• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

MEKANISME KOPING KLIEN PASCA AMPUTASI

TUNGKAI BAWAH DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

KARMILA BR KABAN

127046028 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

MEKANISME KOPING KLIEN PASCA AMPUTASI

TUNGKAI BAWAH DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Oleh

KARMILA BR KABAN

127046028 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 18 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dra. Nurmaini, MKM., Ph.D Anggota : 1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes

(5)
(6)

Judul Tesis : Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

Nama Mahasiswa : Karmila Br Kaban

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada

manajemen stres untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai

melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu. Setiap individu

secara akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam

maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi maka tingkat

stres akan meningkat dan individu berespon melalui suatu mekanisme koping.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mekanisme koping klien pasca

amputasi tungkai bawah. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi,

yaitu suatu pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dan makna

mendasar dari suatu fenomena yang dialami. Jumlah partisipan 12 orang klien

pasca amputasi tungkai bawah yang berasal dari rumah sakit pemerintah di kota

Medan yang berusia antara 40 sampai 54 tahun yang telah melewati masa stres

pasca amputasi tungkai bawah. Hasil penelitian ini ditemukan 5 tema mekanisme

(7)

fisik terdiri dari 4 sub tema yakni relaksasi, meditasi, pemijatan, mencari

kesibukan/mengalihkan perhatian. Strategi yang berorientasi pada masalah terdiri

dari 2 sub tema yaitu, emotion focused coping, problem focused coping. Strategi

kognitif terdiri dari 3 sub tema yaitu, meninjau kembali masalah, belajar dari

masalah, membuat perbandingan sosial. Strategi sosial terdiri dari 4 sub tema

yaitu, dukungan teman dan keluarga, menemukan kelompok dukungan, membantu

orang lain, tanggung jawab terhadap keluarga. Strategi spiritual terdiri dari 2 sub

tema yaitu, mendekatkan diri kepada Tuhan, menganggap amputasi adalah

hukuman. Kesimpulan dari penelitian ini adalah mekanisme koping strategi fisik

in efektif yaitu mencari kesibukan/mengalihkan perhatian, kontrol diri yang in

efektif melukai dirinya dan melempar barang yang ada disekitarnya, mekanisme

koping in efektif yaitu lari atau menghindar dari masalah dan merokok. Tema

strategi spiritual yang in efektif yaitu menganggap amputasi adalah hukuman dari

Tuhan. Disarankan kepada perawat diruang perioperatif hendaknya bekerjasama

dengan perawat psykologis dalam mempersiapkan mental klien perioperatif dan

perawat komunitas dan jiwa dalam melakukan homecare sehingga klien tidak

mengalami stres pasca amputasi.

(8)

Thesis Title : Client Coping Mechanism After Post Lower Extremity Amputation in Medan

Name : Karmila Br Kaban

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Coping mechanism is all attempts which lead to stress management in

order to cope with internal and external demands which exceed individual

capability and sources. Each individual naturally experiences physical,

psychological, and social changes, either from internal or from external

environment. If the condition cannot be coped with, the level of stress will

increase and he will respond through coping mechanism. The objective of the

research was to identify coping mechanism in clients in the post lower extremity

amputation. The research used phenomenological approach which was aimed to

explain the basic concept and meaning of a certain phenomenon experienced by

someone. There were 12 participants who were 40 to 54 years old in the post

extremity amputation and who came from the public hospitals in Medan. All of

them passed the stressing period after their lower legs had been amputated. The

result of the research showed that there were five themes of experiences

(9)

which consisted of four sub themes, relaxation, meditation, massage, and seeking

activities / diverting attention, strategy which is oriented on problem consisted of

two sub themes, emotion focused coping and problem focused coping, cognitive

strategy which consisted of three sub themes, reviewing the problem, learning

from problem, and making social comparison, social strategy which consisted of

four sub themes, fiends and families support, finding supporting group, helping

other people, and being responsible for family, and spiritual strategy which

consisted of two sub themes, being close to God and considering the amputation

as a punishment. The conclusion was that coping mechanism of physical strategy

was in effective by seeking activities / diverting attention. Participants who had in

effective self control hurt themselves and threw any objects around them,

participants also had in effective coping mechanism since they ran or avoided

problems by moving out from their villages, and one participant coped with it by

smoking. The theme of spiritual strategy which was in effective considered that

amputation was a punishment. It is recommended that nurses who are on duty in

the pre operation rooms collaborate with psychological nurses in preparing the

mentality of pre operative patients, and community and mental nurses provide

homecare so that clients will not undergo stress in the post amputation.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat dan rahmatNya peneliti dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul

“Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan”.

Dalam penyelesaian penelitian dan penulisan tesis ini, peneliti banyak

menerima bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini,

peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Pembimbing II yang telah banyak

memberikan arahan dan bimbingan kepada peneliti selama penyusunan tesis

ini.

2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan arahan dan bimbingan selama menjalani pendidikan di Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Achmad Fathi, S.Kep., Ns., MNS, selaku Sekretaris Program Studi yang telah

memberikan arahan dan bimbingan selama menjalani pendidikan dan selama

penyusunan tesis ini.

4. Dra. Nurmaini, MKM., Ph.D, selaku pembimbing utama yang telah banyak

memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan tesis hingga selesai

(11)

5. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku penguji I yang telah banyak

memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

6. Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB, selaku penguji II yang telah

banyak memberikan masukan maupun saran untuk perbaikan tesis ini.

7. Seluruh staf dosen yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan

maupun dalam penyusunan tesis dan uji validitas

8. Direktur RSUP H. Adam Malik, yang telah memberikan izin kepada peneliti

sehingga peneliti bisa mengambil data klien pasca amputasi untuk menjadi

partisipan dalam tesis ini.

9. Direktur RSUD. Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan izin kepada

peneliti sehingga peneliti bisa mengambil data klien Pasca amputasi untuk

menjadi partisipan dalam penelitian ini.

10. dr. I. Nyoman E. L., M.Kes, AIFM, selaku Ketua Yayasan Universitas Prima

Indonesia yang telah memberikan Beasiswa selama peneliti kuliah di Program

Studi Magister Ilmu Keperawatan USU hingga selesai tepat pada waktunya.

11. Chrismis Novalinda Ginting, SSiT., M.Kes, selaku Dekan FKK UNPRI yang

telah mendukung peneliti selama peneliti menjalani perkuliahan di Program

Studi Magister Ilmu Keperawatan USU.

12. Orang Tua tercinta (alm ayah) dan ibunda serta ibu mertua yang selalu

menjadi inspirasi dan selalu mendukung dan memotivasi peneliti sampai

selesainya tesis ini tepat pada waktunya.

13. Suami tercinta Episitrepo Lawolo, SKM., SPd, yang menjadi pendamping

(12)

menjadi motivator dan selalu mendukung serta mencari solusi terbaik

sehingga peneliti bisa menyelesaikan tesis ini dengan baik.

14. Ketiga putra-putri peneliti (Yoel, Cilla dan Varel) yang menjadi sumber

kekuatan yang menguatkan peneliti dalam suka dan duka untuk selalu

melakukan yang terbaik untuk tesis ini dan selesai tepat pada waktunya.

15. Teman-teman seperjuangan terutama ibu Suryani Ginting, Suster Imelda

Derang, Tiarnida Nababan, Oktoberius Zebua, Nurlela Petra Saragih, Nelly

Barus, dan semua rekan-rekan seangkatan terutama peminatan KMB yang

tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang selalu saling menopang satu

dengan yang lain, sehingga bersama-sama kita berusaha untuk dapat

menyelesaikan tesisnya dengan baik.

Peneliti menyadari tesis ini belumlah sempurna dan membutuhkan

masukan yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan tesis ini. Oleh karena itu,

peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

tesis ini dan harapan peneliti semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu

pengetahuan secara khusus profesi keperawatan.

Medan, 18 Agustus 2014

Peneliti,

(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Karmila Br Kaban

Tempat/Tanggal Lahir : Doulu, 5 September 1974

Alamat : Puri Anom Asri Blok BB No. 74 Tanjung Anom

No. HP : 081375951678

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Inpres No. 046411 1987

SLTP SMP Negeri 2 Berastagi 1990

SLTA SMA Negeri Sampali 1993

D-III AKPER Darmo Medan 1996

D-IV D-IV Perawat Pendidik USU 2002

S1 PSIK STIKes Prima Husada 2005

Profesi Ners Profesi Ners FKK UNPRI 2009

S2 Magister Ilmu Keperawatan USU 2014

Riwayat Pekerjaan :

Jabatan Nama Institusi Tahun

Perawat RSU Kesuma Indah Tebing Tinggi 1997-2001

Dosen STIKes Prima Indonesia 2001-2005

(14)

Kegiatan Akademik Selama Studi :

Seminar Aplikasi Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan

Pengetahuan Bidang Kesehatan dan Workshop Menganalisis Data

Kualitatif dengan Metode Content Analysis dan Software WEFT-QDA, 18

Desember 2012, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

sebagai peserta.

Seminar Keperawatan Nursing Leadership Menyongsong ASEAN Community

2015, 30 Januari 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

sebagai peserta.

Seminar Internasional, Medan International Nursing Conference The Application

of Caring Science in Nursing Education Advanced Research and Clinical

Practice, 1-2 April 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara sebagai Peserta.

Pengabdian Masyarakat Deteksi Dini Hiperplasia dan kanker payudara dengan

Teknik SADARI di Kampung Nangka Pasar VI Stabat, 5 Oktober 2013

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara sebagai peserta.

Seminar dan Workshop Diagnostic Reasoning dengan Aplikasi NANDA, NOC,

NIC dan ISDA, 24 November 2013, Fakultas Keperawatan Universitas

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN………... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN………... 1

1.1. Latar Belakang……….... 1

1.2. Rumusan Permasalahan………... 5

1.3. Tujuan Penelitian………... 5

1.4. Manfaat Penelitian………... 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………... 7

2.1. Amputasi………... 7

2.1.1. Defenisi………... 7

2.1.2. Penyebab/predisposisi amputasi………... 8

2.1.3. Jenis amputasi………... 9

2.1.4. Faktor yang mempengaruhi amputasi………. 9

2.1.5. Tingkatan amputasi………. 10

2.1.6. Penatalaksanaan sisa tungkai……….. 11

2.1.7. Komplikasi………... 13

2.1.8. Masalah yang terjadi pasca amputasi tungkai bawah. 13 2.2. Konsep Mekanisme Koping……….. 17

2.2.1. Defenisi………... 17

2.2.2. Jenis-jenis mekanisme koping……… 18

2.2.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi mekanisme koping……….. 22

2.2.4. Literatur yang berhubungan dengan mekanisme koping……….. 25

2.3. Konsep Stres………. 26

2.3.1. Defenisi stres..………. 26

2.3.2. Etiologi stres………... 27

2.3.3. Respon stres……… 27

(16)

2.3.5. Dampak stres……….…. 31

2.3.6. Tingkatan stres……… 32

2.3.7. Mengukur tingkat stress……….. 33

2.3.8. Model adaptasi stres……….………... 34

2.4. Studi Fenomenologi……….. 38

BAB 3. METODE PENELITIAN……….. 41

3.1. Jenis Penelitian……….. 41

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 42

3.3. Partisipan………... 42

3.4. Pengumpulan Data……… 43

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional………... 47

3.6. Metode Analisa Data………. 48

3.7. Keabsahan Data………. 49

3.8. Pertimbangan Etik………. 51

BAB 4. HASIL PENELITIAN……… 52

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 52

4.1.1. RSUP. H. Adam Malik Medan………... 52

4.1.2. RSUD. Dr. Pirngadi Medan……… 55

4.2. Karakteristik Demografi Partisipan……….. 56

4.3. Karakteristik Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi…. 58 4.3.1. Strategi Fisik………... 59

4.3.2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah………... 62

4.3.3. Strategi kognitif……….. 71

4.3.4. Strategi sosial………. 76

4.3.5. Strategi spiritual……….. 83

BAB 5. PEMBAHASAN……….. 87

5.1. Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah 88 5.2. Keterbatasan Penelitian………. 107

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN………... 109

6.1. Kesimpulan………... 109

6.2. Saran……….. 110

DAFTAR PUSTAKA………... 112

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Karakteristik Demografi Partisipan……… 57

Tabel 4.2. Karakteristik Status Sosial Partisipan………. 58

Tabel 4.3. Tema dan Sub Tema Serta Kategori Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah……….

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian……….. 122

Permohonan menjadi responden……… 123

Surat pernyataan responden………... 124

Kuisioner penilaian stres…..……….. 125

Panduan wawancara………... 127

Format catatan lapangan……… 128

Lembar persetujuan uji validitas ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep………... 129

Lembar persetujuan uji validitas ibu Wardiyah Daulay, S.Kep., Ns., M.Kep……….. 130 Lembar persetujuan uji validitas ibu Resmi Masdelina Siregar, S.Kep., Ns………... 131

Lampiran 2 Biodata Expert………... 132

Lampiran 3 Izin penelitian……… 134

Surat izin pengambilan data ke RSUP. H. Adam Malik Medan……….. 135

Surat izin pengambilan data ke RSUD. Dr. Pirngadi Medan……….... 136

Surat izin pengambilan data dari RSUP. H. Adam Malik Medan……….. 137

Surat izin pengambilan data dari RSUD. Dr. Pirngadi Medan……….. 138

(19)

Judul Tesis : Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

Nama Mahasiswa : Karmila Br Kaban

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada

manajemen stres untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai

melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu. Setiap individu

secara akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam

maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi maka tingkat

stres akan meningkat dan individu berespon melalui suatu mekanisme koping.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mekanisme koping klien pasca

amputasi tungkai bawah. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi,

yaitu suatu pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dan makna

mendasar dari suatu fenomena yang dialami. Jumlah partisipan 12 orang klien

pasca amputasi tungkai bawah yang berasal dari rumah sakit pemerintah di kota

Medan yang berusia antara 40 sampai 54 tahun yang telah melewati masa stres

pasca amputasi tungkai bawah. Hasil penelitian ini ditemukan 5 tema mekanisme

(20)

fisik terdiri dari 4 sub tema yakni relaksasi, meditasi, pemijatan, mencari

kesibukan/mengalihkan perhatian. Strategi yang berorientasi pada masalah terdiri

dari 2 sub tema yaitu, emotion focused coping, problem focused coping. Strategi

kognitif terdiri dari 3 sub tema yaitu, meninjau kembali masalah, belajar dari

masalah, membuat perbandingan sosial. Strategi sosial terdiri dari 4 sub tema

yaitu, dukungan teman dan keluarga, menemukan kelompok dukungan, membantu

orang lain, tanggung jawab terhadap keluarga. Strategi spiritual terdiri dari 2 sub

tema yaitu, mendekatkan diri kepada Tuhan, menganggap amputasi adalah

hukuman. Kesimpulan dari penelitian ini adalah mekanisme koping strategi fisik

in efektif yaitu mencari kesibukan/mengalihkan perhatian, kontrol diri yang in

efektif melukai dirinya dan melempar barang yang ada disekitarnya, mekanisme

koping in efektif yaitu lari atau menghindar dari masalah dan merokok. Tema

strategi spiritual yang in efektif yaitu menganggap amputasi adalah hukuman dari

Tuhan. Disarankan kepada perawat diruang perioperatif hendaknya bekerjasama

dengan perawat psykologis dalam mempersiapkan mental klien perioperatif dan

perawat komunitas dan jiwa dalam melakukan homecare sehingga klien tidak

mengalami stres pasca amputasi.

(21)

Thesis Title : Client Coping Mechanism After Post Lower Extremity Amputation in Medan

Name : Karmila Br Kaban

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Coping mechanism is all attempts which lead to stress management in

order to cope with internal and external demands which exceed individual

capability and sources. Each individual naturally experiences physical,

psychological, and social changes, either from internal or from external

environment. If the condition cannot be coped with, the level of stress will

increase and he will respond through coping mechanism. The objective of the

research was to identify coping mechanism in clients in the post lower extremity

amputation. The research used phenomenological approach which was aimed to

explain the basic concept and meaning of a certain phenomenon experienced by

someone. There were 12 participants who were 40 to 54 years old in the post

extremity amputation and who came from the public hospitals in Medan. All of

them passed the stressing period after their lower legs had been amputated. The

result of the research showed that there were five themes of experiences

(22)

which consisted of four sub themes, relaxation, meditation, massage, and seeking

activities / diverting attention, strategy which is oriented on problem consisted of

two sub themes, emotion focused coping and problem focused coping, cognitive

strategy which consisted of three sub themes, reviewing the problem, learning

from problem, and making social comparison, social strategy which consisted of

four sub themes, fiends and families support, finding supporting group, helping

other people, and being responsible for family, and spiritual strategy which

consisted of two sub themes, being close to God and considering the amputation

as a punishment. The conclusion was that coping mechanism of physical strategy

was in effective by seeking activities / diverting attention. Participants who had in

effective self control hurt themselves and threw any objects around them,

participants also had in effective coping mechanism since they ran or avoided

problems by moving out from their villages, and one participant coped with it by

smoking. The theme of spiritual strategy which was in effective considered that

amputation was a punishment. It is recommended that nurses who are on duty in

the pre operation rooms collaborate with psychological nurses in preparing the

mentality of pre operative patients, and community and mental nurses provide

homecare so that clients will not undergo stress in the post amputation.

(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Amputasi adalah menghilangkan satu atau lebih bagian tubuh dan belum

pernah terjadi sebelumnya yang bisa sebabkan oleh malapetaka atau bencana alam

seperti kecelakaan, gempa, terorisme dan perang, atau dilakukan karena alasan

medis dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien.

Pada pasien kanker amputasi dilakukan sebagai prosedur menyelamatkan jiwa

untuk melindungi mereka dari keganasan lebih lanjut dari bagian tubuh yang satu

ke bagian tubuh lainnya. Pada pasien kusta dan gangren ekstremitas, amputasi

dilakukan untuk menghentikan kemajuan penyakit atau penyebaran penyakit.

(Demet, 2003).

Menurut Crenshaw (2002) di Amerika Serikat terjadi 43.000 kasus

pertahun dari jumlah penduduk 280.562.489 jiwa atau sekitar 0,02 % sedangkan

menurut Raichle et al. (2009) disebutkan bahwa terjadi kasus amputasi sekitar

158.000 per tahun dari jumlah penduduk 307.212.123 atau sekitar 0,05 % dan

terjadi kenaikan baik secara jumlah maupun secara persentase dari jumlah

penduduk. Amputasi yang paling sering dilakukan adalah amputasi pada

ekstremitas bawah mencapai 85 % sampai 90 % dari seluruh amputasi.

Menurut Vitriana (2002) angka kejadian pasti kasus amputasi di Indonesia

tidak dapat diketahui. Berdasarkan data surveilens terpadu penyakit (STP) tahun

(24)

yang dirawat dan 934 pasien dirawat di puskesmas selama Januari hingga Juni

2009, (Supriadi, et al, 2009) Study epidemiologi memperkirakan 2,5 % pasien

diabetes menjadi diabetic foot (DF) ulcers, dan setiap tahunnya 15 % menjadi

diabetic foot ulcers seumur hidup. Diabetic foot adalah penyebab dari amputasi

ekstremitas bawah lebih dari 85 % kasus. Masalah ekstremitas bawah lebih sering

mengalami komplikasi termasuk penurunan sensasi, yang memperberat terjadinya

amputasi ekstremitas bawah pada seseorang dengan Diabetes Melitus (Cristina,

2007).

Trauma dan kanker adalah penyebab utama kejadian amputasi, namun di

dunia barat penyakit pembuluh darah perifer menyumbang 80-90 % dari semua

kasus amputasi dan usia rata-rata diatas 70 tahun. Di Amerika Serikat masalah

pembuluh darah menyumbang 82 % dari semua kasus amputasi. Di negara-negara

berkembang trauma merupakan penyebab utama amputasi dan di negara-negara

yang memiliki ranjau darat juga menjadi penyebab terjadinya amputasi

ekstremitas bawah (Barmparas, 2010).

Amputasi membawa perubahan yang signifikan dan drastis dalam

kehidupan seseorang, dimulai dengan syok, kemudian mengakui dan akhirnya

menerima dengan berat. Amputasi disebut sebagai tiga penghinaan karena

membawa kerugian fungsi, hilangnya sensasi dan kehilangan atau perubahan citra

tubuh. Perubahan dramatis ini memiliki efek pada kualitas hidup individu karena

keterbatasan aktivitas fisik segera setelah amputasi serta memiliki implikasi

jangka panjang dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi

(25)

panjang dan berpengaruh pada kontribusi individu kepada masyarakat (Demet,

2003).

Peneliti menemukan bahwa peserta yang telah menjalani amputasi

mengalami isolasi sosial, dan memiliki kebutuhan yang tak terpenuhi dalam

kaitannya dengan keuangan, pekerjaan dan kegiatan sosial, sementara Livneh,

Antonak, dan Gerhardt (1999) melaporkan bahwa usia yg lebih muda dan durasi

yang lebih rentan mengalami depresi, kualitas hidup pada umumnya lebih rendah

bagi mereka yang mengalami amputasi dibandingkan dengan klien yang tidak

mengalami amputasi, (Livingtone, 2011). Amputasi juga sering terjadi pada orang

dewasa muda dan kelompok usia produktif sehingga amputasi tungkai

menyebabkan krisis ekonomi yang serius bagi keluarga terutama bila klien tidak

mampu membeli alat prosthesis yang baik yang sesuai dengan kebutuhan (Chalya,

Mabula, 2012).

Menurut laporan, angka kematian pada tahun pertama setelah amputasi

adalah 13-40 %, di tahun ketiga, 35-65 % dan pada tahun kelima adalah 39-80 %,

dimana angka yang sebanding dengan tingkat kematian pada keganasan. Selain

itu, kehilangan pekerjaan dan kebutuhan medis dan perawatan, pengurangan

dalam interaksi sosial dan keluarga, dan perubahan gaya hidup merupakan

masalah utama yang mempengaruhi keluarga dan status sosial ekonomi pasien

serta tidak adanya kaki dan tungkai bawah dapat sangat bermasalah bagi pasien

dan mengerahkan terlalu banyak energi untuk berjalan, oleh karena itu, amputasi

(26)

akhirnya, pasien dengan kaki diamputasi perlu rawat inap jangka panjang,

rehabilitasi, perawatan rumah dan dukungan sosial (Shojaiefard, 2008).

Kehilangan anggota tubuh ditandai oleh serangkaian respon psikologis

yang kompleks. Meskipun banyak orang berhasil menggunakan respon tersebut

untuk menyesuaikan diri dengan amputasi namun sebanyak 50 % gejala kejiwaan

dari semua kasus amputasi memerlukan beberapa intervensi psikologis, dan

depresi adalah reaksi psikologis yang paling umum diantara pasien dengan

amputasi (Cansever, 2003)

Klien pasca amputasi tungkai bawah melaporkan ketidaknyamanan sosial

yang terkait dengan perubahan citra tubuh, body esteem negatif, kurangnya

dukungan sosial dan meningkatnya depresi dan gangguan stres pasca-trauma.

Orang-orang dengan amputasi biasanya melaporkan kemarahan, kesedihan, tidak

berdaya, frustasi, kecemasan dan rasa bersalah, serta kekhawatiran tentang

keluarga, pekerjaan, hubungan sosial dan seksual (Davidson et al. 2002.

Rybarczyk et al. 1995, Gallagher & MacLachlan 2001, Taleporos & McCabe,

2005, Williams et al. 2004, Phelps et al. 2008).

Gangguan stres pasca trauma (PTSD) adalah gangguan kejiwaan yang

dapat muncul setelah seseorang terkena suatu peristiwa yang melibatkan cedera

serius, ancaman yang serius untuk diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan

respon rasa takut, tidak berdaya, atau menakutkan. Memahami gejala sisa psikiatri

dan emosional amputasi bisa sangat meningkatkan jenis intervensi dan tingkat

(27)

Adaptasi merupakan hasil akhir dari upaya koping. Beradaptasi berarti

mendapatkan persepsi, perilaku dan lingkungan yang berubah sehingga tercapai

keseimbangan. Setiap individu secara terus-menerus akan menghadapi perubahan

fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam maupun dari lingkungan luar. Jika hal

tersebut tidak dapat dihadapi dengan seimbang maka tingkat stres akan

meningkat. Dalam upaya beradaptasi terhadap perubahan tersebut, individu

berespon melalui suatu mekanisme koping (Keliat, 1999).

Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada

manajemen stres. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon

terhadap situasi yang mengancam (Stuart, 2009). Menurut Lazarus dan Folkman

(1984) koping sebagai upaya perubahan kognitif dan prilaku secara konstan untuk

mengatasi secara khusus tuntutan internal dan eksternal yang dinilai melebihi

kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu.

1.2. Rumusan Permasalahan

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

fenomena mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah di kota Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi mekanisme koping

klien pasca amputasi tungkai bawah di kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

(28)

1.4.1. Profesi keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan kepada perawat terutama

tentang mekanisme koping klien pasca amputasi dan sebagai masukan dalam

memberikan pendidikan kesehatan kepada klien pasca amputasi tungkai

bawah.

1.4.2. Pelayanan rumah sakit

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam pelayanan rumah

sakit terutama untuk perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan untuk

mempersiapkan pasien pulang dan kunjungan ke rumah secara berkala untuk

memantau perkembangan klien sehingga klien bisa beradaptasi dengan

masalah yang dialaminya.

1.4.3. Peneliti sendiri

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman

peneliti dalam melakukan pengkajian dan wawancara pada klien pasca

amputasi tungkai bawah dan dapat melakukan praktek langsung penelitian

yang telah diterima peneliti di bangku kuliah.

1.4.4. Peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu rujukan untuk penelitian

selanjutnya terkait adaptasi klien dan menjadi rujukan terhadap penanganan

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Amputasi

2.1.1. Defenisi

Amputasi berasal dari kata “amputare” yang berarti “pancung”. Amputasi

adalah penghilangan satu atau lebih bagian tubuh dan bisa sebagai akibat dari

malapetaka atau bencana alam, belum pernah terjadi sebelumnya, seperti

kecelakaan, gempa dengan intensitas kuat, terorisme dan perang, atau dilakukan

karena alasan medis dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas

hidup pasien. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi

pilihan terakhir apabila masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak

mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau apabila kondisi

organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak

organ tubuh yang lain, (Demet K, 2003, Glass, Vincent, 2004).

Amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh

seperti sistem integumen, sistem persarafan, sistem muskuloskeletal dan sistem

cardiovaskuler. Lebih lanjut amputasi dapat menimbulkan masalah psikologis

bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas,

(Wahid, 2013).

Amputasi ekstremitas bawah adalah prosedur pembedahan yang dihasilkan

dari sebuah kondisi medis yang serius seperti diabetes, trauma atau neoplasma,

(30)

perifer merupakan penyebab yang tertinggi amputasi ekstremitas bawah, (Senra,

Arago, Leal, 2011).

2.1.2. Penyebab/predisposisi amputasi

Penyakit vaskular perifer adalah penyebab utama amputasi pada individu

non diabetes dan memberikan kontribusi sekitar setengah dari semua amputasi

pada individu dengan diabetes. Kontroversi mengenai penilaian yang tepat dan

manajemen penyakit pembuluh darah perifer juga ada meskipun beberapa pusat

keunggulan telah melaporkan penurunan tingkat amputasi setelah revaskularisasi

bedah agresif (Wrobel, Mayfield, Rieber, 2001).

Lebih dari 60 % dari amputasi tungkai bawah non traumatik di Amerika

Serikat terjadi di antara orang-orang dengan diabetes melitus, dan meningkat

enam hingga sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan orang tanpa diabetes. Setelah

amputasi tungkai bawah pertama, hingga 50 % pasien memerlukan amputasi lain

dalam waktu 3-5 tahun, (Lipsky, Weigelt, Sun, 2011). Menurut Jumeno dan

Adliss (2010) amputasi dapat juga disebabkan oleh berbagai hal seperti penyakit,

faktor cacat bawaan lahir ataupun kecelakaan.

Menurut Wahid tahun 2013, amputasi dapat dilakukan pada kondisi

sebagai berikut :

1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.

2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.

3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.

4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.

(31)

6. Deformitas organ.

2.1.3. Jenis amputasi

Menurut Wahid (2013) ada beberapa jenis amputasi yaitu :

a. Amputasi selektif/terencana ; amputasi jenis ini dilakukan pada

penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta

terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu

tindakan alternatif terakhir.

b. Amputasi akibat trauma ; merupakan amputasi yang terjadi sebagai

akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah

memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum

klien.

c. Amputasi darurat ; kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim

kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang

cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan

kerusakan/kehilangan kulit yang luas.

2.1.4. Faktor yang mempengaruhi amputasi

Klien yang memerlukan amputasi biasanya orang muda dengan trauma

ekstremitas berat atau lanjut usia dengan penyakit vaskuler perifer. Orang muda

umumnya sehat, sembuh dengan cepat, dan berpartisipasi dalam program

rehabilitasi segera. Karena amputasi sering merupakan akibat dari cedera, klien

memerlukan lebih banyak dukungan psikologis untuk menerima perubahan

mendadak citra diri dan menerima stress akibat hospitalisasi, rehabilitasi jangka

(32)

mengatasi perasaan mereka mengenai kehilangan permanen tadi. Reaksi mereka

sudah diduga dan dapat berupa kesedihan terbuka dan bermusuhan (Liu, William,

2010, Smeltzer, 2010).

Sebaliknya lanjut usia dengan penyakit vaskuler perifer sering mengidap

masalah kesehatan lain, termasuk diabetes melitus dan arteriosklerosis. Amputasi

terapeutik untuk kondisi yang sudah berlangsung lama dapat membebaskan klien

dari nyeri, disabilitas, dan ketergantungan. Klien ini biasanya sudah siap

mengatasi perasaannya dan siap menerima amputasi. Perencanaan untuk

rehabilitasi psikologik dan fisiologik dimulai sebelum amputasi dilaksanakan.

Namun, kelainan kardiovaskuler respirasi, atau neurologik mungkin dapat

membatasi kemajuan rehabilitasi (Lukman, 2009).

2.1.5. Tingkatan amputasi

Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit. Batas amputasi

pada cedera ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat. Batas amputasi pada

tumor maligna ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko kekambuhan

lokal. Sedangkan pada penyakit pembuluh darah ditentukan oleh vaskularisasi sisa

ekstremitas dan daya sembuh luka sisa tungkai (puntung) (Sjamsuhidajat, 2005)

Ampusi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat mencapai

penyembuhan dengan baik. Tempat amputasi ditentukan berdasarkan dua faktor:

peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan fungsional (misalnya sesuai

kebutuhan prostesis) (Smeltzer, 2010).

Lima tingkatan amputasi yang sering digunakan pada ekstremitas bawah

(33)

disartikulasi lutut panggul, dan hemipelviktomi dan amputasi translumbar. Tipe

amputasi ada dua yaitu, terbuka (provisional) yang memerlukan teknik aseptik

ketat dan revisi lanjut, serta tertutup atau flap (Doengoes, 2000).

Amputasi jari kaki dan sebagian kaki hanya menimbulkan perubahan

minor dalam gaya jalan dan keseimbangan. Amputasi Syme (modifikasi amputasi

disartikulasi pergelangan kaki) dilakukan paling sering pada trauma kaki

ekstensif dan menghasilkan ekstremitas yang bebas nyeri dan kuat dan yang dapat

menahan beban berat badan yang penuh. Amputasi bawah lutut lebih disukai

dibandingkan amputasi atas lutut karena pentingnya sendi lutut dan kebutuhan

energi untuk berjalan. Dengan mempertahankan lutut sangat berarti bagi seorang

lanjut usia antara ia bisa berjalan dengan alat bantu dan hanya bisa duduk dikursi

roda. Disartikulasi sendi lutut paling berhasil pada klien muda, aktif yang masih

mampu mengembangkan kontrol yang tepat terhadap prostesis. Bila dilakukan

amputasi atas lutut, pertahankan sebanyak mungkin panjangnya, otot dibentuk dan

distabilkan, dan kontraktur pinggul dapat dicegah untuk potensial ambulasi

maksimal. Bila dilakukan amputasi disartikulasi sendi pinggul, kebanyakan orang

akan tergantung pada kursi roda untuk mobilitasnya. Amputasi ekstremitas atas

dilakukan dengan mempertahankan panjang fungsional maksimal. Prostesis

segera diukur agar fungsinya bisa maksimal (Smeltzer, 2008).

2.1.6. Penatalaksanaan sisa tungkai

Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka amputasi,

menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang

(34)

penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan masalah kesehatan lainnya.

Penyembuhan dipercepat dengan penanganan lembut terhadap sisa tungkai,

pengontrolan edema sisa tungkai, dengan balutan kompres lunak atau rigid dan

menggunakan teknik aseptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi

(Lukman, 2009).

Balutan rigid tertutup sering digunakan untuk mendapatkan kompresi yang

merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri, dan mencegah

kontraktur. Segera setelah pembedahan balutan gips rigid dipasang dan dilengkapi

tempat memasang ekstensi prostesis sementara (pylon) dan kaki buatan. Kaus

kaki steril dipasang pada sisi anggota. Bantalan dipasang pada daerah peka

tekanan. Puntung kemudian dibalut dengan balutan gips elastis yang ketika

mengeras akan mempertahankan tekanan yang merata. Tekanan balutan rigid ini

digunakan sebagai cara membuat socket untuk pengukuran protesis pasca operatif

segera. Panjang prostesis disesuaikan dengan individu klien. Gips diganti dalam

sekitar sepuluh sampai empat belas hari. Bila ada peningkatan suhu tubuh, nyeri

berat, atau gips yang mulai longgar harus segera diganti (Smeltzer, 2008).

Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila

diperlukan inspeksi berkala puntung sesuai kebutuhan. Bidai immobilisasi dapat

dibalutkan dengan balutan. Hematoma (luka) puntung dikontrol dengan alat

drainase luka untuk meminimalkan infeksi (Lukman, Ningsih, 2009).

Amputasi bertahap bisa dilakukan bila ada gangren atau infeksi.

Pertama-tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan nekrosis

(35)

antibiotika. Dalam beberapa hari, ketika infeksi telah terkontrol dan pasien telah

stabil, dilakukan amputasi definitif dengan penutupan kulit, (Lukman, Ningsih,

2009).

2.1.7. Komplikasi

Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit.

Karena ada pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan masif.

Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan, dengan peredaran darah

buruk atau kontaminasi luka setelah amputasi traumatika, risiko infeksi

meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan iritasi akibat prostesis dapat

menyebabkan kerusakan kulit (Smeltzer, 2008).

Hemorage masif akibat lepasnya jahitan merupakan masalah yang paling

membahayakan. Klien harus dipantau secara cermat mengenai setiap tanda dan

gejala perdarahan. Tanda vital klien harus dipantau, dan drainase berpengisap

harus diobservasi sesering mungkin. Perdarahan segera setelah pasca operasi

dapat terjadi perlahan atau dalam bentuk hemorage masif akibat lepasnya jahitan.

Torniket besar harus tersedia dengan mudah disisi pasien sehingga bila

sewaktu-waktu terjadi perdarahan hebat, dapat segera dipasang pada sisa tungkai untuk

mengontrol perdarahan. Ahli bedah harus diberi tahu dengan segera bila ada

hemorage berlebihan (Smeltzer, 2010).

2.1.8. Masalah yang terjadi pasca amputasi tungkai bawah

Pengalaman amputasi akan melibatkan klien sebagai manusia seutuhnya,

pikiran, tubuh, dan jiwa. Klien perlu memulihkan emosional maupun fisik.

(36)

mengalami mati rasa atau perasaan kosong, depresi, takut, sedih, cemas, putus asa,

kelelahan yang luar biasa, kebingungan, ketidak berdayaan dan dendam adalah

perasaan yang terjadi pada klien yang mengalami amputasi. Klien memiliki

serangkaian perubahan suasana hati dari tinggi ke rendah dan seperti berada pada

sebuah roller coaster emosional (Society Vascular Nursing [SVN], 2008).

Klien dengan amputasi tungkai bawah dapat mengganggu fisik, psikologis,

dan fungsi sosial. Orang-orang dengan amputasi biasanya melaporkan kemarahan,

kesedihan, tidak berdaya dan rasa bersalah serta kekhawatiran tentang keluarga,

pekerjaan, hubungan sosial dan hubungan seksual (Davidson et al, 2002).

Depresi dianggap sebagai gangguan medis, seperti gangguan fisik lainnya

yang mempengaruhi pikiran manusia, perasaan, prilaku dan kesehatan bahkan

fisik misalnya penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, kurang tidur dan

kehilangan libido. Gejala depresi adalah hasil kontak yang terlalu lama dengan

kondisi kehidupan yang penuh stres. Konsekuensi negatif dalam kehidupan seperti

penyakit dan cacat tidak hanya membuat kehidupan yang penuh stres, tetapi juga

mempengaruhi sumber daya adaptif. Amputasi tungkai bawah menyebabkan cacat

fisik yang serius dan sangat intuitif bahwa penyesuaian dengan kondisi amputasi

impulsif untuk tekanan psikologis. Depresi pada individu karena amputasi tungkai

bawah mencapai 45 % dari antara seluruh penderita amputasi yang telah diteliti

(Mozumdar, Roy, 2010).

Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kejiwaan yang dapat

muncul setelah seseorang terkena suatu peristiwa yang melibatkan cedera serius

(37)

respon rasa takut, tidak berdaya, atau mengerikan. Memahami gejala sisa psikiatri

dan emosional amputasi bisa sangat meningkatkan sifat dan tingkat intervensi

psikologis sekitar amputasi dan sesudahnya. Selain itu, jika ada tingkat yang

signifikan dari gangguan stres pasca trauma setelah direncanakan, amputasi bedah

(Cavanagh, Shin, 2006)

Thomson dan Haran et, al. Livingstone (2011) menemukan bahwa klien

yang telah menjalani amputasi mengalami isolasi sosial tingkat tinggi dan

kebutuhan keuangan yang tidak terpenuhi termasuk pekerjaan dan kegiatan sosial.

Amputasi dianggap sebagai tiga penghinaan karena membawa kerugian fungsi,

hilangnya sensasi, dan kehilangan atau perubahan citra tubuh. Perubahan dramatis

ini memiliki efek pada kualitas hidup individu karena keterbatasan aktifitas fisik

segera setelah amputasi serta memiliki implikasi jangka panjang dalam aspek

bervariasi dari kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi individu pada tingkat psiko

sosial, dan memiliki implikasi ekonomi jangka panjang pada kehidupan dan

kesempatan untuk bekerja. Hasil jangka panjang juga berpengaruh pada kontribusi

individu kepada masyarakat (Morbidity and Mortality Weekly Report [MMWR],

2000).

Ditemukan bahwa setelah amputasi orang lebih jarang berpartisipasi dalam

kegiatan sosial terutama orang-orang yang berumur lebih tua ketika diamputasi.

Aktivitas waktu luang berubah setelah amputasi. Dari 123 kasus amputasi 93

orang benar-benar memiliki kegiatan yang berubah dan hanya 30 orang yang

masih tertarik dengan kegiatan yang sama sebelumnya. Tiga kegiatan yang paling

(38)

pertanian. Setelah amputasi mereka hanya membaca, menonton televisi atau

mendengarkan musik. Dapat disimpulkan bahwa amputasi ekstremitas bawah

sangat mengubah kehidupan sosial dan waktu luang mereka (Burger & Marincek,

1997).

Dalam hidup sebelum operasi, orang akan menjaga penampilan, namun

sebelum operasi pasien mengalami perasaan ambigu, karena saat ini dalam

kehidupan dimana orang tersebut akan menganggap cara baru masuk ke dalam

dunia akan membangkitkan berbagai perasaan yang tidak terbatas yang

dinyatakan atau tidak. Meskipun pasien menegaskan kesepakatan mereka dengan

operasi, meraka menunjukkan perasaan putus asa, rasa sakit, penderitaan,

ketakutan, kesedihan dan menangis dan tetap tertunduk (Chini, Boemer, 2007).

Phantom tungkai bukanlah efek sederhana dari fenomena pasca amputasi.

Pasien tampaknya mengabaikan pemotongan dan menganggap bayangan mereka

sebagai anggota tubuh yang sebenarnya. “Saya melihat bahwa saya tidak memiliki

kaki. Ini gatal, kaki saya gatal. Saya meminta anak itu untuk membawa kaki saya

yang diamputasi sehingga saya bisa menggaruknya dan dia berkata dia akan

mencoba mencari disekitar dan tidak ada. Ini lucu bahwa anda merasa itu. Saat ini

aku merasa kesemutan di kaki saya” (Chini & Boemer, 2007). Phantom limb

sensations adalah perasaan klien yang merasakan bahwa kakinya masih ada

disana, bahkan meskipun anda tahu bahwa itu tidak, sensasi ini terkuat setelah

operasi, tetapi dapat terjadi bahkan bertahun-tahun kemudian (SVN, 2008)

Klien biasanya mengalami nyeri tungkai fantom segera setelah

(39)

amputasi atas lutut. Klien menjelaskan nyeri atau perasaan tak biasa pada bagian

yang telah diamputasi. Sensasi tersebut menimbulkan perasaan bahwa

ekstremitasnya masih ada dan tergerus, kram atau terpuntir dengan posisi

abnormal. Sensasi fantom lama kelamaan akan menghilang. Patogenesis

fenomena anggota fantom tidak diketahui (Smeltzer, 2010).

Ada pengakuan yang berkembang bahwa amputasi tidak selalu

menyebabkan hasil negatif (Phelps et al, 2008). Pada kasus pasien yang terkena

masalah pembuluh darah, menghilangkan rasa sakit mereka adalah prioritas

utama. Mengecilkan nyeri yang tidak tertahankan, sedih dan membatasi diri. Pada

saat ini setiap upaya yang dilakukan untuk meringankan atau menghilangkan rasa

sakit dianggap positif, bahkan jika harus menghilangkan anggota tubuh. Amputasi

mulai dilihat sebagai kejahatan yang diperlukan “tidak tidur selama enam bulan

sulit, sakit ketika berbaring, ketika saya berdiri, sulit, itu menyedihkan, saya

menderita begitu banyak, begitu banyak, begitu banyak, sekarang jika saya harus

melakukannya lagi, saya akan melakukannya lagi, karena semua penderitaan

berakhir” (Chini & Boemer, 2007).

2.2. Konsep Mekanisme Koping

2.2.1. Defenisi

Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada

manajemen stres. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon

terhadap situasi yang mengancam (Stuart, 2009 dan Keliat, 1999). Menurut

(40)

prilaku secara konstan untuk mengatasi secara khusus tuntutan internal dan

eksternal yang dinilai melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki

individu.

Kata “coping” (mengatasi, menghadapi) memberikan kesan bahwa orang

yang mengalami kesulitan menunjukkan prilaku yang tidak membantu mengatasi

kesulitannya, namun beberapa orang mengatasi masalahnya dengan cara-cara

yang lebih dari sekedar membantu mereka bertahan dalam kesulitan. Mereka

berusaha dengan belajar dari pengalaman mereka dan menjadi lebih kuat karena

pengalaman-pengalaman tersebut (Joseph & Linley, 2005).

2.2.2. Jenis-jenis mekanisme koping

1. Strategi fisik

a. Mendinginkan kepala.

b. Menenangkan diri dan mengurangi rangsang fisik melalui meditasi atau

relaksasi. Pelatihan relaksasi progresif, belajar untuk secara bergantian

menekan dan membuat otot-otot menjadi santai akan menurunkan tekanan

darah dan hormon stres (Scheufele, 2000).

c. Menenangkan diri sendiri dengan pemijatan, yang jika digabungkan

dengan meditasi, merupakan salah satu dari pengobatan tertua di dunia

(Field, 1998, Moyer, Rounds & Hannum, 2004).

d. Berjalan-jalan, merupakan aktivitas fisik tingkat rendah, karena mereka

yang memiliki fisik lebih bugar memiliki masalah kesehatan yang lebih

(41)

Semakin sering orang berolahraga, maka kecemasan, depresi dan

sensitivitas mereka berkurang (Hendrix dkk, 1991)

e. Mendengarkan musik yang menenangkan, menulis buku harian atau

memanggang roti. Aktivitas tersebut memberikan tubuh kesempatan

untuk pulih dari fase alarm sebagai respons terhadap stres.

2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah.

a. Emotion focused coping, berfokus pada emosi yang muncul akibat

masalah yang dihadapi, baik marah, cemas, atau duka cita. Beberapa

waktu setelah bencana atau tragedi, adalah hal yang wajar bagi orang

yang mengalaminya untuk merasakan emosi-emosi tersebut atau bahkan

sampai merasa kewalahan dalam mengelola emosi-emosi tersebut. Pada

tahap ini, orang seringkali butuh untuk membicarakan kejadian tersebut

secara terus menerus agar dapat menerima, memahami, dan memutuskan

akan melakukan hal apa setelah kejadian tersebut selesai (Lepore, Ragan,

& Jones, 2000).

b. Problem focused coping. Langkah-langkah spesifik dalam memecahkan

masalah tergantung dari sifat masalah itu sendiri, apakah keputusan

tersebut mendesak namun hanya perlu dibuat sekali saja, apakah masalah

itu kesulitan yang berkelanjutan seperti hidup dengan keterbatasan fisik

atau pasikologis, atau kejadian yang diantisipasi seperti operasi. Setelah

masalah teridentifikasi, mereka dapat mempelajari masalah tersebut

sebanyak mungkin dari para ahli, teman, buku-buku dan dari sumber lain

(42)

memberikan perasaan memiliki kendali dalam diri seseorang. Misalnya,

saat orang mengetahui apa yang akan terjadi saat mereka mengalami

operasi, mereka seringkali pulih dengan lebih cepat dan merasakan sakit

yang lebih ringan dibandingkan dengan orang yang tidak siap (Doering

dkk, 2000)

3. Strategi kognitif

Memikirkan masalah kembali, adalah cara menyelesaikan suatu masalah

dengan mengubah cara berpikir mengenai masalah tersebut. Ada 3 cara

berpikir yang efektif untuk melakukan cognitive coping :

a. Menilai atau meninjau kembali situasinya. Walaupun klien tidak dapat

menghilangkan masalah yang membuat stres, klien dapat memilih untuk

memikirkan masalah itu secara berbeda, proses yang disebut sebagai

reappraisal (menilai/meninjau kembali). Masalah dapat diubah menjadi

tantangan dan kehilangan dapat diubah menjadi keuntungan yang tidak

terduga. Reappraisal dapat mengubah kemarahan menjadi simpati ,

kecemasan menjadi determinasi dan perasaan kehilangan menjadi

perasaan memiliki kesempatan (Folkman & Moskowitz, 2000).

b. Belajar dari pengalaman. Korban dari kejadian traumatis dan penyakit

yang mengancam nyawa melaporkan bahwa pengalaman membuat

mereka kuat, lebih tegar dan bahkan mereka menjadi manusia yang lebih

baik karena bertumbuh dan belajar dari kejadian tersebut (Mc Farlan &

Alvaro, 2000). Sebagian orang bangkit dari musibah dengan ketrampilan

(43)

untuk mempelajari sesuatu hal baru yang tidak pernah mereka ketahui

sebelumnya, sebagian yang lain menemukan sumber keberanian dan

kekuatan yang mereka sendiri tidak pernah tahu mereka miliki. Mereka

yang mengambil pelajaran dari tragedi yang tidak dapat dihindari dalam

hidup dan menemukan arti dari pengalaman tersebut adalah mereka yang

berhasil sukses menghadapi masalah dan tidak hanya bertahan dalam

masalah (Davis, Nolen-Hoeksema & Larson, 1998, Folkman &

Moskowitz, 2000).

c. Membuat perbandingan sosial. Dalam situasi sulit, orang yang sukses

bertahan seringkali membandingkan kondisi mereka dengan orang lain

yang mereka rasakan kurang beruntung dibandingkan mereka. Separah

apapun kondisi mereka, bahkan jika mereka memiliki penyakit

mematikan, mereka menemukan orang lain yang keadaannya jauh lebih

parah (Taylor & Lobel, 1989 ; Wood, Michaela & Giordano, 2000).

4. Strategi sosial

a. Mendapatkan dukungan sosial. Dukungan sosial dari keluarga,

teman-teman dan orang lain sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan

dan kesejahteraan emosional. Orang yang memiliki teman-teman baik,

kontak sosial yang luas, dan jejaring dengan anggota masyarakat lain

memiliki kesehatan yang lebih baik dan berumur lebih panjang

dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya. Sentuhan atau

(44)

otak dan meningkatkan kadar oxytocin yang dapat menghasilkan

penurunan detak jantung dan tekanan darah (Wade & Tavris, 2007).

b. Hubungan formal yang berasal dari orang-orang yang mengalami

penyakit, masalah atau musibah yang sama. Orang dapat mengambil

manfaat dari bergabung dalam kelompok dukungan sosial jika mereka

memiliki penyakit yang parah atau penyakit yang penuh stigma,

melumpuhkan atau membuat mereka cacat sedemikian rupa, atau

menyebabkan perasaan malu (Davidson, pennebaker, & Dickerson, 2000).

c. Sembuh dengan membantu orang lain. Cara terakhir untuk menghadapi

stres, kehilangan dan tregedi adalah dengan memberikan dukungan bagi

orang lain dan bukannya selalu menerima dukungan dari orang lain.

Orang mendapatkan kekuatan dengan mengurangi fokus terhadap

kesulitan mereka sendiri dan lebih banyak menolong orang lain yang juga

berada dalam kesulitan (Segal, 1986).

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping

Kemampuan seseorang untuk beradaptasi atau melakukan koping terhadap

stressor yang dihadapi tergantung pada kombinasi aspek stressor dan karakteristik

individu. Aspek stressor meliputi, intensitas dan luasnya stressor, durasi, jumlah

dan tipe stressor yang timbul bersamaan, dan jumlah stressor dalam waktu

tertentu. Karakteristik individu untuk beradaptasi terhadap stres meliputi, latar

belakang dan budaya, kebutuhan, keinginan, konsep diri, sumber internal,

dukungan eksternal, pengetahuan, ketrampilan, sifat, kepribadian, kematangan

(45)

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi

dalam penggunaan koping adalah sebagai berikut :

a. Kesehatan dan energi

Seseorang yang mengalami sakit atau kelelahan mempunyai energi yang

kurang dalam memperpanjang penggunaan kopingnya. Kesehatan fisik yang

baik merupakan bukti dalam menghadapi masalah atau stres karena ketika

menghadapi stres seseorang membutuhkan mobilisasi yang banyak. Oleh

karena itu, pentingnya kesehatan dan energy untuk koping karena keduanya

berperan dalam memfasilitasi penggunaan koping secara optimal.

b. Keyakinan positif

Melihat diri sendiri dengan positif bisa dikaitkan sebagai sebuah sumber

koping yang sangat penting. Keyakinan sebagai dasar untuk berharap dan

mendukung usaha koping yang digunakan. Namun demikian tidak semua

keyakinan dapat digunakan sebagai koping. Beberapa keyakinan dapat

menghambat usaha koping seperti, keyakinan akan hukuman Tuhan dapat

mengarahkan individu untuk menerima situasi yang menekan sebagai sebuah

hukuman dari Tuhan atau takdir Tuhan dan tidak melakukan hal apapun

untuk mengatasi situasi tersebut.

c. Keterampilan dalam menyelesaikan masalah

Keterampilan dalam menyelesaikan masalah meliputi kemampuan mencari

informasi, menganalisa situasi yang bertujuan mengidentifikasi masalah dan

(46)

hasil yang diharapkan, memilih dan mengimplementasikan rencana aksi yang

sesuai.

d. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial merupakan sumber koping yang penting. Keterampilan

sosial diartikan sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan berperilaku

dengan yang lain dengan cara yang sesuai dan efektif secara sosial. Hal ini

memfasilitasi penyelesaian masalah dalam berhubungan dengan orang lain

dan memberikan kontrol yang lebih kepada individu dalam interaksi sosial.

Pentingnya keterampilan sosial sebagai sumber diberbagai area, mencakup

program terapeutik yang membantu individu lebih baik dalam mengatasi

masalah kehidupan sehari-hari dan program latihan organisasi untuk

meningkatkan ketrampilan komunikasi interpersonal.

e. Dukungan sosial

Dukungan sosial diartikan dengan mempunyai teman atau keluarga yang

dapat menerima perasaan individu jika mengalami masalah. Selain itu

dukungan dari orang lain dapat berupa memberikan informasi atau dukungan

lainnya seperti menunjukkan perhatian kepada individu tersebut.

f. Sumber materi

Sumber materi dapat berupa uang, barang dan pelayanan. Hasil penelitian

Antonosvsky (1979) dalam Lazarus dan Folkman (1984) ditemukan bahwa

terdapat hubungan yang kuat antara ekonomi, stres dan adaptasi. Sumber

keuangan yang lebih besar meningkatkan pilihan koping. Hal ini juga

(47)

kesehatan, bantuan profesional dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa

sumber materi juga dapat memfasilitasi efektivitas koping.

2.2.4. Literatur penelitian yang berhubungan dengan mekanisme koping

Gallagher & PamelaView (1999) menemukan adanya hubungan antara

nyeri tungkai dan variabel psikologis. Dengan demikian, interaksi antara

menghindar dan mencari dukungan sosial dan nyeri tungkai memerlukan

perhatian lebih lanjut dan investigasi. Selanjutnya, dalam skrining dan pengobatan

nyeri tungkai, lokasi amputasi, usia pasien, menyebabkan amputasi harus terus

dipertimbangkan karena mereka adalah prediktor penting dari rasa sakit.

Intervensi juga harus menyelidiki peran pemecahan masalah dalam pengalaman

nyeri lainnya. Penggunaan prostesis juga beberapa mengalami ketidakmampuan

menyesuaikan diri secara emosional atau rasa sakit dan mungkin perlu sesuatu

yang lebih dari anggota tubuh dan pelatihan yang pas dalam penggunaannya.

Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa mekanisme koping yang berhubungan

dengan penerimaan bervariasi tergantung pada penyebab amputasi.

Penelitian sebelumnya pada konsekuensi psikologis amputasi telah

difokuskan terutama pada hubungan antara variabel-variabel demografis, berbagai

mekanisme koping. Sebuah tinjauan literatur yang dilakukan oleh Rybarczyk dan

colleagues (2004), menunjukkan bahwa rasa sakit sisa anggota badan, pembatasan

aktivitas, dan medis dan faktor yang berkaitan dengan kecacatan (selain nyeri

phantom) memprediksi kurang varians dalam penyesuaian psikologis daripada

citra tubuh, dirasakan stigma sosial, kerentanan yang dirasakan, dukungan sosial,

(48)

ditemukan terkait dengan hasil yang buruk setelah amputasi termasuk kerentanan

yang dirasakan, penghindaran, dan ketidakberdayaan.

Penelitian Behel, Rybarczyk, elliot (2002) tentang prevalensi morbiditas

psikiatri tertentu setelah amputasi sebagian besar berfokus pada gejala depresi,

dan hasil studi ini melaporkan tingkat prevalensi bervariasi dari 7,4% 9-28%.

Varians dalam tingkat prevalensi kemungkinan karena perbedaan metodologis

dalam penilaian depresi klinis. Penelitian in mengandalkan langkah-langkah

laporan diri, seperti Center for Epidemiological Studies Depression Scale

(CES-D), laporan tingkat jauh lebih tinggi dari depresi klinis, dibandingkan mereka

yang menggunakan interviews.

2.3. Konsep Stres

2.3.1. Definisi stres

Stres adalah suatu kondisi yang dihasilkan akibat adanya perubahan dari

lingkungan yang dipersepsikan menantang, mengancam atau merusak fungsi

kesehatan individu seutuhnya (Varcarolis, Shoemaker, 2006). Menurut Niven

stres adalah pernyataan yang seringkali digunakan sebagai label untuk gejala

psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan dan

keadaan lainnya. Sedangkan menurut Vedebeck (2008) stres adalah ketakutan

yang dialami individu dengan cara yang berbeda-beda.

Setiap individu disepanjang rentang kehidupannya akan selalu dihadapkan

pada berbagai peristiwa dan kejadian yang nantinya akan mengakibatkan

terjadinya perubahan-perubahan yang berpotensi menimbulkan stres. Hal senada

(49)

yang tidak mungkin dapat dihindari yang disebabkan karena adanya perubahan

yang memerlukan penyesuaian. Demikian halnya pada klien pasca amputasi

tungkai bawah sangat rentan terhadap terjadinya stres karena terjadinya perubahan

yang membutuhkan penyesuaian baik secara fisik maupun psikologis.

2.3.2. Etiologi stres

Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber yang

disebut stressor. Stressor adalah keadaan atau situasi, obyek atau individu yang

dapat menimbulkan stres (Hidayat, 2009). Stresor merupakan situasi yang

dianggap akan menimbulkan ketegangan dan mengancam kesejahteraan individu

(Sarafino, 1998). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) berbagai kejadian dan

perubahan lingkungan di sekitar individu dapat bersifat positif, netral ataupun

negatif yang akan menjadi stresor (Tomey & Alligood, 2006).

Secara umum stressor dapat dibagi menjadi dua, yaitu stressor internal dan

stressor eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang seperti

demam, penyakit infeksi, trauma fisik dan kelelahan fisik. Sedangkan stressor

eksternal berasal dari luar individu seperti perubahan suhu lingkungan, pekerjaan

serta hubungan interpersonal (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005).

2.3.3. Respon stres

Stres dapat menghasilkan berbagai respon yang dapat berguna sebagai

indikator dan alat ukur terjadinya stres pada individu. Respon stres dapat terlihat

dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, adaptif, dan psikologis. Respon

fisiologis berupa interpretasi otak dan respon neuroendokrin. Respon adaptif

(50)

lokal (LAS). Respon psikologis dapat berupa perilaku konstruktif maupun

destruktif (Smeltzer & Bare, 2008).

Respon fisiologis terhadap stressor merupakan mekanisme protektif dan

adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostasis tubuh yang merupakan

rangkaian peristiwa neural dan hormonal yang mengakibatkan konsekuensi jangka

panjang dan jangka pendek bagi otak dan tubuh. Dalam respon stres, impuls

afferen akan ditangkap oleh organ pengindra dan internal ke pusat saraf otak lalu

diteruskan sampai ke hipotalamus. Kemudian diintegrasikan dan dikoordinasikan

dengan respon yang diperlukan untuk mengembalikan tubuh dalam keadaan

homeostasis. Jika tubuh tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan

tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh (Smeltzer &

Bare, 2008).

Jalur neural dan neuroendokrin dibawah kontrol hipotalamus akan

diaktifkan. Kemudian akan terjadi sekresi sistem saraf simpatis kemudian diikuti

oleh sekresi simpatis-adrenal-modular, dan akhirnya bila stres masih ada dalam

sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Sistem saraf pusat mensekresikan

norepinefrin dan epinefrin untuk meningkatkan respon simpatis-adrenal-modular

pada kondisi stres. Respon ini menimbulkan efek atau reaksi yang berbeda pada

setiap sistem tubuh yang dijabarkan dalam indikator stres secara fisiologis. Pada

kondisi tersebut terdapat organ tubuh yang meningkat maupun menurun

kinerjanya, reaksi ini disebut fight or flight. Norepinefrin mengakibatkan

peningkatan fungsi organ vital dan keadaan tubuh secara umum, sedangkan

(51)

mempengaruhi suasana hati. Manisfestasi sekresi norepinefrin dan endorfin

diantaranya pengeluaran keringat, perubahan suasana hati, keluhan sakit kepala,

sulit tidur, peningkatan jantung (Smeltzer & Bare, 2008).

Stres menuntut seseorang untuk menggunakan energi fisiologis dan

psikologis untuk merespon dan beradaptasi terhadap stressor. Respon stres adalah

alamiah, adaptif dan protektif. Karakteristik dari respon stres adalah hasil dari

respon neuroendokrin yang terintegrasi serta terdapat perbedaan individual dalam

berespon terhadap stressor yang sama. Respon adaptif terdiri dari LAS dan GAS.

Respon LAS terbagi atas respon refleks nyeri dan respon inflamasi (Potter &

Perry, 2005). GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres.

Respon yang terlibat didalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin.

GAS memiliki 3 tahap, yaitu alarm, pertahanan dan kelelahan. Pada tahap alarm

respon simpatis fight or flight diaktifkan yang bersifat defensif dan anti inflamasi

yang akan menghilang dengan sendirinya. Bila stresor menetap maka akan beralih

ketahap pertahanan. Pada tahap ini terjadi adaptasi terhadap stressor yang

membahayakan. Jika pemajanan terhadap stressor diperpanjang dan gagal

melakukan pertahanan maka terjadilah kelelahan. Tahap kelelahan terjadi

peningkatan aktivitas endokrin yang menghasilkan efek pemberhentian pada

sistem tubuh terutama sistem peredaran darah, pencernaan dan imun yang dapat

menyebabkan kematian (Smeltzer & Bare, 2008).

2.3.4. Indikator stres

Indikator stres merupakan ukuran kualitatif dan kuantitatif yang dapat

(52)

terhadap psikologis yang secara tidak langsung berdampak pula pada fisiologis.

Terdapat beberapa indikator stres, yaitu fisiologis, emosional dan perilaku stres.

DASS adalah satu set tiga skala laporan diri yang dirancang untuk mengukur

tingkat keparahan gejala inti depresi, kecemasan dan stres (Psikologi Yayasan

Australia, 2002). Nilai utama dari DASS (Depression Anxiety and Stres Scale)

dalam pengaturan klinis adalah untuk memperjelas lokus gangguan emosi, sebagai

bagian dari tugas yang lebih luas dari penilaian klinis. Indikator stres fisiologis

adalah objektif dan lebih mudah diidentifikasi, berupa kenaikan tekanan darah,

tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang tidak tegap, keletihan, sakit kepala,

gangguan lambung, suara yag bernada tinggi, muntah, mual, diare, perubahan

nafsu makan (Potter & Perry, 2005 ; Psychology Foundation of Australia, 2010).

Indikator emosional dan perilaku stres sangat bersifat subjektif. Indikator

stres psikologis dan prilaku berupa ansietas, depresi, kepenatan, kelelahan mental,

perasaan tidak adekuat, kehilangan harga diri, minat dan motivasi, ledakan emosi

dan menangis, kecendrungan membuat kesalahan, mudah lupa dan pikiran buntu,

kehilangan perhatian terhadap hal-hal yang rinci, preokupasi, ketidakmampuan

berkonsentrasi terhadap tugas, rentan terhadap kecelakaan, serta penurunan

produktivitas dan kualitas kerja (Potter & Perry, 2005).

Indikator perilaku dapat berupa konstruktif atau destruktif. Perilaku

konstruktif membantu seseorang menerima tantangan untuk menyelesaikan

konflik, sedangkan perilaku destruktif akan mempengaruhi orientasi realitas,

kemampuan penyelesaian masalah, kepribadian, situasi yang sangat berat, dan

Gambar

Tabel 4.1. Karakteristik Demografi Partisipan
Tabel 4.3. Tema dan Sub Tema Serta Kategori Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah
Gambaran partisipan saat akan dilakukan wawancara :

Referensi

Dokumen terkait

Panjang badan lahir, riwayat ASI Eksklusif, pendapatan keluarga, pendidikan ibu, dan pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting

melihat adanya dikotomi dunia, namun ada keterkaitan antara keduanya. Dengan memahami hakikat konsep-konsep matematika sebagai realitas absolut, mereka bisa memahami

Tugas Akhir ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui secara mendalam bagaimana PT Batik Danar Hadi melakukan proses negosiasi dan korespondensi dalam meningkatkan

Konsep dasar yang digunakan dalam menyusun integrasi sistem informasi dan strategi bisnis pada SPM adalah dengan menggunakan metodologi yang dikemukakan oleh King dan Teo

Meskipun pembentukan integrasi ekonomi regional berpotensi untuk memberi dampak positif bagi Indonesia, tantangan terbesar yang harus dilalui adalah upaya

Hasil uji Mann Whiney U Test pada perkembangan bahasa dengan nilai signifikan 0,01 (P<0,05), dan perkembangan motorik halus dengan nilai 0,061 (p>0,05) dapat

Tingkat pendidikan guru, danvariasikemampuan guru menyebabkan bervariasinya kemampuan mereka menguasai materi pembelajaran sesuai dengan KompetensiInti (KI) dan

Belanja daerah meliputi semua pengeluaran uang dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak