• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA DATA DAN INTERPRETAS

B. Analisa Data

2) Masa Pernikahan

Responden menikah di usia 29 tahun. Responden menikah karena merasa usianya sudah mencukupi untuk menikah, responden berpikir bila menunda-nunda lagi maka umur akan semakin bertambah. Pertimbangan lain untuk segera menikah juga dikarenakan masa pacaran responden dan calon istri yang sudah delapan tahun. Pertimbangan-pertimbangan tersebut membuat keinginan responden semakin besar untuk menikah dengan calon istri.

“Waktu menikah...29.” (R1. W1/k. 2/hal. 1)

“Pertimbangan satu, karena abang dan kakak kan sudah lama pacaran. Terus pun memang saatnya aja, karena umurnya sudah mencukupi, karena kalau ditunggu-tunggu lagi umurnya makin bertambah.”

(R1. W1/k. 5-9/hal. 1)

Responden merasa lebih senang dan bahagia setelah menikah dibandingkan dengan saat masa pacaran. Setelah menikah responden merasa senang karena sudah ada istri yang dapat menjadi tempat saling berbagi, baik susah maupun senang, kesempatan untuk bersama dengan istri semakin banyak dan responden merasa setelah menikah ada istri yang memberi perhatian khusus pada responden. Jadi, setelah menikah responden merasa senangnya itu sudah

senang yang bertanggung jawab. Berbeda dengan masa pacaran yang senangnya itu hanya senang untuk bersenang-senang saja.

“...menurut abang lebih enakan sekarang ini, karena satu, ada tempat abang berbagi terus ada tempat abang merasa bertanggung jawab. Disisi lain ada yang memberi perhatian khusus sama abang. Yang selama ini semuanya abang sendiri apa semua, sekarang ada yang membantu, ada yang nyiapkan. Pokoknya ya lebih seneng sekarang ini. Cuma kan posisinya itu beda, kalo dulu senengnya ya seneng senengan, kalo sekarang senengnya seneng bertanggung jawab.”

(R1. W3/k. 291-302/hal. 21)

“Ya pasti intensitas pertemuannya lebih sering, komunikasi lebih sering. Menurut abang ya lebih baik. Perubahannya yang lebih baik dari dulu pas pacaran dulu, lebih banyak waktu saling berbagi apa. Kalo dulu kan kalo kita mau kemari pun suka-suka kita. Sekarang itu semua harus dilakukan bersama. Kalo sekarang lebih banyak yang harus dipertimbangkan untuk kepentingan berdua. Jadi sekarang, senang berdua, susah juga berdua.” (R1. W3/k. 278-288/hal. 20-21)

Walaupun merasa senang setelah menikah, namun masalah tetap saja ada. Tiga atau empat bulan setelah menikah, istri responden berangkat ke Bogor untuk melanjutkan studinya, sementara responden tetap berada di Medan. Hubungan jarak jauh inilah yang menjadi kendala di awal pernikahan responden, namun karena sebelum menikah responden sudah mendapatkan gambaran akan hal ini, responden merasa sudah lebih siap untuk menjalaninya.

“Jadi sekitar tiga bulan atau empat bulan menikah, dia balik lagi ke sana. Jadi, abang tetap di sini dulu.”

(R1. W1/k. 36-38/hal. 1)

“Awal-awal nikah itu, yang menjadi masalahnya itu, abang harus mikirin, kami bakal jauhan lagi. Karena kan dari dia mulai penelitian kami udah bicarakan, nanti kalo menikah sekarang, dia kan harus balik lagi kesitu,...” (R1. W1/k. 123-137/hal. 3-4)

“...Dah ada, dah dapat gambaran di awal. Jadi ya, dah lumayan siaplah ngadapin hubungan jarak jauh setelah menikah itu,...”

Responden awalnya merasa tidak terbiasa dengan hubungan jarak jauh antara responden dan istri. Sebetulnya dari dalam hati yang paling dalam, responden merasa tidak terima dan merasa tidak enak dengan kondisi seperti ini. Walaupun merasa tidak enak dan tidak terima, namun responden tetap harus menjalaninya karena memang seperti itulah konsekuensi yang harus responden hadapi.

“Ya kalo tengok perasaan paling dalam sih gak terima kan gitu, bukan gak terima apa, maksudnya ya cemana istilahnya, gak enaklah. Cuma kan memang harus dijalani,...”

(R1. W3/k. 7-20/hal. 15)

“...Beberapa bulan abang di sini ya, walaupun gak terbiasa juga, tapi ya harus dihadapi,...”

(R1. W1/k. 123-137/hal. 3)

Kendala yang dihadapi responden dalam menjalani hubungan jarak jauh dengan istri khususnya bila responden ingin bertemu dengan istri, bila ingin pergi berdua terpaksa hanya sendiri karena istri jauh dari responden. Sesekali juga muncul rasa rindu, ingin bertemu. Untuk itu, responden selalu menjaga komunikasi dengan istri. Minimal dua hari sekali atau setiap malam responden menghubungi istri untuk saling menanyakan kabar.

“...Ya sesekali ada rasa rindu, rasa apa, wajar.” (R1. W3/k. 7-20/hal. 13)

“Ya kendalanya mungkin abang rasa mungkin kalo pingin ketemu, ntah kita pingin pergi, aturnya bisa berdua, terpaksa sendiri. Kalo kendala komunikasi sih gak ada karena kan dah ada HP sekarang kan kalo komunikasi ya lebih lancar. Tapi ya setidaknya dua malam ato tiap malam ada lah nanya kabar gimana. Komunikasi gak ada masalah.”

(R1. W3/k. 23-30/hal. 13)

Walaupun berjauhan, responden tidak pernah berpikir atau curiga bila istri akan selingkuh. Responden percaya pada istrinya karena sejak pacaran dulu responden sudah cukup mengenal istrinya dengan baik. Menurut responden, istrinya bukanlah orang yang mudah suka dengan orang lain. Responden yakin bahwa istrinya tidak akan menyalahgunakan kepercayaan responden.

“Ya, sangat percaya abang ma dia, bahkan kalo bisa terlalu percaya, dan abang yakin kepercayaan abang itu gak akan disalah gunakannya.”

(R1. W2/k. 64-67/hal. 8)

“...dari dulu sebelum menikah dulu, udah, abang dah ma dia, abang pun dah sangat percaya ma dia. Jadi curiga, contohnya ntah dia selingkuh ntah apa gitu, alhamdulillah belum pernah muncul di benak abang karena dah dari awal dari waktu pacaran, abang dah percaya ma dia. Jadi kalo kecurigaan-kecurigaan itu alhamdulillah gak pernah ada terpikir sama abang.”

(R1. W3/k. 34-43/hal 14-15)

“Karena kita pacaran panjang ya kan, sekitar delapan tahun. Jadi setidaknya abang udah tau dia gimana, terus pun dia kan, satu, dia gak gampang bisa suka sama orang gitu. Abang dah memang dari awal dah sedikit banyak tau tentang dia, itulah yang bisa membuat kepercayaan abang sama dia muncul gitu.”

(R1. W3/k. 46-53/hal. 15)

Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), ada beberapa area dalam pernikahan yang dapat mengukur kepuasan pernikahan, antara lain adalah area komunikasi, pemanfaatan waktu luang, religiusitas, pemecahan masalah, manajemen keuangan, orientasi seksual, hubungan dengan keluarga dan teman, pengasuhan anak, kepribadian, serta pembagian pembagian peran dalam rumah tangga.

Menurut responden, komunikasi antara responden dengan istri berjalan dengan lancar. Walaupun karena responden pergi kerja dari pagi hingga terkadang pulang malam, membuat waktu komunikasi responden dengan istri menjadi berkurang, tapi menurut responden tidak ada masalah dalam hal komunikasi dengan istri. Responden merasa senang saat sharing dengan istri karena responden merasa dapat berbagi dan menceritakan pengalamannya pada istri.

“Ya, komunikasi lancar. Ya, cuma mungkin karena abang pigi kerja dari pagi, kadang-kadang pulang habis maghrib, malam gitu kan, jadi mungkin kuantitasnya aja yang kurang, tapi kalo kualitasnya ya, lancar sih, gak ada masalah.”

(R1. W2/k. 20-25/hal. 6)

“abang senang bercerita sama dia, sharing tentang apa yang abang alami dan itu sesuatu yang menyenangkan bagi abang.”

(R1. W2/k. 28-35/hal. 6)

“Sebetulnya kita karena ada tempat kita berbagi pengalaman. Apalagi udah ada istri tempat kita bercerita.Walaupun waktunya singkat, ya itu aja, bisa menceritakan pengalaman abang hari ini. Itu aja yang buat senang, kita bisa membagi cerita.”

(R1. W3/k. 208-213/hal. 17)

Responden menyadari bahwa waktu luangnya belum sepenuhnya ada untuk istri. Namun, biasanya bila memiliki waktu luang, responden menghabiskannya berdua saja dengan istri di kamar, saling bercerita atau membuat kesibukan bersama, misalnya dengan membersihkan kamar bersama dengan istri.

“...walaupun sampai sekarang waktu luang abang itu belum sepenuhnya ada untuk dia, cuma ada memang sesekali, ada waktu luang, biasanya ya abang habiskan paling ya di rumah aja abang habisin, kalo dia pun gak ada aktifitas di rumah ini, utama, ya kami berdua di kamar, entah buat kesibukan apa-apa, ya, cerita-cerita, terus mungkin ya beresin kamar bersama, gitu.”

Minimnya waktu responden yang tersedia membuat istri responden sering protes dan mempertanyakan hal ini pada responden, bahkan terkadang ini bisa menjadi masalah diantara responden dan istri. Responden merasa wajar bila istri menuntutnya, karena memang hak istri untuk mendapatkan waktu yang wajar dari suami. Responden menyadari hal itu, responden berusaha memperbaiki kebiasaan kerjanya sesuai dengan saran istri responden berangkat kerja lebih pagi dan tidak lagi bekerja di hari libur. Walau sudah berusaha namun terkadang responden masih belum bisa mengatur waktunya dengan baik, namun seberat apapun responden tetap berusaha untuk merubah sedikit demi sedikit agar responden tidak lagi pulang malam, sehingga hal ini tidak lagi menjadi masalah diantara responden dan istri.

“Ya sesekali memang jadi masalah juga. Karena kan dia pasti nuntut,

karena memang hak istri kan memperoleh waktu yang wajar dari suami, kan gitu.”

(R1. W3/k.193-203/hal. 17)

“Yang pasti, dia protes. Di gak suka. Dan itu memang dah beberapa kali jadi masalah. Udah beberapa kali juga dipertanyakan dia. “Abang kerja sampe malam, libur pun kerja lagi”, katanya. Ya jadi memang, itu yang lebih jadi masalah selama ini, gitu. Makanya yang seperti abang bilang tadi, ya sekarang ini mungkin abang sedikit-sedikit lah abang perbaiki. Yang selama ini dah abang buat, mungkin, kalo pun abang masih sesekali pulang malam, masih sering, cuma sekarang ini abang berusaha agar hari libur itu abang gak kerja.”

(R1. W3/k. 611-635/hal. 25)

“Walaupun dari abang belum bisa sepenuhnya, ya seberat apapun daripada menjadi masalah, ya abang merubah sikit-sikit lah. Mungkin abang kerja datang lebih pagi, jadi dah bisa selesai satu hari itu kerjaannya. Kalo biasanya kan abang kerja jam sepuluh, sekarang abang jam jam delapan dah ke kantor. Jadi mungkin abang ubah jadi seperti itu aja, supaya gak pulang malam.”

Dalam menghadapi suatu masalah, responden menganalisanya terlebih dulu. Jika menurut responden masalah tersebut perlu dibicarakan dengan istri, maka responden akan menceritakannya pada istri. Responden berusaha untuk selalu terbuka dan membicarakan setiap masalah yang dialami pada istri. Responden mengakui bahwa responden jarang memikirkan sendiri tentang suatu masalah. Responden selalu berbagi dan menceritakannya pada istri. Responden meminta istri untuk memikirkan solusi atas permasalahan yang ada, bila istri telah menemukan solusinya maka responden akan mempertimbangkan cocok atau tidaknya solusi tersebut untuk dilaksanakan.

“Ya, pertama kalo menurut abang masalah itu, menurut abang, abang perlu membicarakan dengan istri abang, ya abang bicarakan sama dia, dan biasanya memang dia, dia selalu abang suruh cari solusinya, karena abang sendiri pun gak terlalu mau memikirkan mencari solusi itu gimana gitu. Jadi mungkin dari dia misalnya dah dapat, menurut dia solusinya seperti ini, mungkin abang pertimbangin, abang pikirin, cocok gak kalo misalnya itu pun abang laksanakan seperti yang dia bilang, dan biasanya abang, bisa dibilang jaranglah abang memikirkan sendiri, apa, tentang suatu masalah itu, pasti selalu abang ceritakan ke dia.”

(R1. W2/k. 141-155/hal. 9)

Ada juga terkadang masalah yang tidak responden ceritakan pada istri. Biasanya masalah itu terkait dengan masalah pekerjaan responden. Biasanya berhubungan dengan masalah ketidakadilan dalam hal pekerjaan yang responden alami di kantor yang tidak responden ceritakan pada istri. Responden tahu bila diceritakan pada istri, istri akan marah dan protes, dan sebelumnya responden pernah menceritakannya dan memang mendapat protes dari istri. Responden berpikir bahwa selama responden merasa tidak merasa terganggu dengan

pekerjaan tersebut, responden bersedia saja mengerjakannya. Sementara istri responden berpikir lain, menurut istri hal itu jelas merugikan responden.

“...abang kan sikit banyak dah tau sifatnya kayak mana. Jadi abang paham kira-kira masalah yang kayak mana yang kira-kira dia gak suka, mana yang suka dia bisa nerima;...Abang tau kalo ini abang ceritai pasti dia marah;...Kebetulan kan kerjaan yang abang kerjakan sekarang itu porsi untuk moneknya itu. Cuma karena selama ini moneknya itu ada pertimbangan tertentu lagi mungkin dari program manajer, jadi banyak dilimpahkan ke abang semua;...Sedangkan kalo kita lihat sistim penggajiannya ya monek ini pasti lebih besar dari abang,...Kalo abang ceritai ke dia pasti dia protes dan itu memang pernah terjadi, pas abang coba ceritai itu, dia memang protes. Ya wajar, kalo abang dipersusah, protes. Cuma abang beranggapan ya udah selagi yang abang kerjai itu gak nyusahi abang, ya udah abang jalani aja seperti itu. ...Biasanya memang masalah-masalah yang menyangkut ketidakadilan di kantor itu yang tidak abang ceritai.”

(R1. W3/k. 220-257/hal. 17-18)

Responden mengakui bahwa responden dan istri dari dulu sampai sekarang memang jarang seide dan sering berbeda persepsi. Responden berpikir ke arah satu sedangkan istri berpikir ke arah yang lain, masing-masing bertahan dengan pemikirannya masing-masing. Perbedaan persepsi antara responden dan istri terkadang menimbulkan masalah. Bila sudah berbeda dan tidak menemukan titik temunya, responden berusaha untuk tidak memperpanjang perdebatan dan berhenti membicarakan masalah tersebut agar jangan sampai menjadi masalah yang dibesar-besarkan. Menurut responden, perbedaan persepsi antara responden dan istri biasanya berkaitan dengan masalah pekerjaan. Macam-macam masalah, tapi intinya menurut responden itu mengenai pekerjaan responden. Menurut responden, bila mengerjakan pekerjaan, responden harus mengerjakannya sampai selesai, sehingga terkadang harus pulang malam. Menurut responden hal ini wajar

saja sebagai tanggung jawab terhadap pekerjaan. Sementara istri responden merasa bila responden seperti itu berarti sudah dibodoh-bodohi pekerjaan.

“Udah memang dari awal pacaran kami memang tidak satu ide. Sampe sekarang pun tetap sering berdebat. Ujung-ujungnya kalo kami berdebat karena tidak satu ide itu, kalo ujung-ujungnya tidak selesai. Ya udah, ya tetap, diyakini dia, dengan diyakini abang. Cuma jangan sampe itu jadi masalah yang dibesar-besarkan.”

(R1. W1/k. 194-234/hal. 5)

“Karena dah tau dari awal dia kek mana, abang kek mana, walaupun sekali-sekali jadi masalah cuma kami berusaha gak kami perpanjang. Mungkin kalo lagi berdebat gitu, gak ketemu titik temunya, ya udah gak usah dibahas, diberhentikan aja.”

(R1. W3/k.125-133/hal. 15)

“Kalo abang kan kalo kerjaan sama abang tu abang kalo kerjaan di kantor belum selesai itu, pingin abang tu abang kerjai dulu sampai selesai. Itulah kadang-kadang abang harus pulang agak telat, kalo menurut abang yang seperti seperti itu wajarlah sebagai tanggung jawab pekerjaan. Tapi kalo menurut dia itu gak seperti itu, itu dibodoh-bodohi pekerjaan menurut dia,...Dan memang biasanya, terkait hal inilah, ya mengenai menghadapi kerjaan itu yang sering beda pandangan lah gitu. Terus tentang, tentang kerjaanlah pokoknya. Apapun macam-macam masalahnya, intinya itu mengenai pekerjaan itu yang lebih banyak berbeda pandangannya.”

(R1. W3/k. 136-152/hal. 15-16)

Responden merasa bahwa setelah menikah religiusitas dan ibadah-ibadah responden semakin baik dan meningkat. Sebelum menikah responden jarang sekali mengaji sehabis shalat, sekarang responden sudah jauh lebih sering mengaji. Responden juga sudah lebih sering melaksanakan shalat berjamaah setelah responden menikah. Menurut responden, peningkatan ibadahnya setelah menikah disebabkan karena sudah ada istri yang sering mengajak dan mengingatkan responden untuk beribadah.

“Ya pasti, memang lebih baik. Dulu memang biasanya, contoh satulah ya, dulu memang jarang kalilah abang habis shalat mengaji, sekarang, walaupun bukan kegiatan rutin tapi dah jauh lebih seringlah dari yang dulu, gitu. Ibadahnya jadi lebih baik,...

(R1. W3/k. 474-480/hal. 22)

“Awalnya dulu karena ada istri yang sering ngajak, mengingatkan. Jadi kan awal-awal itu di ajak, jadi kan sekarang jadi biasa;... Dulu biasa shalat sendiri-sendiri, sekarang shalat sering berjamaah, walaupun maghrib atau isya.”

(R1. W3/k. 483-495/hal. 22-23)

Kondisi ekonomi saat ini belum bisa dikatakan mapan. Untuk saat ini memang masih mencukupi untuk kebutuhan responden dan istri, karena kebutuhan sekarang belum begitu besar. Responden merasa bila ke depannya kondisi ekonominya masih tetap seperti ini maka responden tidak akan mampu untuk mencukupi kebutuhannya lagi. Saat ini, responden berusaha mencari alternatif pekerjaan yang lain. Begitu pula dengan istri responden yang juga berusaha mencari pekerjaan tambahan.

“Ya, mungkin belum bisa dibilang mapan, tapi kalo menurut abang masih bisa mencukupi gitu karena pun ya kebutuhannya pun belum begitu besar saat ini ya, tapi mungkin kedepannya kalo masih seperti ini aja ya mungkin gak bakal mencukupi, tapi untuk saat ini masih mencukupilah penghasilan kami.”

(R1. W2/ 159-165/hal. 9)

“Cuma ya kedepannya pun abang masih cari alternatif yang lebih baik. Dia pun ya, berusaha mencari penghasilan tambahan gitu;... Karena kalo mengharapkan kondisi saat ini kedepan nanti abang pun gak yakin, satu tahun dua tahun mendatang pasti kami gak bisa ngadapi lagi dengan penghasilan seperti ini.”

(R1. W3/k. 344-360/hal. 20)

Saat ini, keuangan dikelola oleh istri responden. Responden mempercayakan sepenuhnya pada istri agar istri mampu dan belajar. Responden

juga merasa dirinya tidak mampu untuk mengelola keuangan, jadi sepenuhnya responden serahkan pada istri untuk dikelola. Sikap responden ini, responden pelajari dan contoh dari ayahnya yang mana ayah responden setiap kali menerima gaji selalu diberikan utuh pada ibu responden. Begitu pula yang berusaha responden terapkan pada istrinya. Responden baru akan meminta pada istri bila ada keperluan yang responden butuhkan.

“...sesungguhnya abang percaya sepenuhnya sama dia, biar dia mampu untuk itu, dan dia pasti bisa, daripada abang yang mengelola pasti ya entah gimana jadinya.”

(R1. W2/k. 177-182/hal. 9)

“Ketika menerima gaji, sepenuhnya abang kasih ke dia. Nanti, entah abang perlu duit berapa, abang minta saja sama dia. Jadi, 100% dialah yang mengelola, dan abang gak pernah mau memusingkan hal itu.”

(R1. W2/k. 169-173/hal. 9)

“Kalo orangtua abang itu dia, bapak kan misalnya dia dapat gaji bulanan itu ya utuh, itu bersih dikasih seperti itu. Jadi amplopnya itu pun gak terbuka. Jadi ya seperti itulah abang berusaha untuk istri abang;... Itu abang kasih semua, dia yang mengelola, ya kan. Nanti seberapa abang perlu tinggal abang minta. Ya mungkin itu abang lihat dari gimana bapak abang bertindak sama istrinya.”

(R1. W3/k. 515-528/hal. 23)

Saat ini usia pernikahan responden sudah usia satu tahun delapan bulan, dan bulan Juli mendatang genap berusia dua tahun. Namun, sampai saat ini responden belum memiliki anak dari hasil pernikahannya. Responden mengakui bahwa sesekali muncul dalam pikiran responden mengapa keluarganya belum juga dikaruniai anak. Responden berusaha untuk tidak menjadikan belum hadirnya anak ini sebagai beban pikiran dan terus berusaha. Responden juga sudah berusaha berobat dan menurut dokter tidak ada masalah dalam kesehatan responden dan istri, secara umum keduanya sehat.

“Setiap manusia, kita pasti ingin kan punya anak. Cuma selagi bisa, itu gak abang jadikan beban, gak abang, gak menjadi beban pikiran abang, gak abang bebanin;... tapi mungkin sesekali mungkin timbul keinginan itu kok belum. Cuma ya abang tetap berusaha gak memikirkan itu. Itu aja. Ya mungkin berusaha, berusaha, berusaha, apa yang bisa dibuat.”

(R1. W2/k. 262-279/hal. 11)

“...kemaren itu kami berdua dah berobat, setidaknya target kami itu tahu ada gak masalah diantara kita, ternyata dia sehat, abang pun sehat, mungkin kalo abang sih ada beberapa yang apa, cuma kata dokter ya gak berpengaruh kali ini sih. Secara umum kami sehat.”

(R1. W3/k. 390-411/hal. 20-21)

Belum hadirnya anak dalam rumah tangga responden, terkadang juga mempengaruhi kualitas hubungan seksual responden dengan istri. Terkadang responden merasa belum hadirnya anak menjadi beban ketika berhubungan seksual dengan istri. Menjadi beban karena setiap berhubungan menargetkan untuk punya anak, sehingga hal ini justru mempengauhi kualitas hubungan itu sendiri. Responden menyadari hal itu, namun menurut responden begitulah kondisinya saat ini, sehingga secara tidak langsung itu mempengaruhi hubungan seksual responden dengan istri. Walaupun begitu, responden merasa senang dan bahagia ketika berhubungan seksual dengan istri, karena menurut responden itu dapat menunjukkan kasih sayang istri pada responden.

“Setiap berhubungan sama istri pasti kita bahagia, karena istri juga menunjukkan kasih sayang dia, kan gitu. Cuma yang pasti, mungkin yang menjadi, walaupun gak boleh sebenarnya dijadikan beban, cuma secara tidak langsung menjadi beban, menjadi bebannya kadang-kadang menjadi target kan gitu kan. Target setiap berhubungan itu ya masalah belum punya anak itu, gitu. Walaupun setelah itu, gak harus jadi masalah, kan gak, karena kalo kita pikirin jadi beban pikiran, nah itu kan, larinya kan ke kualitas hubungan itu kan gitu kan. Cuma ya, secara tidak langsung seperti itu jadinya kondisinya saat ini. Tapi kalo setiap berhubungan pasti seneng, gitu.”

Responden merasa bahagia karena setelah menikah jumlah anggota keluarga responden semakin bertambah, responden jadi merasa ada keluarga baru. Sejauh ini, hubungan responden dengan keluarga berjalan dengan baik, normal dan tidak ada masalah. Walaupun jarang bertemu dan berkomunikasi, tetapi tidak ada permasalahan antara responden dengan keluarga.

“Pasti itu, ya menambah rasa bahagia kita kan. Keluarga kita dah bertambah,... Tetap senang kita, merasa ada keluarga baru.”

Dokumen terkait