raja yang terpenting dijadikan kepala di propinsi-propinsi tersebut.42 Perkawinan menjadi salah satu ikatan yang paling epektif untuk menjamin kesetiaan para gubernur propinsi kepada raja. Jabatan gubernur diberikan sebagai hadiah kepada para hamba dinasti yang berjasa dan ada tendensi bahwa jabatan ini menjadi jabatan yang turun-temurun.43

Pemerintah gubernur di propinsi, diorganisasi dengan cara yang sama seperti pemerintahan raja Majapahit, mereka mengangkat pegawai-pegawai bawahannya sendiri. Selanjutnya perlu dicatat, bahwa fungsi gubernur itu meliputi

39

Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit,” dalam Sartono Kartodirdjo, dkk, 700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampai, (Surabaya: T.pn., 1993), h. 33 40 Ibid., h. 33 41 Ibid., h. 36 42 Ibid., h. 36 43 Ibid., 36 46

pertahanan wilayahnya, pengumpulan penghasilan kerajaan dan penyerahan upeti keperbendaharaan dan lumbung kerajaan.44

Dari penjelasan di atas, jelas terlihat adanya tendensi perkembangan politik menuju sentralisasi administrasi dan monopolisasi mesin pemerintahan, di tangan sekelompok penguasa yang dikepalai oleh raja. Sentarlisasi ini berarti memperbesar kemuliaan raja dan juga mencegah terjadinya pemberontakan. Perkembangan pemerintahan kerajaan dapat terjadi melalui tiga tahap. Pertama,

karena tidak adanya otonomi kota-kota; kedua, karena desa-desa tidak melahirkan perkumpulan atau badan lokal; ketiga, karena daerah diperintah oleh kerabat atau penyokong penguasa.45 Rammeling menjelaskan bahwa di Jawa yang berkembang adalah birokrasi patrimonial. Indikator birokrasi demikian itu adalah bahwa penguasa lokal bukan hanya pengikut dari pemegang kekuasaan pusat secara pribadi, tetapi masih memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa pusat.46 Pola hubungan ini semakin menguatkan indikasi kuatnya pemerintahan pusat.

Jabatan pusat di ibukota dikepalai oleh seorang patih (menteri tertinggi), yang memegang pengawasan atas pejabat-pejabat militer dan pemerintahan sipil. Fungsi juridiksi agama dijalankan oleh dhyaksa sebanyak dua orang, seorang untuk agama Shiwa dan seorang untuk agama Buddha. Di samping ketiga orang pejabat tinggi tersebut masih ada lima orang pejabat istana, yaitu tumenggung (= panglima), demung (= pengatur rumah tangga istana), kanuruhan (= penghubung 44 Ibid., 36 45 Ibid., h. 36 46

Sartono Kartodirdjo, “Berkembang dan Runtuhnya Aristokrasi Tradisional Jawa” dalam Hans Antlöv dan Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter.(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 31

ke luar istana), rangga (= pembantu panglima) dan juru pengalasan (= komandan pasukan pengawal istana).47

Namun di atas kekuasaan pembesar-pembesar istana tersebut, rajalah pemangku kekuasaan tertinggi dengan berbagai lambang yang bersifat magis dan

mistis, yangmewujudkan kualitas perlengkapan-perlengkapan kekuasaan tersebut. Raja memegang pengawasan tertinggi atas kekuatan militer dan administrasinya.48 Meluasnya dominasi raja mengharuskan desentralisasi kekuasaan pribadinya. Gubernur-gubernur daerah (adhipati) adalah wakil tertinggi kekuasaan raja di daerah.49 Hubungan antara raja dan pegawai-pegawainya berbentuk sebagai hubungan yang dinamakan clientship,50 hubungan semacam ini mungkin juga terdapat pada tingkat regional dan lokal. Hal ini membuktikan bahwa pada jaman Majapahit tidak terdapat birokrasi yang diorganisasi dengan diferensi-diferensi subordinasi jabatan yang jelas. 51

Seperti pada masyarakat agraris yang lain, di Majapahit agama memegang peranan yang sangat penting, hal ini terlihat dari wakil-wakil agama yang sangat banyak. Agama yang berkembang di jaman Majapahit adalah Syiwa, Budhha, Waisnawa, Syaman. Kebudayaan Majapahit banyak dipengaruhi oleh agama-agama tersebut, yang dipegang secara langsusng oleh pendeta-pendetanya.52

47

Kartodirdjo, “Masyarakatdan Sistem Politik Majapahit,” dalam Sartono Kartodirdjo, dkk,

700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampai, h. 36-37. 48

Ibid., h.37 49

Ibid., h. 37 50

Clienship adalah ikatan anatara seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan penguasa tertinggi. Lihat Ibid., h. 37

51

Ibid., h. 37 52

Ibid., h. 37