MEKANISME KOPING KLIEN PASCA AMPUTASI
TUNGKAI BAWAH DI KOTA MEDAN
TESIS
Oleh
KARMILA BR KABAN
127046028 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
MEKANISME KOPING KLIEN PASCA AMPUTASI
TUNGKAI BAWAH DI KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
Oleh
KARMILA BR KABAN
127046028 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Telah diuji
Pada tanggal : 18 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dra. Nurmaini, MKM., Ph.D Anggota : 1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes
Judul Tesis : Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan
Nama Mahasiswa : Karmila Br Kaban
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada
manajemen stres untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai
melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu. Setiap individu
secara akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam
maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi maka tingkat
stres akan meningkat dan individu berespon melalui suatu mekanisme koping.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mekanisme koping klien pasca
amputasi tungkai bawah. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi,
yaitu suatu pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dan makna
mendasar dari suatu fenomena yang dialami. Jumlah partisipan 12 orang klien
pasca amputasi tungkai bawah yang berasal dari rumah sakit pemerintah di kota
Medan yang berusia antara 40 sampai 54 tahun yang telah melewati masa stres
pasca amputasi tungkai bawah. Hasil penelitian ini ditemukan 5 tema mekanisme
fisik terdiri dari 4 sub tema yakni relaksasi, meditasi, pemijatan, mencari
kesibukan/mengalihkan perhatian. Strategi yang berorientasi pada masalah terdiri
dari 2 sub tema yaitu, emotion focused coping, problem focused coping. Strategi
kognitif terdiri dari 3 sub tema yaitu, meninjau kembali masalah, belajar dari
masalah, membuat perbandingan sosial. Strategi sosial terdiri dari 4 sub tema
yaitu, dukungan teman dan keluarga, menemukan kelompok dukungan, membantu
orang lain, tanggung jawab terhadap keluarga. Strategi spiritual terdiri dari 2 sub
tema yaitu, mendekatkan diri kepada Tuhan, menganggap amputasi adalah
hukuman. Kesimpulan dari penelitian ini adalah mekanisme koping strategi fisik
in efektif yaitu mencari kesibukan/mengalihkan perhatian, kontrol diri yang in
efektif melukai dirinya dan melempar barang yang ada disekitarnya, mekanisme
koping in efektif yaitu lari atau menghindar dari masalah dan merokok. Tema
strategi spiritual yang in efektif yaitu menganggap amputasi adalah hukuman dari
Tuhan. Disarankan kepada perawat diruang perioperatif hendaknya bekerjasama
dengan perawat psykologis dalam mempersiapkan mental klien perioperatif dan
perawat komunitas dan jiwa dalam melakukan homecare sehingga klien tidak
mengalami stres pasca amputasi.
Thesis Title : Client Coping Mechanism After Post Lower Extremity Amputation in Medan
Name : Karmila Br Kaban
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical Surgical Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
Coping mechanism is all attempts which lead to stress management in
order to cope with internal and external demands which exceed individual
capability and sources. Each individual naturally experiences physical,
psychological, and social changes, either from internal or from external
environment. If the condition cannot be coped with, the level of stress will
increase and he will respond through coping mechanism. The objective of the
research was to identify coping mechanism in clients in the post lower extremity
amputation. The research used phenomenological approach which was aimed to
explain the basic concept and meaning of a certain phenomenon experienced by
someone. There were 12 participants who were 40 to 54 years old in the post
extremity amputation and who came from the public hospitals in Medan. All of
them passed the stressing period after their lower legs had been amputated. The
result of the research showed that there were five themes of experiences
which consisted of four sub themes, relaxation, meditation, massage, and seeking
activities / diverting attention, strategy which is oriented on problem consisted of
two sub themes, emotion focused coping and problem focused coping, cognitive
strategy which consisted of three sub themes, reviewing the problem, learning
from problem, and making social comparison, social strategy which consisted of
four sub themes, fiends and families support, finding supporting group, helping
other people, and being responsible for family, and spiritual strategy which
consisted of two sub themes, being close to God and considering the amputation
as a punishment. The conclusion was that coping mechanism of physical strategy
was in effective by seeking activities / diverting attention. Participants who had in
effective self control hurt themselves and threw any objects around them,
participants also had in effective coping mechanism since they ran or avoided
problems by moving out from their villages, and one participant coped with it by
smoking. The theme of spiritual strategy which was in effective considered that
amputation was a punishment. It is recommended that nurses who are on duty in
the pre operation rooms collaborate with psychological nurses in preparing the
mentality of pre operative patients, and community and mental nurses provide
homecare so that clients will not undergo stress in the post amputation.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat dan rahmatNya peneliti dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul
“Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan”.
Dalam penyelesaian penelitian dan penulisan tesis ini, peneliti banyak
menerima bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini,
peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Pembimbing II yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingan kepada peneliti selama penyusunan tesis
ini.
2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan arahan dan bimbingan selama menjalani pendidikan di Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
3. Achmad Fathi, S.Kep., Ns., MNS, selaku Sekretaris Program Studi yang telah
memberikan arahan dan bimbingan selama menjalani pendidikan dan selama
penyusunan tesis ini.
4. Dra. Nurmaini, MKM., Ph.D, selaku pembimbing utama yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan tesis hingga selesai
5. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku penguji I yang telah banyak
memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.
6. Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB, selaku penguji II yang telah
banyak memberikan masukan maupun saran untuk perbaikan tesis ini.
7. Seluruh staf dosen yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan
maupun dalam penyusunan tesis dan uji validitas
8. Direktur RSUP H. Adam Malik, yang telah memberikan izin kepada peneliti
sehingga peneliti bisa mengambil data klien pasca amputasi untuk menjadi
partisipan dalam tesis ini.
9. Direktur RSUD. Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan izin kepada
peneliti sehingga peneliti bisa mengambil data klien Pasca amputasi untuk
menjadi partisipan dalam penelitian ini.
10. dr. I. Nyoman E. L., M.Kes, AIFM, selaku Ketua Yayasan Universitas Prima
Indonesia yang telah memberikan Beasiswa selama peneliti kuliah di Program
Studi Magister Ilmu Keperawatan USU hingga selesai tepat pada waktunya.
11. Chrismis Novalinda Ginting, SSiT., M.Kes, selaku Dekan FKK UNPRI yang
telah mendukung peneliti selama peneliti menjalani perkuliahan di Program
Studi Magister Ilmu Keperawatan USU.
12. Orang Tua tercinta (alm ayah) dan ibunda serta ibu mertua yang selalu
menjadi inspirasi dan selalu mendukung dan memotivasi peneliti sampai
selesainya tesis ini tepat pada waktunya.
13. Suami tercinta Episitrepo Lawolo, SKM., SPd, yang menjadi pendamping
menjadi motivator dan selalu mendukung serta mencari solusi terbaik
sehingga peneliti bisa menyelesaikan tesis ini dengan baik.
14. Ketiga putra-putri peneliti (Yoel, Cilla dan Varel) yang menjadi sumber
kekuatan yang menguatkan peneliti dalam suka dan duka untuk selalu
melakukan yang terbaik untuk tesis ini dan selesai tepat pada waktunya.
15. Teman-teman seperjuangan terutama ibu Suryani Ginting, Suster Imelda
Derang, Tiarnida Nababan, Oktoberius Zebua, Nurlela Petra Saragih, Nelly
Barus, dan semua rekan-rekan seangkatan terutama peminatan KMB yang
tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang selalu saling menopang satu
dengan yang lain, sehingga bersama-sama kita berusaha untuk dapat
menyelesaikan tesisnya dengan baik.
Peneliti menyadari tesis ini belumlah sempurna dan membutuhkan
masukan yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan tesis ini. Oleh karena itu,
peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
tesis ini dan harapan peneliti semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu
pengetahuan secara khusus profesi keperawatan.
Medan, 18 Agustus 2014
Peneliti,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Karmila Br Kaban
Tempat/Tanggal Lahir : Doulu, 5 September 1974
Alamat : Puri Anom Asri Blok BB No. 74 Tanjung Anom
No. HP : 081375951678
Riwayat Pendidikan :
Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus
SD SD Inpres No. 046411 1987
SLTP SMP Negeri 2 Berastagi 1990
SLTA SMA Negeri Sampali 1993
D-III AKPER Darmo Medan 1996
D-IV D-IV Perawat Pendidik USU 2002
S1 PSIK STIKes Prima Husada 2005
Profesi Ners Profesi Ners FKK UNPRI 2009
S2 Magister Ilmu Keperawatan USU 2014
Riwayat Pekerjaan :
Jabatan Nama Institusi Tahun
Perawat RSU Kesuma Indah Tebing Tinggi 1997-2001
Dosen STIKes Prima Indonesia 2001-2005
Kegiatan Akademik Selama Studi :
Seminar Aplikasi Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan
Pengetahuan Bidang Kesehatan dan Workshop Menganalisis Data
Kualitatif dengan Metode Content Analysis dan Software WEFT-QDA, 18
Desember 2012, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
sebagai peserta.
Seminar Keperawatan Nursing Leadership Menyongsong ASEAN Community
2015, 30 Januari 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
sebagai peserta.
Seminar Internasional, Medan International Nursing Conference The Application
of Caring Science in Nursing Education Advanced Research and Clinical
Practice, 1-2 April 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Utara sebagai Peserta.
Pengabdian Masyarakat Deteksi Dini Hiperplasia dan kanker payudara dengan
Teknik SADARI di Kampung Nangka Pasar VI Stabat, 5 Oktober 2013
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara sebagai peserta.
Seminar dan Workshop Diagnostic Reasoning dengan Aplikasi NANDA, NOC,
NIC dan ISDA, 24 November 2013, Fakultas Keperawatan Universitas
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN………... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN………... 1
1.1. Latar Belakang……….... 1
1.2. Rumusan Permasalahan………... 5
1.3. Tujuan Penelitian………... 5
1.4. Manfaat Penelitian………... 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………... 7
2.1. Amputasi………... 7
2.1.1. Defenisi………... 7
2.1.2. Penyebab/predisposisi amputasi………... 8
2.1.3. Jenis amputasi………... 9
2.1.4. Faktor yang mempengaruhi amputasi………. 9
2.1.5. Tingkatan amputasi………. 10
2.1.6. Penatalaksanaan sisa tungkai……….. 11
2.1.7. Komplikasi………... 13
2.1.8. Masalah yang terjadi pasca amputasi tungkai bawah. 13 2.2. Konsep Mekanisme Koping……….. 17
2.2.1. Defenisi………... 17
2.2.2. Jenis-jenis mekanisme koping……… 18
2.2.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi mekanisme koping……….. 22
2.2.4. Literatur yang berhubungan dengan mekanisme koping……….. 25
2.3. Konsep Stres………. 26
2.3.1. Defenisi stres..………. 26
2.3.2. Etiologi stres………... 27
2.3.3. Respon stres……… 27
2.3.5. Dampak stres……….…. 31
2.3.6. Tingkatan stres……… 32
2.3.7. Mengukur tingkat stress……….. 33
2.3.8. Model adaptasi stres……….………... 34
2.4. Studi Fenomenologi……….. 38
BAB 3. METODE PENELITIAN……….. 41
3.1. Jenis Penelitian……….. 41
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 42
3.3. Partisipan………... 42
3.4. Pengumpulan Data……… 43
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional………... 47
3.6. Metode Analisa Data………. 48
3.7. Keabsahan Data………. 49
3.8. Pertimbangan Etik………. 51
BAB 4. HASIL PENELITIAN……… 52
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 52
4.1.1. RSUP. H. Adam Malik Medan………... 52
4.1.2. RSUD. Dr. Pirngadi Medan……… 55
4.2. Karakteristik Demografi Partisipan……….. 56
4.3. Karakteristik Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi…. 58 4.3.1. Strategi Fisik………... 59
4.3.2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah………... 62
4.3.3. Strategi kognitif……….. 71
4.3.4. Strategi sosial………. 76
4.3.5. Strategi spiritual……….. 83
BAB 5. PEMBAHASAN……….. 87
5.1. Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah 88 5.2. Keterbatasan Penelitian………. 107
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN………... 109
6.1. Kesimpulan………... 109
6.2. Saran……….. 110
DAFTAR PUSTAKA………... 112
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1. Karakteristik Demografi Partisipan……… 57
Tabel 4.2. Karakteristik Status Sosial Partisipan………. 58
Tabel 4.3. Tema dan Sub Tema Serta Kategori Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah……….
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Instrumen Penelitian……….. 122
Permohonan menjadi responden……… 123
Surat pernyataan responden………... 124
Kuisioner penilaian stres…..……….. 125
Panduan wawancara………... 127
Format catatan lapangan……… 128
Lembar persetujuan uji validitas ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep………... 129
Lembar persetujuan uji validitas ibu Wardiyah Daulay, S.Kep., Ns., M.Kep……….. 130 Lembar persetujuan uji validitas ibu Resmi Masdelina Siregar, S.Kep., Ns………... 131
Lampiran 2 Biodata Expert………... 132
Lampiran 3 Izin penelitian……… 134
Surat izin pengambilan data ke RSUP. H. Adam Malik Medan……….. 135
Surat izin pengambilan data ke RSUD. Dr. Pirngadi Medan……….... 136
Surat izin pengambilan data dari RSUP. H. Adam Malik Medan……….. 137
Surat izin pengambilan data dari RSUD. Dr. Pirngadi Medan……….. 138
Judul Tesis : Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan
Nama Mahasiswa : Karmila Br Kaban
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada
manajemen stres untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai
melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu. Setiap individu
secara akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam
maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi maka tingkat
stres akan meningkat dan individu berespon melalui suatu mekanisme koping.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mekanisme koping klien pasca
amputasi tungkai bawah. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi,
yaitu suatu pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dan makna
mendasar dari suatu fenomena yang dialami. Jumlah partisipan 12 orang klien
pasca amputasi tungkai bawah yang berasal dari rumah sakit pemerintah di kota
Medan yang berusia antara 40 sampai 54 tahun yang telah melewati masa stres
pasca amputasi tungkai bawah. Hasil penelitian ini ditemukan 5 tema mekanisme
fisik terdiri dari 4 sub tema yakni relaksasi, meditasi, pemijatan, mencari
kesibukan/mengalihkan perhatian. Strategi yang berorientasi pada masalah terdiri
dari 2 sub tema yaitu, emotion focused coping, problem focused coping. Strategi
kognitif terdiri dari 3 sub tema yaitu, meninjau kembali masalah, belajar dari
masalah, membuat perbandingan sosial. Strategi sosial terdiri dari 4 sub tema
yaitu, dukungan teman dan keluarga, menemukan kelompok dukungan, membantu
orang lain, tanggung jawab terhadap keluarga. Strategi spiritual terdiri dari 2 sub
tema yaitu, mendekatkan diri kepada Tuhan, menganggap amputasi adalah
hukuman. Kesimpulan dari penelitian ini adalah mekanisme koping strategi fisik
in efektif yaitu mencari kesibukan/mengalihkan perhatian, kontrol diri yang in
efektif melukai dirinya dan melempar barang yang ada disekitarnya, mekanisme
koping in efektif yaitu lari atau menghindar dari masalah dan merokok. Tema
strategi spiritual yang in efektif yaitu menganggap amputasi adalah hukuman dari
Tuhan. Disarankan kepada perawat diruang perioperatif hendaknya bekerjasama
dengan perawat psykologis dalam mempersiapkan mental klien perioperatif dan
perawat komunitas dan jiwa dalam melakukan homecare sehingga klien tidak
mengalami stres pasca amputasi.
Thesis Title : Client Coping Mechanism After Post Lower Extremity Amputation in Medan
Name : Karmila Br Kaban
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical Surgical Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
Coping mechanism is all attempts which lead to stress management in
order to cope with internal and external demands which exceed individual
capability and sources. Each individual naturally experiences physical,
psychological, and social changes, either from internal or from external
environment. If the condition cannot be coped with, the level of stress will
increase and he will respond through coping mechanism. The objective of the
research was to identify coping mechanism in clients in the post lower extremity
amputation. The research used phenomenological approach which was aimed to
explain the basic concept and meaning of a certain phenomenon experienced by
someone. There were 12 participants who were 40 to 54 years old in the post
extremity amputation and who came from the public hospitals in Medan. All of
them passed the stressing period after their lower legs had been amputated. The
result of the research showed that there were five themes of experiences
which consisted of four sub themes, relaxation, meditation, massage, and seeking
activities / diverting attention, strategy which is oriented on problem consisted of
two sub themes, emotion focused coping and problem focused coping, cognitive
strategy which consisted of three sub themes, reviewing the problem, learning
from problem, and making social comparison, social strategy which consisted of
four sub themes, fiends and families support, finding supporting group, helping
other people, and being responsible for family, and spiritual strategy which
consisted of two sub themes, being close to God and considering the amputation
as a punishment. The conclusion was that coping mechanism of physical strategy
was in effective by seeking activities / diverting attention. Participants who had in
effective self control hurt themselves and threw any objects around them,
participants also had in effective coping mechanism since they ran or avoided
problems by moving out from their villages, and one participant coped with it by
smoking. The theme of spiritual strategy which was in effective considered that
amputation was a punishment. It is recommended that nurses who are on duty in
the pre operation rooms collaborate with psychological nurses in preparing the
mentality of pre operative patients, and community and mental nurses provide
homecare so that clients will not undergo stress in the post amputation.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Amputasi adalah menghilangkan satu atau lebih bagian tubuh dan belum
pernah terjadi sebelumnya yang bisa sebabkan oleh malapetaka atau bencana alam
seperti kecelakaan, gempa, terorisme dan perang, atau dilakukan karena alasan
medis dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien.
Pada pasien kanker amputasi dilakukan sebagai prosedur menyelamatkan jiwa
untuk melindungi mereka dari keganasan lebih lanjut dari bagian tubuh yang satu
ke bagian tubuh lainnya. Pada pasien kusta dan gangren ekstremitas, amputasi
dilakukan untuk menghentikan kemajuan penyakit atau penyebaran penyakit.
(Demet, 2003).
Menurut Crenshaw (2002) di Amerika Serikat terjadi 43.000 kasus
pertahun dari jumlah penduduk 280.562.489 jiwa atau sekitar 0,02 % sedangkan
menurut Raichle et al. (2009) disebutkan bahwa terjadi kasus amputasi sekitar
158.000 per tahun dari jumlah penduduk 307.212.123 atau sekitar 0,05 % dan
terjadi kenaikan baik secara jumlah maupun secara persentase dari jumlah
penduduk. Amputasi yang paling sering dilakukan adalah amputasi pada
ekstremitas bawah mencapai 85 % sampai 90 % dari seluruh amputasi.
Menurut Vitriana (2002) angka kejadian pasti kasus amputasi di Indonesia
tidak dapat diketahui. Berdasarkan data surveilens terpadu penyakit (STP) tahun
yang dirawat dan 934 pasien dirawat di puskesmas selama Januari hingga Juni
2009, (Supriadi, et al, 2009) Study epidemiologi memperkirakan 2,5 % pasien
diabetes menjadi diabetic foot (DF) ulcers, dan setiap tahunnya 15 % menjadi
diabetic foot ulcers seumur hidup. Diabetic foot adalah penyebab dari amputasi
ekstremitas bawah lebih dari 85 % kasus. Masalah ekstremitas bawah lebih sering
mengalami komplikasi termasuk penurunan sensasi, yang memperberat terjadinya
amputasi ekstremitas bawah pada seseorang dengan Diabetes Melitus (Cristina,
2007).
Trauma dan kanker adalah penyebab utama kejadian amputasi, namun di
dunia barat penyakit pembuluh darah perifer menyumbang 80-90 % dari semua
kasus amputasi dan usia rata-rata diatas 70 tahun. Di Amerika Serikat masalah
pembuluh darah menyumbang 82 % dari semua kasus amputasi. Di negara-negara
berkembang trauma merupakan penyebab utama amputasi dan di negara-negara
yang memiliki ranjau darat juga menjadi penyebab terjadinya amputasi
ekstremitas bawah (Barmparas, 2010).
Amputasi membawa perubahan yang signifikan dan drastis dalam
kehidupan seseorang, dimulai dengan syok, kemudian mengakui dan akhirnya
menerima dengan berat. Amputasi disebut sebagai tiga penghinaan karena
membawa kerugian fungsi, hilangnya sensasi dan kehilangan atau perubahan citra
tubuh. Perubahan dramatis ini memiliki efek pada kualitas hidup individu karena
keterbatasan aktivitas fisik segera setelah amputasi serta memiliki implikasi
jangka panjang dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi
panjang dan berpengaruh pada kontribusi individu kepada masyarakat (Demet,
2003).
Peneliti menemukan bahwa peserta yang telah menjalani amputasi
mengalami isolasi sosial, dan memiliki kebutuhan yang tak terpenuhi dalam
kaitannya dengan keuangan, pekerjaan dan kegiatan sosial, sementara Livneh,
Antonak, dan Gerhardt (1999) melaporkan bahwa usia yg lebih muda dan durasi
yang lebih rentan mengalami depresi, kualitas hidup pada umumnya lebih rendah
bagi mereka yang mengalami amputasi dibandingkan dengan klien yang tidak
mengalami amputasi, (Livingtone, 2011). Amputasi juga sering terjadi pada orang
dewasa muda dan kelompok usia produktif sehingga amputasi tungkai
menyebabkan krisis ekonomi yang serius bagi keluarga terutama bila klien tidak
mampu membeli alat prosthesis yang baik yang sesuai dengan kebutuhan (Chalya,
Mabula, 2012).
Menurut laporan, angka kematian pada tahun pertama setelah amputasi
adalah 13-40 %, di tahun ketiga, 35-65 % dan pada tahun kelima adalah 39-80 %,
dimana angka yang sebanding dengan tingkat kematian pada keganasan. Selain
itu, kehilangan pekerjaan dan kebutuhan medis dan perawatan, pengurangan
dalam interaksi sosial dan keluarga, dan perubahan gaya hidup merupakan
masalah utama yang mempengaruhi keluarga dan status sosial ekonomi pasien
serta tidak adanya kaki dan tungkai bawah dapat sangat bermasalah bagi pasien
dan mengerahkan terlalu banyak energi untuk berjalan, oleh karena itu, amputasi
akhirnya, pasien dengan kaki diamputasi perlu rawat inap jangka panjang,
rehabilitasi, perawatan rumah dan dukungan sosial (Shojaiefard, 2008).
Kehilangan anggota tubuh ditandai oleh serangkaian respon psikologis
yang kompleks. Meskipun banyak orang berhasil menggunakan respon tersebut
untuk menyesuaikan diri dengan amputasi namun sebanyak 50 % gejala kejiwaan
dari semua kasus amputasi memerlukan beberapa intervensi psikologis, dan
depresi adalah reaksi psikologis yang paling umum diantara pasien dengan
amputasi (Cansever, 2003)
Klien pasca amputasi tungkai bawah melaporkan ketidaknyamanan sosial
yang terkait dengan perubahan citra tubuh, body esteem negatif, kurangnya
dukungan sosial dan meningkatnya depresi dan gangguan stres pasca-trauma.
Orang-orang dengan amputasi biasanya melaporkan kemarahan, kesedihan, tidak
berdaya, frustasi, kecemasan dan rasa bersalah, serta kekhawatiran tentang
keluarga, pekerjaan, hubungan sosial dan seksual (Davidson et al. 2002.
Rybarczyk et al. 1995, Gallagher & MacLachlan 2001, Taleporos & McCabe,
2005, Williams et al. 2004, Phelps et al. 2008).
Gangguan stres pasca trauma (PTSD) adalah gangguan kejiwaan yang
dapat muncul setelah seseorang terkena suatu peristiwa yang melibatkan cedera
serius, ancaman yang serius untuk diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan
respon rasa takut, tidak berdaya, atau menakutkan. Memahami gejala sisa psikiatri
dan emosional amputasi bisa sangat meningkatkan jenis intervensi dan tingkat
Adaptasi merupakan hasil akhir dari upaya koping. Beradaptasi berarti
mendapatkan persepsi, perilaku dan lingkungan yang berubah sehingga tercapai
keseimbangan. Setiap individu secara terus-menerus akan menghadapi perubahan
fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam maupun dari lingkungan luar. Jika hal
tersebut tidak dapat dihadapi dengan seimbang maka tingkat stres akan
meningkat. Dalam upaya beradaptasi terhadap perubahan tersebut, individu
berespon melalui suatu mekanisme koping (Keliat, 1999).
Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada
manajemen stres. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon
terhadap situasi yang mengancam (Stuart, 2009). Menurut Lazarus dan Folkman
(1984) koping sebagai upaya perubahan kognitif dan prilaku secara konstan untuk
mengatasi secara khusus tuntutan internal dan eksternal yang dinilai melebihi
kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu.
1.2. Rumusan Permasalahan
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
fenomena mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah di kota Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi mekanisme koping
klien pasca amputasi tungkai bawah di kota Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Profesi keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan kepada perawat terutama
tentang mekanisme koping klien pasca amputasi dan sebagai masukan dalam
memberikan pendidikan kesehatan kepada klien pasca amputasi tungkai
bawah.
1.4.2. Pelayanan rumah sakit
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam pelayanan rumah
sakit terutama untuk perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan untuk
mempersiapkan pasien pulang dan kunjungan ke rumah secara berkala untuk
memantau perkembangan klien sehingga klien bisa beradaptasi dengan
masalah yang dialaminya.
1.4.3. Peneliti sendiri
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
peneliti dalam melakukan pengkajian dan wawancara pada klien pasca
amputasi tungkai bawah dan dapat melakukan praktek langsung penelitian
yang telah diterima peneliti di bangku kuliah.
1.4.4. Peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu rujukan untuk penelitian
selanjutnya terkait adaptasi klien dan menjadi rujukan terhadap penanganan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Amputasi
2.1.1. Defenisi
Amputasi berasal dari kata “amputare” yang berarti “pancung”. Amputasi
adalah penghilangan satu atau lebih bagian tubuh dan bisa sebagai akibat dari
malapetaka atau bencana alam, belum pernah terjadi sebelumnya, seperti
kecelakaan, gempa dengan intensitas kuat, terorisme dan perang, atau dilakukan
karena alasan medis dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas
hidup pasien. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi
pilihan terakhir apabila masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak
mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau apabila kondisi
organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak
organ tubuh yang lain, (Demet K, 2003, Glass, Vincent, 2004).
Amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh
seperti sistem integumen, sistem persarafan, sistem muskuloskeletal dan sistem
cardiovaskuler. Lebih lanjut amputasi dapat menimbulkan masalah psikologis
bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas,
(Wahid, 2013).
Amputasi ekstremitas bawah adalah prosedur pembedahan yang dihasilkan
dari sebuah kondisi medis yang serius seperti diabetes, trauma atau neoplasma,
perifer merupakan penyebab yang tertinggi amputasi ekstremitas bawah, (Senra,
Arago, Leal, 2011).
2.1.2. Penyebab/predisposisi amputasi
Penyakit vaskular perifer adalah penyebab utama amputasi pada individu
non diabetes dan memberikan kontribusi sekitar setengah dari semua amputasi
pada individu dengan diabetes. Kontroversi mengenai penilaian yang tepat dan
manajemen penyakit pembuluh darah perifer juga ada meskipun beberapa pusat
keunggulan telah melaporkan penurunan tingkat amputasi setelah revaskularisasi
bedah agresif (Wrobel, Mayfield, Rieber, 2001).
Lebih dari 60 % dari amputasi tungkai bawah non traumatik di Amerika
Serikat terjadi di antara orang-orang dengan diabetes melitus, dan meningkat
enam hingga sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan orang tanpa diabetes. Setelah
amputasi tungkai bawah pertama, hingga 50 % pasien memerlukan amputasi lain
dalam waktu 3-5 tahun, (Lipsky, Weigelt, Sun, 2011). Menurut Jumeno dan
Adliss (2010) amputasi dapat juga disebabkan oleh berbagai hal seperti penyakit,
faktor cacat bawaan lahir ataupun kecelakaan.
Menurut Wahid tahun 2013, amputasi dapat dilakukan pada kondisi
sebagai berikut :
1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.
2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.
6. Deformitas organ.
2.1.3. Jenis amputasi
Menurut Wahid (2013) ada beberapa jenis amputasi yaitu :
a. Amputasi selektif/terencana ; amputasi jenis ini dilakukan pada
penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta
terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu
tindakan alternatif terakhir.
b. Amputasi akibat trauma ; merupakan amputasi yang terjadi sebagai
akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah
memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum
klien.
c. Amputasi darurat ; kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim
kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang
cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan
kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
2.1.4. Faktor yang mempengaruhi amputasi
Klien yang memerlukan amputasi biasanya orang muda dengan trauma
ekstremitas berat atau lanjut usia dengan penyakit vaskuler perifer. Orang muda
umumnya sehat, sembuh dengan cepat, dan berpartisipasi dalam program
rehabilitasi segera. Karena amputasi sering merupakan akibat dari cedera, klien
memerlukan lebih banyak dukungan psikologis untuk menerima perubahan
mendadak citra diri dan menerima stress akibat hospitalisasi, rehabilitasi jangka
mengatasi perasaan mereka mengenai kehilangan permanen tadi. Reaksi mereka
sudah diduga dan dapat berupa kesedihan terbuka dan bermusuhan (Liu, William,
2010, Smeltzer, 2010).
Sebaliknya lanjut usia dengan penyakit vaskuler perifer sering mengidap
masalah kesehatan lain, termasuk diabetes melitus dan arteriosklerosis. Amputasi
terapeutik untuk kondisi yang sudah berlangsung lama dapat membebaskan klien
dari nyeri, disabilitas, dan ketergantungan. Klien ini biasanya sudah siap
mengatasi perasaannya dan siap menerima amputasi. Perencanaan untuk
rehabilitasi psikologik dan fisiologik dimulai sebelum amputasi dilaksanakan.
Namun, kelainan kardiovaskuler respirasi, atau neurologik mungkin dapat
membatasi kemajuan rehabilitasi (Lukman, 2009).
2.1.5. Tingkatan amputasi
Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit. Batas amputasi
pada cedera ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat. Batas amputasi pada
tumor maligna ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko kekambuhan
lokal. Sedangkan pada penyakit pembuluh darah ditentukan oleh vaskularisasi sisa
ekstremitas dan daya sembuh luka sisa tungkai (puntung) (Sjamsuhidajat, 2005)
Ampusi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat mencapai
penyembuhan dengan baik. Tempat amputasi ditentukan berdasarkan dua faktor:
peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan fungsional (misalnya sesuai
kebutuhan prostesis) (Smeltzer, 2010).
Lima tingkatan amputasi yang sering digunakan pada ekstremitas bawah
disartikulasi lutut panggul, dan hemipelviktomi dan amputasi translumbar. Tipe
amputasi ada dua yaitu, terbuka (provisional) yang memerlukan teknik aseptik
ketat dan revisi lanjut, serta tertutup atau flap (Doengoes, 2000).
Amputasi jari kaki dan sebagian kaki hanya menimbulkan perubahan
minor dalam gaya jalan dan keseimbangan. Amputasi Syme (modifikasi amputasi
disartikulasi pergelangan kaki) dilakukan paling sering pada trauma kaki
ekstensif dan menghasilkan ekstremitas yang bebas nyeri dan kuat dan yang dapat
menahan beban berat badan yang penuh. Amputasi bawah lutut lebih disukai
dibandingkan amputasi atas lutut karena pentingnya sendi lutut dan kebutuhan
energi untuk berjalan. Dengan mempertahankan lutut sangat berarti bagi seorang
lanjut usia antara ia bisa berjalan dengan alat bantu dan hanya bisa duduk dikursi
roda. Disartikulasi sendi lutut paling berhasil pada klien muda, aktif yang masih
mampu mengembangkan kontrol yang tepat terhadap prostesis. Bila dilakukan
amputasi atas lutut, pertahankan sebanyak mungkin panjangnya, otot dibentuk dan
distabilkan, dan kontraktur pinggul dapat dicegah untuk potensial ambulasi
maksimal. Bila dilakukan amputasi disartikulasi sendi pinggul, kebanyakan orang
akan tergantung pada kursi roda untuk mobilitasnya. Amputasi ekstremitas atas
dilakukan dengan mempertahankan panjang fungsional maksimal. Prostesis
segera diukur agar fungsinya bisa maksimal (Smeltzer, 2008).
2.1.6. Penatalaksanaan sisa tungkai
Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka amputasi,
menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang
penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan masalah kesehatan lainnya.
Penyembuhan dipercepat dengan penanganan lembut terhadap sisa tungkai,
pengontrolan edema sisa tungkai, dengan balutan kompres lunak atau rigid dan
menggunakan teknik aseptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi
(Lukman, 2009).
Balutan rigid tertutup sering digunakan untuk mendapatkan kompresi yang
merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri, dan mencegah
kontraktur. Segera setelah pembedahan balutan gips rigid dipasang dan dilengkapi
tempat memasang ekstensi prostesis sementara (pylon) dan kaki buatan. Kaus
kaki steril dipasang pada sisi anggota. Bantalan dipasang pada daerah peka
tekanan. Puntung kemudian dibalut dengan balutan gips elastis yang ketika
mengeras akan mempertahankan tekanan yang merata. Tekanan balutan rigid ini
digunakan sebagai cara membuat socket untuk pengukuran protesis pasca operatif
segera. Panjang prostesis disesuaikan dengan individu klien. Gips diganti dalam
sekitar sepuluh sampai empat belas hari. Bila ada peningkatan suhu tubuh, nyeri
berat, atau gips yang mulai longgar harus segera diganti (Smeltzer, 2008).
Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila
diperlukan inspeksi berkala puntung sesuai kebutuhan. Bidai immobilisasi dapat
dibalutkan dengan balutan. Hematoma (luka) puntung dikontrol dengan alat
drainase luka untuk meminimalkan infeksi (Lukman, Ningsih, 2009).
Amputasi bertahap bisa dilakukan bila ada gangren atau infeksi.
Pertama-tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan nekrosis
antibiotika. Dalam beberapa hari, ketika infeksi telah terkontrol dan pasien telah
stabil, dilakukan amputasi definitif dengan penutupan kulit, (Lukman, Ningsih,
2009).
2.1.7. Komplikasi
Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit.
Karena ada pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan masif.
Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan, dengan peredaran darah
buruk atau kontaminasi luka setelah amputasi traumatika, risiko infeksi
meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan iritasi akibat prostesis dapat
menyebabkan kerusakan kulit (Smeltzer, 2008).
Hemorage masif akibat lepasnya jahitan merupakan masalah yang paling
membahayakan. Klien harus dipantau secara cermat mengenai setiap tanda dan
gejala perdarahan. Tanda vital klien harus dipantau, dan drainase berpengisap
harus diobservasi sesering mungkin. Perdarahan segera setelah pasca operasi
dapat terjadi perlahan atau dalam bentuk hemorage masif akibat lepasnya jahitan.
Torniket besar harus tersedia dengan mudah disisi pasien sehingga bila
sewaktu-waktu terjadi perdarahan hebat, dapat segera dipasang pada sisa tungkai untuk
mengontrol perdarahan. Ahli bedah harus diberi tahu dengan segera bila ada
hemorage berlebihan (Smeltzer, 2010).
2.1.8. Masalah yang terjadi pasca amputasi tungkai bawah
Pengalaman amputasi akan melibatkan klien sebagai manusia seutuhnya,
pikiran, tubuh, dan jiwa. Klien perlu memulihkan emosional maupun fisik.
mengalami mati rasa atau perasaan kosong, depresi, takut, sedih, cemas, putus asa,
kelelahan yang luar biasa, kebingungan, ketidak berdayaan dan dendam adalah
perasaan yang terjadi pada klien yang mengalami amputasi. Klien memiliki
serangkaian perubahan suasana hati dari tinggi ke rendah dan seperti berada pada
sebuah roller coaster emosional (Society Vascular Nursing [SVN], 2008).
Klien dengan amputasi tungkai bawah dapat mengganggu fisik, psikologis,
dan fungsi sosial. Orang-orang dengan amputasi biasanya melaporkan kemarahan,
kesedihan, tidak berdaya dan rasa bersalah serta kekhawatiran tentang keluarga,
pekerjaan, hubungan sosial dan hubungan seksual (Davidson et al, 2002).
Depresi dianggap sebagai gangguan medis, seperti gangguan fisik lainnya
yang mempengaruhi pikiran manusia, perasaan, prilaku dan kesehatan bahkan
fisik misalnya penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, kurang tidur dan
kehilangan libido. Gejala depresi adalah hasil kontak yang terlalu lama dengan
kondisi kehidupan yang penuh stres. Konsekuensi negatif dalam kehidupan seperti
penyakit dan cacat tidak hanya membuat kehidupan yang penuh stres, tetapi juga
mempengaruhi sumber daya adaptif. Amputasi tungkai bawah menyebabkan cacat
fisik yang serius dan sangat intuitif bahwa penyesuaian dengan kondisi amputasi
impulsif untuk tekanan psikologis. Depresi pada individu karena amputasi tungkai
bawah mencapai 45 % dari antara seluruh penderita amputasi yang telah diteliti
(Mozumdar, Roy, 2010).
Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kejiwaan yang dapat
muncul setelah seseorang terkena suatu peristiwa yang melibatkan cedera serius
respon rasa takut, tidak berdaya, atau mengerikan. Memahami gejala sisa psikiatri
dan emosional amputasi bisa sangat meningkatkan sifat dan tingkat intervensi
psikologis sekitar amputasi dan sesudahnya. Selain itu, jika ada tingkat yang
signifikan dari gangguan stres pasca trauma setelah direncanakan, amputasi bedah
(Cavanagh, Shin, 2006)
Thomson dan Haran et, al. Livingstone (2011) menemukan bahwa klien
yang telah menjalani amputasi mengalami isolasi sosial tingkat tinggi dan
kebutuhan keuangan yang tidak terpenuhi termasuk pekerjaan dan kegiatan sosial.
Amputasi dianggap sebagai tiga penghinaan karena membawa kerugian fungsi,
hilangnya sensasi, dan kehilangan atau perubahan citra tubuh. Perubahan dramatis
ini memiliki efek pada kualitas hidup individu karena keterbatasan aktifitas fisik
segera setelah amputasi serta memiliki implikasi jangka panjang dalam aspek
bervariasi dari kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi individu pada tingkat psiko
sosial, dan memiliki implikasi ekonomi jangka panjang pada kehidupan dan
kesempatan untuk bekerja. Hasil jangka panjang juga berpengaruh pada kontribusi
individu kepada masyarakat (Morbidity and Mortality Weekly Report [MMWR],
2000).
Ditemukan bahwa setelah amputasi orang lebih jarang berpartisipasi dalam
kegiatan sosial terutama orang-orang yang berumur lebih tua ketika diamputasi.
Aktivitas waktu luang berubah setelah amputasi. Dari 123 kasus amputasi 93
orang benar-benar memiliki kegiatan yang berubah dan hanya 30 orang yang
masih tertarik dengan kegiatan yang sama sebelumnya. Tiga kegiatan yang paling
pertanian. Setelah amputasi mereka hanya membaca, menonton televisi atau
mendengarkan musik. Dapat disimpulkan bahwa amputasi ekstremitas bawah
sangat mengubah kehidupan sosial dan waktu luang mereka (Burger & Marincek,
1997).
Dalam hidup sebelum operasi, orang akan menjaga penampilan, namun
sebelum operasi pasien mengalami perasaan ambigu, karena saat ini dalam
kehidupan dimana orang tersebut akan menganggap cara baru masuk ke dalam
dunia akan membangkitkan berbagai perasaan yang tidak terbatas yang
dinyatakan atau tidak. Meskipun pasien menegaskan kesepakatan mereka dengan
operasi, meraka menunjukkan perasaan putus asa, rasa sakit, penderitaan,
ketakutan, kesedihan dan menangis dan tetap tertunduk (Chini, Boemer, 2007).
Phantom tungkai bukanlah efek sederhana dari fenomena pasca amputasi.
Pasien tampaknya mengabaikan pemotongan dan menganggap bayangan mereka
sebagai anggota tubuh yang sebenarnya. “Saya melihat bahwa saya tidak memiliki
kaki. Ini gatal, kaki saya gatal. Saya meminta anak itu untuk membawa kaki saya
yang diamputasi sehingga saya bisa menggaruknya dan dia berkata dia akan
mencoba mencari disekitar dan tidak ada. Ini lucu bahwa anda merasa itu. Saat ini
aku merasa kesemutan di kaki saya” (Chini & Boemer, 2007). Phantom limb
sensations adalah perasaan klien yang merasakan bahwa kakinya masih ada
disana, bahkan meskipun anda tahu bahwa itu tidak, sensasi ini terkuat setelah
operasi, tetapi dapat terjadi bahkan bertahun-tahun kemudian (SVN, 2008)
Klien biasanya mengalami nyeri tungkai fantom segera setelah
amputasi atas lutut. Klien menjelaskan nyeri atau perasaan tak biasa pada bagian
yang telah diamputasi. Sensasi tersebut menimbulkan perasaan bahwa
ekstremitasnya masih ada dan tergerus, kram atau terpuntir dengan posisi
abnormal. Sensasi fantom lama kelamaan akan menghilang. Patogenesis
fenomena anggota fantom tidak diketahui (Smeltzer, 2010).
Ada pengakuan yang berkembang bahwa amputasi tidak selalu
menyebabkan hasil negatif (Phelps et al, 2008). Pada kasus pasien yang terkena
masalah pembuluh darah, menghilangkan rasa sakit mereka adalah prioritas
utama. Mengecilkan nyeri yang tidak tertahankan, sedih dan membatasi diri. Pada
saat ini setiap upaya yang dilakukan untuk meringankan atau menghilangkan rasa
sakit dianggap positif, bahkan jika harus menghilangkan anggota tubuh. Amputasi
mulai dilihat sebagai kejahatan yang diperlukan “tidak tidur selama enam bulan
sulit, sakit ketika berbaring, ketika saya berdiri, sulit, itu menyedihkan, saya
menderita begitu banyak, begitu banyak, begitu banyak, sekarang jika saya harus
melakukannya lagi, saya akan melakukannya lagi, karena semua penderitaan
berakhir” (Chini & Boemer, 2007).
2.2. Konsep Mekanisme Koping
2.2.1. Defenisi
Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada
manajemen stres. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon
terhadap situasi yang mengancam (Stuart, 2009 dan Keliat, 1999). Menurut
prilaku secara konstan untuk mengatasi secara khusus tuntutan internal dan
eksternal yang dinilai melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki
individu.
Kata “coping” (mengatasi, menghadapi) memberikan kesan bahwa orang
yang mengalami kesulitan menunjukkan prilaku yang tidak membantu mengatasi
kesulitannya, namun beberapa orang mengatasi masalahnya dengan cara-cara
yang lebih dari sekedar membantu mereka bertahan dalam kesulitan. Mereka
berusaha dengan belajar dari pengalaman mereka dan menjadi lebih kuat karena
pengalaman-pengalaman tersebut (Joseph & Linley, 2005).
2.2.2. Jenis-jenis mekanisme koping
1. Strategi fisik
a. Mendinginkan kepala.
b. Menenangkan diri dan mengurangi rangsang fisik melalui meditasi atau
relaksasi. Pelatihan relaksasi progresif, belajar untuk secara bergantian
menekan dan membuat otot-otot menjadi santai akan menurunkan tekanan
darah dan hormon stres (Scheufele, 2000).
c. Menenangkan diri sendiri dengan pemijatan, yang jika digabungkan
dengan meditasi, merupakan salah satu dari pengobatan tertua di dunia
(Field, 1998, Moyer, Rounds & Hannum, 2004).
d. Berjalan-jalan, merupakan aktivitas fisik tingkat rendah, karena mereka
yang memiliki fisik lebih bugar memiliki masalah kesehatan yang lebih
Semakin sering orang berolahraga, maka kecemasan, depresi dan
sensitivitas mereka berkurang (Hendrix dkk, 1991)
e. Mendengarkan musik yang menenangkan, menulis buku harian atau
memanggang roti. Aktivitas tersebut memberikan tubuh kesempatan
untuk pulih dari fase alarm sebagai respons terhadap stres.
2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah.
a. Emotion focused coping, berfokus pada emosi yang muncul akibat
masalah yang dihadapi, baik marah, cemas, atau duka cita. Beberapa
waktu setelah bencana atau tragedi, adalah hal yang wajar bagi orang
yang mengalaminya untuk merasakan emosi-emosi tersebut atau bahkan
sampai merasa kewalahan dalam mengelola emosi-emosi tersebut. Pada
tahap ini, orang seringkali butuh untuk membicarakan kejadian tersebut
secara terus menerus agar dapat menerima, memahami, dan memutuskan
akan melakukan hal apa setelah kejadian tersebut selesai (Lepore, Ragan,
& Jones, 2000).
b. Problem focused coping. Langkah-langkah spesifik dalam memecahkan
masalah tergantung dari sifat masalah itu sendiri, apakah keputusan
tersebut mendesak namun hanya perlu dibuat sekali saja, apakah masalah
itu kesulitan yang berkelanjutan seperti hidup dengan keterbatasan fisik
atau pasikologis, atau kejadian yang diantisipasi seperti operasi. Setelah
masalah teridentifikasi, mereka dapat mempelajari masalah tersebut
sebanyak mungkin dari para ahli, teman, buku-buku dan dari sumber lain
memberikan perasaan memiliki kendali dalam diri seseorang. Misalnya,
saat orang mengetahui apa yang akan terjadi saat mereka mengalami
operasi, mereka seringkali pulih dengan lebih cepat dan merasakan sakit
yang lebih ringan dibandingkan dengan orang yang tidak siap (Doering
dkk, 2000)
3. Strategi kognitif
Memikirkan masalah kembali, adalah cara menyelesaikan suatu masalah
dengan mengubah cara berpikir mengenai masalah tersebut. Ada 3 cara
berpikir yang efektif untuk melakukan cognitive coping :
a. Menilai atau meninjau kembali situasinya. Walaupun klien tidak dapat
menghilangkan masalah yang membuat stres, klien dapat memilih untuk
memikirkan masalah itu secara berbeda, proses yang disebut sebagai
reappraisal (menilai/meninjau kembali). Masalah dapat diubah menjadi
tantangan dan kehilangan dapat diubah menjadi keuntungan yang tidak
terduga. Reappraisal dapat mengubah kemarahan menjadi simpati ,
kecemasan menjadi determinasi dan perasaan kehilangan menjadi
perasaan memiliki kesempatan (Folkman & Moskowitz, 2000).
b. Belajar dari pengalaman. Korban dari kejadian traumatis dan penyakit
yang mengancam nyawa melaporkan bahwa pengalaman membuat
mereka kuat, lebih tegar dan bahkan mereka menjadi manusia yang lebih
baik karena bertumbuh dan belajar dari kejadian tersebut (Mc Farlan &
Alvaro, 2000). Sebagian orang bangkit dari musibah dengan ketrampilan
untuk mempelajari sesuatu hal baru yang tidak pernah mereka ketahui
sebelumnya, sebagian yang lain menemukan sumber keberanian dan
kekuatan yang mereka sendiri tidak pernah tahu mereka miliki. Mereka
yang mengambil pelajaran dari tragedi yang tidak dapat dihindari dalam
hidup dan menemukan arti dari pengalaman tersebut adalah mereka yang
berhasil sukses menghadapi masalah dan tidak hanya bertahan dalam
masalah (Davis, Nolen-Hoeksema & Larson, 1998, Folkman &
Moskowitz, 2000).
c. Membuat perbandingan sosial. Dalam situasi sulit, orang yang sukses
bertahan seringkali membandingkan kondisi mereka dengan orang lain
yang mereka rasakan kurang beruntung dibandingkan mereka. Separah
apapun kondisi mereka, bahkan jika mereka memiliki penyakit
mematikan, mereka menemukan orang lain yang keadaannya jauh lebih
parah (Taylor & Lobel, 1989 ; Wood, Michaela & Giordano, 2000).
4. Strategi sosial
a. Mendapatkan dukungan sosial. Dukungan sosial dari keluarga,
teman-teman dan orang lain sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan
dan kesejahteraan emosional. Orang yang memiliki teman-teman baik,
kontak sosial yang luas, dan jejaring dengan anggota masyarakat lain
memiliki kesehatan yang lebih baik dan berumur lebih panjang
dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya. Sentuhan atau
otak dan meningkatkan kadar oxytocin yang dapat menghasilkan
penurunan detak jantung dan tekanan darah (Wade & Tavris, 2007).
b. Hubungan formal yang berasal dari orang-orang yang mengalami
penyakit, masalah atau musibah yang sama. Orang dapat mengambil
manfaat dari bergabung dalam kelompok dukungan sosial jika mereka
memiliki penyakit yang parah atau penyakit yang penuh stigma,
melumpuhkan atau membuat mereka cacat sedemikian rupa, atau
menyebabkan perasaan malu (Davidson, pennebaker, & Dickerson, 2000).
c. Sembuh dengan membantu orang lain. Cara terakhir untuk menghadapi
stres, kehilangan dan tregedi adalah dengan memberikan dukungan bagi
orang lain dan bukannya selalu menerima dukungan dari orang lain.
Orang mendapatkan kekuatan dengan mengurangi fokus terhadap
kesulitan mereka sendiri dan lebih banyak menolong orang lain yang juga
berada dalam kesulitan (Segal, 1986).
2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping
Kemampuan seseorang untuk beradaptasi atau melakukan koping terhadap
stressor yang dihadapi tergantung pada kombinasi aspek stressor dan karakteristik
individu. Aspek stressor meliputi, intensitas dan luasnya stressor, durasi, jumlah
dan tipe stressor yang timbul bersamaan, dan jumlah stressor dalam waktu
tertentu. Karakteristik individu untuk beradaptasi terhadap stres meliputi, latar
belakang dan budaya, kebutuhan, keinginan, konsep diri, sumber internal,
dukungan eksternal, pengetahuan, ketrampilan, sifat, kepribadian, kematangan
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam penggunaan koping adalah sebagai berikut :
a. Kesehatan dan energi
Seseorang yang mengalami sakit atau kelelahan mempunyai energi yang
kurang dalam memperpanjang penggunaan kopingnya. Kesehatan fisik yang
baik merupakan bukti dalam menghadapi masalah atau stres karena ketika
menghadapi stres seseorang membutuhkan mobilisasi yang banyak. Oleh
karena itu, pentingnya kesehatan dan energy untuk koping karena keduanya
berperan dalam memfasilitasi penggunaan koping secara optimal.
b. Keyakinan positif
Melihat diri sendiri dengan positif bisa dikaitkan sebagai sebuah sumber
koping yang sangat penting. Keyakinan sebagai dasar untuk berharap dan
mendukung usaha koping yang digunakan. Namun demikian tidak semua
keyakinan dapat digunakan sebagai koping. Beberapa keyakinan dapat
menghambat usaha koping seperti, keyakinan akan hukuman Tuhan dapat
mengarahkan individu untuk menerima situasi yang menekan sebagai sebuah
hukuman dari Tuhan atau takdir Tuhan dan tidak melakukan hal apapun
untuk mengatasi situasi tersebut.
c. Keterampilan dalam menyelesaikan masalah
Keterampilan dalam menyelesaikan masalah meliputi kemampuan mencari
informasi, menganalisa situasi yang bertujuan mengidentifikasi masalah dan
hasil yang diharapkan, memilih dan mengimplementasikan rencana aksi yang
sesuai.
d. Keterampilan sosial
Keterampilan sosial merupakan sumber koping yang penting. Keterampilan
sosial diartikan sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan berperilaku
dengan yang lain dengan cara yang sesuai dan efektif secara sosial. Hal ini
memfasilitasi penyelesaian masalah dalam berhubungan dengan orang lain
dan memberikan kontrol yang lebih kepada individu dalam interaksi sosial.
Pentingnya keterampilan sosial sebagai sumber diberbagai area, mencakup
program terapeutik yang membantu individu lebih baik dalam mengatasi
masalah kehidupan sehari-hari dan program latihan organisasi untuk
meningkatkan ketrampilan komunikasi interpersonal.
e. Dukungan sosial
Dukungan sosial diartikan dengan mempunyai teman atau keluarga yang
dapat menerima perasaan individu jika mengalami masalah. Selain itu
dukungan dari orang lain dapat berupa memberikan informasi atau dukungan
lainnya seperti menunjukkan perhatian kepada individu tersebut.
f. Sumber materi
Sumber materi dapat berupa uang, barang dan pelayanan. Hasil penelitian
Antonosvsky (1979) dalam Lazarus dan Folkman (1984) ditemukan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara ekonomi, stres dan adaptasi. Sumber
keuangan yang lebih besar meningkatkan pilihan koping. Hal ini juga
kesehatan, bantuan profesional dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa
sumber materi juga dapat memfasilitasi efektivitas koping.
2.2.4. Literatur penelitian yang berhubungan dengan mekanisme koping
Gallagher & PamelaView (1999) menemukan adanya hubungan antara
nyeri tungkai dan variabel psikologis. Dengan demikian, interaksi antara
menghindar dan mencari dukungan sosial dan nyeri tungkai memerlukan
perhatian lebih lanjut dan investigasi. Selanjutnya, dalam skrining dan pengobatan
nyeri tungkai, lokasi amputasi, usia pasien, menyebabkan amputasi harus terus
dipertimbangkan karena mereka adalah prediktor penting dari rasa sakit.
Intervensi juga harus menyelidiki peran pemecahan masalah dalam pengalaman
nyeri lainnya. Penggunaan prostesis juga beberapa mengalami ketidakmampuan
menyesuaikan diri secara emosional atau rasa sakit dan mungkin perlu sesuatu
yang lebih dari anggota tubuh dan pelatihan yang pas dalam penggunaannya.
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa mekanisme koping yang berhubungan
dengan penerimaan bervariasi tergantung pada penyebab amputasi.
Penelitian sebelumnya pada konsekuensi psikologis amputasi telah
difokuskan terutama pada hubungan antara variabel-variabel demografis, berbagai
mekanisme koping. Sebuah tinjauan literatur yang dilakukan oleh Rybarczyk dan
colleagues (2004), menunjukkan bahwa rasa sakit sisa anggota badan, pembatasan
aktivitas, dan medis dan faktor yang berkaitan dengan kecacatan (selain nyeri
phantom) memprediksi kurang varians dalam penyesuaian psikologis daripada
citra tubuh, dirasakan stigma sosial, kerentanan yang dirasakan, dukungan sosial,
ditemukan terkait dengan hasil yang buruk setelah amputasi termasuk kerentanan
yang dirasakan, penghindaran, dan ketidakberdayaan.
Penelitian Behel, Rybarczyk, elliot (2002) tentang prevalensi morbiditas
psikiatri tertentu setelah amputasi sebagian besar berfokus pada gejala depresi,
dan hasil studi ini melaporkan tingkat prevalensi bervariasi dari 7,4% 9-28%.
Varians dalam tingkat prevalensi kemungkinan karena perbedaan metodologis
dalam penilaian depresi klinis. Penelitian in mengandalkan langkah-langkah
laporan diri, seperti Center for Epidemiological Studies Depression Scale
(CES-D), laporan tingkat jauh lebih tinggi dari depresi klinis, dibandingkan mereka
yang menggunakan interviews.
2.3. Konsep Stres
2.3.1. Definisi stres
Stres adalah suatu kondisi yang dihasilkan akibat adanya perubahan dari
lingkungan yang dipersepsikan menantang, mengancam atau merusak fungsi
kesehatan individu seutuhnya (Varcarolis, Shoemaker, 2006). Menurut Niven
stres adalah pernyataan yang seringkali digunakan sebagai label untuk gejala
psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan dan
keadaan lainnya. Sedangkan menurut Vedebeck (2008) stres adalah ketakutan
yang dialami individu dengan cara yang berbeda-beda.
Setiap individu disepanjang rentang kehidupannya akan selalu dihadapkan
pada berbagai peristiwa dan kejadian yang nantinya akan mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan yang berpotensi menimbulkan stres. Hal senada
yang tidak mungkin dapat dihindari yang disebabkan karena adanya perubahan
yang memerlukan penyesuaian. Demikian halnya pada klien pasca amputasi
tungkai bawah sangat rentan terhadap terjadinya stres karena terjadinya perubahan
yang membutuhkan penyesuaian baik secara fisik maupun psikologis.
2.3.2. Etiologi stres
Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber yang
disebut stressor. Stressor adalah keadaan atau situasi, obyek atau individu yang
dapat menimbulkan stres (Hidayat, 2009). Stresor merupakan situasi yang
dianggap akan menimbulkan ketegangan dan mengancam kesejahteraan individu
(Sarafino, 1998). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) berbagai kejadian dan
perubahan lingkungan di sekitar individu dapat bersifat positif, netral ataupun
negatif yang akan menjadi stresor (Tomey & Alligood, 2006).
Secara umum stressor dapat dibagi menjadi dua, yaitu stressor internal dan
stressor eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang seperti
demam, penyakit infeksi, trauma fisik dan kelelahan fisik. Sedangkan stressor
eksternal berasal dari luar individu seperti perubahan suhu lingkungan, pekerjaan
serta hubungan interpersonal (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005).
2.3.3. Respon stres
Stres dapat menghasilkan berbagai respon yang dapat berguna sebagai
indikator dan alat ukur terjadinya stres pada individu. Respon stres dapat terlihat
dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, adaptif, dan psikologis. Respon
fisiologis berupa interpretasi otak dan respon neuroendokrin. Respon adaptif
lokal (LAS). Respon psikologis dapat berupa perilaku konstruktif maupun
destruktif (Smeltzer & Bare, 2008).
Respon fisiologis terhadap stressor merupakan mekanisme protektif dan
adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostasis tubuh yang merupakan
rangkaian peristiwa neural dan hormonal yang mengakibatkan konsekuensi jangka
panjang dan jangka pendek bagi otak dan tubuh. Dalam respon stres, impuls
afferen akan ditangkap oleh organ pengindra dan internal ke pusat saraf otak lalu
diteruskan sampai ke hipotalamus. Kemudian diintegrasikan dan dikoordinasikan
dengan respon yang diperlukan untuk mengembalikan tubuh dalam keadaan
homeostasis. Jika tubuh tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan
tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh (Smeltzer &
Bare, 2008).
Jalur neural dan neuroendokrin dibawah kontrol hipotalamus akan
diaktifkan. Kemudian akan terjadi sekresi sistem saraf simpatis kemudian diikuti
oleh sekresi simpatis-adrenal-modular, dan akhirnya bila stres masih ada dalam
sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Sistem saraf pusat mensekresikan
norepinefrin dan epinefrin untuk meningkatkan respon simpatis-adrenal-modular
pada kondisi stres. Respon ini menimbulkan efek atau reaksi yang berbeda pada
setiap sistem tubuh yang dijabarkan dalam indikator stres secara fisiologis. Pada
kondisi tersebut terdapat organ tubuh yang meningkat maupun menurun
kinerjanya, reaksi ini disebut fight or flight. Norepinefrin mengakibatkan
peningkatan fungsi organ vital dan keadaan tubuh secara umum, sedangkan
mempengaruhi suasana hati. Manisfestasi sekresi norepinefrin dan endorfin
diantaranya pengeluaran keringat, perubahan suasana hati, keluhan sakit kepala,
sulit tidur, peningkatan jantung (Smeltzer & Bare, 2008).
Stres menuntut seseorang untuk menggunakan energi fisiologis dan
psikologis untuk merespon dan beradaptasi terhadap stressor. Respon stres adalah
alamiah, adaptif dan protektif. Karakteristik dari respon stres adalah hasil dari
respon neuroendokrin yang terintegrasi serta terdapat perbedaan individual dalam
berespon terhadap stressor yang sama. Respon adaptif terdiri dari LAS dan GAS.
Respon LAS terbagi atas respon refleks nyeri dan respon inflamasi (Potter &
Perry, 2005). GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres.
Respon yang terlibat didalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin.
GAS memiliki 3 tahap, yaitu alarm, pertahanan dan kelelahan. Pada tahap alarm
respon simpatis fight or flight diaktifkan yang bersifat defensif dan anti inflamasi
yang akan menghilang dengan sendirinya. Bila stresor menetap maka akan beralih
ketahap pertahanan. Pada tahap ini terjadi adaptasi terhadap stressor yang
membahayakan. Jika pemajanan terhadap stressor diperpanjang dan gagal
melakukan pertahanan maka terjadilah kelelahan. Tahap kelelahan terjadi
peningkatan aktivitas endokrin yang menghasilkan efek pemberhentian pada
sistem tubuh terutama sistem peredaran darah, pencernaan dan imun yang dapat
menyebabkan kematian (Smeltzer & Bare, 2008).
2.3.4. Indikator stres
Indikator stres merupakan ukuran kualitatif dan kuantitatif yang dapat
terhadap psikologis yang secara tidak langsung berdampak pula pada fisiologis.
Terdapat beberapa indikator stres, yaitu fisiologis, emosional dan perilaku stres.
DASS adalah satu set tiga skala laporan diri yang dirancang untuk mengukur
tingkat keparahan gejala inti depresi, kecemasan dan stres (Psikologi Yayasan
Australia, 2002). Nilai utama dari DASS (Depression Anxiety and Stres Scale)
dalam pengaturan klinis adalah untuk memperjelas lokus gangguan emosi, sebagai
bagian dari tugas yang lebih luas dari penilaian klinis. Indikator stres fisiologis
adalah objektif dan lebih mudah diidentifikasi, berupa kenaikan tekanan darah,
tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang tidak tegap, keletihan, sakit kepala,
gangguan lambung, suara yag bernada tinggi, muntah, mual, diare, perubahan
nafsu makan (Potter & Perry, 2005 ; Psychology Foundation of Australia, 2010).
Indikator emosional dan perilaku stres sangat bersifat subjektif. Indikator
stres psikologis dan prilaku berupa ansietas, depresi, kepenatan, kelelahan mental,
perasaan tidak adekuat, kehilangan harga diri, minat dan motivasi, ledakan emosi
dan menangis, kecendrungan membuat kesalahan, mudah lupa dan pikiran buntu,
kehilangan perhatian terhadap hal-hal yang rinci, preokupasi, ketidakmampuan
berkonsentrasi terhadap tugas, rentan terhadap kecelakaan, serta penurunan
produktivitas dan kualitas kerja (Potter & Perry, 2005).
Indikator perilaku dapat berupa konstruktif atau destruktif. Perilaku
konstruktif membantu seseorang menerima tantangan untuk menyelesaikan
konflik, sedangkan perilaku destruktif akan mempengaruhi orientasi realitas,
kemampuan penyelesaian masalah, kepribadian, situasi yang sangat berat, dan