• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan dan Harapan

Dalam dokumen Media Lokal Kontestasi Tren Dinamika dan (Halaman 126-132)

Hingga kini, media-media pesantren dalam berbagai bentuknya tumbuh bermekaran. Ada yang berwujud majalah dinding, lembar buletin, koran mini, majalah, bahkan hingga jurnal komunal. Walaupun perkembangan jagad internet (online) yang melesat sangat cepat dan merasuk masuk ke dalam lingkungan pesantren, namun karya jurnalistik cetak di pesantren masih tetap eksis. malah seakan tak sudi kalah, para santri sekarang juga sudah cekatan membuat media pesantren versi online (dalam bentuk portal, website, dan blog) untuk menyambut atensi publik dan menyambung lini silaturrahim lewat dunia maya.

Di Madura sendiri banyak pesantren, terutama yang modern dan semi-modern serta memiliki unit lembaga pendidikan formal, yang mengelola penerbitan media dan cukup rutin menerbitkannya secara berkala. Di antaranya dapat disebut antara lain adalah Ponpes An-Nuqayyah Guluk-Guluk Sumenep (antara

lain majalah Infitah, Muara, Inspirasi, teratai), Ponpes Al-Amien

Prenduan Sumenep (Majalah Qalam, Puspagatra, Puspagatri, Qonita), Ponpes Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan (Majalah New Fatwa, Versi), Ponpes Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan (Al-Ikhwan, Ijtihad, Fresh, Orion,), Ponpes Al-Mujtama’ Plakpak Pamekasan (Haura, Hanana, El-Furqania). Hampir semua ponpes tersebut juga memiliki media online, berupa website induk pesantren yang resmi dan menaungi semua unit media di dalamnya. Sebagian kecil di antaranya bahkan ada yang sudah memiliki media elektronik seperti televisi dan radio komunitas walau dalam skala yang terbatas.

Memang harus diakui bahwa jumlah pesantren yang mempunyai media tak cukup sebanding dengan pondok-pondok

pesantren yang tak memilikinya. Jumlah pesantren yang tak memiliki media lebih besar mengingat banyaknya jumlah pesantren yang ada di Madura. Ada beberapa faktor baik teknis ataupun non-teknis yang melatari kondisi tidak berimbang tersebut.

Tentu saja adanya beragam media dan penerbitan di pesantren tidak terbangun dengan mudah. Terdapat sejumlah tantangan baik di masa awal pembentukan maupun di sepanjang perjalanannya. Tak sedikit di antara tantangan itu justru datang dari kalangan internal pesantren sendiri. Bahkan ada pimpinan pesantren (kiai atau pengurus) yang tak membolehkan santri membentuk media hanya karena khawatir mengganggu fokus belajar dan proses belajar-mengajar di sana. Maknanya, untuk beberapa kasus, inisiatif, kreativitas dan daya kritis santri tak selamnya bergayung sambut dengan pihak pengelola pesantren.

Jika dipetakan secara sederhana, setelah menelisik per-kembangan dan dinamika dari beberapa media pesantren yang ada (masih terbit dan pernah terbit) dijumpai beberapa kendala yang dapat dikata berpotensi menjadi rintangan dari kesinambungan “hidup” media dan penerbitan di pesantren. Pertama, khazanah literatur. Pada beberapa pesantren, ketersediaan perpustakaan yang sehat dan refresentatif belum dapat dijumpai. Padahal maujudnya koleksi referensi ilmu pengetahuan dalam beragam wujud (buku, kitab, dan sebagainya) merupakan “pasangan sejati” yang tak terpisahkan dari media pesantren. Kedua, fasilitas atau sarana/prasarana. Walaupun bukan persyaratan mutlak, adanya fasilitas yang lengkap tentu akan menghadirkan kenyamanan yang lebih dalam pengelolaan media di pesantren. Kadangkala ada pesantren tertentu yang masih memiliki peralatan tulis dan cetak yang serba manual dan terbatas. Sebagai contoh, ada majalah

dinding pesantren yang hanya dicetak (print) sekali dengan papan display yang terbatas pula. Sehingga pihak pengelola terpaksa menggotongnya secara bergantian untuk dibaca santri di pondok putra dan asrama putri.

Ketiga, lemahnya proses regenerasi. Terutama di bidang keredaksian, mengelola media lebih-lebih dari sisi konten membutuhkan kemahiran dan kecerdasan khusus. Tak sedikit dari media pesantren yang berkembang pesat saat dipegang oleh sosok atau tim redaktur yang baik dan bertalenta. Namun setelah sosok atau tim itu selesai mondok dan keluar dari pondok, media tersebut menjadi melemah, berantakan dan bahkan mandeg sama sekali. Kendala kesenjangan (gap) semacam ini tentu akan relatif teratasi dengan jalan mempersiapkan proses kaderisasi yang matang dan simultan.

Keempat, minimnya pengelola yang melek teknologi serta mampu “siaga” mengelola media. Keahlian seperti ini diperlukan terutama dalam pengelolaan (administrasi) media elektronik dan online yang menuntut suplai data dan berita yang senantiasa baru dan segar (up to date). Kelima, keterbatasan jaringan

telekomunikasi. Tak boleh dinafikan, digitalisasi media mutakhir

meniscayakan adanya fasilitas jaringan internet yang stabil. Ia ibarat tenaga yang menjadi penyuluh dari media pesantren. Memang mustahil ada pesantren yang bersedia menyediakan layanan jaringan internet untuk dikonsumsi santri dengan bebas dan tanpa kontrol. Sebab itu akan sangat berpotensi untuk digunakan secara negatif dan destruktif. Karena itu, mesti digagas sebuah formula khusus agar pesantren dapat berleluasa memanfaatkan jaringan tanpa harus “mengganggu” kenyamanan para santri di pesantren.

pe-nopang dari hidup tidaknya media pesantren adalah sokongan dana yang cukup. Belajar dari pengalaman di beberepa pesantren, cukup banyak media pesantren yang ambruk dan gulung karpet

di tengah jalan karena kehabisan bekal finansial. Untuk media

yang berbiaya mahal dan beroplah banyak, kekuatan modal ini jelas sangat berpengaruh. Untuk itu, Kelincahan pengelola media pesantren dalam segmen pemasaran (marketing) amat diperlukan. Asupan dana yang didapat dari sponsor (iklan) setidaknya akan dapat menutup biaya produksi serta menjaga pengelolaan media tersebut secara berkelanjutan.

Ketujuh, kurangnya dukungan. Dari sisi non-teknis, media juga membutuhkan kuatnya dukungan dari semua elemen yang ada di pesantren, bahkan support dari pihak masyarakat (eksternal). Dukungan yang konstruktif juga sanggup berfungsi sebagai spirit sekaligus kontrol moral bagi pengelola media. Pernah ada kasus majalah dinding di sebuah pesantren yang didatangi aparat keamanan dan kemudian dibreidel. Kejadian serupa ini tentu akan dapat diantisipasi sedari dini apabila dukungan dan kontrol dari semua elemen dapat hadir dengan solid.

‘Alaa kulli haal, senarai kendala yang dipaparkan di atas hanya menjadi “duri” kecil yang mudah dicarikan solusinya apabila ada kemauan, tekad dan semangat yang besar dari para santri dan segenap stakeholders pesantren untuk mewujudkan media pesantren yang kuat dan berkualitas. Mentalitas santri yang mandiri dan pantang patah harapan adalah senjata utama yang sanggup mengatasi pelbagai kendala. Hal yang terpenting, merujuk pada wejangan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) agar santri dan kaum pesantren senantiasa percaya diri, kritis dan berwawasan terbuka. Menurut Gus Mus, santri yang cerdas tidak akan terkecoh hanya karena perbedaan antara toko buku dan

toko kitab, hanya karena dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, atau antara istilah madrasah dan sekolah. Santri yang cerdas tidak akan gumun hanya karena ada kiai yang menjadi penulis atau penyair. Sebab Sayyidina Ali, Sayyidina Umar, dan Imam

Syafii adalah ahli agama yang juga penulis dan penyair.

Adanya media-media pesantren dengan pendidikan khazanah literer di dalamnya, terlepas dari kelebihan dan

kelemahannya, terbukti telah mampu melahirkan banyak figur

yang kelak menjadi sastrawan, penulis, serta jurnalis handal di kancah nasional bahkan antarbangsa. Mereka dulu adalah santri-santri biasa yang dengan lugu belajar menulis dan dengan lucu berlatih menjadi jurnalis-jurnalis “amatir” untuk media-media kecil di pesantren.

Ibarat lampu hias, media-media pesantren khususnya di sekujur Madura kini tumbuh menjamur dengan banyak warna. Namun dengan pelbagai kendala yang ada, sebagian besar di antaranya hidup dan bertahan dalam suasana “kerlap-kerlip” dengan nafas yang “senin-kamis”. Kadangkala rutin menyapa pembaca, namun ada kalanya juga menghilang lama tanpa kabar berita. Istilahnya, hidup seakan segan tapi mati pun tak mau. Kontinuitas dan keistiqamahan adalah kata kunci yang (masih) mahal bagi media pesantren. Semoga ke depan, media pesantren mampu bertahan dan hidup dengan lebih kontinu untuk mengawal visi luhur da’wah bi al-qalam, mengajak manusia dan menggambar semesta dengan mata pena.

MEDIA TRANSFORMASI

Dalam dokumen Media Lokal Kontestasi Tren Dinamika dan (Halaman 126-132)