• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah 88

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 5 tema mengenai mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah yaitu : strategi fisik dengan 4 sub tema, strategi yang berorientasi terhadap masalah dengan 2 sub tema dan 3 kategori, strategi kognitif dengan 3 sub tema, strategi sosial dengan 4 sub tema, dan strategi spiritual dengan 2 sub tema.

Berbagai sub tema dan kategori dari masing-masing tema yang ditemukan, dapat dibahas satu persatu sebagai berikut :

5.1.1. Strategi fisik 1. Relaksasi

Kalau saya sudah selesai kerja, saya sekali-sekali refresinglah buk, dengan jumpa teman-teman, jalan sama teman-teman, curhat dengan teman saya udah lepas semuanya stres saya” [P9, L350-352].

Relaksasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh partisipan untuk mendinginkan kepala dan membuat otot-otot menjadi santai. Dengan relaksasi partisipan lebih merasa rileks walaupun kegiatan yang dilakukan cukup sederhana seperti mandi malam, nonton televisi, mendengar musik yang menghibur atau membaca koran untuk menyegarkan pikirannya. Biasanya partisipan menonton televisi sesua acara kesukaan mereka atau mendengar musik yang mereka sukai sehingga partisipan bisa melupakan sejenak masalahnya. Berita yang dibaca dari koran juga adalah berita yang ringan-ringan atau yang menyenangkan untuk pertisipan.

Partisipan juga berjalan-jalan dengan teman-temannya ke tempat yang bisa dijangkau dengan keadaan ekonomi partisipan. Jalan-jalan yang dilakukan kadang hanya dilakukan disekitar komplek tempat tinggal mereka atau ke mall dengan teman-temannya. Biasanya partisipan sejenak melupakan segala permasalahan mereka dengan bercerita hal-hal yang ringan yang menyenangkan mereka.

2. Meditasi

“akupun menenangkan dirilah dengan meditasi, menenangkan pikiran”[P11, L 269-270].

Meditasi yang dilakukan oleh partisipan pada awalnya adalah karena kondisi partisipan yang sendirian. Partisipan diikat dan dipasung oleh keluarga karena sering mengamuk dan melempar-lempar barang sehingga dianggap membahayakan orang-orang sekitarnya. Pada saat dipasung tersebut partisipan diobati oleh keluarga dengan berobat pada seorang dukun kampung dan diajari oleh dukun tersebut untuk memusatkan perhatian hanya pada kesembuhan atau anak-anak. Hal ini secara rutin dilakukan dan sedikit demi sedikit partisipan mulai

tenang dan tidak lagi suka mengamuk dan melempar barang. Partisipan juga mulai bisa menahan emosi dengan berpikir lebih positif dan hal-hal yang ringan. Hal itu dilakukan partisipan untuk menenangkan dirinya agar tidak mengamuk dan marah-marah lagi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Davidson dkk (2003) yang menyatakan bahwa meditasi mengajarkan antara lain kemampuan untuk memusatkan perhatian pada satu objek atau ide dan untuk mengembangkan ketenangan emosional. Tim peneliti dari berbagai latar belakang disiplin ilmu melakukan penelitian terkontrol dan terandominasi tentang efek dari program pelatihan meditasi selama delapan minggu. Mereka mengukur aktivitas listrik dalam otak sebelum dan segera setelah program pelatihan berakhir, kemudian pengukuran kembali dilakukan empat bulan berikutnya. Di akhir delapan minggu, para peneliti menemukan bahwa orang yang melakukan meditasi menunjukkan peningkatan yang signifikan di bagian-bagian otak yang berhubungan dengan emosi positif dan keuntungan yang signifikan terhadap fungsi kekebalan tubuh. Latihan yang menenangkan pikiran juga menguntungkan bagi otak dan tubuh. 3. Pemijatan

“Kalau lagi banyak pikiran, badan saya dikusuk” [P11, L107].

Pemijatan yang dilakukan oleh partisipan adalah karena kebiasaan didalam keluarga dimana kalau ada anggota keluarga yang kurang enak badan atau tidak bisa tidur biasanya dikusut oleh tukang pijat atau orang tua mereka, partisipan juga sudah terbiasa dipijat kalau sakit atau kurang enak badan. Partisipan juga merasa lebih rileks dan nyenyak tidur setelah dipijat sehingga partisipan juga tetap

meneruskan kegiatan pemijatan bila merasa kurang enak badan karena pemijatan juga merupakan tindakan yang sudah biasa dilakukan dilingkungan tempat tinggal partisipan apabila kurang enak badan atau pegal-pegal dan terkilir.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Fied (1998) dan Moyer, Rounds & Hannum (2004) yang menyatakan bahwa cara efektif lain untuk menenangkan diri sendiri adalah dengan pemijatan, yang jika digabungkan dengan meditasi, merupakan salah satu dari pengobatan tertua didunia (bangsa Cina merekomendasikan pemijatan pada abad kedua sebelum masehi). Meta analisis dari banyak penelitian telah menemukan bahwa pemijatan bermanfaat bagi manusia segala usia, dari bayi yang lahir prematur sampai lanjut usia yang paling tua sekalipun. Pemijatan juga bermanfaat bagi orang yang menderita asma dan diabetes, remaja dengan gangguan makan, lanjut usia yang mengalami depresi dan anak-anak hiperaktif.

4. Mencari kesibukan atau mengalihkan perhatian

Saya selalu pelihara kucing, saya selalu ajak bicara kucing itu, emmm... [P9, L706]. Berusaha menghilangkan rasa kekosongan dihati, dengan bekerja siang dan malam enggak berhenti” [P9, L618-619].

Mencari kesibukan dan mengalihkan perhatian adalah oleh partisipan untuk melupakan apa yang dirasakan oleh partisipan, dengan kesibukan serta aktivitas yang dilakukan mampu membuat rasa sedih dan stres partisipan bisa berkurang dan sedikit demi sedikit partisipan bisa bangkit dan melupakan hal traumatik yang mereka alami. Aktivitas yang dilakukan oleh partisipan adalah dengan memelihara binatang seperti ayam atau kucing.

Partisipan yang memelihara kucing juga menganggap binatang peliharaannya sebagai teman dan selalu diajak berkomunikasi seperti layaknya manusia yang mengerti keadaan partisipan. Binatang peliharaan tersebut dianggap teman karena tidak pernah membantah apapun yang diucapkan oleh partisipan dan partisipan menganggap kucing tersebut selalu mendengarkan apa yang disampakan oleh partisipan.

Aktivitas yang dilakukan oleh partisipan adalah merupakan aktivitas yang bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga partisipan seperti mencuci pakaian ataupun selalu berusaha untuk mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan sehingga tidak ada waktu untuk mengingat masalah amputasi yang dialami partisipan. Partisipan bekerja tanpa membatasi waktu dengan harapan mereka bisa melupakan masa-masa sedih yang telah mereka lalui dan juga bisa menambah penghasilan keluarga partisipan.

Seorang partisipan juga meresa sesak nafas bila mengingat masalah amputasinya. Namun ketika dibawa berobat dan diperiksa oleh dokter, partisipan sebenarnya tidak ada mengalami masalah pernafasan. Dokter juga mengatakan sesak nafas yang dialami partisipan adalah karena pikiran partisipan sendiri. Ketika partisipan bisa melupakan masalahnya sesak yang dialaminya juga hilang sama sekali.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Allen (2003), Seegel (1990) yang menyatakan bahwa hubungan pertemanan dengan sahabat atau binatang peliharaan merupakan sumber kelekatan dan hubungan yang dibutuhkan oleh setiap orang sepanjang hidup, itu sebabnya mengapa orang lanjut

usia yang memiliki anjing peliharaan lebih jarang memeriksakan diri ke rumah sakit jika dibandingkan dengan orang-orang seusia mereka yang tidak memiliki binatang peliharaan atau kucing. Anjing menjadi teman yang tidak menghakimi, teman sejati. Memiliki anjing juga dapat menurunkan tekanan darah pada orang yang memiliki pekerjaan dengan tingkat stres tinggi, seperti pialang saham. 5.1.2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah

1. Emotion focused coping

a. Kontrol diri

Sangat sedih, saya marah...karena...kehilangan kaki itu” [P1, L167]. “Saya menggores tangan saya dengan pisau silet, kalau sudah berdarah baru saya merasa lega dan berhenti” [P9, L438-439].

Beberapa waktu setelah amputasi adalah hal yang wajar bagi partisipan untuk merasakan marah, menangis atau bersedih, hal tersebut biasanya tidak berlangsung lama. Kontrol diri partisipan diluapkan dengan menangis, marah atau sedih karena pasca amputasi tungkai bawah. Meluapkan emosi dengan menangis, marah atau bersedih dapat mengurangi rasa sedih dan dapat melegakan perasaan partisipan. Biasanya partisipan merasa agak lebih lega walaupun itu hanya sementara.

Rasa sedih yang dilampiaskan partisipan dengan menangis dapat mengurangi rasa sedih yang dialami partisipan. Setiap partisipan juga berbeda dalam melampiaskan emosinya. Partisipan ada yang bisa menangis walaupun sebelumnya tidak pernah menangis namun ada juga yang tidak bisa mengontrol emosinya justru marah dan melemparkan barang-barang apa yang ada disekitarnya.

Partisipan yang lain juga ada yang tidak adaptif pada awal terjadinya amputasi tungkai bawah, karena partisipan mengatasi stresnya dengan hal yang negatif dengan menyakiti dirinya. Partisipan melukai kedua lengannya dengan menggores tangannya dengan pisau silet sampai berdarah. Menurut pertisipan kalau tangannya terasa sakit partisipan jadi lupa dengan masalah amputasinya. Hal ini dilakukan sampai seluruh tangan partisipan penuh dengan bekas goresan pisau silet. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena hal tersebut justru sangat berbahaya untuk partsipan sendiri.

Menurut pendapat Lepore, Ragan, & Jones (2000) yang menyatakan bahwa masalah yang berfokus pada emosi yang muncul akibat masalah yang dihadapi baik marah, cemas atau duka cita, beberapa waktu setelah bencana atau tragedi, adalah hal yang wajar bagi orang yang mengalaminya untuk merasakan emosi-emosi tersebut atau bahkan sampai merasa kewalahan dalam mengelola emosi-emosi tersebut. Pada tahap ini, orang seringkali butuh untuk membicarakan kejadian tersebut secara terus menerus agar dapat menerima, memahami dan memutuskan akan melakukan hal apa setelah kejadian tersebut selesai.

b. Membuat jarak

Saya dikamar saja terus, engak mau keluar” [P2, L410]

Beberapa partisipan merasa tidak nyaman untuk bergabung dengan orang-orang disekitarnya sehingga partisipan mengatasi rasa tidak nyamannya dengan membuat jarak dengan orang-orang disekitarnya, ini juga biasa muncul pada awal partisipan mengalami amputasi tungkai bawah. Partisipan juga mengatasi stres dan menjaga jarak dengan bersikap cuek dengan orang-orang disekitarnya.

Partisipan juga menjaga jarak dengan cara membatasi pertemuan dengan keluarga yang sebelumnya rutin dilakukan seperti mudik bila ada keluarga atau hari besar seperti tahun baru dan idul fitri. Partisipan memilih untuk merayakan lebaran atau tahun baru dirumah saja dan tidak ada kunjungan ke tempat keluarga atau tetangga.

Dari sudut pandang teori, respon emosi yang ditampilkan subjek terdiri atas emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif yang dialami subjek meliputi perasaan khawatir, kebingungan, keheranan, ketidakpercayaan, rasa tidak nyaman, sedih, dan putus asa, adapun emosi positif berupa perasaan tambah semangat, perasaan terhibur dan rasa senang (Hill, Dziedzic et al, 2010).

c. Lari atau menghindar dari masalah

Saya pindah kesini karena saya enggak sanggup lagi tinggal di kampung” [P6, L226-229].

Partisipan memiliki cara yang berbeda-beda untuk mengatasi setiap masalah. Salah satu cara yang dilakukan partisipan adalah dengan tidak mau membahas masalah amputasi yang dialaminya. Hal ini dianggap akan melukai perasaannya dan akan menimbulkan kesedihan partisipan. Partisipan juga menyalahkan keadaan sehingga partisipan benci dengan keadaan disekitarnya.

Reaksi partisipan untuk menghindar dari masalah juga adalah menghindari teman-temannya dengan tidak pulang kampung atau meninggalkan kampung halamannya. Salah satu partisipan pindah dari kampung halamannya hanya karena menghindar dan malu dengan keadaannya. Partisipan tidak mau bergaul dengan orang yang dulu mengenal dia normal secara fisik sehingga memilih untuk pindah rumah dan menghindar.

Beberapa partisipan juga mengatasi masalah dengan tidur dan berharap apa yang mereka alami adalah mimpi dan ketika bangun berharap itu sudah normal kembali. Partisipan merasa bahwa mimpi mereka adalah nyata dan didalam mimpi itu partisipan masih belum mengalami amputasi sehingga mereka ingin terus bermimpi dan berharap bahwa mimpi mereka adalah yag nyata. Ada juga partisipan yang melampiaskan emosinya dengan marah, dan merusak barang-barang disekitarnya, bahkan ada seorang partisipan melampiaskan stresnya dengan semakin banyak merokok. Merokok dianggap sebagai pelampiasan atau teman yang mengerti keadaannya.

Hal tersebut juga dibenarkan Kupers (2001) bahwa keberadaan emosi bisa menggiring individu mencapai hasil positif dalam kehidupan, antara lain mening-katnya kreativitas dan optimisme, atau sebaliknya, membawa individu kepada perilaku negatif seperti agresif dan pesimisme.

3. Problem focused coping

Kalau tidak dipotong saya tidak selamat.” [P1, L28].

Beberapa partisipan berusaha mengatasi stresnya dengan memandang dari sudut pandang yang berbeda dengan memandang bahwa amputasi tungkai bawah yang dialaminya adalah juga untuk kebaikan dirinya. Amputasi dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit lebih jauh lagi dan merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan mereka dari amputasi yang lebih jauh sampai ke paha. Mereka juga menganggap amputasi merupakan jalan keluar untuk menyelamatkan nyawa mereka walaupun pada awalnya mereka menolak tindakan amputasi tersebut. Namun dengan berjalannya waktu partisipan akhirnya dapat memahami

mengapa mereka harus diamputasi, apa tujuannya dan efeknya bila mereka tidak diamputasi.

Hasil penelitian ini juga didukung oleh pendapat Clarke & Evans (1998) yang menyatakan bahwa setelah masalah teridentifikasi, klien dapat mempelajari masalah tersebut sebanyak mungkin dari para ahli, teman, buku-buku, dari sumber yang lain untuk masalah yang sama. Doering (2000) juga mengatakan pengetahuan memberikan perasaan memiliki kendali dalam diri seseorang. Misalnya, saat orang mengetahui apa yang akan terjadi saat mereka mengalami operasi, mereka seringkali pulih dengan lebih cepat dan merasakan sakit yang lebih ringan dibandingkan dengan orang yang tidak siap.

5.1.3. Strategi kognitif 1. Meninjau kembali masalah

Dari pada saya menahan rasa sakit terus menerus memang saya lebih nyaman seperti ini” [P8, L236-238].

Meninjau kembali masalah dapat dilakukan secara berbeda, walaupun partisipan tidak dapat menghilangkan masalah yang membuat stres, tetapi dapat melihat masalah itu dengan cara pandang yang berbeda. Beberapa partisipan pada awalnya menyetujui untuk dilakukan amputasi karena takut penyakit yang dialaminya malah menyebar lebih luas sehingga menyetujui tindakan amputasi. Namun setelah partisipan sadar bahwa kakinya telah diamputasi timbul rasa khawatir, takut dan cemas. Perasaan cemas muncul karena perasaan takut tidak dapat bekerja, dan menghadapi hari esok karena semua partisipan adalah kepala keluarga yang juga adalah penanggung jawab kebutuhan keluarga.

Kesadaran partisipan untuk mengatasi stres yang mereka alami akhirnya muncul dengan meninjau kembali apa yang telah dialami partisipan. Amputasi tungkai bawah yang mereka alami adalah jalan terbaik dan harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa mereka dan untuk menyelamatkan mereka dari resiko amputasi yang lebih parah lagi karena penyebaran penyakit yang dialami oleh partisipan.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Folkman & Moskowitz (2000) yang menyatakan bahwa walaupun orang mengalami stres, orang dapat memilih untuk memikirkan masalah itu secara berbeda. Masalah dapat diubah menjadi tantangan dan kehilangan dapat diubah menjadi keuntungan yang tidak terduga. Cara seseorang berpikir mengenai suatu situasi atau provokasi, mempengaruhi emosi yang dirasakan mengenai situasi atau provokasi tersebut. Dengan meninjau kembali masalah dapat mengubah kemarahan menjadi simpati, kecemasan menjadi determinasi dan perasaan kehilangan menjadi perasaan memiliki kesempatan.

Hal ini juga sesuai dengan pendapat Linton (2006) dimana Linton mempelajari lebih banyak mengenai kondisi medisnya dan prognosisnya. Linton juga belajar untuk melakukan hampir segala hal dengan duduk dikursi roda termasuk menari dan memutuskan untuk kembali belajar disekolah. Ia juga mendapatkan gelar Ph.D dibidang psikologi, menikah kembali, dan menjadi guru yang sangat dihormati, ia juga menjadi konselor, penulis, dan aktivis yang memiliki komitmen untuk meningkatkan kondisi dan kesempatan bagi orang yang mengalami keterbatasan.

2. Belajar dari masalah

“..selalu belajar dari apa yang saya alami” [P11, L624-625]. “..kereta sorong ini kami buat sendiri pakai roda biar bisa bergerak selagi dirumah” [P4, L196-197]

Partisipan pasca amputasi tungkai bawah melaporkan bahwa mereka menjadi lebih kuat dan bahkan mereka menjadi manusia yang lebih baik karena bertumbuh dan belajar dari kejadian tersebut. Partisipan juga kreatif memodifikasi alat bantu yang bisa mereka gunakan dirumah agar lebih mudah dalam beraktivitas. Partisipan juga menganggap bahwa apa yang mereka alami adalah pelajaran yang sangat berarti dan mereka bisa mengambil hikmah dibalik musibah yang dialami. Partisipan juga belajar untuk lebih menjaga kesehatannya dan menghargai apa yang ada pada mereka dan partisipan menyadari bahwa kehilangan itu terasa karena sudah tidak ada lagi pada mereka. Ketika masih memiliki kaki yang utuh partisipan kurang mensyukurinya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Mc Farlan & Alvaro (2000) yang mengatakan bahwa korban dari kejadian traumatis dan penyakit yang mengancam nyawa melaporkan bahwa pengalaman membuat mereka lebih kuat, lebih tegar, dan bahkan mereka menjadi manusia yang lebih baik karena bertumbuh dan belajar dari kejadian tersebut.

Hal ini juga didukung oleh pendapat Schulz & Decker (1985) yang melakukan penelitian terhadap orang-orang dengan cedera tulang belakang menemukan bahwa sebanyak dua pertiga dari mereka merasakan keterbatasan tersebut memiliki aspek positif, seperti membantu mereka menilai orang lain dan dapat memperbaharui arti dari “otak” bukan “otot.

Sebagian orang bangkit dari musibah dengan ketrampilan baru yang mereka temukan atau mereka kembangkan, sebagian dipaksa untuk mempelajari sesuatu hal yang baru yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Mereka yang mengambil pelajaran dari tragedi yang tidak dapat dihindari dalam hidup dan menemukan arti dari pengalaman tersebut adalah mereka yang berhasil sukses menghadapi masalah dan tidak hanya bertahan dalam masalah (Davis, Nolen-Hoeksema & Larson, 1998, Folkman & Moskowitz, et al, 2000).

3. Membuat perbandingan sosial

“..Ada yang masih muda sudah kena kanker, belum nikah, jadi saya masih jauh lebih baik” [P3, L120-122].

Dalam mengatasi situasi stres pasca amputasi tungkai bawah beberapa partisipan membandingkan mereka dengan kondisi orang lain dengan penyakit yang sama ataupun penyakit lain yang mereka anggap lebih parah atau lebih berbahaya dibandingkan dengan kondisi mereka. Partisipan membuat daftar penyakit yang paling tidak mereka inginkan dan membandingkannya dengan mereka. Perbandingan yang dibuat partisipan tidak selalu dengan orang yang mereka anggap dibawah mereka namun juga yang berada diatas mereka atau yang telah sukses melewati masalah mereka. Namun partisipan juga yang membandingkan dirinya dengan orang lain yang sama yang terlebih dahulu diamputasi dan telah berhasil melewati masa stresnya dan hidup normal seperti yang lain dan mengatakan bahwa mereka lebih gemuk dan sehat setelah diamputasi.

Partisipan juga membuat perbandingan sosial melalui apa yang mereka lihat dan dengar melalui berita ditelevisi tanpa berjumpa langsung dengan

penderita. Mereka melihat banyak orang kurang beruntung dibandingkan dengan mereka.

Hal ini sejalan dengan pendapat Wood, Michaela, & Giordano (2000) yang mengungkapkan bahwa dalam situasi sulit, orang yang sukses bertahan seringkali membandingkan kondisi mereka dengan orang lain yang mereka rasakan kurang beruntung dibandingkan mereka. Separah apapun kondisi mereka, bahkan jika mereka memiliki penyakit mematikan, mereka menemukan orang lain yang jauh lebih parah. Hal ini juga didukung oleh Collins (1996) yang mengatakan bahwa terkadang orang yang sukses menghadapi masalah juga membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain yang mampu menghadapi masalah dengan lebih baik dibandingkan mereka sendiri.

5.1.4. Strategi sosial

1. Dukungan teman dan keluarga

“Istrilah yang mencari uang selama saya enggak bisa bekerja” [P4, L162-163] “Dia juga yang membantu saya ke kamar mandi waktu saya belum pakai kaki palsu, jadi hampir semua waktu itu dibantu oleh istri” [P12, L273-275].

Keluarga adalah orang terdekat yang dapat mendukung partisipan dalam mengatasi setiap masalah yang dihadapinya. Dukungan keluarga biasanya sangat berarti untuk memotivasi partisipan untuk bangkit dari keterpurukan. Istri atau suami adalah orang yang paling dekat yang bisa memotivasi bila pasangannya mengalami stres. Selain itu pasangan adalah orang yang membantu dan menggantikan peran pasangannya selama pasangannya bermasalah, seperti mencari nafkah keluarga. Selain istri atau suami, anak juga adalah menjadi penyemangat disetiap keluarga. Partisipan juga mengatakan stresnya hilang jika

mengingat anaknya, dan partisipan juga mengatakan harus bangkit karena anak-anak mereka, anak-anak adalah tempat curahan kasih sayang keluarga, sehingga partisipan merasa harus segera bangkit mengingat mereka punya anak-anak yang harus terus mereka perjuangkan sampai anak-anaknya berhasil kelak.

Selain itu perhatian-perhatian yang sederhana yang diberikan oleh keluarga juga sangat berarti untuk memotivasi partisipan. Perhatian seperti, menyediakan minum, makan, bertanya apa kabar, adalah bentuk perhatian yang sangat berarti untuk partisipan.

Selain keluarga, teman atau sahabat yang baik juga sangat penting untuk memotivasi partisipan. Teman atau sahabat yang baik sangat berarti bila sahabatnya sedang dalam masalah. Teman dan sahabat yang baik adalah yang selalu datang walaupun partisipan sedang dalam masalah, yang selalu mengerti tanpa menyalahkan mereka dan yang memandang partisipan sama sebelum mereka diamputasi.

Selain sebagai pendukung dalam setiap masalah yang dialami oleh partisipan, keluarga juga dapat menjadi penghambat bahkan menambah berat beban yang dialami oleh partisipan. Dua partisipan ditinggalkan oleh pasangannya karena tidak siap menerima keadaan pasangannya yang cacat. Hal ini semakin melukai perasaan partisipan sehingga mereka semakin sulit menerima keadaan mereka sendiri.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Cohen dkk, (2003) yang menyatakan bahwa memiliki teman adalah hal yang menyenangkan, hal ini dapat meningkatkan kesehatan. Hal ini telah diteliti pada

stres yang meningkatkan resiko flu. Dan hasilnya ditemukan bahwa ternyata memiliki banyak teman dan kenalan dapat mengurangi resiko tersebut. Dalam

Dokumen terkait