4.3. Karakteristik Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi…. 58
4.3.4. Strategi sosial
Berbagai karakteristik strategi sosial mekanisme koping klien pasca amputasi tungkai bawah tergambar dalam 4 sub tema yaitu : 1) Dukungan teman dan keluarga 2) Menemukan kelompok dukungan 3) Membantu orang lain 4) Tanggung jawab terhadap keluarga. Masing-masing sub tema dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Dukungan teman dan keluarga
Keluarga adalah orang terdekat yang dapat mendukung partisipan dalam mengatasi setiap masalah yang dihadapinya. Dukungan keluarga biasanya sangat berarti untuk memotivasi partisipan untuk bangkit dari keterpurukan. Istri adalah orang yang paling dekat yang bisa memotivasi bila pasangannya mengalami stres. Istri juga yang membantu memenuhi semua kebutuhan partisipan selama sakit, termasuk kekamar mandi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“..memang saya sudah mulai mau cerita sama istri, sama anak-anak, hati saya agak lega kalau cerita dengan istri, dia juga yang membantu saya ke kamar mandi waktu saya belum pakai kaki palsu, jadi hampir semua waktu itu dibantu oleh istri” [P12, L272-275].
Pernyataan diatas juga didukung oleh partisipan yang lain yang mengatakan bahwa pasanganlah yang selalu mengingatkannya untuk sholat dan membuat kegiatan agar partisipan tidak bosan selama masa pemulihan. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“... orang rumah selalu memotivasi saya agar keluar, sholat dan buat kegiatan biar enggak bosan. Kalau hal itu tidak terpikir sama sekali sama saya, tapi kadang saya masih sedih memikirkan nasib saya bagaimana” [P6, L93-96].
Selain sebagai tempat bertukar pikiran, pasangan juga adalah orang yang selalu berperan dalam menggantikan peran pasangannya apabila pasangannya tidak bisa bekerja sementara waktu. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan partisipan berikut ini :
“Baru sakit, sudah banyak disuntik lagi bu, saya enggak bisa kerja lagi, sementara uang belanja enggak ada, obatpun susah, tapi karena ada istri buka warung sikit-sikit, jadi adalah yang kasih dukungan keuangan, jadi istrilah yang mencari uang selama saya engak bisa bekerja” [P4, L159-163].
Selain pasangan, anak adalah orang yang paling berperan dalam memacu semangat partisipan agar segera bangkit dari keterpurukan mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Hubungan saya sama anak-anak semua baik, yang disini juga, jadi merekalah yang selalu mendukung saya dan memberi semangat, makanya saya bisa semangat lagi buk, anak-anak itu enggak pernah malu kalau saya seperti ini. Waktu sakit juga mereka selalu yang menjaga saya bergantian. Enggak ada bilang apa-apa mereka, aku kalau mau amputasi saja tetap didukung mereka, karena mereka kasihan melihat kakiku yang membusuk” [P3, L153-159].
Bentuk dukungan yang diterima partisipan tidak hanya dalam bentuk motivasi dari anak-anak dan keluarganya, tetapi juga dalam bentuk bantuan termasuk menyediakan kebutuhan partisipan seperti pakaian dan makanan serta menjaga selama partisipan masih di rumah sakit. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“...mereka bergantian datang, kadang membawakan saya makanan, pakaian ganti. Sekarang juga mereka lebih sering datang, mereka datang bergantian, anak-anak sayalah yang selalu menjadi sumber motivasi saya agar selalu semangat dan sabar” [P8, L149-153].
Bagi partisipan dukungan keluarga sangatlah berarti dalam menghadapi setiap masalah, dukungan keluarga dapat menghilangkan stres partisipan sampai 50%. Kehadiran anak adalah anugerah terindah dari Tuhan, sehingga kehadiran anak juga sanggup menghilangkan stres mereka sampai 50%. Hal tersebut dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Ibaratnya kalau kita berkeluarga stres kita bisa hilang sampai 50% dan dengan hadirnya anak bisa menghilangkan stres kita sampai 50% lagi, jadi kita enggak ada lagi stres karena ada anak dan keluarga yang harus ditanggungjawabi” [P11, L566-569].
Rasa tanggung jawab terhadap anak juga merupakan motivasi besar yang membuat setiap orang tua segera sadar terhadap tanggungjawab mereka dalam memenuhi kebutuhan anak dan pendidikan anak-anak mereka. Hal tersebut dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini : :
“Secara pikir kalau diamputasi berpikir juga ke depan bagaimana dengan anak dan istriku, bagaimana tanggung jawabku sebagai suami untuk kebutuhan mereka, apalagi seakan jadi beban bagi orang rumah, otomatiskan kita harus istirahat paling sikitkan 3 bulan dan tidak bisa bekerja, dari mana harus menanggulagi anak-anak ini untuk sekolah” [P1, L64-69].
Partisipan juga menganggap bahwa pelayanan dan perhatian dari keluarga jauh lebih baik dan berarti dari pada semua pelayanan yang lain termasuk rumah sakit. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Karena saya tahu sebaik-baiknya pelayanan suster jauh lebih baik lagi pelayanan keluarga saya” [P10, L105-106].
Partisipan yang lain juga menyatakan bahwa sumber kekuatan mereka adalah anak-anaknya. Dengan mengingat anak-anaknya maka mereka akan bersemangat kembali. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Kalau stres saya itu tadi, mulai saya cerita dengan teman-teman, dengan keluarga, saya ceritakan aja semua, jadi berkurang stres saya, kemudian saya belajar jalan dengan tongkat dibantu oleh mereka, kalau saya stres saya ingat lagi anak saya, bagaimana anak saya kalau saya enggak kerja, makanya saya mulai semangat lagi, pokoknya ada selalu saya buat kegiatan saya biar enggak ingat lagi dengan kesedihan saya itu” [P1, L132-138].
Selain keluarga dukungan dari teman dan sahabat juga sangat membantu partisipan untuk bangkit dari keterpurukan mereka. Dengan sering berkunjung dan tidak memandang partisipan berbeda dengan dirinya, sahabat atau teman juga dapat memulihkan semangat partisipan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“...mereka sering berkunjung dan bertanya mengapa harus diamputasi, tapi sikap mereka sama seperti biasanya, malah mereka gantian menghibur saya, biar jangan mudah putus asa, biar jangan sedih terus, keluargapun gitu, jadi mereka semua menghibur, biar sabar, pasrah, sama yang diatas” [P1, L 310-314].
Pandangan teman atau tetangga yang tidak mengganggap partisipan berbeda dari mereka, juga didukung oleh partisipan dengan pernyataan yang dapat dilihat dibawah ini :
“Baik semua buk, enggak ada istilahnya yang takut atau menjauh, saya juga sudah mulai biasa sekarang, karena mereka juga enggak menganggap saya beda dengan mereka. Dari antara tetangga rumah inipun, orang inikan orang aceh, enggak ada mereka takut sama saya, mereka baik, seringpun datang kemari” [P2, L357-361].
Hal ini juga didukung oleh pernyataan partisipan yang lain yang mengatakan bahwa teman untuk bercerita juga sangat berarti untuk mereka, sehingga mereka bisa mencurahkan semua perasaan mereka :
“Banyak teman-teman, jadi kemana saya pergi ngomong-ngomong bisa-bisa saja, tapi beda kalau dikampung. Dirumah saya hanya
sendiri mengurung diri, kalau disini enggak, terus ngomong-ngomong sama kawan-kawan kan bisa stres saya hilang” [P6, L276-280].
Partisipan juga menganggap bahwa perhatian yang ditunjukkan oleh teman-teman dan keluarga sangat berarti untuk mereka dalam mengatasi stres. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Ya sedih buk, jadi aku pergi kerumah adek bapak ku, disitu aku di openi buk, dibikinkan kopi, disediakan nasi, dan mereka menyuruh aku buka kakiku buk, disitu menangis orang itu liat aku buk, dipeluknya aku” [P7 L210-213].
Hal itu juga didukung oleh partisipan yang lain dimana dukungan saudara sangat berarti untuk mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Kadang saudara-saudara saya datang kemari, jadi merekalah yang membuat saya bisa bertahan hidup selama saya ada di sini.” [P6, L273-274].
Selain kunjungan oleh teman dan keluarga, partisipan juga berusaha untuk berbaur dan bergabung dengan teman-teman mereka. Pandangan teman yang tidak memandang aneh mereka pasca amputasi juga sangat berarti untuk partisipan, hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Pernah, itu gitu lho kadang saya merasa malu berteman gitu, tapi, saya mencoba lho untuk datang dekat teman-teman, itulah enggak ada saya itu minder, karena mereka juga menganggap saya tetap sama enggak berubah, mereka bilang kok bisa gini ya, ya kek mana lah udah takdirnya seperti ini ya harus saya jalani dan syukuri” [P9, L321-325].
2. Menemukan kelompok dukungan
Dukungan dari teman dan hubungan keluarga kadang tidak cukup untuk membantu partisipan dalam melewati masa-masa sulit. Sumber dukungan dari
orang-orang yang sama atau yang memiliki penyakit atau masalah yang sama juga sangat mendukung partisipan untuk mengatasi stres mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Iya buk, ada temanku yang amputasi juga, dia udah lama, jadi aku bercerita-cerita bersama temanku yang juga tidak punya kaki seperti aku. Hilang stresku setelah bercerita-cerita dengan dia” [P7, L119-121].
Dukungan dari teman yang memiliki masalah yang sama juga sangat membantu dalam melewati masa-masa sulit, sumber dukungan bisa berasal dari orang-orang disekitar untuk mengatasi stres mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Kami baik buk, bahkan kami selalu saling membantu satu sama lain, apabila yang satu butuh bantuan kami akan saling membantu walaupun kami punya kekurangan dan tidak sempurna lagi. disini ada banyak teman-teman yang bisa membantu saya. Bahkan masak sayurpun dimasakkan oleh tetangga” [P8, L174-178].
Dukungan dari teman yang memiliki masalah yang sama juga diungkapkan oleh partisipan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Di sini istilahnya….aku sakit, kawan sakit, kawan lagi sakit. Jadi sakit sama sakit udah….sama-sama sehat juga, jadi kita sudah biasa saling bantu buk, semua masalah kita selesaikan bersama” [P11, L512-5214].
3. Membantu orang lain
Membantu orang lain yang juga memiliki masalah membuat partisipan merasa dirinya lebih berguna lagi, terutama juga membantu mereka yang memiliki masalah yang sama. Hal ini menyebabkan partisipan merasa lebih berarti, hal ini dapat kita lihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Mm.. dari situlah mereka belajar dari saya, sekarang ini lah orang, jadi awak yang memotivasi orang, disini ada juga yang amputasi keq saya, yaaah selalu dibilang sama saya, tet temani tet suruh ibu itu pake tongkat, pake kursi roda, biar bisa keluar rumah lah. Kita selalu memotivasi dia, yaudah jalani aja” [P9, L964-968].
Partisipan juga membantu orang lain yang baru menggunakan kaki palsu bagaimana cara beradaptasi atau menggunakan kaki palsu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“....binikku udah potong kaki, katanya, cuman enggak pandai dia jalan pakai kaki palsu katanya, jadi aku diminta untuk membantu istrinya jalan pakai kaki palsu. Dah capek orang-orang kaki palsu, lalu ada lagi bapak disitu, dia juga enggak pandai jalan, barulah kuajak, paksa-paksa, kadang kugendong, barulah dia pandai jalan” [P11, L384-388].
4. Tanggung jawab terhadap keluarga
Dukungan sosial juga dapat muncul dari perasaan partisipan karena rasa tanggung jawab mereka terhadap keluarga dan anak-anak. Karena secara umum partisipan adalah kepala keluarga dan merupakan pencari nafkah utama di dalam keluarga. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Ya, sebenarnya susah untuk mengatasinya, kita enggak punya kaki, harus cari uang, tapi karena lama-lama saya sadar anak saya harus sekolah, harus makan, jadi saya mulai untuk menerima keadaan saya, mengikut diri sendiri, mulai saya keluar, cerita-cerita sama orang lain, sama tetangga, komunikasi sama teman-teman, jadi pikiran saya agak terbuka, agak lega waktu itu, jadi pikiran kita terbuka, saya ceritakan semua apa yang ada dihati saya, rasanya hati saya menjadi lebih lega, sehingga stres makin lama makin berkurang” [P1, L115-122].
Partisipan juga rela melakukan apapun agar bisa bangkit dari keterpurukan sehingga mereka bisa bekerja dan tanpa pilih-pilih, semua mereka kerjakan asalkan kebutuhan anak-anak mereka terpenuhi :
“Itulah demi mencari makan tadi buk, apapun dikerjakan, ada orang minta tolong ini dikerjakan, ada orang minta tolong itu dikerjakan, karena kita kerja enggak bisa pilih-pilih bu, karena keq gini. Berarti berusaha bergiatlah maksudnya anak-anak ini janganlah terlantar jadi macam mana cara, usaha apa yang bisa ku usahakan gitu bu. Haaaa... macam.... apa dibilangnya calo L300 aku bu, pokoknya usaha apa aja aku bu” [P5, L134-140].
Partisipan yang lain juga mengatakan hal yang sama bahwa mereka harus bangkit agar mereka bisa mencari nafkah lagi untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Saya memikirkan apa ada orang lain yang membantu di rumah karena dulukan istri saya kerja nyuci baju-baju orang dan terus dikasih makan, jadi saya usahakan untuk uang belanja anak-anak, cukup-cukup uang jajan untuk anak saya di sekolah. Siapa lagi yang bisa saya harapkan, kerjaan istri enggak ada lagi, makanya saya menanam sayur-sayuran, bawang, bayam dan lain-lain, terus saya jual” [P6, L241-247].
Pernyataan ini juga didukung oleh partisipan yang lain yang juga merupakan tulang punggung keluarga karena sudah berpisah dari suaminya sejak putra mereka masih kecil-kecil. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini :
“Kadang saya berpikir... yang penting tanggung jawab saya sama anak lah buk. Ya, saya enggak menyesali apa yang terjadi, bagaimana dengan aktivitas saya nantinya dan saya memikirkan anak saya bagaimana nanti dia gitu. Anak saya ini kan bagai harta yang tak ternilai, yang bikin saya harus semangat lagi, enggak boleh stres, karena mereka enggak punya bapak, hanya saya satu-satunya yang diandalkan” [P9, L282-287].