• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah yang terjadi pasca amputasi tungkai bawah. 13

2.1. Amputasi

2.1.8. Masalah yang terjadi pasca amputasi tungkai bawah. 13

Pengalaman amputasi akan melibatkan klien sebagai manusia seutuhnya, pikiran, tubuh, dan jiwa. Klien perlu memulihkan emosional maupun fisik. Selama masa rehabilitasi semua kebutuhan klien penting. Klien mungkin

mengalami mati rasa atau perasaan kosong, depresi, takut, sedih, cemas, putus asa, kelelahan yang luar biasa, kebingungan, ketidak berdayaan dan dendam adalah perasaan yang terjadi pada klien yang mengalami amputasi. Klien memiliki serangkaian perubahan suasana hati dari tinggi ke rendah dan seperti berada pada sebuah roller coaster emosional (Society Vascular Nursing [SVN], 2008).

Klien dengan amputasi tungkai bawah dapat mengganggu fisik, psikologis, dan fungsi sosial. Orang-orang dengan amputasi biasanya melaporkan kemarahan, kesedihan, tidak berdaya dan rasa bersalah serta kekhawatiran tentang keluarga, pekerjaan, hubungan sosial dan hubungan seksual (Davidson et al, 2002).

Depresi dianggap sebagai gangguan medis, seperti gangguan fisik lainnya yang mempengaruhi pikiran manusia, perasaan, prilaku dan kesehatan bahkan fisik misalnya penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, kurang tidur dan kehilangan libido. Gejala depresi adalah hasil kontak yang terlalu lama dengan kondisi kehidupan yang penuh stres. Konsekuensi negatif dalam kehidupan seperti penyakit dan cacat tidak hanya membuat kehidupan yang penuh stres, tetapi juga mempengaruhi sumber daya adaptif. Amputasi tungkai bawah menyebabkan cacat fisik yang serius dan sangat intuitif bahwa penyesuaian dengan kondisi amputasi impulsif untuk tekanan psikologis. Depresi pada individu karena amputasi tungkai bawah mencapai 45 % dari antara seluruh penderita amputasi yang telah diteliti (Mozumdar, Roy, 2010).

Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kejiwaan yang dapat muncul setelah seseorang terkena suatu peristiwa yang melibatkan cedera serius terancam atau sebenarnya untuk diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan

respon rasa takut, tidak berdaya, atau mengerikan. Memahami gejala sisa psikiatri dan emosional amputasi bisa sangat meningkatkan sifat dan tingkat intervensi psikologis sekitar amputasi dan sesudahnya. Selain itu, jika ada tingkat yang signifikan dari gangguan stres pasca trauma setelah direncanakan, amputasi bedah

(Cavanagh, Shin, 2006)

Thomson dan Haran et, al. Livingstone (2011) menemukan bahwa klien yang telah menjalani amputasi mengalami isolasi sosial tingkat tinggi dan kebutuhan keuangan yang tidak terpenuhi termasuk pekerjaan dan kegiatan sosial. Amputasi dianggap sebagai tiga penghinaan karena membawa kerugian fungsi, hilangnya sensasi, dan kehilangan atau perubahan citra tubuh. Perubahan dramatis ini memiliki efek pada kualitas hidup individu karena keterbatasan aktifitas fisik segera setelah amputasi serta memiliki implikasi jangka panjang dalam aspek bervariasi dari kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi individu pada tingkat psiko sosial, dan memiliki implikasi ekonomi jangka panjang pada kehidupan dan kesempatan untuk bekerja. Hasil jangka panjang juga berpengaruh pada kontribusi individu kepada masyarakat (Morbidity and Mortality Weekly Report [MMWR], 2000).

Ditemukan bahwa setelah amputasi orang lebih jarang berpartisipasi dalam kegiatan sosial terutama orang-orang yang berumur lebih tua ketika diamputasi. Aktivitas waktu luang berubah setelah amputasi. Dari 123 kasus amputasi 93 orang benar-benar memiliki kegiatan yang berubah dan hanya 30 orang yang masih tertarik dengan kegiatan yang sama sebelumnya. Tiga kegiatan yang paling sering dilakukan sebelum amputasi adalah bersepeda, main bola dan pekerjaan

pertanian. Setelah amputasi mereka hanya membaca, menonton televisi atau mendengarkan musik. Dapat disimpulkan bahwa amputasi ekstremitas bawah sangat mengubah kehidupan sosial dan waktu luang mereka (Burger & Marincek, 1997).

Dalam hidup sebelum operasi, orang akan menjaga penampilan, namun sebelum operasi pasien mengalami perasaan ambigu, karena saat ini dalam kehidupan dimana orang tersebut akan menganggap cara baru masuk ke dalam dunia akan membangkitkan berbagai perasaan yang tidak terbatas yang dinyatakan atau tidak. Meskipun pasien menegaskan kesepakatan mereka dengan operasi, meraka menunjukkan perasaan putus asa, rasa sakit, penderitaan, ketakutan, kesedihan dan menangis dan tetap tertunduk (Chini, Boemer, 2007).

Phantom tungkai bukanlah efek sederhana dari fenomena pasca amputasi. Pasien tampaknya mengabaikan pemotongan dan menganggap bayangan mereka sebagai anggota tubuh yang sebenarnya. “Saya melihat bahwa saya tidak memiliki kaki. Ini gatal, kaki saya gatal. Saya meminta anak itu untuk membawa kaki saya yang diamputasi sehingga saya bisa menggaruknya dan dia berkata dia akan mencoba mencari disekitar dan tidak ada. Ini lucu bahwa anda merasa itu. Saat ini aku merasa kesemutan di kaki saya” (Chini & Boemer, 2007). Phantom limb sensations adalah perasaan klien yang merasakan bahwa kakinya masih ada disana, bahkan meskipun anda tahu bahwa itu tidak, sensasi ini terkuat setelah operasi, tetapi dapat terjadi bahkan bertahun-tahun kemudian (SVN, 2008)

Klien biasanya mengalami nyeri tungkai fantom segera setelah pembedahan atau 2 sampai 3 bulan setelah amputasi. Lebih sering terjadi pada

amputasi atas lutut. Klien menjelaskan nyeri atau perasaan tak biasa pada bagian yang telah diamputasi. Sensasi tersebut menimbulkan perasaan bahwa ekstremitasnya masih ada dan tergerus, kram atau terpuntir dengan posisi abnormal. Sensasi fantom lama kelamaan akan menghilang. Patogenesis fenomena anggota fantom tidak diketahui (Smeltzer, 2010).

Ada pengakuan yang berkembang bahwa amputasi tidak selalu menyebabkan hasil negatif (Phelps et al, 2008). Pada kasus pasien yang terkena masalah pembuluh darah, menghilangkan rasa sakit mereka adalah prioritas utama. Mengecilkan nyeri yang tidak tertahankan, sedih dan membatasi diri. Pada saat ini setiap upaya yang dilakukan untuk meringankan atau menghilangkan rasa sakit dianggap positif, bahkan jika harus menghilangkan anggota tubuh. Amputasi mulai dilihat sebagai kejahatan yang diperlukan “tidak tidur selama enam bulan sulit, sakit ketika berbaring, ketika saya berdiri, sulit, itu menyedihkan, saya menderita begitu banyak, begitu banyak, begitu banyak, sekarang jika saya harus melakukannya lagi, saya akan melakukannya lagi, karena semua penderitaan berakhir” (Chini & Boemer, 2007).

2.2. Konsep Mekanisme Koping

2.2.1. Defenisi

Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada manajemen stres. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam (Stuart, 2009 dan Keliat, 1999). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) koping sebagai upaya perubahan kognitif dan

prilaku secara konstan untuk mengatasi secara khusus tuntutan internal dan eksternal yang dinilai melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu.

Kata “coping” (mengatasi, menghadapi) memberikan kesan bahwa orang yang mengalami kesulitan menunjukkan prilaku yang tidak membantu mengatasi kesulitannya, namun beberapa orang mengatasi masalahnya dengan cara-cara yang lebih dari sekedar membantu mereka bertahan dalam kesulitan. Mereka berusaha dengan belajar dari pengalaman mereka dan menjadi lebih kuat karena pengalaman-pengalaman tersebut (Joseph & Linley, 2005).

2.2.2. Jenis-jenis mekanisme koping

Dokumen terkait