• Tidak ada hasil yang ditemukan

New Media dan Tindakan Kolektif

Dalam dokumen Media Lokal Kontestasi Tren Dinamika dan (Halaman 164-169)

Lievrouw (2004) sejak lebih dari satu dasa warsa yang lalu mengingatkan, bahwa new media akan menjadi mainstream. Dimana persoalan shopping, pendidikan, hiburan, sosialisasi hingga politik hilir mudik dalam satu jaringannya. Masyarakat mengalami thethek mbengek masalah kehidupannya melalui proses new media ini (Bell, 2007: 132). Wacana new media sering dikaitkan dengan interrelasi teknologi yang memperluas relasi sosial secara umum (Holmes, 2005: 13).

New media juga menawarkan keterhubungan (inter-connection) antar subyek pada waktu yang sama (Stevenson, 2010: 157). Dalam new media, seseorang bisa turut terlibat memproduksi pesan sekaligus menerima pesan (Freedman, 2011: 209). Martin Lister mengatakan bahwa dalam new media, produksi dan distribusi teks/contents menjadi terdesentralisasi dan sangat individual (Rayner et.al., 2004: 221). Menurut McLuhan, new media juga ditandai dengan berbagi ide dan tingkah laku secara kolektif (Durham and Kellner, 2006: xxi). New media berfungsi untuk partisipasi, membangun identitas, sosialisasi dan jaringan, serta representasi diri (Croteau, et.al., 2006: 319).

Ia juga membuka kemungkinan untuk membentuk kolektifitas,

pengertian, dan intimitas secara online (McQuails, 2003: 44). Tindakan sosial (collective action) merujuk pada mobilisasi sumber daya, dengan mempertimbangkan sikap dan tingkah laku strategis subyek (Turner, 2006: 75). Tindakan kolektif dapat melahirkan kekuatan sosial yang mengubah kehidupan kita,

kadang bersifat temporer tapi kadang juga permanen (Tischler, 2007: 480). Tindakan kolektif merupakan respon masyarakat atas situasi yang tidak pasti dan problematik (Thompson and Hickey, 2012: 580; Henslin, 2012: 626; Kornblum, 2008: 212); respon dalam menghadapi norma dan nilai kelompok dominan (Kendall, 2012: 541).

Meminjam konsep Lievrouw diatas, new media telah menjadi mainstream dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Ia telah menjadi bagian dari budaya komunikasi masyarakat. Bukan hanya petani, tapi siapa saja yang masih membutuhkan komunikasi, akan menjadi bagian dari new media. Budaya komunikasi ini salah satunya ditandai dengan keterikatan kita dengan new media. Kita baru bisa tidur kalau sambil mendengarkan musik melalui HP. Kita terbangun juga karena alarm di HP. Tiap bangun tidur, yang pertama kita lakukan adalah membuka HP, sebelum kegiatan lain. Ketika salam dan selesai sholat, kita juga terbiasa untuk membuka HP sebelum wirid. Bahkan ketika khutbah Jum’at sudah dimulai, salah satu jamaah masih sempat menulis pesan di WA. Eh, siapa tahu dia sedang menulis status: ”Ya Alloh, sesungguhnya WA-ku, FB-ku, update status dan fotoku semata-mata hanya untuk-Mu”.

Dalam acara seminar/konferensi/simposium, biasanya pe-serta akan foto bersama setelah seminar selesai. Sebelum makan, mereka biasanya juga akan memfoto menu makanan yang sudah diambil di piring. Semua foto itu kemudian di-upload ke Facebook (FB) atau group WA atau aplikasi lainnya. Tidak lupa disertai berbagai emoticon lucu untuk memperkuat pesan. Foto dan upload telah menjadi “ritual” dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Tiap kegiatan sepertinya harus diawali atau diakhiri dengan foto dan update status. Bahkan kadang-kadang panitia seminar menyediakan waktu khusus untuk sesi foto bersama.

Lho, saya kok jadi ngelantur kemana-mana, sudah sampai dimana pembicaraan kita tadi? Baik, kita kembali ke persoalan new media dan petani tembakau. New media sudah tumbuh dan berkembang demikian jamak di masyarakat, tak terkecuali masyarakat petani. Salah satunya adalah smart phone dengan berbagai aplikasinya yang kini sudah berada dalam genggaman petani. Persoalannya tentu bukan pada seberapa masif media tersebut digunakan, tetapi untuk apa media tersebut digunakan petani.

Kalau new media (baca: smartphone) hanya digunakan untuk sekedar mengikuti budaya konsumsi dan prestis, maka tidak banyak yang bisa diharapkan dari kegiatan ini. Petani hanya akan senang karena melihat video konyol/kocak, bisa ngobrol dan ber-haha-hihi melalui Whats App (WA). Bisa melihat meme lucu-lucu dan kiriman gambar-gambar “asyik” lainnya. Sekali lagi, persoalan mendasarnya tentu bukan sekedar yang lucu-lucu dan asyik-asyik.

Petani sebaiknya mulai belajar untuk menginisiasi new media sebagai sarana untuk mendorong tindakan kolektif. New media juga sudah digunakan untuk advokasi program kependudukan dan keluarga berencana (Subejo dan Handaka, 2013: 167-181). Lalu bagaimana caranya? Dan mengapa memilih new media? Petani tembakau Madura, secara umum terkonsentrasi di masing-masing Desa. Petani di masing-masing-masing-masing Desa ini, kadang menjual tembakau sendiri-sendiri langsung ke gudang atau menjual secara berkelompok. Ada satu lagi pola penjualan, yaitu petani menjual secara kelompok ke Kepala Desa (Klebun), lalu Klebun menjual ke gudang.

Pola budidaya dan penjualan tembakau oleh petani, meng-indikasikan bahwa ada komunalitas, jaringan, kepercayaan,

dan norma. Aspek-aspek ini adalah modal sosial (sosial capital) yang menjadi salah satu kekuatan petani. Petani yang sudah memiliki modal sosial ini tinggal selangkah lagi untuk mewujudkan kelompok tani (poktan). Komunalitas yang sudah hidup dan berkembang bertahun-tahun ini bisa diarahkan untuk membentuk poktan. Bila poktan sudah terbentuk, petani bisa merencanakan penanaman, panen, dan penjualan tembakau secara bersama-sama.

Nah, new media digunakan untuk menjadi instrumen bagi kegiatan poktan. Kegiatan poktan bisa diorganisir melalui group WA, FB, Line atau aplikasi lainnya. Media ini bisa digunakan poktan untuk menentukan pembelian bibit dan pupuk. Media ini juga bisa digunakan untuk sarana menjual hasil panen tembakau. Fungsi penjualan ini merupakan aspek paling penting dari peran new media. Inilah alasan mengapa pilihan penulis jatuh pada new media untuk meningkatkan potensi petani tembakau.

Petani selama ini sangat tergantung dengan gudang/pabrik. Petani tidak berdaya dalam penentuan harga, tidak tahu ukuran obyektif tembakau kualitas A, B, atau C. Mereka hanya bisa menduga-duga mana tembakau kualitas bagus dan mana yang tidak. Kadang petani menilai tembakaunya berkualitas bagus, tapi ketika dijual ternyata kualitas biasa atau malah jelek. Demikian juga sebaliknya, petani mengira tembakaunya jelek tapi ketika dijual malah masuk kualitas bagus.

Ketika panen melimpah dan harga tembakau jatuh, gudang buka tiap hari. Namun ketika tembakau langka dan harga tinggi, gudang hanya buka beberapa hari saja. Petani benar-benar “dipermainkan” gudang/pabrik dalam hal penentuan harga dan masa penjualan. Gudang/pabrik mau buka dan tutup sesuai

keinginan mereka, penentuan harga tinggi atau rendah juga menurut kemauan mereka.

Melalui tindakan kolektif berupa poktan dan new media, pe-tani bisa memulai untuk menjual tembakau secara berkelompok. Penjualan secara kelompok tentu lebih diperhitungkan gudang/ pabrik dibanding menjual sendiri-sendiri. Setidaknya menjual secara kelompok lebih memiliki posisi tawar dalam penentuan harga dengan gudang/pabrik. Karena poktan juga punya patokan harga sendiri untuk masing-masing kualitas tembakau.

Setelah penentuan harga, poktan bisa memulai untuk mengadakan pertemuan rutin/berkala. Pertemuan ini penting untuk membicarakan persoalan-persoalan yang dihadapi petani. Misalnya pengadaan modal untuk awal musim tanam bagi petani yang memiliki modal terbatas. Selain itu juga bisa digunakan untuk mengundang Petugas Penyuluh Lapang (PPL) atau tenaga ahli yang akan memberi penyuluhan tentang teknologi penanaman tembakau. Poktan juga bisa menginisiasi untuk membentuk koperasi simpan pinjam bagi anggotanya.

Kekuatan ini akan semakin baik bila masing-masing Desa turut membentuk poktan. Poktan-poktan yang ada bisa bersama-sama menentukan harga tembakau, menentukan indikator kualitas tembakau yang lebih obyektif. Poktan-poktan juga bisa membentuk gabungan kelompok tani (gapoktan). Gapoktan bisa mencari informasi harga tembakau di daerah lain melalui new media. Bila harga di daerah lain lebih menguntungkan dibanding harga beli gudang/pabrik di Madura. Gapoktan bisa menjual tembakau ke gudang/pabrik di daerah lain.

Dalam dokumen Media Lokal Kontestasi Tren Dinamika dan (Halaman 164-169)