• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEGATRUH, Paramayoga

Dalam dokumen Serat Paramayoga (Halaman 36-43)

adalah langgeng simbol dari kekekalan, abadi selamanya”

10. MEGATRUH, Paramayoga

10. MEGATRUH, Paramayoga

Sasraningrat.

Sasraningrat.

.

Kaparêngan mina Tirbah wêktu wau | ngambang prabane kaèksi | sumirat-sirat ngênguwung | sisik sungsun-sungsun kadi | parang hèr gêni sumorot ||

Diceritakan, orang-orang yang bermukim di belahan utara gunung Tangguru ke arah timur hingga ke Negara Cina adalah penyembah Hyang Ujwalapati dengan membangun arca yang menyerupainya. Para raja dan semua rakyatnya selalu mempersembahkan sesaji kepada kabuyutannya di puncak bukit seperti adat yang sudah berlaku, seperti ketika mereka memuliakan berhalanya pada masa lalu.

Sang Hyang Sidhajati tidak ragu lagi untuk mengenyahkan cara penembah mereka. Maka diciptakanlah angin prahara bercampur dengan gerimis yang bersuara mengerikan.

Orang-orang kecewa melihat sesembahannya hilang. Tapi belum lagi reda rasa kecewanya, tiba-tiba Hyang Manik tampil di hadapan orang-orang yang kebingungan. Mereka melihat Hyang Pramesthi diatas tunggangannya, Lembu Andini. Berkata kemudian Hyang Pramesti

”Ketahuilah hai Para Raja dan orang -orang yang berada di tempat ini, berhala kalian sudah berganti rupa. Sekarang ia sudah berganti rupa, berwujud sebagai manusia”.

Ada seorang raja yang menyela kata-kata Hyang Pramesthi, :“Bila Paduka benar -benar sebagai sesembahan sejagat, sesembahan orang yang pada mulanya menyembah berhala,

kami memohon kemurahan hati paduka. Perkenankan kami mendapatkan air yang mengalir dari sumber di atas gunung itu untuk hamba dan segenap rakyat kami”.

Hyang Jagatnata menjawab lantang:“Kalian semua dengarkanlah. Karena sifatku yang Maha Murah dan Maha Asih, maka permintaan kalian aku turuti”.

Tiba tiba terlihat aliran air yang datang dari puncak gunung mengalir dihadapan mereka.

“Kalian lihat. Inilah tanda bagimu bahwa aku bersifat kasih kepada diri kalian…”

Melihat kenyataan yang ada di hadapan mereka, Para Raja dan segenap rakyat yang berkumpul semua bersujud dan memuja-muja Hyang Jagadnata dan berjanji untuk setia

kepada keberadaan sesembahannya, Hyang Girinata. ***

Diceritakan, ada seorang raja yang menguasai Negara Persi. Raja itu bergelar Sang Prabu Dirjasta. Mereka menuhankan seekor ikan besar yang bermukim di dasar hamparan rawa Sablistan. Ikan besar itu bernama Tirbah. Kewibawaan yang dimiliki Sang Ikan ini mampu membuat penduduk bersujud menyembahnya lahir batin.

Permulaan tahun itu sebagaimana biasanya, mereka mengadakan upacara di pinggir rawa dengan menghamparkan sesaji yang telah dimanterai. Sesaji itu dibagikan kepada para penduduk yang datang menghadiri upacara itu. Sesaji telah dibagikan rata, maka usai upacara

yang dihelat.

Tempat upacara telah menjadi sepi ketika Sang Hyang Sidhajati mendekati rawa untuk menemui ikan Tirbah yang terlihat mengambang. Sisik Sang Ikan terlihat bersusun indah berkilat-kilat layaknya parang api bercampur gemerlap air. Hyang Sidhajati seakan acuh saja

melihat ikan itu, bahkan kemudian bertanya sekenanya: “Siapakah namamu heh ikan indah yang berwibawa ?”

Mendengar pertanyaan Bathara Guru yang tidak mengindahkan tata krama, ikan itu merasa terheran. Ternyata ada juga manusia yang tidak punya rasa hormat terhadapnya, demikian terlintas dalam hatinya. Maka kemudian katanya mengancam:”Pantaslah dirimu yang tidak tahu siapa diriku. Tidak ada yang bisa dikatakan, bahwa kamu adalah manusia yang sombong. Kalau dirimu tidak mengerti akan diriku, ketahuilah, bahwa akulah raja bumi!”

Hyang Guru hanya tersenyum menanggapi ikan Tirbah.“Heh ikan, sebab apa dirimu berani-beraninya mengaku diri sebagai raja bumi. Ketahuilah, tidak ada duanya yang pantas menjadi sesembahan seluruh jagat, hanyalah diriku, Sang Hyang Mahasidhi”.

Segera Hyang Gurumatek aji pangabaran yang membuat air rawa bergolak hebat bahkan seakan air itu menjadi mendidih. Ikan Tirbah saking tidak kuasa menahan panas berteriak mengaduh:”Duh Pukulun, hamba mohon ampun. Segeralah hentikan kesaktian yang menjadikan rawa ini panas. Berikan hidup untuk hamba ini”.

Mendengar pengakuan tobat dari Tirbah, Hyang Guru menghentikan gempuran ajiannya, dan kembali rawa menjadi tenang seperti keadaan semula. Ikan Tirbah berkata mengakui

keunggulan Hyang Jagatnata :”Padukalah sejatinya seorang yang pantas menjadi sesembahan”.

“Dengarkan, Tirbah. Sebenarnya aku tahu siapa dirimu. Aku tahu dirimu semula adalah seorang wanita yang bernama Ni Umayi. Orang tuamu adalah seorang juragan dari

Sablistan yang bernama Umaran. Bahwa dirimu dahulu bertapa untuk meraih derajatmu menjadi ratu jagat, telah membuatmu salah kejadian. Kamu berubah menjadi ikan besar seperti yang terjadi saat ini”. Demikian Bathara Guru mengingatkan diri ikan Tirbah.

Tirbah semakin menghormat, ketika Bathara Guru mengungkap siapa jati dirinya. Katanya kemudian:“Duh Pangeran yang pantas kami sembah dan dipuja oleh setiap makluk. Hamba mohon kemurahan hati paduka, agar memulihkan ujud hamba kembali ke semula”.

Hyang Guru kemudian berkata;” Tirbah, belum saatnya dirimu ruwat dari segala kesengsaraanmu untuk pulih dirimu menjadi wanita, tetapi kembali wujud semula akan terjadi bukan pada saat ini”.

Ikan Tirbah gembira walaupun bukan untuk saat ini ia akan pulih menjadi manusia. Tetapi ia sudah merasa lega akan masa depannya. Maka ia menyembah Bathara Guru berkali-kali dengan menimbul- tenggelamkan dirinya di air rawa berkali-kali, diikuti oleh sekian banyak makluk di dalam rawa. Kemudian ikan Tirbah meninggalkan Bathara Guru sendirian yang kini telah diakui sebagai pangeran dari seluruh penghuni rawa.

Keputusan Hyang Guru yang mendapat bisikan dari hatinya, ia kemudian memasang

kemayan ditujukan untuk para manusia penyembah ikan Tirbah. Maka gemparlah manusia sekitar rawa yang kena wabah. Diupamakan, kuatnya wabah sakit itu membuat banyak manusia bergelimpangan tewas. Kuatnya wabah sakit itu membuat banyak manusia bergelimpangan tewas.

Yang masih hidup berbondong mengungsi ke tanah Ibrani, Yahudi Brasah, Ngerum, Turki, Asiah dan Hindi. Di tanah Hindi itulah orang orang mendapatkan berita, bahwa bila ingin selamat, seharusnya orang menyembah kepada Hyang Pramesthi Guru. Barang siapa yang tidak mengikuti perintah, maka siapapun akan terseret pada kematian masal.

Catatan: Pada sebuah pagelaran dari Ki Nartosabdo, dalam usahanya menangkap ikan Tirbah, Bathara Guru kesulitan dan sebagai usaha terakhirnya ia menjadi bertangan empat. Namun karena dalam cerita ini tidak ada yang menyebutkan hal ini maka visualisasinya Bathara Guru masih bertangan normal.

11. DHANDHANGGULA, Paramayoga

11. DHANDHANGGULA, Paramayoga

Sasraningrat.

Sasraningrat.

….mila nuli mring rawa nêdhaki | rawuhira jlêg datanpa sangkan | nèng ngarêpe pasilane |

Risang Dastandar Prabu | saha nitih lêmbu Andini | sruning kagyat sang nata | jêtung tanpa muwus | Sang Hyang Girinata nabda | gêgununganing janma nagara Pèrsi | lan Juragan

Sablistan||….

Terkisah di Negara Persi. Oleh kemayan yang ditebar Hyang Girinata, Sri Dirjasta, juga ikut terkena penyakit yang mewabah itu. Bermacam obat telah ia telan, tetapi semua gagal membuatnya sehat kembali, bahkan ia kemudian tewas karena tidak mau menyembah Hyang Pramesthi.

Maka kemudian Sang Pangeran Pati yang bernama Dastandar mengangkat dirinya sebagai raja, menggantikan ayahandanya menguasai seluruh negri bersama seluruh wilayah raja jajahannya.

Setelah bertahta, Sang Prabu Dastandar sangat penasaran ingin bertemu dengan Hyang Pramesthi yang sudah dikenal luas mempunyai kewibawaan. Maka diputuskanlah dirinya untuk lolos dari istananya dengan menyamar sebagai seorang sudra. Tetapi sebelum bertemu dengan Hyang Pramesthi, ia berniat untuk datang terlebih dulu ke tempat ikan Tirbah. Pada perjalanannya, ia bertemu dengan seorang yang mengenali dirinya, yang mengaku sebagai Umaran, seorang saudagar dari Negeri Sablistan. Umaran ternyata mempunyai maksud yang sama, ingin pergi ke rawa tempat ikan Tirbah berada. Maka diputuskan, keduanya pergi ke hadapan ikan Tirbah bersama.

Demikianlah, maka keduanya sudah sampai di tepi rawa tempat ikan Tirbah berada. Mereka kemudian bersujud menyembah kepada yang mereka pertuhankan dengan sikap khidmat. Tetapi yang mereka harapkan tidak kunjung muncul. Bahkan kemudian Sang Hyang Pramesthi Guru yang tidak lagi ragu akan maksud keduanya datang ke pinggir rawa telah menemui mereka. Prabu Dastandar dan juragan Umaran terkejut ketika tiba-tiba tampak Sang Hyang Pramesthi Guru ada di hadapan mereka di atas Lembu Andini.

Berkata Hyang Pramesthi Guru:”Heh kamu berdua, manusia pinunjul dari Persi dan Sablistan. Jangan hanya duduk termenung. Menyembahlah kepada sesembahanmu yang sebenar-benarnya. Perbuatan penyembahanmu terhadap Ikan Tirbah, hewan air itu, adalah

tindakan sesat yang membawamu pada kematian kalian”.

Prabu Dastandar masih saja terpana tidak mampu bicara, sedangkan Ki Juragan-pun tidak berbeda sikap dengan Raja Persi, tetapi ia bisa melihat ujud yang ada di dalam air rawa. Di

dalam air rawa telihat beberapa sosok makluk salah kejadian. Dari kepala hingga puser, berujud manusia, sedangkan sisanya berujud ikan. Terlihat mereka adalah Prabu Dirjasta beserta rakyatnya yang tidak mau menyembah kepada Hyang Pramesthi Guru.

Sebelum mereka lepas dari keheranannya, terdengar kemudian suara Hyang Guru berkata:”Kamu berdua telah melihat akibat dari kekuasaanku. Tetapi kalian masih

mempertanyakan dan tidak melihat bahwa diriku adalah sesembahanmu yang sejati, sesembahan bagi seisi jagad. Aku bisa mengadakan yang tidak terlihat dan mampu

menyirnakan segala penyakit”

Sang Prabu dan saudagar mendengar pernyataan Sang Hyang Guru sadar dalam hatinya, bahwa di hadapannya telah hadir yang bernama Sang Hyang Guru yang berkuasa di tri buwana. Dialah yang mampu menyirnakan penyakit. Maka keduanya segera bersujud di

hadapan Hyang Guru, dan menyebut namanya sebagai Hyang Mulki. :“Duh pangeran hamba, di hadapanmulah kami benar-benar mengakui dan memuliakan paduka yang sudah terbukti bahwa padukalah yang menguasai jagad sepenuhnya. Tetapi hamba ingin agar paduka memberi hamba pengertian tentang hal yang masih menjadi rahasia”.

Dengan senyuman di bibirnya, Sang Hyang Guru menjelaskan hal yang menjadi pemikiran mereka:“Aku tahu siapa dirimu. Kamu adalah Raja Persi, Prabu Dastandar. Sedangkan yang satu adalah saudagar Umaran, keturunan dari Baginda Saleh. Kamu mempunyai anak

wanita yang cantik bernama Umayi yang hingga kini hilang hingga kamu tidak bisa menemukan. Oleh kemurahanku, anakmu akan segera kamu dapatkan kembali”

Sang Hyang Jagadkarana atau Sang Pramesthi Guru kemudian mengheningkan cipta agar ikan Tirbah datang ke hadapannya. Ia juga meminta kepada tuhannya agar ikan Tirbah itu kembali sebagai wujud semula, wanita cantik yang serupa dengan keindahan rupa bidadari. Permohonan itu dipenuhi. Tiba-tiba ikan Tirbah melesat dari rawa dan jatuh di hadapan Hyang Guru dan kembali ujudnya menjadi wanita yang sangat cantik yang sudah lepas dari kesengsaraan.

“Saudagar Persi, ketahuilah, bahwa dahulu anakmu pergi, adalah karena ia mempunyai keinginan besar agar ia menjadi sesembahan orang sebumi. Ia berkelana lolos dari rumahmu dengan tidak takut sama sekali terhadap bahaya, hingga kemudian ia berubah menjadi ikan. Sekarang, sudah percayakan sepenuhnya dirimu terhadap aku?” Demikian Sang Hyang Sidhajati memperlihatkan kewaskithaannya dan sekaligus memperjelas rasa percaya mereka terhadap dirinya.

Maka kemudian Sang Prabu Dastandar dan Kyai Juragan Umaran berlutut menyembah dan berkata:” Duh Pukulun, hamba semakin percaya atas paduka. Tidak ada rasa ragu lagi,

bahwa paduka-lah yang panta s menjadi pangeraning bumi”

“Umaran, selain daripada anakmu Umayi, aku tahu bahwa kamu mempunyai dua anak lagi, semua perempuan” Kata Bathara Guru kemudian.

Umaran mengiyakan sambil kembali menyembah:”Sabda paduka tidak meleset. Anak wanita hamba yang pertama bernama Umari, dan sekarang sudah menikah dengan Turkan,

kemenakan hamba. Kemudian yang bungsu bernama Umani yang hingga kini masih lajang”.

Hyang Guru atau Hyang Marcukundha kembali berkata:”Oleh keinginanku, anakmu Si Umayi jadilah pembesar di negarmu. Untuk Umayi, karena ia sangat berusaha keras dalam berdoa agar menjadi orang yang mampu menjadi sesembahan manusia sebumi, maka oleh sifat asihku, yang berdasar atas kata-kata; orang yang berusaha keras akan mendapatkan

keinginannya, maka Ken Umayi akan aku jadikan istri”.

Ki Saudagar hanya bisa duduk terpaku mendengarkan kata-kata Bathara Guru. Betapa ia merasa betapa kebahagiaan memenuhi dadanya tanpa terkirakan.

***

Demikianlah, Dyah Umayi sudah diboyong ke Tengguru menjadi istri dari Bathara Guru. Perkawinan Bathara Guru dengan Umayi dilakukan dengan adat yang berlaku dan keduanya kemudian hidup berdua saling mencintai satu sama lain.

Maka mulai saat itu, semua manusia yang tinggal di wilayah Persi dan sekelilingnya sudah tidak ragu lagi, bahwa memang Hyang Pramesthi Guru atau Hyang Girinata adalah sesembahan mereka yang sejati.

***

Singkat cerita, suami istri itu kemudian beranak-pinak. Yang tertua adalah Bathara Sambu, kemudian adik-adiknya adalah Bathara Brama, Bathara Endra, dan yang bungsu adalah Bathara Bayu.

Setelah mereka, Hyang Guru dan Dewi Umayi, mempunyai empat anak, ada suara yang terdengar di telinga mereka berdua.“Anakku, jangan hanya berlaku seperti manusia biasa caranya dalam menurunkan anak. Bila hanya seperti itu yang kamu lakukan, maka tidak pernah dirimu berdua mempunyai anak yang punya kelebihan apapun. Seharusnya dirimu

mempunyai keturunan yang sangat sakti, yang sewaktu nanti pantas menjadi tempat untuk pertolongan bilamana keluhuran dan keselamatan kalian dan wargamu terusik. Segeralah

Hyang Guru tidak merasa ragu lagi, bahwa suara yang terngiang sebagai wangsit itu adalah suara ayahnya. Maka kemudian, ia bersemadi bersama dengan istrinya memohon agar ia dikaruniakan lagi anak yang punya kemampuan lebih dibanding sesama. Permohonan itu diterima dengan tetanda ada cahaya mancawarna yang bersinar cemerlang menghampirinya. Semadi diselesaikan dan keduanya masuk ke peraduan, bercinta.

Dewi Umayi kembali hamil. Sembilan bulan berlalu, lahir seorang anak lelaki yang bertubuh penuh cahaya dan menimbulkan perbawa yang menakutkan.

Bayi itu lahir bersamaan dengan angkasa yang gelap diiring suara geguntur dan kilat yang bersahutan serta angin prahara yang bertiup kencang. Sementara itu di lautan, ombak besar

menghempas pantai hingga menenggelamkan daratan. Peristiwa itu hanya berlangsung sesaat yang kemudian reda dan angkasa menjadi bersih dengan angin yang bertiup semilir lembut. Pepohonan di daratan kembali bersemi dan dari angkasa kabut tipis mengambang menyajikan keharuman yang menyegarkan. Peristiwa itu layaknya dunia mengucapkan selamat datang kepada bayi yang baru lahir dari gua garba Dewi Umayi.

Kembali suara wangsit mengiang di telinga Hyang Guru.”

Anakku, aku sendiri yang akan menamakan bayi itu. Dialah yang bernama Sang Bathara

Wisnu

, atau Sang Hyang

K esawa

”.

Kemudian Bathara Guru menambahi nama anak itu dengan Hyang Saharsa SumanSaharsa Suman dan Hyang BasuBasu. Setelah pemberian nama tersebut, bayi itu dimandikan dengan air kehidupan, seketika bayi itu menjadi terlihat dewasa. Anehnya, kulit Sang Hyang Wisnu berwarna kehitaman, namun bercahaya seperti kaca menyilaukan, dengan bibir yang memerah. Itulah tetanda, bahwa ia tertitiskan kehebatan wahyu kaprajuritan yang pandai berbicara.

Mulai saat itulah kedua suami istri dalam berhubungan keduanya agak longgar sebab oleh puasnya mereka dalam memiliki anak yang luar biasa.

***

Kita tinggalkan Hyang Manik. Kita lihat keadaan Hyang Maya atau Sang Bathara Semar. Kini suami istri itu telah mempunyai anak-anak sebanyak sepuluh.

Yang sulung bernama Hyang Wungku atau Sang Hyang Bongkokan. Sementara adiknya berturut-turut adalah Hyang Siwah, Hyang Wrahaspati, Hyang Yamadipati, Hyang Surya,

Hyang Condra, Hyang Kuwera, Hyang Temburu, Hyang Kamajaya dan bungsunya Dyah Siti Marmana.

Dalam dokumen Serat Paramayoga (Halaman 36-43)

Dokumen terkait