• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.3. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang diterima di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. INTERAKSI OBAT

2.1.1 Definisi Interaksi Obat dengan Obat ( DDIs )

Interaksi obat dengan obat atau dikenal sebagai Drug-Drugs Interaction merupakan situasi dimana terjadinya interaksi antara obat yang satu dengan lainnya dikonsumsi secara bersamaan yang mengakibat terjadinya perubahan efek/khasiat obat tersebut sendiri. Interaksi obat dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu duplikasi, oposisi dan alterasi (Hussar, 2007).

Duplikasi dalam konteks interaksi obat adalah adanya pemberian atau penggunaan dua atau lebih obat untuk indikasi yang sama meskipun tidak atau belum diperlukannya kombinasi. Oposisi dalam interaksi obat dapat dikategorikan sebagai oposisi ketika dua obat yang memiliki efek yang berlawanan diberikan secara bersamaan mengakibatkan menurunnya efektivitas salah satu atau kedua obat tersebut. Alterasi dalam interaksi obat didefinisikan sebagai kondisi dimana suatu obat mengalami perubahan fungsi atau performa absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi suatu obat akibat obat yang lain (Sari, 2012).

Tingkat keparahan dari suatu interaksi obat dengan obat dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok yaitu ringan (minor), sedang (moderate) dan berat (severe). Suatu interaksi obat dapat dikategorikan sebagai minor apabila interaksi obat yang terjadi tidak menimbulkan komplikasi berat. Jika interaksi obat yang terjadi menyebabkan kondisi klinis yang membutuhkan pengawasan ataupun perawatan yang lebih ekstensif sehingga pasien lebih lama tinggal di rumah sakit, maka digolongkan sebagai kategori moderate. Interaksi obat dikategorikan severe apabila interaksi obat tersebut mengakibatkan kondisi klinis yang mengancam nyawa pasien dan kerusakan atau kecacatan mungkin terjadi pada pasien (Dasopang et al., 2015).

5

Menurut Feinstein, Interaksi minor adalah interaksi yang masih dalam tolerir karena jika ditemukan dalam lembar resep maka dalam terapi tidak diperlukan adanya perubahan, sedangkan interaksi moderate adalah interaksi yang mungkin terjadi dalam terapi dan memerlukan perhatian medis, dan pengertian dari interaksi mayor adalah interaksi antar obat yang dapat menimbulkan konsekuensi klinis hingga kematian (Feistein et al, 2014)

Adapun beberapa klasifikasi interaksi obat-obatan berdasarkan efek interaksi obat-obatan tersebut yaitu sinergisme, antagonism, dan idiosyncratic drug reaction (IDRs). Efek sinergisme terjadi apabila kombinasi obat yang berbeda yang mengakibatkan dosis yang berlebihan sehingga menambah efek obat tersebut. Contohnya, trimetoprim-sulfametoksazol dengan phenetyl-isothiocyanate merupakan subtrat inhibitor kompetitif enzim CYP2C9. Jika interaksi obat ini tidak diperhatikan dengan baik dan sewaktu-waktu pasien mengonsumsi warfarin dapat mengancam nyawa pasien (Katzung, 2012). Efek antagonisme adalah kondisi dimana kombinasi obat yang memiliki efek yang berlawanan dikonsumsi secara bersamaan menurunkan efektivitas salah satu atau kedua obat-obatan tersebut (Roberts et al., 2018). Efek idiosyncratic drug reaction adalah suatu istilah untuk menjelaskan adverse drug reactions yang tidak terjadi pada pasien lainnya, akan tetapi terjadi ADRs pada pasien tertentu sehingga pasien tersebut mungkin mengalami kecacatan atau kerusakan jaringan (Uetrecht, 2013). Contohnya, meperidine dan monoamine oksidase inhibitor yang dapat menimbulkan instabilitas otonom, rasa cemas, koma, kejang-kejang, dan kematian. Tingkat keparahan DDIs yang terjadi pada contoh di atas adalah kategori major. (Rahman, 2013).

Interaksi obat dengan obat dapat dianggap menguntungkan secara klinik demi meningkatkan efektivitas obat tertentu dan ada kalanya merugikan juga seperti menurunkan efektivitas obat, mengakibatkan efek samping tambahan, atau mengakibatkan toksisitas. Interaksi obat dengan obat dapat dianalisis dari cara kerjanya yaitu secara farmakodinamika dan farmakokinetika.

6

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadi DDIs : 1. Polifarmasi

Polifarmasi sering terjadi pada pasien lanjut usia dengan beberapa kondisi klinis kronis sehingga dokter meresepkan lebih dari satu obat-obatan dalam menjalankan terapi farmakologi terhadap pasien(Listyanti et al., 2019).

2. Doctor shopping

Doctor shopping dapat terjadi ketika pasien membutuhkan reassurance mengenai kondisi klinis pasien itu sendiri sehingga pasien bekonsultasi dengan dokter lain untuk mendapatkan second opinion tanpa memberitahukan kepada dokter tersebut bahwa pasien tersebut sudah berkonsultasi dengan dokter sebelumnya.

3. Polifarmasi irasional

Pasien memiliki akses obat bebas yang tidak dianjurkan untuk dikonsumsi bersamaan dengan obat yang diresepkan dokter, sehingga interaksi obat terjadi tanpa disadari oleh pasien sendiri.

4. Pasien tidak mengikuti anjuran dokter

Terkadang ada obat tertentu yang tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan makanan atau minuman tertentu. Misalnya pasien mengonsumsi alkohol

dan paracetamol (acetaminophen) dalam waktu dekat atau bersamaan dapat mengakibatkan kondisi klinis yang cukup fatal seperti sindrom alkohol-acetaminophen (Lukasik-Glebocka et al., 2002).

2.1.2. Mekanisme Interaksi Obat

Mekanisme interaksi obat dapat ditinjau dari dua aspek farmakologis yaitu dari interaksi farmakodinamika dan farmakokinetik. Farmakokinetik adalah suatu disiplin ilmu dalam farmakologi yang menganalisis bagaimana organisme mempengaruhi suatu obat baik dari proses absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi obat dan metabolitnya.

7

Farmakodinamik adalah pengajian kuantitatif mengenai bagaimana obat mempengaruhi tubuh suatu organisme secara biokimiawi dan fisiologis (Ratnadi, 2017). Interaksi farmakokinetika dapat dikelompokkan melalui empat proses utama yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi.

a. Absorpsi

Absorpsi merupakan proses pengambilan obat dari permukaan tubuh atau dari tempat- tempat tertentu dalam organ dalam ke dalam aliran darah (Je, 2019). Kecepatan absorpsi obat bergantung pada bentuk dan cara pemberian obat serta sifat fisik kimia. Misalnya pemberian obat di bawah lidah untuk obat yang sangat larut dalam lemak. Karena luas permukaan absorpsi obat yang kecil, dibutuhkan obat yang mudah larut dan cepat diabsorpsi, misalnya nitrogliserin karena darah dari mulut langsung ke vena cava superior dan tidak melalui vena porta, obat yang diberikan secara sublingual tidak akan melewati metabolisme lintas pertama oleh hati. Absorpsi sebagian besar obat diserap secara difusi pasif, membran sel epitel saluran cerna bertindak sebagai barrier absorpsi, yang seperti halnya semua membran sel di tubuh kita yang merupakan lipid bilayer. Agar dapat melintasi membran sel tersebut, molekul obat harus mempunyai kelarutan lemak (setelah terlebih dahulu larut dalam air). Kecepatan difusi berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat (Gunawan et al., 2012).

b. Distribusi

Distribusi obat ke seluruh tubuh terjadi saat obat mencapai sirkulasi untuk masuk ke jaringan untuk bekerja (Neal,2006). Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, dan otak. Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencangkup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ yang disebutkan di atas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama (Gunawan et al., 2012).

8

c. Metabolisme

Metabolisme obat sebagian besar terjadi di membran retikulum endoplasma dan sitosol hati. Metabolisme ekstra-hepatik terjadi di dinding usus, lumen kolon, ginjal, paru-paru, darah dan otak. Metabolisme obat bertujuan untuk mengubah obat yang non-polar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau empedu. Obat yang semulanya aktif setelah dimetabolisme menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (prodrug), kurang aktif atau menjadi toksik.

Reaksi metabolisme melalui dua fase yaitu reaksi fase I yang terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih polar yang mengakibatkan obat menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif, sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat endogen seperti asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat atau asam amino yang mengakibatkan obat menjadi sangat polar sehingga obat hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja atau reaksi fase I diikuti dengan reaksi fase II.

Reaksi metabolisme yang paling penting pada reaksi fase I adalah oksidasi oleh enzim sitokrom P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma di hati.

Ada sekitar 50 jenis isoenzim CYP yang aktif pada manusia tetapi hanya beberapa yang esensial dalam metabolisme obat yaitu :

- CYP3A4/5(~30% dari total CYP dalam hati) memetabolisme ~50% obat - CYP2D6(~2-4% dari total CYP dalam hati), pertama kali dikenal sebagai

debrisoquine hydroxylase dan memetabolisme 15-20% obat

- CYP2C(~20% dari total CYP dalam hati) yang memetabolisme ~15% obat - CYP1A1/2(~12-13% dari total CYP dalam hati) dulu dikenal sebagai

CYP488 dan memetabolisme ~5% obat

- CYP2E1 (~6-7% dari total CYP dalam hati) memetabolisme ~2% obat Reaksi fase II yang terpenting adalah glukuronidasi melalui enzim UDP-glukuronil-transferase (UGT) yang terjadi di dalam mikrosom hati, usus halus, ginjal, paru-paru dan kulit. Reaksi asetilasi, sulfasi, konjugasi

9

lnhibisi enzim metabolisme terjadi secara langsung mengakibatkan peningkatan kadar obat yang menjadi substrat dari enzim yang diinhibisi juga terjadi secara langsung. Penurunan dosis obat yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh diberikan bersama kontraindikasi jika dapat mematikan.

Inhibisi dapat bersifat kompetitif (karena merupakan substrat dari enzim yang sama) dan nonkompetitif (bukan substrat dari enzim yang bersangkutan atau ikatannya irreversible).

CYP3A4/5 merupakan CYP yang paling banyak ditemukan di hati dan usus halus dan berperan sangat penting dalam metabolisme dan eliminasi klintas pertama berbagai obat. Induksi dan inhibisi dari CYP3A4/5 berdampak besar dalam menurunkan atau meningkatkan efek dari banyak obat akibat penurunan atau peningkatan bioavailabilitas dan kadarnya dalam darah.

Sebagai contoh, terfenadin, astemizol, dan cisaprid (substrat CYP3A4/5) dikontraindikasikan dengan ketokonazol, itrakonazol, eritromisin dan klaritromisin (inhibitor CYP3A4/5). Substrat CYP3A4/5 jika diinhibisi oleh inhibitor yang disebutkan di atas dapat mengakibatkan perpanjangan interval QT pada elektrokardiogram (EKG) (Gunawan et al., 2012).

d. Ekskresi

Obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya.

Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus (Anief, 2007) . Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% tahun (Aslam et al.,2003).

Filtrasi glomerus menghasilkan ultraflltrat, yakni plasma minus protein yang akan diekskresikan sebagai ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-glikoproteinvdan MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organik dan konjugat (mis.

10

kation organik dan zat netral (Gunawan et al., 2012). Interaksi farmakodinamika terjadi ketika suatu obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respon obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak di inginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (antihistamin). Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi dan efek sekundernya adalah penekanan susunan sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika pemakai obat sedang mengendarai mobil atau beraktivitas lain, tetapi pada saat tidur, efek ini menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan (Putri, 2020).

2.1.3. Interaksi Obat dengan Penyakit

Interaksi obat dengan penyakit terjadi apabila suatu obat yang diresepkan seharusnya mengobati suatu penyakit, tetapi membuat penyakit tersebut menjadi semakin parah. Salah satu penyakit dengan nilai insidensi yang tinggi untuk terjadinya interaksi obat dengan penyakit adalah Chronic Kidney Disorder (CKD) atau lebih dikenal sebagai Gagal Ginjal Kronis (GGK). CKD selalu diikuti dengan komplikasi lainnya seperti penyakit kardiovaskular misalnya hipertensi, gagal jantung, dan stroke (Pasangka et.al.,2017). Peresepan polifarmasi merupakan suatu hal yang sangat lazim dalam penanganan CKD.

Beberapa penelitian dalam sub-Sahara Afrika telah meneliti prevalensi CKD padaorang berisiko tinggi, termasuk orang-orang dengan diabetes dan hipertensi.

Di Tanzania, prevalensi 84% pada pasien rawat jalan dewasa penderita CKD dengan diabetes, prevalensi CKD dari 47% di antara pasien Ghana, terutama dari wilayah Greater Accra, disertai hipertensi. Selain itu, tercatat 44% prevalensi pada pasien dengan hipertensi, 39% pada mereka dengan diabetes, 16% pada orang dengan obesitas dan 12% pada mereka yang memiliki Human Immuno-deficiency Virus (HIV) atau memperoleh Acquired Immuno-Immuno-deficiency Syndrome (AIDS).

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa CKD dapat terjadi karena komplikasi walaupun sebagai komplikasi dari penyakit lainnya (Rivandi, et.al.,

11

2015). Riwayat penggunaan obat analgetika dan Obat Anti Inflamatori Non Steroid (OAINS) secara statistik ada hubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik serta faktor risiko penggunaan obat analgetika dan OAINS lebih kecil dibandingkan faktor risiko yang lain pada pasien hemodialisis (Pranandari, 2011).

OAINS dan obat analgesic menghambat sintesis prostaglandin. Prostaglandin PGE2 dan PGI1 merupakan vasodilator kuat yang masing–masing disintesis dalam medulla ginjal dan glomerolus,dan terlibat dalam pengendalian aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air. Inhibisi sintesis prostaglandin ginjal dapat menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal, dan gagal ginjal terutama pada pasien dengan kondisi yang berhubungan dengan pelepasan katekolamin, vasokonstriktor, dan angiotensin II (Lilia, 2020).

Berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian di Tanzania, rata-rata seorang pasien CKD diresepkan 6-8 obat-obatan. Derajat keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh fungsi ginjal pasien. Derajat interaksi ringan pada pasien CKD dengan fungsi ginjal yang kompeten dapat berakibat fatal dan membahayakan nyawa pasien CKD dengan nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) di bawah 15 (Mikomangwa et al., 2020). Contoh DDIs dengan derajat keparahan severe salah satunya adalah penggunaan amlopidin dan simvastastin dapat berinteraksi menyebabkan efek rhabdomyolisis (Pasangka et al., 2017).

Aktivitas dari beberapa enzim CYP450 (misalnya CYP1A2, CYP3A4, CYP2C19, CYP2C9) dapat diinhibisi oleh kondisi penyakit yang dikarakterisasi dengan infeksi atau inflamasi. Kondisi klinis ini dapat meningkatkan konsentransi sitokin dalam respon melawan infeksi, trauma, iskemia, immune-activated T-Cell dan toksin. Selama sistem imun tubuh aktif, metabolisme obat berkurang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi sitokin (Horn et al., 2015).

Berdasarkan hasil observasi klinis yang dilakukan pada tahun 2008 di Departemen Gawat Darurat Rumah Sakit Daerah Constanta di Romania, simvastatin yang diberikan 20 mg/hari memiliki efek anti inflamasi pada pasien reumatoid athritis dan peningkatan konsentrasi plasma simvastatin. Inhibisi dari aktivitas CYP3A4 oleh sitokin berkemungkinan untuk meningkatkan konsentrasi plasma simvastastin jika sebelumnya diberikan terapi farmakologis berupa tocilizumab (Cojocaru et al., 2013).

12

2.1.4. Interaksi Obat Dengan Makanan

Obat dapat berinteraksi dengan zat tertentu yang dapat meningkatkan, menurunkan atau menghasilkan efek yang tidak diharapkan dalam suatu terapi farmakologis. Interaksi ini terjadi diakibatkan oleh ketidaksengajaan, kurangnya pengetahuan mengenai zat aktif yang terlibat dalam interaksi tersebut. Interaksi obat ketika dikonsumsi dengan makanan atau minuman tertentu dapat mempengaruhi obat secara farmakokinetik, maupun farmakodinamik.

Beberapa interaksi obat dengan makanan dapat menguntungkan pasien, akan tetapi interaksi cenderung mengakibatkan ADRs yang merugikan pasien (Bushra et al., 2011).

Sebagai contoh, mengonsumsi obat monoamine oksidase inhibitor (MAOI) dengan makanan yang mengandung thyramine seperti coklat, keju, dan daging ikan mengakibatkan inhibisi monoamine oksidase mengakibatkan naiknya kadar monoamine seperti epineferin, norepinefrin, dopamin, dan serotonin yang merupakan substrat dari enzim monoamine oksidase, sehingga dapat mengakibatkan hipertensi, takikardi, hiperthermia dan mual (Garcia et al., 2019).

2.1.5. Interaksi Obat dengan Herbal

Pemakaian tanaman dalam bentuk alami, dan belum di proses untuk kepentingan medis dimulai sejak manusia mulai mengamati adanya tanaman tertentu yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi fungsi tubuh.

Pemeriksaan yang adekuat terhadap kemungkinan interaksi obat diperlukan karena tanaman mengandung ratusan bahan aktif dan inaktif. Penelitian tentang interaksi obat akan sulit dan mahal jika bahan-bahan tersebut dikombinasikan dengan obat lain. Hal ini dapat menimbulkan risiko signifikan bagi pasien (Katzung, 2012).

Obat-obatan yang cenderung lebih mudah untuk berinteraksi dengan obat herbal atau bahan herbal biasanya memiliki indeks terapeutik yang sempit, seperti warfarin, cyclosporin, takrolimus, amitriptilin, midazolam, indinavir, and irinotecan. Kebanyakan obat-obatan tersebut merupakan substrat enzim CYP450 dan atau P-gp. Bahan herbal yang diketahui dapat berinteraksi dengan obat-obatan

13

adalah bawang putih (Allium sativum), jahe (Zingiber officinale), gingko (Gingko biloba), ginseng (Panax ginseng) dan St. John’s wort (Hypericum perforatum) (Chen et al.,2011). Sebagai contoh, Panax quinquefolium (subspecies ginseng) memiliki efek farmakologik yang cukup banyak, salah satunya adalah efek antitrombosit yang memiliki efek antagonis dengan warfarin (Katzung, 2012).

2.2 POLIFARMASI

Kata polifarmasi berasal dari Bahasa Yunani “poly” yang berarti lebih dari satu dan “pharmacy” yang diturunkan dari Bahasa Yunani “pharmacon” yang berarti zat obat-obatan (Maher et al., 2014). Maka dari itu, polifarmasi dapat diartikan sebagai peresepan beberapa jenis obat-obatan sehingga terjadinya interaksi obat yang dapat merugikan pasien. Kerugian yang dimaksud adalah ADRs, mortalitas, bertambahnya rawat inap di rumah sakit, dan kembalinya pasien dirawat di rumah sakit setelah dipulangkan dalam jangka waktu yang pendek (Mashnoon et al., 2017).

Berdasarkan hasil observasi pada rumah sakit tersier di Trinidad dan di Tobago, dari 649 pasien yang mengalami DDIs, 244 pasien (37,6%) diresepkan lebih dari 2 obat-obatan dimana 90 orang dalam kelompok umur 18 – 64 tahun dam 154 orang dalam kelompok umur di atas 64 tahun (Dookeram et al., 2017).

14

2.3 KERANGKA TEORI

Berdasarkan teori dan penelitian yang ada maka dapat digambarkan kerangka teori sebagai berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Teori

2.4 KERANGKA KONSEP

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Pasien Instalasi Rawat Jalan

Penyakit/keluhan multipel

Peresepan Polifarmasi

Interaksi Obat

Efek yang tidakdiharapkan

Tingkat Keparahan Interaksi Derajat Polifarmasi

Variabel Dependen Variabel Independen

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain cross sectional dengan pendekatan retrospektif.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan mulai dari 1 Juli 2020 sampai 30 Oktober 2020.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah data resep dari pasien rawat jalan yang dilayani oleh instalasi farmasi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada kurun waktu 1 Maret 2019 - 31 Maret 2019. Dari hasil survey pendahuluan diperoleh informasi bahwa jumlah resep yang masuk ke instalasi farmasi RSUP HAM dari poliklinik per bulannya rata-rata sebanyak 8000 resep.

Dengan demkian diperkirakan jumlah populasi pada penelitian ini adalah 96.000 resep.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah dihitung dengan rumus Slovin oleh karena total populasi dapat diketahui. Pengambilan sampel dilakukan secara random.

Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

n = N 1 + N (d2)

16

Keterangan : n = jumlah sampel N = jumlah populasi

d = presisi (margin of error dalam memperkirakan proporsi misalnya 5% (0.05 ))

Berdasarkan rumus di atas, besarnya sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 398 resep. Jumlah sampel ini dibulatkan menjadi 400 resep.

3.4 KRITERIA SAMPEL 3.4.1 Kriteria Inklusi

Seluruh resep obat yang dikeluarkan instalasi farmasi untuk pasien instalasi rawat jalan RSUP HAM.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

Resep obat yang tidak diresepkan terapi farmakologis seperti cairan intravena.

3.5 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Data diperoleh dari instalasi farmasi RS HAM yang meliputi resep dari pasien rawat jalan yang dilayani dari tanggal 1 Maret 2019-31 Maret 2019. Jenis data yang dikumpulkan meliputi nama obat, jenis/golongan obat dan poliklinik yang meresepkan obat tersebut.

Setelah mendapatkan ethical clearance, pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada unit Diklit RS HAM

2. Mengakses data resep di instalasi farmasi RS HAM

3. Melakukan pengacakan (randomisasi) nomor urut resep yang dilayani dari poliklinik rawat jalan dengan menggunakan Research Randomizer

(https://www.randomizer.org/)

4. Melakukan analisis terhadap interaksi obat yang terjadi dengan menggunakan database Drug Interaction Checker dari Medscape,

n =

N

1 + 96000 (0,052)

17

3.6 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 3.6.1 Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul, sebelum dianalisis terlebih dahulu dilakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Editing

a. Pengklasifikasian resep berdasarkan dari poliklinik asal resep

b. Pengklasifikasian jumlah obat dan jenis obat yang memiliki potensi interaksi dari daftar obat terakhir yang diperoleh pasien. Jenis dan tingkat signifikansi interaksi yang terjadi dinilai dengan menggunakan Drug Interaction Checker (https://www.webmd.com/interaction-checker/default.htm) dan kemudian ditabulasi sesuai dengan klasifikasi tingkat signifikansi yang telah ditentukan.

2. Entry data

Merupakan suatu proses memasukkan data ke dalam komputer untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan program komputer.

3. Tabulating

Dari data mentah dilakukan penyesuaian data yang merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan di data untuk disajikan dan dianalisis.

3.6.2 Analisis Data

Penelitian ini adalah studi deskriptif dimana data akan ditampilkan dalam bentuk tabel, diagram pie atau diagram batang dengan menggunakan software.

Analisis data dapat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel yang dilakukan dengan metode analisis nonparametric (Spearmann Correlation).

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) for Windows.

18

3.7 DEFINISI OPERASIONAL Variabel pada penelitian ini adalah :

Tabel 3.1 Variabel Penelitian

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Skala Ukur

Hasil Ukur Nama Obat Nama Generik dari

obat yang ditulis

Nominal Nama Generik Obat

Jenis atau Polifarmasi Jumlah obat yang

diresepkan lebih dari

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik yang beralamat di Jl. Bunga Lau No.17, Medan.

4.2. DESKRIPSI KARAKTERISTIK SAMPEL

Sampel pada penelitian ini merupakan data instalasi farmasi RS HAM yang meliputi resep dari pasien rawat jalan yang dilayani dari tanggal 1-31 Maret 2019 sebanyak 400 resep obat. Jenis data yang dikumpulkan meliputi nama obat, jenis/golongan obat dan poliklinik yang meresepkan obat tersebu, pengambilan sampel dilakukan dengan Research Randomizer. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah seluruh resep obat yang menggunakan terapi farmakologis pada pasien

Sampel pada penelitian ini merupakan data instalasi farmasi RS HAM yang meliputi resep dari pasien rawat jalan yang dilayani dari tanggal 1-31 Maret 2019 sebanyak 400 resep obat. Jenis data yang dikumpulkan meliputi nama obat, jenis/golongan obat dan poliklinik yang meresepkan obat tersebu, pengambilan sampel dilakukan dengan Research Randomizer. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah seluruh resep obat yang menggunakan terapi farmakologis pada pasien

Dokumen terkait