KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN
YANG MENIKAH DENGAN PACARAN DAN
TANPA PACARAN (TA’ARUF)
SKRIPSI
Guna Memenuhi PersyaratanTugas Akhir
Sarjana Psikologi
Oleh:
SUKMADIARTI
041301102
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Setiap manusia mengalami banyak transisi dalam kehidupannya. Menurut Santrock (dalam Dariyo, 2003) masa dewasa awal ditandai dengan adanya transisi secara fisik, transisi secara intelektual dan transisi peran sosial. Dariyo (2003)
mengatakan bahwa masa transisi peran sosial menuntut individu untuk segera menikah, agar dapat membentuk dan memelihara kehidupan rumah tangga yang
baru yakni terpisah dari kedua orang tuanya. Hal ini sejalan dengan tugas perkembangan masa dewasa awal menurut Havighurst (dalam Dariyo, 2003) yaitu mencari dan menemukan calon pasangan hidup serta menikah dan membina
kehidupan rumah tangga.
Menikah dan membina kehidupan rumah tangga merupakan salah satu aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan
yang bahagia dan paripurna. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan adalah suatu bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan
seksual, legitimasi untuk memiliki keturunan (memiliki anak), dan penetapan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pasangan.
Seluk beluk pernikahan di Indonesia diatur dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Pernikahan No. 1 tahun 1974, yang mendefinisikan pernikahan sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
suatu pernikahan tidak hanya mengandung ikatan formal sesuai peraturan
masyarakat yang ada, tetapi juga mengandung ikatan yang tidak nampak secara langsung dan bersifat psikologis. Ikatan batin ini tercipta bila suami istri saling
mencintai. Adanya ikatan lahir batin tersebut akan menimbulkan kebahagiaan lahir dan batin (Walgito, 1984).
Menurut Dariyo (2003) kebahagiaan lahir dan batin dalam membina
kehidupan rumah tangga dapat diraih dengan berupaya mencari calon teman hidup yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam pernikahan. Masyarakat saat
ini umumnya mencari calon teman hidupnya melalui proses pacaran. Menurut Benokraitis (1996), pacaran merupakan proses awal menuju pernikahan atau dengan kata lain pacaran merupakan sarana dalam memilih pasangan yang cocok
untuk dijadikan pasangan hidup.
Pacaran bukanlah satu-satunya cara untuk mendapatkan pasangan hidup yang tepat. Proses lain yang juga dapat dilakukan adalah melalui ta’aruf.
Umumnya, proses ta’aruf ini dilakukan oleh para pemeluk agama Islam. Menurut Hidayat (dalam Ummi, 2002) ta’aruf adalah komunikasi timbal balik antara
laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal dan saling memperkenalkan diri yang berkaitan dengan masalah nikah. Tidak jauh berbeda dengan ta’aruf, pengertian pacaran menurut Benokraitis (1996) adalah proses dimana seseorang bertemu
dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup.
merasa ada ketidakcocokan maka hubungan tersebut dapat berakhir sebelum
sampai ke pernikahan.
Alasan orang memilih pacaran atau ta’aruf dalam proses pencarian
pasangan hidupnya berbeda-beda. Menurut Dion & Dion (dalam Newman, 2006), masyarakat Amerika dan masyarakat lain yang menganut budaya individualis mempercayai bahwa cinta yang romantis (romantic love) merupakan alasan utama
bagi seseorang dalam memilih pasangan hidupnya. Menurut masyarakat yang berorientasi kolektif, cinta tidak menjadi hal yang relevan dalam memilih
pasangan hidup. Pemilihan pasangan hidup dalam budaya kolektif dapat dilakukan oleh anggota keluarga, berdasarkan religius (hal yang bersangkutan dengan agama), finansial, atau latar belakang keluarga calon pasangan. Hal ini
dipercayai memiliki kontribusi yang tepat atas pilihan yang diambil, tidak hanya bagi individu yang akan menikah, tetapi juga bagi sistem keluarga yang lebih luas (Dion & Dion, dalam Newman, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Universitas Ain Syams, hasilnya menunjukkan bahwa 75% pernikahan yang dilakukan setelah proses pacaran yang romantis berujung pada kegagalan total dan
perceraian. Sedangkan pernikahan yang dilakukan atas dasar perjodohan, baik dikenalkan oleh keluarga, teman, atau tetangga, menunjukkan jumlah keberhasilan yang mencengangkan, melebihi angka 95% (dalam Shalih, 2005).
Pacaran ataupun ta’aruf pada intinya merupakan proses untuk mendapatkan pasangan hidup yang cocok. Hanya saja, dalam pelaksanaannya
lebih lama ini memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk
berusaha saling mengenal karakter, sifat, watak, kebiasaan, kelebihan dan kekurangan dari orang yang dicintainya untuk saling menyesuaikan diri sebelum
memasuki pernikahan. Harapannya kelak pasangan dapat saling memahami, saling mengerti, dan saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Hal ini berbeda dengan yang dialami pada proses ta’aruf. Waktu yang dibutuhkan dalam
proses ta’aruf umumnya jauh lebih singkat dari masa pacaran, berkisar antara satu hingga tiga bulan, namun tidak menutup kemungkinan proses ini bisa berlangsung
lebih lama.
Hal paling mendasar yang membedakan proses pacaran dan ta’aruf adalah pada proses pertemuannya. Proses perkenalan dan pertemuan pria dan wanita
dalam proses ta’aruf dilakukan dengan didampingi mediator. Menurut Ajaran Islam, hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah Saw yang berbunyi:
“Janganlah seorang laki-laki bertemu sendirian (bersepi-sepian) dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya, karena yang ketiganya adalah setan,” (HR. Imam Ahmad dari Amir bin Robi’ah ra).
Rasulullah telah memperingatkan agar pria dan wanita yang bukan muhrim untuk tidak bertemu berduaan tanpa ada yang mendampingi. Hal inilah
yang menjadi pedoman utama dalam ta’aruf. Setiap pertemuan dalam ta’aruf, pria dan wanita tidak bertemu berdua saja melainkan harus selalu didampingi
mediator. Mediator dalam proses ta’aruf adalah orang yang paling dekat dan mengenal kepribadian calon pasangan yang akan melakukan ta’aruf, bisa orangtua, guru ngaji atau sahabat karib yang dipercayai, sehingga diharapkan
mengenai diri calon tersebut. Menurut Abdullah (2003), hal-hal yang biasanya
menjadi pertimbangan untuk diketahui calon pasangan dalam ta’aruf meliputi kepribadian, pandangan hidup, pola pikir dan cara penyelesaian terhadap suatu
masalah.
Proses perkenalan dan pertemuan dalam pacaran berbeda dengan ta’aruf. Pasangan yang berpacaran dapat bertemu berdua saja tanpa didampingi mediator.
Hal ini sudah merupakan hal lazim di tengah masyarakat dimana pasangan dapat melakukan serangkaian aktivitas bersama hanya berdua saja. Berkembang dan
matangnya organ-organ biologis pada masa dewasa membuat kecenderungan untuk berdekatan secara fisik dengan lawan jenis sulit dihindarkan, apalagi ketika dua orang berlawanan jenis bertemu hanya berdua saja tanpa ada yang
mendampingi. Hal inilah yang bisa membelokkan tujuan awal pacaran, dari ingin mengenal pasangan lebih baik menjadi cenderung mengarah pada perbuatan-perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan agama. Hasil penelitian
yang dilakukan Gatra bekerjasama dengan Laboratorium Ilmu Politik (LIP) Fisip UI tahun 1997 menunjukkan bahwa remaja yang menilai wajar jika dua orang
berlawanan jenis berbincang 99 %, cium pipi 47,3 %, mencium bibir 22 % dan cium leher 11 %. Penelitian Baren Ratur Sembiring terhadap 124 ABG (anak baru gede) yang berusia 15-21 tahun menunjukkan sekitar 70 % responden mengakui
pernah berhubungan seks di rumah dengan pacarnya (dalam Sodiq, 2006).
Pacaran maupun ta’aruf memiliki kekurangan dan kelebihannya
sehingga setelah menikah akan lebih mudah melakukan penyesuaian. Ta’aruf
dengan waktu perkenalan yang sangat singkat membuat individu kurang mengenali pasangannya dengan baik, sehingga di awal-awal pernikahan
mengalami kesulian dalam penyesuaian dengan pasangan. Berikut kutipan pernyataan A’a Gym (Pimpinan pondok pesantren Da’arut Tauhid) dan Teh Ninih yang menikah dengan ta’aruf, yang dikutip dari Majalah Ummi (2002) berikut ini:
“Buat saya, pernikahan adalah sebuah karunia Allah yang bisa membuat orang mampu bersinergi dalam mengaktualisasikan kemampuan dirinya, meningkatkan kemampuan berkarya dan berbuat dalam kehidupannya. Dengan pernikahan, kekurangannya bisa diperbaiki oleh pasangan dan kelebihan pasangan bisa terus ditingkatkan kualitasnya, itu idealnya. Setelah pernikahan itu kami mengalami masa adaptasi yang cukup lama, hal itu mungkin karena kami menikah dengan ta’aruf. Dengan kultur yang berbeda dan latar belakang yang juga berbeda. Namun, sejalan dengan waktu, dengan pertolongan Allah kami dapat melaluinya dengan baik. Tentu saja dengan adanya usaha saling mendukung, saling keterbukaan, saling memberi dan menerima diantara kami.”
Menurut KS (dalam Mahkota No.123) proses adaptasi dalam berbagai hal yang dimulai dari awal, jauh lebih banyak menghadirkan tantangan-tantangan.
Kehidupan pernikahan tanpa di awali proses pacaran, akan terjadi perpaduan dan bahkan bentrokan dari dua individu yang sama-sama masih asing. Sebaliknya, bila keduanya sudah saling mengenal, tinggal meneruskan langkah yang telah
disepakati berdua agar menjadi semakin matang. Hal ini berbeda dengan pernyataan Hurlock (1999) yang mengatakan bahwa pada masa awal pernikahan,
setiap pasangan memasuki tahap dimana mereka dituntut menyatukan banyak aspek yang berbeda dalam diri masing-masing. Kemampuan pasangan untuk menyatukan aspek yang berbeda ini akan menentukan tingkat harmonisasi dalam
Bila pasangan yang menikah dengan ta’aruf mengalami kesulitan dalam
penyesuaian di awal pernikahan, maka pasangan yang menikah dengan pacaran umumnya telah memiliki harapan dan persepsi tentang pasangannya
masing-masing yang diperoleh selama masa pacaran. Menurut Adhim (2004) pacaran membawa resiko sulitnya merubah persepsi tentang pasangan. Orang akan memandang pasangannya seperti apa yang ia ketahui dulu. Pasangan akan sulit
menerima dan menyesuaikan diri apabila ia menemukan sesuatu yang berbeda pada diri pasangannya. Saat pacaran, setiap pasangan berusaha untuk memberikan
yang terbaik kepada pasangannya. Setelah menyatu (dalam ikatan pernikahan) mereka mendapati sesuatu yang berbeda dari sebelumnya saat masih pacaran. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Ari (bukan nama sebenarnya) yang menikah
setelah melalui masa pacaran selama 3 tahun, berikut ini:
“...Kalo menurut abang dulu dia orangnya tegar, kuatlah dalam menghadapi masalah. Sekarang dia lebih, lebih cemana ya, lebih gampang sedih ngadapi masalah;...”
(R1. W1/k. 160-172/hal. 4)
“Ya kalo perasaan abang sendiri ya, awal-awal itu ya itu, abang memang agak sedih juga. Cuma belakangan ini udah abang terima;...”
(R1. W3/k. 107-117/hal. 15)
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa masa pacaran yang umumnya dilalui dengan menampilkan perilaku-perilaku ideal dan terbaik
kepada pasangan, dapat memunculkan persepsi dan penilaian diri pribadi terhadap pasangan, yang akhirnya dapat mempengaruhi standar penilaian individu terhadap
harapan adalah kekecewaan, dan kekecewaan tentu saja akan mempertajam
perselisihan dan memperlemah kemampuan menyesuaikan diri. Seringkali, ketika harapan tersebut tidak lagi ditemui setelah pernikahan, akan menyebabkan
ketidakpuasan dalam pernikahan, yang pada akhirnya dapat berujung pada perceraian.
Hal ini diperkuat oleh Interdependence Theory (dalam McNulty &
Karney, 2004) yang mengatakan bahwa pasangan menentukan kepuasan hubungan mereka dengan membandingkan hasil yang mereka terima dalam
hubungannya dengan standar yang telah mereka miliki untuk hubungan mereka. Perilaku pasangan yang sesuai dengan standar mereka akan membuat mereka puas dengan hubungannya. Sebaliknya, jika perilaku pasangan tidak sesuai dengan
standar, mereka akan menolak dan tidak puas dengan hubungannya. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan Ari (bukan nama sebenarnya), yang menyatakan bahwa ia merasa sedih dengan perubahan sikap pasangannya setelah menikah dengan saat
masih pacaran dulu. Ini menunjukkan bahwa Ari (bukan nama sebenarnya) telah memiliki standar tertentu untuk pasangannya, ketika kenyataan yang ia alami
berbeda dari apa yang ia bayangkan maka inilah yang dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahannya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ilmu sosial selama kira-kira
100 tahun ini, ditemukan bahwa kepuasan dalam hubungan pernikahan secara signifikan berkontribusi terhadap kesejahteraan psikologis, termasuk di dalamnya
dipengaruhi oleh kepuasan pernikahan daripada hal lain dalam kehidupan dewasa,
seperti pekerjaan, persahabatan, hobi, dan aktivitas komunikasi (dalam Newman & Newman, 2006). Hal ini dapat kita lihat dari fenomena rumah tangga beberapa
artis Ibu Kota yang seringkali diwarnai konflik bahkan perceraian. Kesuksesan yang mereka peroleh dalam pekerjaannya sebagai artis tidak dapat memuaskan hidup mereka, bahkan kesejahteraan psikologis mereka juga cukup terganggu
dengan adanya konflik yang tidak teratasi dalam pernikahannya. Konflik rumah tangga ini pada akhirnya dapat mempengaruhi performance mereka dalam
pekerjaan, hobi, persahabatan, dan aktivitasnya sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan pada masa dewasa memegang peranan penting untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin meneliti tentang gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah dengan pacaran dan tanpa pacaran (ta’aruf).
B. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu
bagaimana dinamika kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah dengan pacaran dan ta’aruf, yang mencakup:
2. Bagaimana gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan yang
menikah tanpa pacaran (ta’aruf)?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepuasan pernikahan pada
pasangan yang menikah dengan pacaran dan tanpa pacaran (taaruf)? 4. Adakah perbedaan kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah
melalui proses pacaran dengan pasangan yang menikah tanpa proses
pacaran (ta’aruf)?
5. Adakah perbedaan kepuasan pernikahan antara pria dan wanita?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepuasan
pernikahan pada pasangan yang menikah dengan pacaran dan ta’aruf.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah diharapkan agar hasil penelitian
ini dapat memberikan informasi di bidang psikologi pada umumnya dan pada bidang psikologi perkembangan khususnya, terutama yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah melalui proses pacaran dan
tanpa pacaran (ta’aruf). 2. Manfaat Praktis
pasangan yang menikah melalui proses pacaran dan tanpa pacaran
(ta’aruf), sehingga mereka dapat menjadi pertimbangan bagi mereka dalam menentukan proses apa yang akan mereka jalani dalam
pemilihan pasangan hidupnya kelak.
b. Memberi informasi pada masyarakat tentang hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan pada pasangan yang
menikah melalui proses pacaran dan melalui proses ta’aruf.
c. Diharapkan agar penelitian ini dapat memberi pengetahuan pada
pasangan yang menikah dengan pacaran ataupun ta’aruf, terkait dengan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I Latar Belakang
Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori
Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai definisi pacaran, fungsi pacaran,
pernikahan, faktor pendukung kepuasan pernikahan, aspek kepuasan
pernikahan, kriteria kepuasan pernikahan, kepuasan pernikahan pasangan yang menikah dengan pacaran, dan kepuasan pernikahan pasangan yang
menikah dengan ta’aruf serta paradigma penelitian. Bab III Metode Penelitian
Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang
pendekatan kualitatif, subjek dan lokasi penelitian, teknik pengambilan data, metode pengambilan data, kredibilitas penelitian, tahap pelaksanaan
dan prosedur penelitian, dan teknik dan proses pengolahan data. Bab IV Analisa Data dan Interpretasi Data
Bab ini berisi deskripsi data subjek, analisa dan interpretasi data yang
diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.
Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah dengan pacaran dan
tanpa pacaran (ta’aruf). Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena
merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis
BAB II
LANDASAN TEORI A. Pacaran
1. Definisi Pacaran
Menurut DeGenova & Rice (2005) pacaran adalah menjalankan suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas
bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain. Menurut Bowman (1978) pacaran adalah kegiatan bersenang-senang antara pria dan wanita yang belum
menikah, dimana hal ini akan menjadi dasar utama yang dapat memberikan pengaruh timbal balik untuk hubungan selanjutnya sebelum pernikahan di Amerika.
Benokraitis (1996) menambahkan bahwa pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan
pasangan hidup. Menurut Saxton (dalam Bowman, 1978), pacaran adalah suatu peristiwa yang telah direncanakan dan meliputi berbagai aktivitas bersama antara
dua orang (biasanya dilakukan oleh kaum muda yang belum menikah dan berlainan jenis).
Kyns (1989) menambahkan bahwa pacaran adalah hubungan antara dua
orang yang berlawanan jenis dan mereka memiliki keterikatan emosi, dimana hubungan ini didasarkan karena adanya perasaan-perasaan tertentu dalam hati
& Feldman (2004), keintiman meliputi adanya rasa kepemilikan. Adanya
keterbukaan untuk mengungkapkan informasi penting mengenai diri pribadi kepada orang lain (self disclosure) menjadi elemen utama dari keintiman.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pacaran adalah serangkaian aktivitas bersama yang diwarnai keintiman (seperti adanya rasa kepemilikan dan keterbukaan diri) serta adanya keterikatan emosi
antara pria dan wanita yang belum menikah dengan tujuan untuk saling mengenal dan melihat kesesuaian antara satu sama lain sebagai pertimbangan sebelum
menikah.
2. Karakteristik Pacaran
Pacaran merupakan fenomena yang relatif baru, sistem ini baru muncul
setelah perang dunia pertama terjadi. Hubungan pria dan wanita sebelum munculnya pacaran dilakukan secara formal, dimana pria datang mengunjungi pihak wanita dan keluarganya (dalam DeGenova & Rice, 2005).
Menurut DeGenova & Rice (2005), proses pacaran mulai muncul sejak pernikahan mulai menjadi keputusan secara individual dibandingkan keluarga dan
sejak adanya rasa cinta dan saling ketertarikan satu sama lain antara pria dan wanita mulai menjadi dasar utama seseorang untuk menikah.
Pacaran saat ini telah banyak berubah dibandingkan dengan pacaran pada
masa lalu. Hal ini disebabkan telah berkurangnya tekanan dan orientasi untuk menikah pada pasangan yang berpacaran saat ini dibandingkan sebagaimana
pengawasan akan mendapat hukuman. Wanita tidak akan pergi sendiri untuk
menjumpai pria begitu saja dan tanpa memilih-milih. Pria yang memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita maka ia harus
menjumpai keluarga wanita tersebut, secara formal memperkenalkan diri dan meminta izin untuk berhubungan dengan wanita tersebut sebelum mereka dapat melangkah ke hubungan yang lebih jauh lagi. Orangtua memiliki pengaruh yang
sangat kuat, lebih dari yang dapat dilihat oleh seorang anak dalam mempertimbangkan keputusan untuk sebuah pernikahan.
Tidak ada jaminan apakan hubungan pacaran yang dibina akan berakhir dalam pernikahan, karena dalam berpacaran tidak ada komitmen untuk melanjutkan hubungan tersebut ke jenjang yang lebih tinggi. Menurut Newman &
Newman (2006), faktor utama yang menentukan apakah suatu hubungan pacaran dapat berakhir dalam ikatan pernikahan ialah tergantung pada ada atau tidaknya keinginan yang mendasar dari diri individu tersebut untuk menikah.
Murstein (dalam Watson, 2004) mengatakan bahwa pada saat seorang individu menjalin hubungan pacaran, mereka akan menunjukkan beberapa tingkah
laku seperti memikirkan sang kekasih, menginginkan untuk sebanyak mungkin menghabiskan waktu dengan kekasih dan sering menjadi tidak realistis terhadap penilaian mengenai kekasih kita. Menurut Bowman & Spanier (1978), pacaran
terkadang memunculkan banyak harapan dan pikiran-pikiran ideal tentang diri pasangannya di dalam pernikahan. Hal ini disebabkan karena dalam pacaran baik
hadapan pasangannya. Inilah kelak yang akan mempengaruhi standar penilaian
seseorang terhadap pasangannya setelah menikah. 3. Komponen Pacaran
Menurut Karsner (2001) ada empat komponen penting dalam menjalin hubungan pacaran. Kehadiran komponen-komponen tesebut dalam hubungan akan mempengaruhi kualitas dan kelanggengan hubungan pacaran yang dijalani.
Adapun komponen-komponen pacaran tersebut, antara lain: a. Saling Percaya (Trust each other)
Kepercayaan dalam suatu hubungan akan menentukan apakah suatu hubungan akan berlanjut atau akan dihentikan. Kepercayaan ini meliputi pemikiran-pemikiran kognitif individu tentang apa yang sedang dilakukan
oleh pasangannya.
b. Komunikasi (Communicate your self)
Komunikasi merupakan dasar dari terbinanya suatu hubungan yang baik
(Johnson dalam Supraktik, 1995). Feldman (1996) menyatakan bahwa komunikasi merupakan situasi dimana seseorang bertukar informasi
tentang dirinya terhadap rang lain. c. Keintiman (Keep the romance alive)
Keintiman merupakan perasaan dekat terhadap pasangan (Stenberg dalam
Shumway, 2004). Keintiman tidak hanya terbatas pada kedekatan fisik saja. Adanya kedekatan secara emosional dan rasa kepemilikan terhadap
emosional melalui kata-kata mesra dan perhatian yang diberikan melalui
sms, surat atau email.
d. Meningkatkan komitmen (Increase Commitment)
Menurut Kelly (dalam Stenberg, 1988) komitmen lebih merupakan tahapan dimana seseorang menjadi terikat dengan sesuatu atau seseorang dan terus bersamanya hingga hubungannya berakhir. Individu yang sedang
pacaran, tidak dapat melakukan hubungan spesial dengan pria atau wanita lain selama ia masih terikat hubungan pacaran dengan seseorang.
4. Alasan Berpacaran
Menurut DeGenova & Rice (2005) ada beberapa hal yang menyebabkan individu-individu berpacaran, antara lain:
a. Pacaran sebagai bentuk rekreasi.
Satu alasan bagi pasangan untuk keluar secara sederhana adalah untuk bersantai-santai, menikmati diri mereka sendiri dan memperoleh
kesenangan. Pacaran merupakan suatu bentuk hiburan an ini jugalah yang menjadi tujuan akhir dari pacaran itu sendiri.
b. Pacaran memberikan pertemanan, persahabatan dan keintiman pribadi. Banyak kaum muda yang memiliki dorongan yang kuat untuk mengembangkan kedekatan dan hubungan yang intim melalui pacaran.
c. Pacaran adalah bentuk sosialisasi.
Pacaran membantu seseorang untuk mempelajari kealian-keahlian sosial,
d. Pacaran berkontribusi untuk pengembangan kepribadian.
Salah satu cara bagi individu untuk mengembangkan identitas diri mereka adalah melalui berhubungan dengan orang lain. Kesuksesan seseorang
dalam pengalaman berpacaran merupakan bagian dari perkembangan kepribadian. Satu dari alasan-alasan kaum muda berpacaran adalah karena hubungan tersebut memberi mereka keamanan dan perasaan dihargai
secara pribadi.
e. Pacaran memberikan kesempatan untuk mencoba peran gender.
Peran gender harus dipraktekkan dalam situasi kehidupan nyata dengan pasangan. Banyak wanita saat ini menyadari bahwa mereka tidak dapat menerima peran tradisionalnya yang pasif; pacaran membantu mereka
mengetahui hal ini dan belajar jenis peran apa saja yang mereka temukan dalam hubungan yang dekat.
f. Pacaran adalah cara untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih
sayang. Kebutuhan akan kasih sayang ini merupakan satu dari motif utama orang berpacaran.
g. Pacaran memberikan kesempatan bagi pencobaan dan kepuasan seksual. Pacaran menjadi lebih berorientasi seksual, dengan adanya peningkatan jumlah kaum muda yang semakin tertarik untuk melakukan hubungan
intim (Michael dalam DeGenova & Rice, 2005). h. Pacaran adalah cara untuk menyeleksi pasangan hidup.
pokok untuk dapat menikah satu sama lain karena kecocokan dapat
meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan mampu membentuk hubungan yang saling memuaskan.
i. Pacaran mempersiapkan individu menuju pernikahan.
Pacaran dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang sikap dan perilaku pasangan satu sama lain; pasangan dapat belajar bagaimana
cara mempertahankan hubungan dan bagaimana mendiskusikan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Duvall & Miller (1985) menambahkan beberapa alasan lain mengapa orang-orang berpacaran, yakni bahwa pacaran dilihat sebagai sesuatu yang
menyenangkan dan menghibur. Beberapa orang berpacaran karena begitulah yang semua orang lakukan. Seseorang berpacaran karena itulah yang diharapkan; jika tidak pacaran, orang akan mengira ada yang salah pada dirinya. Tekanan sosial
dan penghindaran dari kritik sosial juga menjadi alasan orang berpacaran. Bahkan banyak lagi orang yang tidak tahu mengapa mereka berpacaran. Pacaran hanya
dijadikan sebagai sebuah cara untuk melewati masa antara pubertas dan dewasa awal.
5. Model - Model Pacaran
Tahap ini biasanya dimulai dengan “pacaran keliling” pada orang muda.
Orang dalam tahap ini biasanya berpacaran dengan beberapa orang dalam satu waktu.
b. Regular Dating
Ketika seseorang untuk alasan yang bermacam-macam memilih sebagai pasangan yang lebih disukai, kemungkinan besar hubungan itu akan
menetap. Pasangan pada tahap ini seringkali pergi bersama dengan pasangannya dan mengurangi atau menghentikan hubungan dengan
pasangan yang lain. Tahap perkembangan hubungan ini terjadi ketika seorang atau kedua pasangan berharap bahwa mereka akan saling melihat satu sama lain lebih sering dibanding yang lain. Jika hubungan ini dapat
memenuhi kebutuhan pasangannya, hubungan ini akan meningkat secara eksklusif (terpisah dari yang lain).
c. Steady Dating
Tahap ini adalah fase yang serius dan lebih kuat dari fase dating regularly. Pasangan dalam tahap ini biasa memberikan beberapa simbol nyata
sebagai bentuk komitmen mereka terhadap pasangannya. Mahasiswa pria bisa memberikan pasangannya berupa pin persaudaraan, kalung, dll sebagai wujud keseriusan mereka dalam hubungan tersebut.
d. Engagement (Tunangan)
Tahap pengakuan kepada publik bahwa pasangan ini berencana untuk
B. Ta’aruf
1. Definisi Ta’aruf
Menurut kamus Al Muhith (dalam Ummi, 2002) ta’aruf adalah saling
berkenalan satu sama lain. Hidayat (dalam Ummi, 2002) menambahkan pengertian ta’aruf merupakan komunikasi timbal balik antara laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal dan saling memperkenalkan diri yang
berkaitan dengan masalah nikah.
Abdullah (2003) mendefinisikan ta’aruf sebagai proses mengenal dan
penjajakan calon pasangan dengan bantuan dari seseorang atau lembaga yang dapat dipercaya sebagai perantara atau mediator untuk memilihkan pasangan sesuai dengan kriteria yang diinginkan sebagai proses awal untuk menuju
pernikahan. Selanjutnya menurut Sakti (dalam Ummi, 2002) ta’aruf sebetulnya merupakan langkah untuk memantapkan diri sebelum melangkah ke pernikahan.
Menurut Amran (dalam Ummi, 2002) sebelum ta’aruf dilaksanakan,
masing-masing pihak baik laki-laki maupun perempuan telah memiliki informasi tentang kepribadian masing-masing calon dengan saling bertukar biodata dan foto,
yang diperoleh melalui mediator atau orang ketiga yang dipercaya sebagai perantara. Orang yang dimaksud sebagai perantara atau mediator dalam proses ta’aruf adalah orang yang paling dekat dan mengenal kepribadian individu yang
akan melakukan ta’aruf, seperti orangtua, guru ngaji, atau sahabat yang dipercaya, sehingga diharapkan ia dapat memberikan informasi dan penjelasan yang benar
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa
ta’aruf adalah proses saling mengenal dan memperkenalkan diri yang berkaitan dengan masalah nikah antara pria dan wanita dengan tujuan untuk memantapkan
diri masing-masing sebelum melangkah ke jenjang pernikahan dan dalam proses pertemuannya kedua pihak didampingi oleh mediator.
2. Karakteristik Ta’aruf
Menurut Assyarkhan (dalam http://marsandhy.multiply.com) ada beberapa ketentuan yang harus dipatuhi dalam melakukan penjajagan yang islami, yaitu:
a. Tidak Berduaan (Tidak ber- Khalwat)
Khalwat adalah bersendirian dengan seorang perempuan lain. Perempuan
lain yang dimaksud yaitu: bukan istri, bukan salah satu kerabat yang
haram dikawin untuk selama-lamanya, seperti ibu, saudara, bibi dan sebagainya. Ini dilakukan demi menjaga kedua insan tersebut dari perasaan-perasaan yang tidak baik yang biasa bergelora dalam hati ketika
bertemunya dua jenis itu, tanpa ada orang ketiganya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan." (Riwayat Ahmad).
b. Tidak Melihat Lawan Jenis dengan Bersyahwat
Di antara sesuatu yang diharamkan Islam dalam hubungannya dengan
dan pandangan adalah jalan yang membawa fitnah dan sampai kepada
perbuatan zina. Seperti yang Allah firmankan dalam surat An-Nur: 30 berikut:
“Katakanlah kepada laki-laki yang berimanan, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
c. Menundukkan Pandangan
Menundukkan pandangan itu bukan berarti memejamkan mata dan
menundukkan kepala ke tanah. Apa yang dimaksud menundukkan pandangan di sini maksudnya adalah menjaga pandangan agar tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan
perempuan-perempuan atau laki-laki yang beraksi. Pandangan yang terpelihara, apabila memandang kepada jenis lain tidak mengamat-amati kecantikannya dan tidak lama menoleh kepadanya serta tidak melekatkan
pandangannya kepada yang dilihatnya itu. Rasulullah berpesan pada Ali r.a sebagai berikut:
d. Tidak Berhias Yang Berlebihan (Tabarruj)
Tabarruj ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam yang
sudah dikenal oleh orang-orang banyak sejak zaman dahulu sampai
sekarang. Ahli-ahli tafsir dalam menafsirkan ayat yang mengatakan:
"Dan tinggallah kamu (hai isteri-isteri Nabi) di rumah-rumah kamu dan jangan kamu menampak-nampakkan perhiasanmu seperti orang jahiliah dahulu.” (QS Al-Ahzab: 33)
Ta’aruf adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu-individu yang
telah memiliki komitmen untuk menikah. Pernikahan akan terjadi bila kedua belah pihak dalam proses ta’aruf sepakat untuk melanjutkan hubungannya ke
tahap pernikahan, dan sebaliknya pernikahan tidak akan terjadi bila kedua belah pihak atau salah satu pihak tidak sepakat untuk melakukannya, dengan begitu maka proses ta’aruf berakhir sampai disitu, dan masing-masing pihak akan
berusaha kembali melakukan proses ta’aruf dengan calon pasangan yang lain. 3. Alasan Ta’aruf
Alasan orang memilih ta’aruf sebagai proses pencarian dan penjajagan calon pasangan hidupnya adalah karena proses ta’aruf ini sesuai dengan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist; antara lain:
a. “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Surat Al-Israa’ : 32).
Zina yang dimaksudkan dalam ayat di atas diperjelas dalam hadist
Rasulullah Saw yang berbunyi:
melihat, zinanya telinga adalah mendengar, sedangkan zinanya lidah adalah berbicara dan zinanya tangan adalah menyentuh, dan zinanya kaki adalah melangkah, sedangkan zinanya hati adalah membayangkan dan berangan-angan, adapun yang akan membuktikannya adalah kemaluan, ataupun akan mendustakannya.”
b. “....Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula), dan wanita yang baik-baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik-baik (pula)”. (Surat An-Nur : 26 ).
Ayat ini meyakinkan individu yang ta’aruf bahwa jodoh mereka kelak
akan sesuai dengan diri mereka sendiri, jika ia adalah laki-laki yang baik, maka jodohnya kelak pun adalah wanita yang baik, begitu pula sebaliknya,
maka mereka yang ta’aruf tidak merasa takut lagi dengan siapa pun jodoh mereka kelak.
c. "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan." (HR. Ahmad).
Hadist di atas menerangkan bahwa pria dan wanita yang bukan muhrim dilarang untuk berdua-duaan. Proses ta’aruf yang selalu didampingi
mediator dalam setiap pertemuaannya merupakan sebuah proses perkenalan pria dan wanita yang sesuai dengan ajaran Islam, sesuai dengan hadist di atas.
d. "Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah berdasarkan agamanya maka kamu akan selamat." (HR. Abi Hurairah).
Keutamaan dalam pemilihan pasangan melalui ta’aruf adalah karena
dalam penentuan pasangan. Mediator dalam proses ta’aruf selain berfungsi
menjadi perantara antara pria dan wanita yang ingin menikah, juga berperan menjadi informan tentang bagaimana agama individu yang
ta’aruf tersebut. Agama disini maksudnya menggambarkan bagaimana tingkat pemahaman individu tentang Islam dan aplikasi individu tersebut dalam menjalankan ajaran Islam dalam kehidupannya sehari-hari.
4. Model - Model Ta’aruf
Menurut Jundy (dalam Al-Izzah, 2002) ada beberapa model ta’aruf, yaitu:
a. Otoritas pembina
Pembina disini adalah guru ngaji atau ustadz. Proses ta’aruf pada model pertama ini berjalan sangat ketat. Interaksi antara kedua pasangan yang
akan ta’aruf mendapat pengawasan intensif. Pertemuan-pertemuan harus dengan sepengetahuan pembina.
b. Rekomendasi teman
Pada model ta’aruf ini calon pendamping direkomendasikan oleh teman. Jika orang tersebut setuju maka proses dilanjutkan dengan
memberitahukan kepada pembina. Apabila pembina setuju maka proses ta’aruf dilanjutkan dengan mempertemukan kedua pasangan tersebut dengan didampingi pembina atau teman yang merekomendasikan tersebut.
c. Pilihan Pribadi
Model ini tidak jauh beda dengan model kedua. Dimana orang yang akan
ta’aruf tersebut. Cara yang ditempuh adalah dengan meminta bantuan
pembina atau orang lain. 5. Proses Ta’aruf
Proses ta’aruf berbeda dengan proses-proses lain yang dilakukan untuk mendapatkan calon pasangan hidup. Ada beberapa prosedur dan tata cara yang dapat dilakukan seseorang sebelum ta’aruf sampai pada proses ta’aruf itu sendiri
(dalam http://blankdakruz.multiply.com), antara lain:
a. Individu yang sudah siap menikah saling tukar menukar CV (Curriculum
Vitae) yang berisi; harapan, cita-cita pernikahan, tipe pasangan yang
diinginkan, dll.
b. Mencantumkan foto diri yang terbaru.
c. Jika kedua pihak merasa cocok dengan CV yang dibaca, barulah proses ta’aruf dapat dilaksanakan.
d. Pria datang ke tempat wanita atau ke tempat yang telah disepakati bersama
dengan ditemani mediator, tidak sendirian.
e. Pihak wanita juga hadir dengan ditemani mediator, sehingga kedua calon
tidak bertemu berdua-duaan.
f. Masing-masing pihak, dipersilakan untuk saling bertanya mengenai visi dan misi hidup dan pernikahannya. Saling membuka kekurangan dan
kelebihan masing-masing. Contohnya mengenai riwayat sakit yang pernah diderita.
ini akan belanjut ke pernikahan. Tetapi jika tidak, maka proses yang telah
dilalui akan dijaga kerahasiaannya.
C. Pernikahan
1. Definisi Pernikahan
Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan
antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas
masing-masing sebagai suami dan istri. Pasal 1 Undang-undang Pernikahan No 1 menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001). Menurut Dariyo (2003) pernikahan merupakan ikatan kudus antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau
dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus (holly relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan telah diakui secara sah dalam hukum agama.
Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menambahkan bahwa pernikahan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan
kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.
melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran
suami – istri serta adanya keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan
emosional antara suami dan istri. 2. Fase Pernikahan
Chudori (1997) menyatakan bahwa ada beberapa fase dalam pernikahan
yang tidak dapat tidak, mesti dilalui oleh setiap pasangan suami istri, antara lain: a. Fase bulan madu
Dalam fase ini, keindahan suasana hari-hari pertama pernikahan masih dapat dinikmati berdua. Kemesraan yang diimpikan sebelumnya dapat lebih dirasakan berdua karena dengan dikukuhkannya ikatan pernikahan,
berarti kedua insan yang saling mengasihi dan mencintai dapat memanifestasikan impiannya itu secara lebih konkrit. Tidak ada lagi batasan-batasan yang menjadi penghalang seperti ketika masih belum
menikah. Fase ini merupakan masa yang indah karena masing-masing pihak berupaya untuk membahagiakan pasangannya.
b. Fase pengenalan kenyataan
Setelah bulan madu terlewati, kenyataan pernikahan mau tidak mau harus dihadapi. Keakraban fase bulan madu perlahan-lahan akan pudar karena
masing-masing pihak harus kembali dengan kesibukannya. Suami harus bekerja di kantornya, istri pun mulai sibuk dengan hal-hal yang sama atau
mementingkan pekerjaan dari pada memperhatikan dirinya. Sebaliknya
sang suami menganggap istrinya tidak lagi peduli dengan dirinya karena tidak sempat lagi mengurus tubuh dan wajahnya. Hal-hal inilah yang turut
mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan, apabila terjadi kesenjangan antara apa yang dibayangkan dengan kenyataan yang dihadapi.
c. Fase krisis pernikahan
Setelah menyadari kenyataan suami istri sebenarnya, bisa timbul kecurigaan satu sama lain. Bila suami kerja lembur misalnya, kadang istri
curiga yang lain-lain sehingga pulang terlambat. Demikian pula jika suami terlalu lelah sehingga mengurangi aktivitas seksualnya. Hal demikian pula terjadi pada sebaliknya. Fase ini adalah masa paling rawan, sehingga
apabila tidak ada kesadaran dari masing-masing pihak bahwa pernikahan tidak hanya selalu berisi kemesraan, maka bukan tidak mungkin akan mengancam kebahagiaan rumah tangga.
d. Fase menerima kenyataan
Setelah fase krisis pernikahan terlalui, maka masing-masing pihak sudah
menerima kenyataan yang sebenarnya, baik kelebihan maupun kekurangan pasangannya. Penerimaan kenyataan ini membuat masing-masing pihak dengan kelebihan yang dimiliki berusaha untuk mengatasi kelemahan yang
ada dalam diri pasangannya. Selanjutnya kelemahan masing-masing dapat dicarikan jalan keluarnya dengan baik, bukan saling menuduh ataupun
satu sama lain, saling melengkapi kekurangan pasangan dengan kelebihan
yang dimilikinya. e. Fase kebahagiaan sejati
Fase ini masing-maisng pihak telah betul-betul menyadari arti sebuah pernikahan. Pernikahan tidak selamanya mulus seperti yang dibayangkan. Pernikahan ada kalanya juga tersandung oleh kerikil tajam, ada
gelombang-gelombang yang tidak terduga yang menghantam bahtera rumah tangga, ada perbedaan pendapat, ada duka, derita, ada suka dan
yang paling penting menyadari bahwa setiap pasangan mempunyai kekurangan yang tidak mungkin dirubah. Kebahagiaan sejati bukan hanya karena keindahan, kenikmatan dan kemesraan belaka, tetapi masuk
diantaranya jika keduanya mampu mengatasi persoalan yang timbul dalam rumah tangga. Mampu bahagia karena bisa menerima kekurangan pendamping hidupnya sendiri.
Lamanya fase yang dilalui oleh masing-masing pasangan memang tidak sama, ada yang singkat ada pula yang lama, sangat relatif. Semakin dewasa pola
pikir, daya nalar dan kesadaran masing-masing pihak, akan semakin cepat pula pasangan suami istri mewujudkan cita-cita pernikahannya, memperoleh kebahagian sejati dalam rumah tangga. Menikmati kebahagiaan ikatan pernikahan
D. Kepuasan Pernikahan
1. Definisi Kepuasan Pernikahan
Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri
terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan pernikahan itu sendiri. Kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik,
buruk, atau memuaskan (Hendrick & Hendrick, 1992). Menurut Hughes & Noppe (1985), kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada
tingkat dimana mereka merasakan pernikahannya tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya.
Tingkat kepuasan pernikahan berubah seiring berjalannya waktu.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Rollins & Cannon, 1974; Rollins & Feldman, 1970; Spanier, Lewis, & Cole, 1975 menyimpulkan suatu indikasi kepuasan pernikahan dalam kehidupan pernikahan mengikuti kurva U. Tingkat
kepuasan tertinggi dirasakan pada periode sebelum memiliki anak, tingkat kepuasan terendah dirasakan pada saat anak-anak berada pada usia sekolah dan
remaja, lalu tingkat kepuasan tertinggi sekali lagi dirasakan pada saat anak-anak telah tumbuh dewasa dan telah meninggalkan rumah (Bradburry & Fincham dan Gottman dalam Fuller & Fincham dalam L’Abate, 1975).
Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa masa-masa awal dari pernikahan adalah puncak dari kepuasan pernikahan. Beragamnya pendapat yang
tingkat kepuasan pernikahan absolut yang mengesankan pada beragam periode
pernikahan (Fuller & Fincham dalam L’Abate, 1975).
Hurlock (1999) mengatakan bahwa pada masa awal pernikahan setiap
pasangan memasuki tahap dimana mereka dituntut menyatukan banyak aspek yang berbeda dalam diri masing-masing. Kemampuan pasangan untuk menyatukan aspek yang berbeda ini akan menentukan tingkat harmonisasi suatu
keluarga. Dilanjutkan oleh Hurlock bahwa kemampuan suami istri dalam menyatukan perbedaan ini sangat ditentukan oleh kematangan penyesuaian diri
diantara mereka, sehingga mereka dapat membina hubungan baik dalam kehidupan pernikahan di masa-masa selanjutnya yang juga akan mempengaruhi tingkat kepuasan mereka dalam pernikahan.
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpukan bahwa kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahannya yang cenderung berubah-ubah sepanjang waktu serta dipengaruhi oleh kematangan penyesuaian
dan adanya kesesuaian antara kebutuhan dan harapan yang dimiliki suami / istri dengan kenyataan dalam pernikahan itu sendiri.
2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan
Menurut Hendrick & Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu:
a. Premarital Factors
1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak
2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang
rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat
penghasilan rendah.
3) Hubungan dengan orantua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap romantisme, pernikahan dan perceraian.
b. Postmarital Factors
1) Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan
pernikahan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984). Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stress pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick &
Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak tersebut.
2) Lama Pernikahan, dimana dikemukakan oleh Duvall bahwa tingkat kepuasan pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun
setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak mandiri.
Menurut Holahan & Levenson (dalam Lemme, 1995), pria lebih puas dengan pernikahannya daripada wanita. Pada umumnya wanita lebih sensitif
pernikahan lebih dirasakan oleh istri daripada suami (Rollins & Feldman dalam
Brigham, 1986).
Adhim (2004) mengatakan bahwa pasangan yang telah berkenalan secara
intensif dengan pacaran kemudian menikah, dalam benak mereka telah tertanam seakan mereka telah saling mengenal dengan baik. Menurut Adhim (2004), persepsi tentang pasangan akan menumbuhkan harapan-harapan tertentu terhadap
pernikahan. Resiko dari setiap harapan adalah kekecewaan, dan kekecewaan tentu saja akan mempertajam perselisihan dan memperlemah kemampuan
menyesuaikan diri. Seringkali, ketika harapan tersebut tidak ditemui dalam pernikahan maka ini akan menyebabkan ketidakpuasan yang pada akhirnya dapat berujung pada perceraian.
Kepuasan pernikahan juga dipengaruhi oleh faktor agama. Menurut Abdullah (2003), seseorang yang mengawali segalanya dengan motivasi iman dan ibadah pada Tuhan semata akan merasakan kepuasan dalam hidupnya. Hal ini
didukung oleh Clark (1998) yang menyatakan bahwa agama memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap pernikahan dan selanjutnya akan
mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan pernikahan. Clark menambahkan bahwa ketaatan beragama berhubungan dengan kestabilan pernikahan.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, antara lain : latar belakang
3. Aspek Kepuasan Pernikahan
Menurut Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003), ada beberapa area-area dalam pernikahan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan pernikahan.
Area-area tersebut antara lain: a. Communication
Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam
berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka
saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya. Laswell (1991) membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap
pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill).
b. Leisure Activity
Area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu
senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam
mengisi waktu luang bersama pasangan. c. Religious Orientation
keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli teradap
hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orangtua akan
mengajarkan dasar-dasar dan nilai-nilai agama yang dianut kepada anaknya. Mereka juga akan menjadi teladan yang baik dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama yang mereka
anut.
d. Conflict Resolution
Area ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri teradap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi
yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.
e. Financial Management
Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan,
bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika
f. Sexual Orientation
Area ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan.
Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini
bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan
cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasanga suami istri.
g. Family and Friends
Area ini dapat melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama
keluarga besar dan teman-teman. Pernikahan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama
keluarganya sendiri, jika ia uga mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu lama (Hurlock, 1999).
h. Children and Parenting
Area ini menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan
kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan antara
pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap
anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud. i. Personality Issue
Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku,
kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian
pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah perbedaan ini dapat memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku
pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.
j. Egalitarian Role
Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam
dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat
bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga
kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan
pribadi.
4. Kriteria Kepuasan Pernikahan
Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain:
a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan,
dimana dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga.
b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga. Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dalam keluarga.
c. Model parental role yang baik
Pola orangtua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Hal ini bisa memberntuk keharmonisan dalam keluarga.
d. Penerimaan terhadap konflik-konflik
Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak
dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga.
e. Kepribadian yang sesuai
Dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang satu dapat
f. Mampu memecahkan konflik
Levenson (dalam Lemme, 1995) mengatakan bahwa kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh
pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung kepuasan pernikahan pasangan tersebut.
E. Kepuasan Pernikahan Pasangan Yang Menikah Dengan Pacaran
Kepuasan pernikahan pasangan yang menikah dengan pacaran adalah
evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahannya yang cenderung berubah-ubah sepanjang waktu serta dipengaruhi oleh kematangan penyesuaian dan adanya kesesuaian antara kebutuhan dan harapan yang dimiliki suami / istri yang menikah
melalui pacaran dengan kenyataan yang dihadapi dalam pernikahan itu sendiri.
F. Kepuasan Pernikahan Pasangan Yang Menikah Dengan Ta’aruf
Kepuasan pernikahan pasangan yang menikah dengan ta’aruf adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahannya yang cenderung
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Kualitatif
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam
berkaitan dengan kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah dengan pacaran dan tanpa pacaran (ta’aruf). Menurut Creswell (1994) penelitian kualitatif
adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata,
mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan “metodologi
kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Selanjutnya Taylor dan Bogdan (dalam Saragih, 2003) mengatakan bahwa penelitian kualitatif memberi kesempatan pada peneliti untuk dapat
memahami cara responden menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara pola dan cara berpikir mereka. Peneliti berusaha masuk ke dunia konseptual
peneliti dapat mendapatkan gambaran mengenai apa saja faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan pernikahan pada diri responden dan dapat pula mengetahui bagaimana upaya dan solusi yang dilakukan responden dalam
menyikapi ketidakpuasan yang ia rasakan dan bagaimana ia mempertahankan kepuasan pernikahan yang ia rasakan.
Doley (dalam Irmawati, 2002) mengemukakan bahwa dalam pendekatan
kualitatif, teori tidak dipaksakan untuk mencari hubungan yang pasti antar variabel, melainkan lebih ditujukan untuk mencari dinamika masalah. Bogdan dan
Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan
semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.
Berdasarkan hal di atas, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode dalam meneliti kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah
dengan pacaran dan ta’aruf, sehingga hasil yang didapat dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran dan dinamika yang luas tentang perasaan yang dialami
subjek dalam menjalani pernikahannya selama ini.
B. Subjek dan Lokasi Penelitian 1. Karakteristik Subjek
Pemilihan subjek dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa
a. Dewasa Awal
Menurut Dariyo (2003), mereka yang tergolong dewasa muda ialah mereka yang berusia 20-40 tahun.
b. Pasangan Suami Istri
Pasangan suami istri dalam penelitian ini terdiri dari dua kategori, yakni pasangan suami istri yang menikah dengan pacaran dan
pasangan suami istri yang menikah tanpa pacaran (ta’aruf). c. Usia Pernikahan
Hendrick & Hendrick (1992) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah lama pernikahan. Usia pernikahan pada pasangan yang dijadikan subjek dalam penelitian
ini yakni 1 s/d 4 tahun pernikahan. Menurut Newman & Newman (2006), data menunjukkan bahwa kemungkinan munculnya perceraian sangat tinggi selama tahun pertama pernikahan dan mencapai
puncaknya antara usia dua dan 4 empat tahun pernikahan. 2. Jumlah Responden
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada
apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.
(suami-istri) yang menikah tanpa pacaran (ta’aruf). Alasan utama pengambilan
jumlah sampel tersebut dengan pertimbangan keterbatasan dari peneliti sendiri baik waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Medan yaitu di rumah responden. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan
sampel penelitian.
C. Teknik Pengambilan Sampel
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel
dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili fenomena yang dipelajari (Poerwandari,
2001).
D. Teknik Pengambilan Data
Menurut Poerwandari (2001), metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta
1. Wawancara
Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna
subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat
dilakukan melalui pendekatan lain.
Patton (dalam Poerwandari, 2001) membedakan tiga pendekatan dasar wawancara dalam memperoleh data kualitatif yaitu wawancara informal,
wawancara dengan pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka. Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang bersifat umum, yaitu mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan
pertanyaan. Pedoman digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (cheklist) apakah
aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan.
Jenis wawancara yang digunakan dalam wawancara adalah wawancara mendalam (in depth-Interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara
mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara
Hasil wawancara adalah berupa pernyataan-pernyataan yang menyeluruh
dan mendalam mengenai pandangan atau penilaian subjek terhadap pernikahannya, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan subjek dalam
pernikahannya, serta upaya dan solusi yang dilakukan subjek dalam menghadapi konflik atau permasalahan dalam pernikahannya.
2. Alat Bantu Pengumpulan Data
Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisa berdasarkan atas ”kutipan” hasil wawanca. Oleh karena itu,
pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangatlah penting dan cukup rumit, untuk itu diperlukan suatu instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu
peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Alat perekam (tape recorder)
Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil
rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah
memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang
bunyi aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, dan sarkasme
secara tajam (Padget, 1998). b. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau
dinyatakan (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan
juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisa data nantinya.
3. Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2001). Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah
dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas)
aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif
Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian
dalam mengungkapkan pemasalahan-permasalahan dalam kepuasan pernikahan subjek dan aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dapat dilihat dari faktor-faktor
E. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang
diperlukan untuk melakukan penelitian. a. Mengumpulkan data
Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang
berhubungan dengan kepuasan pernikahan, khususnya yang berkaitan dengan pasangan yang menikah dengan pacaran dan tanpa pacaran (ta’aruf).
b. Menyusun pedoman wawancara
Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori yang ada
untuk menjadi pedoman dalam wawancara. Adapun pedoman wawancara yang peneliti gunakan, antara lain:
1) Masa Perkenalan sebelum menikah:
a) Berapa usia subjek saat menikah?
b) Bagaimana proses perkenalan subjek dengan pasangan sebelum
menikah?
c) Berapa lama proses perkenalan yang subjek jalani hingga sampai pada pernikahan?
d) Bagaimana hubungan responden dengan pasangan saat masa perkenalan? 2) Dalam Pernikahan:
b) Bagaimana hubungan responden dengan pasangan di masa-masa awal
pernikahan?
c) Bagaimana pola komunikasi responden dengan pasangan?
d) Kegiatan apa saja yang responden lakukan bersama dengan pasangan bila memiliki waktu luang?
e) Bagaimana perubahan religiusitas yang responden rasakan setelah
menikah?
f) Apa saja permasalahan ataupun kendala-kendala yang sering responden
alami dalam kehidupan pernikahan?
g) Bagaimana cara responden menyikapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga responden?
h) Bagaimana responden menilai kondisi ekonomi keluarga saat ini? i) Bagaimana hubungan seksualitas responden dengan pasangan?
j) Bagaimana hubungan responden dengan keluarga pasangan responden?
k) Bagaimana hubungan responden dengan teman dan sahabat setelah menikah?
l) Bagaimana perasaan responden dengan hadir / belum hadirnya anak dalam rumah tangga responden?
m) Bagaimana pola pengasuhan responden terhadap anak?
n) Bagaimana pengaruh kehadiran / belum hadirnya anak terhadap hubungan responden dengan pasangan?
p) Bagaimana perasaan responden dalam menjalani peran-perannya?
c. Persiapan untuk mengumpulkan data
Mengumpulkan informasi tentang calon subjek penelitian. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon subjek untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk
berpartisipasi dalam penelitian.
d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara
Setelah memperoleh kesediaan dari subjek penelitian, peneliti meminta subjek untuk bertemu dan kemudian peneliti berusaha membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan subjek penelitian menentukan dan menyepakati waktu
untuk pertemuan selanjutnya untuk mengadakan wawancara penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:
a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi
ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam
b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani Lembar Persetujuan Wawancara yang menyatakan bahwa
responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian. Dalam melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan observasi terhadap responden.
c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim. Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding
dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik
yang dipelajari (Poerwandari, 2001). d. Melakukan analisa data
Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai, kemudian dibuatkan salinannya dan diserahkan kepada pembimbing.
e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran
Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan