• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Interaksi Obat

2.1.2. Mekanisme Interaksi Obat

Mekanisme interaksi obat dapat ditinjau dari dua aspek farmakologis yaitu dari interaksi farmakodinamika dan farmakokinetik. Farmakokinetik adalah suatu disiplin ilmu dalam farmakologi yang menganalisis bagaimana organisme mempengaruhi suatu obat baik dari proses absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi obat dan metabolitnya.

7

Farmakodinamik adalah pengajian kuantitatif mengenai bagaimana obat mempengaruhi tubuh suatu organisme secara biokimiawi dan fisiologis (Ratnadi, 2017). Interaksi farmakokinetika dapat dikelompokkan melalui empat proses utama yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi.

a. Absorpsi

Absorpsi merupakan proses pengambilan obat dari permukaan tubuh atau dari tempat- tempat tertentu dalam organ dalam ke dalam aliran darah (Je, 2019). Kecepatan absorpsi obat bergantung pada bentuk dan cara pemberian obat serta sifat fisik kimia. Misalnya pemberian obat di bawah lidah untuk obat yang sangat larut dalam lemak. Karena luas permukaan absorpsi obat yang kecil, dibutuhkan obat yang mudah larut dan cepat diabsorpsi, misalnya nitrogliserin karena darah dari mulut langsung ke vena cava superior dan tidak melalui vena porta, obat yang diberikan secara sublingual tidak akan melewati metabolisme lintas pertama oleh hati. Absorpsi sebagian besar obat diserap secara difusi pasif, membran sel epitel saluran cerna bertindak sebagai barrier absorpsi, yang seperti halnya semua membran sel di tubuh kita yang merupakan lipid bilayer. Agar dapat melintasi membran sel tersebut, molekul obat harus mempunyai kelarutan lemak (setelah terlebih dahulu larut dalam air). Kecepatan difusi berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat (Gunawan et al., 2012).

b. Distribusi

Distribusi obat ke seluruh tubuh terjadi saat obat mencapai sirkulasi untuk masuk ke jaringan untuk bekerja (Neal,2006). Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, dan otak. Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencangkup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ yang disebutkan di atas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama (Gunawan et al., 2012).

8

c. Metabolisme

Metabolisme obat sebagian besar terjadi di membran retikulum endoplasma dan sitosol hati. Metabolisme ekstra-hepatik terjadi di dinding usus, lumen kolon, ginjal, paru-paru, darah dan otak. Metabolisme obat bertujuan untuk mengubah obat yang non-polar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau empedu. Obat yang semulanya aktif setelah dimetabolisme menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (prodrug), kurang aktif atau menjadi toksik.

Reaksi metabolisme melalui dua fase yaitu reaksi fase I yang terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih polar yang mengakibatkan obat menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif, sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat endogen seperti asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat atau asam amino yang mengakibatkan obat menjadi sangat polar sehingga obat hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja atau reaksi fase I diikuti dengan reaksi fase II.

Reaksi metabolisme yang paling penting pada reaksi fase I adalah oksidasi oleh enzim sitokrom P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma di hati.

Ada sekitar 50 jenis isoenzim CYP yang aktif pada manusia tetapi hanya beberapa yang esensial dalam metabolisme obat yaitu :

- CYP3A4/5(~30% dari total CYP dalam hati) memetabolisme ~50% obat - CYP2D6(~2-4% dari total CYP dalam hati), pertama kali dikenal sebagai

debrisoquine hydroxylase dan memetabolisme 15-20% obat

- CYP2C(~20% dari total CYP dalam hati) yang memetabolisme ~15% obat - CYP1A1/2(~12-13% dari total CYP dalam hati) dulu dikenal sebagai

CYP488 dan memetabolisme ~5% obat

- CYP2E1 (~6-7% dari total CYP dalam hati) memetabolisme ~2% obat Reaksi fase II yang terpenting adalah glukuronidasi melalui enzim UDP-glukuronil-transferase (UGT) yang terjadi di dalam mikrosom hati, usus halus, ginjal, paru-paru dan kulit. Reaksi asetilasi, sulfasi, konjugasi

9

lnhibisi enzim metabolisme terjadi secara langsung mengakibatkan peningkatan kadar obat yang menjadi substrat dari enzim yang diinhibisi juga terjadi secara langsung. Penurunan dosis obat yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh diberikan bersama kontraindikasi jika dapat mematikan.

Inhibisi dapat bersifat kompetitif (karena merupakan substrat dari enzim yang sama) dan nonkompetitif (bukan substrat dari enzim yang bersangkutan atau ikatannya irreversible).

CYP3A4/5 merupakan CYP yang paling banyak ditemukan di hati dan usus halus dan berperan sangat penting dalam metabolisme dan eliminasi klintas pertama berbagai obat. Induksi dan inhibisi dari CYP3A4/5 berdampak besar dalam menurunkan atau meningkatkan efek dari banyak obat akibat penurunan atau peningkatan bioavailabilitas dan kadarnya dalam darah.

Sebagai contoh, terfenadin, astemizol, dan cisaprid (substrat CYP3A4/5) dikontraindikasikan dengan ketokonazol, itrakonazol, eritromisin dan klaritromisin (inhibitor CYP3A4/5). Substrat CYP3A4/5 jika diinhibisi oleh inhibitor yang disebutkan di atas dapat mengakibatkan perpanjangan interval QT pada elektrokardiogram (EKG) (Gunawan et al., 2012).

d. Ekskresi

Obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya.

Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus (Anief, 2007) . Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% tahun (Aslam et al.,2003).

Filtrasi glomerus menghasilkan ultraflltrat, yakni plasma minus protein yang akan diekskresikan sebagai ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-glikoproteinvdan MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organik dan konjugat (mis.

10

kation organik dan zat netral (Gunawan et al., 2012). Interaksi farmakodinamika terjadi ketika suatu obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respon obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak di inginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (antihistamin). Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi dan efek sekundernya adalah penekanan susunan sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika pemakai obat sedang mengendarai mobil atau beraktivitas lain, tetapi pada saat tidur, efek ini menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan (Putri, 2020).

Dokumen terkait