• Tidak ada hasil yang ditemukan

Serat Paramayoga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Serat Paramayoga"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

01. DHANDANGGULA, Paramayoga

01. DHANDANGGULA, Paramayoga

Sasraningrat.

Sasraningrat.

pamrih madya rèhing kramaniti | ngeman manah mamrih manuhara | ran tan wrin dawèng dhirine | angimpun rèh rahayu | rinarasing basa basuki | yayah môngka manetah | sagunging apunggung | srana sirnaning malèng tyas | ninging rasa sasmita ingkang nênarik | ngratna sanepanira ||

Seperti biasanya, pada setiap karya sastra di masa lalu, maka terdapat sebuah tetanda waktu dimulainya tulisan. Tanda itu bernama sengkalan, sebuah kalimat sandi yang bila dikutik dengan formula tertentu maka akan menunjukkan sebuah waktu. Karya sastra itu pada bebukanya bertuliskan kagunan ro kesti tunggil, yang bila dibaca terbalik akan menunjukkan

tahun 1823 AJ.

Tujuan penulisan karya sastra ini secara singkat adalah, bahwa cerita ini diharapkan

mempunyai manfaat keutamaan yang mudah-mudahan bisa dipetik dan menjadi symbol yang bisa dijadikan teladan oleh trah Bangsa Jawa. Juga diharapkan, agar cerita ini dapatlah

menjadi pusaka peninggalan leluhur bagi anak-turunnya di Tanah Jawa sehingga menjadi daya kekuatan bagi mereka.

Cerita ini dimulai pada jaman Jan-Banujan, yang menceritakan kehidupan para leluhur sehingga cerita ini sampai pada kehidupan manusia lumrah masa sekarang.

Terkisah, adalah Nabi Adam dan istrinya, Siti Khawa, yang waktu itu terkena murka Hyang Agung. Mereka berdua diturunkan dari alam keindahan sorga, turun ke bumi, karena melanggar larangan Gusti Allah. Mereka berdua mélanggar aturan dengan memakan buah larangan kaswargan. Buah itu bernama Kuldi.

(2)

Dengan perasaan yang sangat sedih, mereka segera memohon kepada Hyang Agung, agar diberikan maaf dan keluar dari kesengsaraan yang dirasa begitu berat.

Demikianlah, maka setelah sekian waktu, mereka berdua diampuni kesalahannya karena mereka pada masa lalu telah berbuat alpa di sorga. Kanjeng Nabi kemudian menjadi raja di bumi, yang berpusat di Kusnia Malebar. Mereka merajai semua isi bumi, yang berupa semua

hewan hutan beserta semua serangga yang hidup. Mereka juga merajai segala apa yang hidup di lautan dan angkasa raya. Semua bersujud dihadapan Nabi Adam dan istrinya, Dewi Khawa.

Sesudah sekian waktu lamanya mereka berdua bertahta sebagai raja dunia, mereka

mempunyai keinginan agar menyebarlah turunan manusia di muka bumi. Keinginan pun terkabul.

Dewi Khawa kemudian hamil, dan setelah cukup waktu, lahirlah anak dhampit atau kembar sepasang. Kelahiran anak-anak mereka berlangsung pada setiap tahun hingga lahir lima kali berturut-turut. Pada setiap kelahiran kembar sepasang itu, lahir sepasang tampan dan cantik,

kemudian diseling pasangan yang buruk rupanya.

Ketika anak itu sudah mulai dewasa, keduanya bermaksud untuk mengawinkan anak-anak mereka. Nabi Adam mempunyai keinginan, agar anak-anak yang lahir cantik atau tampan dinikahkan dengan pasangan lahir yang buruk rupa. Tetapi keinginan itu ditentang oleh Dewi Khawa. Khawa berpendapat, agar perkawinan dilakukan atas pasangan lahir masing masing. Itulah awal keributan pasangan Adam dan Khawa, yang berrebut kebenaran serta keinginan masing-masing. Maka kemudian mereka berdua sepakat untuk menyelesaikan masalahnya. Mereka menciptakan rahsa atau rasa((Bausastra Jawa: rahsa: I ut. rahsya, rahswa kw wadi, winadi, gaib; kc. rahasya. II kw: 1 wijining wong lanang; 2 rasa; kc. rasa.) selanjutnya disebut rahsa saja), yang dijadikan saksi bagaimana cara mengatur pernikahan anak-anaknya. Atas kemampuan mereka berdua, rahsa itu diwadahkan ke dalam cupu manik. Lalu cupu tertutup itu dimanterai berdua. Beberapa waktu kemudian, cupu keduanya dibuka. Rahsa yang diciptakan oleh Khawa menjadi segumpal darah, sementara rahsa dari Nabi Adam sudah terlihat bentuknya, sesosok jabang bayi.

Oleh kejadian itu, Khawa minta maaf. Ia merasa kalah kesaktian dan kemampuannya dibandingkan Nabi Adam. Khawa pasrah kepada Adam, bagaimanapun cara Adam untuk mengatur perkawinan kelima pasang anak-anak mereka, Khawa akan menuruti.

Diceritakan, rahsa dari Kangjeng Nabi Adam yang ada dalam cupu kencana sudah waktunya menjadi sosok manusia sempurna. Semua sifat kodrat dan wiradat-nya tidak beda dengan manusia seutuhnya. Semuanya sama, sungsum, tulang, kulit daging serta sosoknya sempurna sebagaimana manusia tetapi juga bayi itu mempunyai nuansa aura bersinarkan nurbuat. Tertakdir, semua sifat dari Nabi Adam mengalir ke sosok anak itu atas gaib yang kuasa. Anak itu dinamai Sayidina Esis. Nabi Adam sangat bersyukur ke hadirat Allah kuasa alam semesta. Begitu sayangnya Sang Nabi, anak itu digendongnya dengan penuh kasih.

Diceritakan, waktu itu ada angin kencang berupa prahara yang sangat kuat menerpa istana Kusnia Malebar. Angin prahara itu menerbangkan cupu manik yang tergeletak, yang nantinya

(3)

akan jatuh di Bahrul Ahli. Di Bahrul Ahli itulah cupu itu kemudian dipungut dan disimpan oleh Malaekat Ijajil.

***

Kembali ke istana Kusnia Malebar, anak-anak Adam dan Khawa semakin banyak. Semuanya lahir berpasangan, tapi ada juga kelahiran yang hanya tunggal. Dialah Siti Unun namanya, wanita yang bertubuh tinggi besar. Semuanya sudah berjumlah empat puluh pasang kini, dan bila semua dijumlahkan ditambah Sayid Esis, maka semuanya berjumlah delapan puluh dua

orang.

Ketika semuanya sudah dewasa, seperti laiknya anak-anak yang lahir terdahulu, semuanya dinikahkan dengan cara yang sama, bersilang dengan sesama dhampit. Sesudahnya mereka kemudian diperintahkan untuk menyebar dan bermukim di tanah lain. Sebagian mereka menuruti perintah Nabi, tetapi ada juga yang yang menolak.

Ada tiga kembaran yang tidak menuruti perintah nabi. Mereka, tiga pasang itu menikah dengan sesama kembarannya. Mereka adalah Sayid Kabil dengan Dyah Alimah, Siti Dayunah dengan Sayid Abdul Kharis serta Sayid Lata dengan Siti Ujwa. Mereka, ketiga pasang itu diusir dari hadapan Nabi.

Sayid Kabil dan Abdul Kharis, serta Siti Aklimah dan Siti Dayunah berjalan ke arah timur laut, sementara Lata dan Ujwa berdua berjalan lurus ke arah timur. Ada lagi yang diusir oleh Kangjeng Nabi, dialah yang bernama Akjuja Makjuja yang mempunyai rupa yang khas dibanding yang lain. Ia bertelinga panjang. Mereka yang terusir pergi tidak ada tujuan pasti.

***

Diceritakan kembali di Kusnia Malebar, Nabi Adam sangat mencintai anaknya yang bernama Sayidina Esis. Esis atau Sis malah mendapatkan nugraha dari Hyang Agung, menerima jodoh dari sorga, wanita yang sangat cantik bernama Dyah Mulat. Mereka berdua menjadi suami istri yang bahagia dalam kasih keluarga.

Diceritakan, di Bahrul Ahli, Malaikat Ijajil mendengar cerita bahwa Sayid Sis mendapatkan ganjaran istri dari sorga. Sang Malaikat merasa bahwa Sayidina Sis adalah manusia yang menjadi kekasih tuhan. Maka kemudian Ijajil ingin, agar turunannya lestari berkembang biak selamanya menunggal dengan trah Nabi Adam.

Terlebih lagi bahwa di masa datang, diketahui Ijajil bahwa Adam dengan turunannya diharapkan akan merajai jagat. Keinginan Ijajil sangat kuat. Maka dalam permohonannya kepada Hyang yang Maha Luhur, keinginan itupun terkabul. Ia mempunyai anak perempuan yang cantik yang dinamai Dewi Dlajah. Dengan kesaktian, Ijajil bisa merubah rupa anak wanitanya menjadi sangat persis dengan istri dari Sayid Sis.

Anaknya kemudian dibawa ke Kusnia Malebar, dan istri sah Sayid Sis disembunyikan oleh Ijajil untuk sementara. Sayid Sis dengan Sang Dyah Mulat tiruan pun bersanggama. Setelah Ijajil yakin bahwa rahim putrinya telah dibuahi, ia sangat gembira hatinya. Maka dibawanya kembali Dewi Dlayah, dan istri Sayid Sis dikembalikan ke hadapan Sayidina Esis. Di saat itupun Dyah Mulat juga mendapatkan kehamilannya setelah dicumbu Sayid Sis.

(4)

Telah sampai waktu kehamilan, lahirlah anak kembar dari rahimnya, berbarengan dengan waktu julungwangi saat fajar. Salah satu sosok bayi berujud cahaya cerah menyilaukan. Sementara itu, putri Ijajil, yaitu Dewi Dlajah juga melahirkan, tetapi hanya berupa rahsa, yang lahir pada saat Julungpujut yaitu ketika matahari terbenam.

Wujud rahsa itu dibawa Ijajil ke Negara Kusnia Malebar dan disatukan dengan anak Dewi Mulat yang berujud cahaya. Maka kemudian cahaya itu berubah ujud menjadi sosok bayi manusia. Bahagia Nabi Adam yang sangat sayang kepada cucunya, yang memang berparas sangat tampan dan mempunyai aura yang memancar.

Kedua bayi yang sudah berujud manusia semuanya kemudian masing-masing diberi nama. Nama mereka adalah Anwas, dan nama bayi yang tadinya berujud cahaya dinamakan Anwar.

Kedua bayi kemudian menapaki kedewasaannya, terlihat sifat khusus diantara keduanya. Sayid Anwas sangat perhatian dengan olah kesempurnaan agama, sementara Sayid Anwar sangat suka bertapa di hutan dan gunung-gunung,

Ia juga senang merambah ke gua-gua yang gelap dan memasuki wilayah angker yang sulit dilewati. Jurang pun dituruninya, hingga iapun menapaki lembah-lembah yang gelap. Dalam perjalanan itu Sayid Anwar sampai di tanah Keling, yang kemudian ia bertemu dengan

kakeknya, Malaikat Ijajil, yang menyamar menjadi pertapa.

Disitulah Sayid Anwar diberi oleh kakeknya kemampuan serta ilmu peperangan serta ilmu kanuragan lainnya sehingga ia tidak bisa gosong terjilat api, tidak basah terkena hujan dan bisa merubah diri seiring kemauannya, baik ujud lelaki ataupun wanita. Ia juga mampu

masuk ke dasar bumi serta diberikan juga jenis ajian pengabaran yang lain. Sayid Anwar juga mampu menapaiki wilayah yang angker dan beraura gaib. Semua kesaktian itu sudah mampu ia kuasai hingga kemudian ia pamit kepada gurunya untuk kembali ke Kusnia Malebar. Pulang dari berpetualang, ia ditemui oleh Kangjeng Nabi Adam. Nabi tidak ragu, bahwa pasti cucunya telah melakukan pengembaraan untuk mencari ilmu kepada Malaikat Ijajil

Sikap Sayid Anwar dari sebelumnya memang sedemikian berbeda dibandingkan dengan Sayid Anwas. Berkata Nabi Adam kepada Nabi Sis setelah melihat Anwar pulang;“Heh Sis, anakku. Kelihatannya bahwa Anwar, anakmu, di masa depannya akan menorehkan ajaran agama yang mengarah kepada kebaikan”.

Sayid Sis yang mendengar kata-kata ayahnya terpana. Dalam hatinya ia juga telah melihat apa yang tertakdir di dalam diri masa depan anaknya.

Diceritakan, Kangjeng nabi Adam bertahta di Singgahsana Kusnia Malebar, terhitung dari setelah diturunkan dari sorga hingga saat itu sudah mencapai hitungan sembilan ratus tahun lebih sembilanpuluh bulan. Setelah kurun waktu itu Kangjeng Nabi Adam wafat.

Sayid Sis lah yang menggantikan derajat kenabiannya, sedangkan yang menggantikan raja di Kusnia Malebar dan menjadikan diri penguasa para saudaranya dan segenap kemenakannya adalah Sayid Kayumarat yang kemudian beralih gelar menjadi Prabu Kayumatu.

(5)

Sayid Anwar yang menyaksikan bahwa eyangnya bisa saja meninggal, sangat terpukul dan prihatin. Dalam hatinya ia berkata,“Eyangku, walaupun ia seorang Nabi masih saja terkena sakit dan mati. Dengan demikian maka pada saatnya aku juga akan mengalami hal yang sama. Maka ia kemudian bertekat untuk menjadi makluk yang paling unggul di muka bumi, yang tidak bakalan terkena sakit dan mati”.

(6)

02. PANGKUR, Paramayoga

02. PANGKUR, Paramayoga

Sasraningrat

Sasraningrat

Dahad mêminta Hyang Suksma | katarima gya ana mêndhung prapti | Ijajil suka andulu | tan pae Sayid Anwar | rèh ngrasa yun kadugèn sasêdyanipun | ing ngriku gya katingalan |

wontên musthika dumêling ||

Sayid Anwar bertekad untuk tidak akan menuruti perintah ayahnya. Perasaannya resah, dalam hatinya berkata; “Bila aku masih mengikut agama dari kakekku, maka tidak urung aku juga akan terkena sakit dan mati. Tidak ada lagi gunanya aku hidup

”. Demikian pungkas

Sayid Anwar

Maka ia memutuskan sikap. Sayid Anwar lolos dari istana untuk berkelana mencari sarana, agar bisa kalis dari sakit, hingga lolos dari kematian. Sudah jauh kemudian Sayid Anwar dari gerbang istana, dan sampai tempat yang asing, ia bertemu dengan kakeknya, Malaikat Ijajil. Sayid Anwar dibawanya segera ke tanah Llulmat, yang berada di tepian dunia.

Di tempati itu tidak selalu ada sinar matahari, dinginnya sangat menusuk tulang dan waktu hari-hari gelap pekatnya sangat lama. Tetapi di situlah ternyata tempat adanya air kehidupan yang bernama Tirta Marta Kamandanu, yang mengalir dari mustika mendung. Tidak membuang waktu, Ijajil dan Sayid Anwar yang datang ke tempat itu segera melakukan puja semadi.

(7)

Dengan khusuk ia meminta kepada Hyang Suksma, dan permohonannya dikabulkan. Terlihat ada mendung datang menggayut, dan dari arah mendung itu terdengar kalimat-kalimat wangsit menyentuh gendang telinganya.

Dari mendung itu juga mengalir air kehidupan yang mengarah ke samudra rahmat suci. Sayid Anwar merunduk dan minum , serta membasahi dirinya dengan air suci itu. Ingin juga dia mewadahi air suci itu untuk dibawa pulang, tetapi ia bingung karena tidak membawa tempat untuk mewadahi.

Tetapi Ijajil yang melihat kebingungan Sayid Anwar sehingga tanggap apa yang terpikir oleh cucunya. Maka Ijajil mengambil cupu manik yang dulunya adalah milik Nabi Adam, yang terbang oleh prahara dan ditemukannya. Maka cupu itu diberikannya kepada Sayid Anwar. Itulah cupu manik yang kemudian dinamakan cupu manik Asthagina.

Cupu Manik Asthagina yang artinya adalah wadah tertutup yang mempunyai daya kasiat delapan macam. Semua yang dimasukkan ke dalam cupu, tidak akan habis walaupun terkuras. Maka diisikanlah air kehidupan itu ke dalam cupu. Ketika sudah terisi cupu itu dengan air kehidupan, Sayid Anwar-pun meninggalkan tempat tepi jagad itu dan berpisah dengan Sang Ijajil.

Di dalam perjalanan pulang, Sayid Anwar mememukan pohon yang berdiri tegak yang berdaun jarang. Pohon itu didekati, dan pada saat itulah terdengar bisikan dari Hyang Agung, bahwa pohon itu bernama pohon Rawan. Pohon itulah yang memiliki banyak khasiat. Akar pohon itu adalah ujud kehidupan di bumi. Isi jagad yang sudah mati, bila dikibasi dengan

akar pohon itu, maka yang sudah mati itu akan kembali hidup. Maka diambillah akar pohon itu dan dimasukanlah akar pohon kehidupan itu ke dalam cupu manik.

Dengan gembira ia mengetahui, bahwa akar itu bernama Lata Maosadi. Itulah karenanya, para dewalah sebenarnya adalah pemilik pohon itu yang menjadi pusaka dunia disamping

cupu manik Asthagina sendiri.

Keinginan Sayid Anwar setelah pergi dari tanah Llulmat adalah kembali ke Kusnia Malebar. Tapi nasib mengatakan lain. Tertakdir dari Hyang Agung, ia menjadi bingung tidak lagi menemukan lagi jalan pulang. Maka kemudian ia berjalan tanpa tujuan, melewati lebatnya hutan rimba. Menaiki tingginya gunung, menuruni jurang yang dengan batuan yang tajam hingga ia selama bertahun tahun tidak lagi melihat arah dan tujuan sebenarnya. Menurut perhitungannya ia berjalan hingga jaman Kangjeng Nabi Edris.

Sayid Anwar tetap berjalan mengarungi luasnya dunia. Bahkan hampir keliling dunia ia telah jelajahi.

Diceritakan, perjalanannya sampai ke suatu tempat bernama Lautan Ngerak di tanah Arab. Disitulah ia melihat di atas laut, terdapat ujud dua sosok manusia yang tergantung bebas. Sayid Anwar mendekat dan bertanya sopan. Yang ditanya menjawab;“Heh Sayid Anwar, ketahuilah, Akulah yang bernama Haruta dan Maruta. Akulah malaikat yang berasal dari sorga, yang pada saat aku tinggal disana, aku bernama Ngijan dan Ngijaya. Aku telah

mendapatkan hukuman dari Allah yang Maha Kuasa, dan sekarang aku tinggal di sini . Aku tidak ragu melihatmu, bahwa dirimu adalah anak dari Nabi Sis, makhluk yang dikasihi oleh Hyang Agung”.

(8)

Dengan terheran, Sayid Anwar berkata penuh hormat.“Duh pukulun, bila berkenan, hamba memohon petunjuk mengenai pengetahuan yang menerangkan tentang kebaikan. Ilmu yang bisa membinasakan penyakit hati, agar segalanya menjadi terang benderang seperti halnya kabut yang tersaput prahara”.

Demikianlah, maka Sayid Anwar diajari ilmu yang diminta, serta kesejatian tentang edaran tata surya dan perbintangan. Juga pengetahuan mengenai bahasa setiap makluk yang ada di jagad raya, hingga Sayid Anwar benar-benar menguasai ilmu tersebut.

Disitulah ia merasa puas, Ia telah merasa mampu untuk mengatasi semua kesulitan di bumi. Maka Sayid Anwar mengatakan kepada Ngijan dan Ngijaya, bahwa yang ia pelajari telah mencukupi. Maka kemudian ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai hal lain;“Hamba ingin lebih banyak lagi mencecap ilmu paduka, agar hamba diberikan pengetahuan

mengenai keindahan di dalam sorga. Maafkan hamba dengan keinginan tahu yang mungkin berlebihan”.

Harut dan Marut menjawab;“Heh Kaki Anwar, ketahuilah, bila kamu akan mengetahui tentang sorga, pergilah kamu menyelusuri tepian sungai Nil. Letaknya ada di sebelah barat lereng gunung, yang terdapati di tanah Mesir”. Dengan senang hati Sayid Anwar menuruti kata kedua malaekat itu, tetapi ia tidak mengira sedikitpun, bahwa sebenarnya ia telah disasarkan.

Dengan menyisir tepian sungai, dari arah utara ke selatan, tidak lama ia telah sampai ke delta Bengawan Nil. Seluas mata memandang hamparan itu hanya berujud rawa yang sangat luas. Terlihat bahwa tempat itu seperti luasan hamparan samudra. Sayid Anwar tertegun. Ia berpikir bagaimana harus menyisir bengawan itu karena banyaknya simpangan aliran air.

Maka ia hanya diam mematung. Keputusan kemudian diambil setelah Ia duduk tepekur, mengheningkan cipta memohon agar ia memperoleh petunjuk.

(9)

03. ASMARANDANA, Paramayoga

03. ASMARANDANA, Paramayoga

Sasraningrat

Sasraningrat

Wit kwasa lênggah jro agni | Sayid Anwar sru jrihira | gya sujut mangkana ture | dhuh Gusti pangraning jagad | ingkang murba misesa | manawi parênging kalbu | panduka mugi

nglunturna ||

Tiba-tiba saja terlihat bayangan sosok manusia pria dan wanita berdiri di hadapannya. Dialah Lata dan Ujwa. Dengan sikap baik, mereka berkata, bahwa mereka berdua juga terhitung sebagai orang tuanya, sesaudara dengan Putra Nabi Adam yang lain. Mereka berdua memperkenalkan diri sebagai Lata dan Ujwa dan mengatakan sebagai adik Nabi Sis. Sayid Anwar mendengar pengakuan keduanya lalu duduk menghadap mereka dengan

khidmatnya. “

Oh Pukulun berdua, pada kesempatan yang baik ini, perkenankan hamba untuk memperoleh sedikit ilmu pengetahuan tentang rahasia hati”.demikian Sayid Anwar

memohon, setelah berbasa-basi.

Lata dan Ujwa menjawab;“Bila ilmu itu yang menjadi keinginan untuk diketahui olehmu, aku hanyalah sekedar menyampaikan kewajiban sebagai darma seorang manusia. Sejatinya, pengetahuan itu adalah kepunyaan Hyang Agung yang harus diwartakan merata kepada

(10)

segenap mahkluk. Maka segeralah, Kaki, terimalah pengetahuan tentang apa yang kau inginkan”.

Lata dan Ujwa bergantian maju dan memeluk Sayid Anwar sambil membisiki wangsit. persatu mereka memberikan ilmu berupa pengetahuan kesejatian yang masih menjadi rahasia.

Mereka berharap agar langkah Sayid Anwar selalu mendapatkan keselamatan.

Demikianlah, setelah berpamitan dengan Lata dan Ujwa, maka perjalanan Sayid Anwar pun berlanjut. Ia berjalan mengarah ke hulu mata air Bengawan Nil. Hulu sungai yang telah

disebutkan adanya sorga yang ia cari. Maka tidak lama kemudian, sampailah Sayid Anwar ia di hulu sungai.

Di hulu sungai luas itu, ia melihat sekelilingnya hanya sebidang hamparan rawa hampir tanpa tepi. Itulah kepala Bengawan Nil. Kembali Sayid Anwar kebingungan, dimanakah jalan yang mengarah ke sorga? Ia tidak melihat setitikpun petunjuk yang bisa dipakai sebagai pedoman. Maka ia kembali diam, hanya berdiri tegak mematung.

Lama kelamaan dalam diamnya, diantara lapisan kabut disekelilingnya, terlihat remang sebuah gunung di selatan rawa. Gunung itu terlihat memercikkan api yang berkobar menggelegak seakan menggapai langit. Dari kejauhan terlihat, bahwa di hulu air bengawan itulah yang bisa jadi dimaksudkan adanya sorga itu.

Sayid Anwar kembali berjalan menuju hulu sungai, dan terdengarlah di telinga suaranya mengumandang lantang;“Heh Sayid Anwar, ketahuilah olehmu, disinilah tempat tinggal penghulu bumi!!”. Terkaget Sayid Anwar mendengar lantangnya suara yang mengumandang.

Itulah suara Malaikat Ijajil yang bersembunyi dibalik kobaran api, hingga tidak terlihat ujud sesosokpun walau hanya bayangannya saja.

Dengan suara tunduk Sayid Anwar berkata;“Duh pukulun, siapakah paduka, yang tidak terlihat sosoknya?”

Ijajil dari balik api berkata;“Heh Anwar , ketahuilah. Akulah Pangeranmu yang disembah makluk seisi bumi. Yang menguasai takdir dan memiliki sorga serta neraka. Berkuasa untuk merusak, dan menjadikan makluk seisi jagad raya”.

Sayid Anwar mendengar suara itu dengan perasaan gembira dan puas dalam hati. Ia telah merasa bahwa apa yang dicari telah ditemukan. Maka kembali diayunkan langkah masuk ke arah kobaran api. Berjalan ia menuju ke arah adanya Sang Pencipta, dialah Yang Maha Agung yang mengendalikan tri buwana.

Sampai di dalam kobaran api, Sayid Anwar duduk tepekur dan bersujud, kemudian katanya;

“Duh Gusti yang menguasai jagad, bila ada kemurahanmu, hamba mohon untuk memberikan kasihmu kepada hamba, agar hamba bisa melihat neraka dan sorga.

Kabulkanlah… karena itulah keinginan kuat hamba untuk mengetahui segala apa yang ada di sorga dan neraka itu”.

Ijajil sudah tahu apa yang harus dilakukan. Maka kemudian Sang Jajilanat mengabulkan permintaan Sayid Anwar atas kemurahan Allah. Tidak tanggung-tanggung, ketika Ijajil

(11)

keinginan Anwar dengan cara memperlihatkan ujud Sesotya Adi Mulya yang dapat menayangkan indahnya sorga dan ganasnya neraka jahanam.

Sayid Anwar diminta untuk masuk ke dalam cincin permata itu, dan didalamnya, Sayid Anwar melihat keindahan sorga, yang bila ditandingkan dengan keindahan dunia, maka seisi bumi tidak ada yang bisa megiimbangi.

Setelah berkeliling menikmati keindahan sorga, Sayid Anwar keluar kembali menghadap

“Sang Pangeraning Jagad”. Di situlah Sayid Anwar diberitahu;

“Heh Anwar, ketahuilah. Aku akan memberikan petunjuk, bahwa tidak ada yang wajib kamu sembah, kecuali diriku. Karena kemurahanku inilah, kamu bisa melihat keindahan sorga. Tidak ada pangeran yang sejati yang pantas kamu sembah dan juga disembah oleh mahluk seisi jagat, kecuali diriku. Dan aku sudah merelakan kamu menunggal ke dalam keadaan diriku. Sejak saat ini,

dirimulah yang menyatu dalam diriku. Sebab kamu kini berhak memiliki Sesotya Mulya Adi itu, yang berisi neraka dan sorga.

Maka kemudian diterimalah pusaka itu yang dinamakan Retna Dumilah, yang berujud intan yang bercahaya seperti sinar dari pelita yang menyala karena daya yang memberikan berkah. Cincin musthika itu yang juga memberikan semua keinginan pemiliknya terlaksana, dan yang diharapkan tercapai. Pusaka itu juga mempunyai khasiat bagi pemiliknya sehingga tidak merasa lapar dan kantuk. Itulah sebabnya, mengapa para dewa memiliki sesotya yang bernama Retna Dumilah.

Berkatalah Malaekat Ijajil kepada Sayid Anwar;“Semua ilmu yang memuat perjalanan dalam hal penitisan, dan juga perputaran nasib, perihal asal hidup dan kemana manusia akan mati semua sudah ada pada dirimu”.

Namun dengan memiliki musthika itu, timbul tekad dalam diri Sayid Anwar, bahwa ia tidak akan balik ke asalnya, Negara Kusnia Malebar. Maka kemudian Ijajil, yang masih berdiri sebagai Sang Pangeran Jagad berkata ketika Sayid Anwar, mengutarakan maksudnya. Ijajil yang sudah menyatu dalam diri Anwar kembali memberi petunjuk;“Bila itu yang menjadi keinginanmu, segeralah kamu pergi kearah timur. Luruslah kamu berjalan, disana ada terhampar pulau yang sepi bernama Pulau Dewani. Disitu kamu bertapa mengharap kemurahan Hyang Suksma, pasti kamu akhirnya akan mendapat kemurahannya..”

(12)

04. SINOM, Paramayoga

04. SINOM, Paramayoga

Sasraningrat.

Sasraningrat.

Sri Rawangin kang misesa | sagunging para wadya jin | kinèn nimbali panduka | tuduhing Hyang Ujwaladi | garwanta wus pinêsthi | putrinya eyangta prabu | kang warna punjul ing rat | Sang Hyang Nurasa mangsuli | lah ta inggih kawula dhèrèk sakarsa ||

Seperti tetes gerimis yang diterpa berkas sinar matahari, sorot yang menyilaukan dari pantulan kemilau itu adalah gambaran rasa suka cita dalam hati Sayid Anwar yang sudah

menerima semua wangsit. Petunjuk suci itu telah menghujam ke dalam hati hingga masuk ke dalam relung hati Sayid Anwar yang terdalam. Wangsit yang meresap itu adalah petunjuk tanpa cela yang mengantarkan Sayid Anwar menuju ke kejayaan yang sejati.

Percaya kepada tuntunan gaib itu, Sayid Anwar segera melaksanakan semua perintah Jajilanat. Keinginan yang kuat segera melajukan dirinya, hingga dengan kecepatannya ia sampai ke tempat yang disebutkan kakeknya, Pulo Dewani.

Tidak terceritakan perjalanannya, sampailah Sayid Anwar di Pulo Dewani. Di tempat itulah ia mulai menyelanggarakan tapa brata membajakan diri. Dari kemauan kuat dalam bertapa itu, Sayid Anwar berkehendak merajai seisi Pulau Dewani.

Diceritakan di Pulau Dewani, disitu sudah bertahta jin trah Jan Marijan. Ia berputra, yang bernama Prabu Andajali Sri Dewata. Adiknya bernama Prabu Dajali Ijajil, yang juga disebut

sebagai Sang Jajilanat. Dialah yang kemudian menurunkan setan iblis paneluhan, sremet, demit juga bekasakan. Kemudian Prabu Andajali yang berputra Sri Wenus, dan ia berputra yang bergelar Sang Prabu Palija dengan saudaranya yang berjumlah duapuluh delapan. Dari sekian banyak putra itu hanya tujuh yang berwujud. Sri Palija lah kemudian yang menjadi raja.

Sedangkan adik langsung dari Sri Palija yang bernama Prawata menjadi patih dari adiknya, Raja Dewata, yang bernama Prabu Rawangin. Lalu, adik Sri Rawangin Nata Dewani, adalah

(13)

Prabu Nuradi, sedangkan yang menjadi patihnya adalah Patih Amir, yang dia adalah adik dari Sang Nuradi.

Kemudian ada juga yang bernama Maranis, dan kemudian adiknya, yang bernama Sang Raja Darih, berupa kepiting, bermukim di kahyangan di dalam lautan.

***

Diceritakan salah satu keturunan Jan Marijan yang bertahta di Negara Dewani, Sang Prabu Nuradi, mempunyai satu anak wanita yang sangat cantik, dengan wajahnya yang bersinar bak

cahaya rembulan. Ia melebihi segala kecantikan dari sekian banyak putri-putri keturunan Jin, bahkan mereka, segala wanita jin, sepantasnyalah hanya mengabdi kepadanya. Ia bernama

Dewi Nurini.

Pada suatu malam ketika sang Putri tidur dengan nyenyaknya. Dalam tidurnya ia bermimpi kedatangan seorang kakek-kakek. Kedatangan orang tua renta itu memberi tahu sebuah keterangan yang berupa wangsit;“Heh Nini, sudah saatnya tiba, seorang yang akan menjadi jodohmu. Ia kini sedang bertapa di dalam goa, dialah anak keturunan Adam, putra Nabi Sis. Ia bernama Sayid Anwar. Dialah jodohmu, Nini. Kelak kamu akan menurunkan seorang

anak, lelaki yang sangat tampan dengan aura yang menyorot. Dialah yang akan merajai Benggala dan Tanah Jawa. Anakmu lelaki sakti itulah yang nanti akan menjadi raja turun

temurun”.

Dewi Nurini yang seketika terbangun, kemudian ia rasakan adalah gundah dalam hatinya, bercampur dengan rasa asmara yang meruntuhkan hati. Paginya, Dewi Nurini menghadap

ayahnya. Ia menceritakan wangsit yang datang lewat alam impiannya semalam. Prabu Nuradi tanggap. Cerita dari putrinya adalah sebuah petunjuk yang benar-benar nyata. Segera ia memanggil Patih Amir yang kemudian tergopoh datang menghadap. Sang Patih terheran, mendengarkan cerita dalam mimpi itu, tetapi ia tidak bisa menolak tugas yang diberikan rajanya. Maka berangkatlah ia mencari Sayid Anwar lewat angkasa.

Sudah sekian lama Patih Amir merambah empat penjuru angin, tetapi tidak menemukan sesuatu yang dituju. Hingga suatu saat ia melihat cahaya di kaki gunung. Ki Patih turun menuju tempat yang dicurigai itu.

Terlihat sebuah lobang pintu goa, maka Kyai Patih masuk dan terlihat ada sesosok manusia yang sedang bertapa diatas sebuah batu besar. Pertapa itu duduk melipat tangannya, dengan auranya yang menyorot seperti sinar bintang-bintang serta rembulan purnama sekaligus. Kyai Patih datang merunduk berbarengan dengan jugarnya Sang Tapa yang mengurai lipatan tangannya.

Mereka sudah duduk berhadapan dan terdengar Kyai Patih berkata, menanyakan keadaan Sang Petapa;“Siapakah sebenarnya dirimu, pertapa tampan, serta dari manakah asal -usulmu. Juga katakan, apakah yang diharapkan dari perbuatanmu yang menyelenggarakan tapa di dalam goa ini?”.

Sayid Anwar tidak menjawab berondongan pertanyaan itu, tetapi malah kembali melontarkan sejumlah pertanyaan yang isinya kurang lebih sama dengan pertanyaan Ki Patih Amir tentang diri dan asal usulnya. Kyai Patih tidak suka dengan sikap Sayid Anwar. Tetapi ia telah melihat dengan jelas, ciri-ciri yang dikatakan oleh Sang Putri. Maka dengan menahan gejolak

(14)

hatinya, ia berkata; “Ketahuilah, bahwa hamba adalah utusan Prabu Nuradi, yang membawahi seluruh wilayah Dewani. Hamba diminta agar memanggil angger datang ke hadapan Prabu Nuradi.

Perlu diketahui juga angger, bahwa tempat ini adalah wilayan Dewani dan Hamba adalah Patih di Negeri ini. Maka anakmas, jangan sampai menolak kehendak raja Dewani yang

tidak bermaksud jahat terhadap anakmas”.

Sayid Anwar menjawab:“Aku tidak menolak kehendak rajamu. Jangankan aku hendak dipanggil dengan kehendak baik, hendak dibunuhpun aku tidak akan menolak datang. Semua kehendak rajamu adalah ganti dari titah Hyang Kuasa alam, yang berkuasa menjalankan kebijakan di bumi”.

Patih Amir senang dengan jawaban Sang Tapa. Keduanya segera keluar dari goa di kaki gunung itu yang tak lama kemudian masuk ke dalam istana.

Prabu Nuradi terkesima melihat rupa dari anak muda yang baru saja datang diiring oleh Patih Amir. Anak muda yang tampan dengan wajah gemilang bercahaya layaknya gemerlapnya gemintang.

Setelah ditanya, anak muda itu mengaku, bahwa dirinya adalah anak dari Nabi Sis. Maka bertambahlah kegembiraan Prabu Nuradi setelah mendengar bahwa anak muda itu bernama

Sayid Anwar. Terlebih, bahwa Sayid Anwar bersedia untuk dinikahkan dengan putrinya, Dewi Nurini.

Pernikahan segera dilangsungkan. Keduanya memang saling mencinta, maka hari-harinya dilewatkan selalu di dalam taman sari yang penuh dengan aneka bunga-bunga mekar, diseling dengung kombang yang menghisap sari madu. Cinta Sayid Anwar sepenuhnya tertuang untuk Sang Putri Dewani

Diceritakan, perkawinan Sayid Anwar memasuki jaman Kitrah, yaitu hampir memasuki setara dengan Jaman Nabi Musa. Istri Sayid Anwar sudah hamil, dan sudah memasuki masa kelahirannya. Anak Sayid Anwar lahir lelaki dengan rupa tampan dan wajahnya beraura sinar rembulan.

Anak itu dinamai Hyang Nurasa, yang menjadi tumpuan kasih bagi keluarga besar Negara Dewani. Setelah dewasa terlihat, bahwa anak muda itu senang dengan olah tapa untuk menuju ke kesaktian diri, persis seperti sifat ayahandanya. Bagaimanapun ia adalah sosok manusia dengan badan ruh dan ber-ibu jenis Jin, sehingga tidak terkena sakit. Tetapi Nurasa masih memohon kepada Hyang Agung, agar dirinya juga kalis dari kematian.

Prabu Nuradi di kemudian hari turun tahta dan dilintirnya keprabon kepada menantunya. Suksesi itu dipatuhi oleh rakyat dan punggawa jin. Semua mencintai rajanya. Prabu Nuradi memulai hidupnya sebagai petapa, sedangkan Patih Amir masih lestari menjabat Patih. Setelah menjadi raja, Sayid Anwar bergelar Hyang Nurcahya.

(15)

Pada suatu malam, Nurasa, Sang Putra Mahkota, lolos dari istana dan tidak meninggalkan pesan apapun kepada ayah ibu serta para punggawa. Ia berjalan menjelajah hutan hingga tiba

di pulau Dewata, menelusuri jurang yang sulit dirambah dan berhenti pada suatu puncak gunung di Pulau Dewata itu.

Di Pulau Dewata itu bertahta raja jin bernana Prabu Rawangin. Sang Raja memiliki seoerang putri yang sangat cantik bernama Dyah Rawati. Suatu malam, saat itu belum lagi sang putri

memejamkan mata, terlihat sosok tua renta datang dari langit.

Kakek itu mengatakan bahwa jodoh Sang Dewi sudah datang. Ia sedang bertapa di puncak

gunung. Ia adalah turunan atau trah Nabi Sis atau disebut Sang Hyang Nurasa. “

Dimasa datang, kamu berdua akan dianugerahi dua anak lelaki yang semuanya tampan yang akan menurunkan raja-raja Benggala dan Tanah Jawa”. sambung Sang Kakek.

Usai memberikan wangsit kakek itu hilang dari pandangan Dewi Rawati. Dalam sidang di pagi harinya, Sang Putri menceritakan apa yang dialaminya di malam itu diiring dengan

keheranan dalam diri Prabu Rawangin. Patih Parwata sanggup untuk mencari apa yang didamba oleh sekar kedhaton, katanya;“Bila demikian halnya, sebaiknyalah hamba sendiri yang mencari lelaki yang tersebut dalam mimpi Sang Putri. Tidak ada yang tahu bila itu

benar, maka sejatinya itulah petunjuk yang diberikan Hyang Ujwala yang dianugerahkan kepada sekar kedhaton sebagai jodoh”.

Di dalam persidangan itu Sang Putri menceritakan ciri-ciri yang digambarkan oleh si kakek kepada Patih Parwata, da

n Prabu Rawangin berkata; “

Ya, kakang Patih, segeralah berangkat hari ini juga”.

Patih Parwata sudah sampai di luar istana dan terbang ke angkasa. Tidak lama kemudian ia sudah tidak lagi terlihat dari daratan. Ia memperhatikan setiap puncak gunung, hingga kemudian ia sampai ke gunung Dewata. Di situ ia melihat ada berkas sinar memancar dan Patih Parwata tidak membuang waktu untuk mendatangi arah cahaya itu. Terlihat olehnya ada sesosok manusia yang sedang bertapa dengan sikap tertidur. Manusia itu sangat tampan terkulai di atas batu hitam, tetapi ia memancarkan cahayanya yang mengalahkan terang di sekitarnya.

Terheran, Patih Parwata mendekati Sang Tapa yang terbangun dan kemudian duduk, ketika merasakan ada yang datang di hadapannya. Sang Patih berkata:“Nakmas, siapakah dirimu, darimanakah asalmu, dari jenis apakah dirimu itu dan kenapa dirimu yang masih sebegitu mudanya tetapi perbuatan tapa bratamu melebihi seorang pendeta?”.

“Akulah Nurasa, putra dari Sang Hyang Nurcahya, cucu dari Nabi Sis dan beribu jin putri dari Prabu Nuradi, raja jin di Negara Dewani. Perbuatanku bertapa tidak ada tujuan apapun hanya mengikut kepada isi hati”.

Sang Patih yang mendengar tutur Nurasa bangkit merangkul. Berkata Kyai Patih selanjutnya;

“Duh cucuku, akulah saudara dari eyangmu raja Dewani”.

“Eyangmu, raja Dewata adalah kakak dari Prabu Nuradi sesama saudara patih yang mengembani eyangmu di Dewani, yaitu adikku, Patih Amir. Duh anakmas, aku mencarimu sebenarnya atas suruhan eyangmu, Sri Rawangin yang membawahi semua wadya jin.

Beliau

(16)

putri eyangmu adalah menjadi jodohmu”.Hyang Nurasa menjawab, bahwa ia tidak berkeberatan.

Tidak terkira kebahagian Kyai Patih yang kemudian turun kembali ke Negara Dewata. Tidak lama kemudian sampailah mereka berdua ke Istana. Bahagia Sang Prabu melihat yang datang adalah seorang muda yang tampan dan bercahaya gemilang.

Patih Parwata menceritakan bahwa dialah yang dihadapkan adalah cucu Nabi Sis yang sedang bertapa di puncak gunung. Ia berjenis jin dari ibunya, yang tidak lain adalah

kemenakan sendiri, Dewi Nurini di Dewani, yang diperisitri oleh Hyang Nurcahya. Kanjeng Nabi Sis yang hanya berputra seorang, dialah cucu dari Sang Nurasa.

Sri Rawangin ketika mendengar tutur Patih Parwata gembira dan dirangkulnya Nurasa ;

“Kamulah sebenarnya cucuku, anak dari Sri Nuradi di Dewani. Anakku, tetaplah tinggal di sini anggaplah seperti halnya negaramu sendiri. Ikutlah wangsit yang telah memberikan petunjuk bahwa anakk u adalah sudah tertakdir menjadi jodohmu”. Maka dipertemukanlah Nurasa dan Sang Putri di dalam puri.

Dikemudian hari Prabu Rawangin berkenan untuk turun tahta, dan tata Negara diserahkan kepada menantunya menggantikan dirinya sebagai raja di Negara Dewata. Sementara itu Patih Parwata masih lestari sebagai Patih menjalankan tugas mengatur wadyabala jin. Semua mencintai rajanya yang bertindak bijaksana menjaga keselamatan negeri.

(17)

05. PANGKUR, Paramayoga

05. PANGKUR, Paramayoga

Sasraningrat

Sasraningrat

Wêcanên ingkang pramana | tuwa êndi sira lan jênêng mami | Sang Hyang Wênang sukèng kalbu | gya nabda tuwa ingwang | Prabu Ari sru kagyat sumambung wuwus | manawa sanyata tuwa | pêsthi sira nyumurupi ||

Diceritakan, Dewi Rawati sudah hamil dan sudah saatnya melahirkan. Jabang bayipun lahir lelaki dengan aura yang begitu cerah tidak beda dengan ayahnya. Diberikan nama untuk anak itu oleh ayahnya dengan nama Hyang Darmajaka. Saat dewasanya, ia melebihi ayahnya dalam hal kerohaniannya.

Singkat cerita, ketika sudah dewasa Hyang Darmajaka diambil menantu oleh Prabu Sikandha, raja jin di Negara Selan Ia dinikahkan dengan putrinya yang bernama Dewi Sikandhi. Dari perkawinan itu, mereka beranak lima orang putri dan putra.

Yang sulung bernama Dewi Darmani namanya. Sedangkan yang kedua, lelaki bernama Darmana yang kemudian disebut dengan Hyang Dwija. Anak penengah bernama Hyang Triyata, kemudian yang ke empat bernama Hyang Catur Kanaka. Sedangkan yang bungsu bernama Hyang Pancaresi.

Prabu Sikandha kemudian turun keprabon, sedangkan yang menggantikan adalah menantunya. Sang Prabu kemudian pergi dari istana dan bertapa. Yang kemudian

mendapatkan tahta yaitu Hyang Darmajaka yang menggantikan ayah mertuanya sebagai raja. Semua warga Negara tunduk atas pemerintahannya.

(18)

Kembali cerita ke Dyah Rawati yang kembali hamil. Anak yang lahir sangat tampan. Kedua orang tuanya sangat bahagia, dan anak itu dinamakan Sang Hyang Wenang. Ia bercahaya bening melebihi kakak-kakaknya. Saat dewasanya, ia berperilaku sangat baik dan lebih sakti juga ketimbang ayahnya.

Dewasanya, Hyang Wenang muda bisa melakukan tapa berbulan-bulan didalam kobaran api dan juga bertapa di kedalaman tanah. Ia juga melakoni tapanya diatas dahan tinggi, diatas mega dan juga bertapa di puncak gunung-gunung tinggi. Bukan hanya itu, ia masih lagi menambah keilmuannya dengan laku mati raga.

Tujuan yang hendak dicapai adalah agar kesaktian dirinya unggul diantara seisi jagat. Semua keinginan trah nabi itu dikabulkan oleh Hyang yang Maha Luhur. Kesaktian yang diminta Hyang Wenang dikabulkan. Lebih jauh lagi, Sang Hyang Wenang diberi gelar Sang Hyang Utipati dan Hyang Suksma Kawekas yang dapat diupamakan sebagai Sang Penguasa Jagad Raya.

Keinginan yang dituju oleh Sang Hyang Wenang, agar ia disebut sebagai pangeran dari makhluk seluruh dunia.

Mulailah Sang Hyang Wenang menulusuri muka bumi. Gunung dan hutan ia rambah hingga ia sampai di Gunung Keling dengan tujuan untuk menggelar tingkat kesaktiannya

Tujuan akhir yang hendak dicapainya adalah; ia ingin disembah oleh semua orang sekalian yang menguasai banyak Negara. Ia menciptakan sorga di antara mega-mega dengan perabotan serba emas bertatahkan intan permata. Sorga yang ia ciptakan terlihat

menggantung di langit dengan kilaunya berkeredepan terkena sorot matahari. Bahkan sinaran matahari itu seakan terkalahkan oleh cahayanya. Istana itu dirupakan indah karena disertai hiasan pohon dan kekembangan yang menebarkan sari-sari keharuman. Keindahan sorga yang diciptakannya di Gunung Keling memang terlihat begitu memesona.

Diceritakan, di Istana Keling adalah seorang Raja Jin sesama asal mula trah Jan. Prabu Ari namanya, anak dari Jin Saraba. Sedangkan Jin Saraba adalah saudara dari Sri Palija yang dulu menguasai Negara Keling. Ia bernama Prabu Sadik yang berkuasa di wilayah Banggala, yang kemudian memasrahkan istananya kepada anaknya. Sesudah memasrahkan penguasaan Benggala, ia mendirikan wilayah tersendiri di Negara Keling.

Ia kalah adu kesaktian melawan Prabu Sri Ari Sang Adik, dan memasrahkan anaknya Dyah Wisawati menjadi boyongan Prabu Ari. Dari perkawinan itu melahirkan seorang anak wanita yang sedemikian cantik. Waktu itu anak wanita yang bernama Dyah Saoti telah dewasa tetapi belum menikah.

Ketika itu Sang Prabu Ari telah mendengar bahwa ada manusia yang mendatangi Negara Keling dan membangun sorga indah diatas Gunung Keling. Manusia itu bernama Hyang Utipati yang sedikit demi sedikit menyingkirkan penyembah Lata wal Ujwa. Rakyat Keling sudah banyak yang berganti menyembah pendatang itu, maka murkalah Sang Prabu Ari.

Sang Prabu Ari berniat adu kesaktian dengan pendatang itu, dan pada suatu malam ia melesat terbang diatas gunung. Sudah tiga kali berturut turut ia jatuh terpelanting ketika mencoba melayang di atas sorga buatan Sang Hyang Wenang. Di percobaan ketiga itulah ia dipergoki oleh Sang Hyang Wenang.

(19)

Setelah saling bertanya, Hyang Utipati mengatakan sejatian dirinya yang bergelar Sang Hyang Suksma Kawekas.

Sri Ari marah mendengar Sang Hyang Utipati menggunakan nama Suksma Kawekas yang mirip dengan nama Sang Murbeng Tuwuh atau yang kuasa atas segala yang bertumbuh, yang menandakan nama yang menakuti.“Dengan membuat istana di wilayahku, apa yang menjadi kemauanmu sebenarnya??!!” Hardik Sang Prabu Ari.

Sang Huang Wenang menjawab tenang ;“Aku hanya ingin menuruti kehendak hatiku saja. Aku sampai ke tem pat ini hanya mengikuti kata hatiku”.

Prabu Ari menjawab dengan kemarahan.“Sombongnya kamu Utipati!! Aku ingin tahu dari manakah kamu Hyang Wenang?!!

“Aku tidak beda denganmu”, jawab Sang Hyang Wenang.“Aku tidak beda dengan dirimu, aku berasal dari kosong menjadi ada, dan sekarang aku ada di Gunung Keling”.

Prabu Ari semakin marah,“Jangan banyak mulut kau di hadapanku. Demikian sombongnya kamu memakai gelar sebagagai Maha Kuasa. Bila kamu memang mampu, jelaskan hal yang berkaitan dengan yang gaib. Sekarang aku ingin tahu kenyataan apakah dirimu bersikap sombong itu yang memirip-miripkan Sang Murbeng Tuwuh yang mengetahui segala perubahan jagat. Jawablah aku akan mengajukan pertanyaan”.

“Jelaskan dengan sejelasnya, lebih tua mana kamu ketimbang diriku”.Prabu Ari

melontarkan sebuah pertanyaan yang ia mengira bahwa pertanyaan itu akan menyudutkan Sang Hyang Wenang

Mendengar pertanyaan itu Sang Hyang Wenang malah tersenyum gembira. Kemudian katanya;”Lebih tua aku…!”

Prabu Ari terkejut dan manjawab;“Bil a kamu lebih tua, pasti kamu mengetahui kejadian asal mula, asal jin dan asalmu jelaskan aku ingin mengetahui bila tadi kamu berkata bahwa kamu lebih tua”.

Sang Hyang Wenang berkata, menyambung ;“Dengarkan baik -baik heh Sang Prabu. Kamu adalah keturunan JanBanujan yang berasal dari api. Berbeda dengan diriku, yang terbentuk sebelum jagad ada, waktu itu para jin belum ada sama sekali. Jagad waktu itu masih kosong sepi sama sekali tidak ada tetumbuhan. Yang ada hanya cahayaku, cahaya yang terpuji”.

“Memulai tergelarnya jagat, semua isi bumi kemudian ada oleh sebab dari sinar terangku. Maka kamu jangan marah kepadaku, karena kamu telah kalah tua dibandingkan dengan

diriku. Jangan merasa dirimu lebih dari diriku. Maka Sang Prabu, jangan lagi menyembah Lata lan Ujwa karena banyak diantara kamu yang menganggap bumi dan langit adalah

ciptaannya. Pikiranmu itu keliru! Beda dengan diriku yang tahu segala rahasia asal mula penciptaan, sehingga menjadi patokan dari Suksma Kawekas yang tergenggam dalam

beningnya hati ini”. Kata Hyang Wenang penuh kemenangan.

Takjub tumbuh dalam diri Prabu Ari ketika mendengar jawaban Sang Hyang Wenang. Ia merasa tidak bisa meraih sasmita yang tergambarkan oleh ucapan Sang Hyang Wenang

(20)

sebelumnya. Iapun kemudian menyerah kalah dan menyodorkan putrinya, Dewi Saoti, agar diperistri oleh Sang Hyang Wenang.

Sejak saat itulah semua orang Keling takluk menyembah kepada Sang Hyang Wenang oleh sebab perkataan rajanya yang menganggap; Wenanglah yang menjadi titisan Lata dan Ujwa di Kahyangan Gunung Keling.

Kala itu Sang Hyang Wenang kemudian kembali ke Negara Dewata. Hyang Nurasa yang kemudian turun tahta, dan Hyang Wenanglah yang kemudian menggantikan tahta itu.

***

Diceritakan, Hyang Wenang dan istrinya menjadi sepasang suami istri yang saling mencinta. Tidak lama kemudian Dewi Saoti-pun hamil. Waktu kelahiran tercapai dan lahirlah bayi lelaki yang tampan dengan auranya yang gemilang seperti ujud bulan purnama. Bayi lelaki itu dinamai Sang Hyang Tunggal. Saat dewasanya, ia sangat gemar berkelana hingga jauh. Waktu itu, Sang Hyang Tunggal lolos dari istana tanpa pamit. Ia berjalan tanpa tujuan dan tak lama kemudian Dewi Saoti kembali hamil. Lahir putra dengan ketampanan dan aura seperti kakaknya. Anak itu dinamai Sang Hyang Wening.

***

Kita beralih sementara ke dalam kisah di tanah Mesir. Waktu itu yang menjadi raja disana adalah Kangjeng Nabi Sulaiman. Raja agung dengan istana yang sedemikian mulia yang menguasai seisi jagad, baik itu di darat, angkasa maupun di lautan.

Sudah tersebar kabar bahwa para jin yang berada di sekitar Pulo Dewata sudah pada murtad. Mereka kini tunduk dibawah penguasaan raja Pulau Dewata. Maka Kangjeng Nabi Suleman sangat marah.

Diperintahkan kemudian para wadya yang dipimpin oleh Jin Sakar untuk menundukkan mereka. Berangkatlah pasukan dibawah komando Jin Sakar yang sangat sakti. Dengan suara gemuruh dan kilap senjata mereka siap mendatangi Pulau Dewata.

Perang Jin pasukan Nabi Sulaiman dengan jin pasukan Pulau Dewata pecah. Kesaktian Jin Sakar membuat pasukan Pulau Dewata terdesak mundur.

Hyang Wenang marah melihat pasukannya terdesak, maka ia sendiri turun gelanggang menyebar pengaruh aji kemayan. Ajian kemayan itulah yang diagulkan menjadi ajian yang mengerikan untuk menaklukkan lawan. Terkena kemayan, seluruh pasukan Nabi Sulaiman terpuruk tak berdaya termasuk Jin Sakar selaku panglima perang. Sakar pun takluk. Hyang Wenang sangat gembira dan Jin Sakar segera diinterogasi. Jin Sakar mengatakan bahwa junjungannya, Nabi Sulaiman, adalah seorang yang sangat sakti. Semua isi dunia

takluk kepadanya bahkan hingga serangga sekecil apapun tunduk kepada perintahnya. Kesaktian Nabi Sulaiman tidak lain adalah berwujud cincin yang bernama Maklukat gaib. Dari cerita yang diucapkan oleh Jin Sakar, maka Sang Hyang Wenang memerintahkan kepada Jin Sakar untuk mencuri cincin itu dari tangan Nabi Sulaiman. Jin Sakar

(21)

menyanggupi perintah sebagai tanda taklukan. Ia pun terbang kembali ke Mesir. Sesampainya di Mesir ia merubah dirinya menjadi serupa dengan Jeng Nabi Sulaiman.

06. DURMA, Paramayoga

06. DURMA, Paramayoga

Sasraningrat

Sasraningrat

. Tandya laju prapta ngarsane Hyang Wênang | Sakar umatur titi | dènira dinuta | purwa madya wusana | Hyang Wênang ngungun ing galih | têmah rumôngsa | sarirane kang sisip ||

Jin Sakar berhasil mencuri cincin Maklukat Gaib. Tetapi ia kini berbalik pikiran. Ia menggunakan cincin itu untuk dirinya sendiri. Pastilah ia kemudian menjadi sangat sakti bahkan ia kemudian menyingkirkan Nabi Sulaiman sebagai Raja Mesir. Dengan cincin

Maklukat Gaib ada di tangannya ia mampu merubah dirinya sebagai Nabi Sulaiman. Dengan masih berujud Nabi Sulaiman, ia menguasai dunia seperti halnya Nabi Sulaiman yang asli. Semua jin yang ada dibawah kekuasaan Sakar tidak tahu, bahwa ia adalah Sakar yang kini tingkahnya curang itu.

Diceritakan, Nabi Sulaiman menderita karena tingkah laku Sakar dan lolos dari istana. Ia kini berujud memelas dan dirinya tidak beda dengan kaum peminta-minta. Langkahnya menyeret

dirinya kemudian menjadi pengikut armada pemancing ikan di lautan.

Sudah empat puluh hari Jin Sakar menjadi raja. Ia kemudian teringat bahwa ia sebenarnya diperintah oleh Sang Hyang Wenang untuk mencuri Cincin Maklukat Gaib. Ingat akan hal itu, dan diputuskanlah dirinya kemudian pergi untuk memberikan cincin yang dipesan oleh Hyang Wenang sambil kembali menjadi ujudnya semula.

Tetapi sudah menjadi takdir Allah, Cincin Maklukat Gaib seperti ada yang merebut. Cincin itu jatuh masuk ke dalam lautan. Menyesallah kini dalam hati Jin Sakar dengan teramat

(22)

sangat. Tetapi ia berpikir bahwa semuanya akan ia ceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Hyang Wenang.

Hyang Wenang yang mendengar kejadian itu merasa sedih, tapi ia juga merasa bahwa dirinyalah yang bersalah.

Diceritakan, Cincin Maklukat gaib yang jatuh di lautan dimakan ikan. Kebetulan ikan yang makan cincin itu kemudian makan umpan pancingan di kapal Nabi Sulaiman. Ikan dibelah oleh nabi, dan cincin yang di perut ikan itu ditemukan lagi. Nabi tidak ragu lagi

penglihatannya bahwa cincin itu miliknya dan dikenakan lagi cincin itu.

Singkat cerita, Kangjeng Nabi sudah keluar dari sengsara berkat ditemukan kembali cincin itu. Kini Jeng Nabi sudah kembali ke istana dan kembali naik tahta. Di dalam istana akhirnya ia mengetahui, bahwa ia kehilangan cincin Maklukat Gaib karena pokal Jin Sakar yang kini menjadi abdi Sang Hyang Utipati.

Nabi kemudian diijinkan oleh Pangeran untuk membuat tumbal berupa rajah untuk menghancurkan semua Jin yang ada di Pulau Dewata. Diutusnya seorang manusia untuk memasang rajah di sepanjang pesisir Pulau Dewata.

Dengan suara yang menggelegar, samudra di sekeliling pulau mengalun naik ke daratan terkena rajah yang dipasang utusan nabi. Ombak yang ditimbulkan mengerikan menerjang daratan bersuara bagaikan geledek. Berbarengan dengan naiknya samudra, kegelapan menangkup seluruh pulau dengan pekatnya.

Pulau Dewata pecah menjadi berlaksa jumlah pulau yang kecil-kecil.

Sang Hyang Wenang serta anak dan istrinya tidak berdaya menanggulangi kesaktian mukjijat Nabi Sulaiman yang kekuatannya tak terkirakan. Inilah kekuasaan Nabi. Sang Hyang

Wenang kemudian keluar istana Pulau Dewata, bersembunyi di bawah tanah.

Setelah mengungsi beberapa lama, Sang Hyang Wenang keluar dari dalam bumi. Pada saat itu Kangjeng Nabi Sulaiman sudah wafat.

Diputuskan oleh Sang Hyang Wenang untuk kembali ke Pulau Dewata yang kini sudah menjadi pulau yang saling tepisah. Setelah melihat apa yang sudah terjadi, Sang Hyang Wenang kemudian memutuskan untuk beralih wilayah kekuasaan di tanah Hindi, di puncak Gunung Tengguru

***

Beralih cerita kini. Sang Hyang Tunggal sepeninggalnya dari istana, ia telah jauh menjelajah bumi. Ia kini telah sampai di tanah Selan. Ia bertemu dengan Sang Hyang Darmajaka yang

telah bertahta menggantikan mertuanya. Sang Hyang Tunggal kemudian diambil menantu oleh uwaknya sendiri, dengan menikahi Dewi Darmani.

Tidak lama kemudian, Sang Hyang Tunggal memperoleh empat orang putra. Anak sulung bernama Sang Hyang Darma Dewa yang bergelar Dewa Esa, atau Sang Hyang Rodra.

Kemudian lahir anak kedua bernama Sang Hyang Darmastuti. Sedangkan anak ke tiga bernama Hyang Darmajali, dan anak bungsunya yang bernama Hyang Dewanjali.

(23)

Diceritakan, Hyang Tunggal setelah mendapatkan anak, kembali melanjutkan perjalanan.

***

Terkisah, ada Jin kepiting yang bernama Sri Rekathatama yang bertahta di dalam lautan. Ia adalah keturunan Jin Darih yang berputra Jin Menak. Jin Menak berputra Minangkara, kemudian berputra Yuyutama. Yuyutama inilah ayah dari Sri Rekathatama. Semua jenis kepiting, mimi, jingking, ketpiting, kingmang, kerang, rajungan serta pongpongan tunduk dalam pemerintahan Raja Kepiting, Sri Rekathatama.

(24)

07. DHANDHANGGULA, Paramayoga

07. DHANDHANGGULA, Paramayoga

Sasraningrat.

Sasraningrat.

Linali-lali tan kêna lali | nora liya mung supênanira | kang kaèsthi jroning tyase | wangsite kaki pikun | kang sru mawèh trênyuh ing ati | sang dyah marak ing rama | sru pamothahipun | sawangsite kaki tuwa | sadaya ingaturakên mring sudarmi | ature lan karuna ||

Diceritakan, pada suatu malam, ketika Dewi Rekatawati selagi tidur lelap, ia bermimpi bertemu dengan seorang kakek renta yang berasal dari langit. Ia mengatakan, bahwa saat ini jodohnya sudah dekat. Ia adalah seorang kelana yang sedang berjalan dalam lautan dan ia

masih muda. Dia adalah turunan jin dan juga turunan Nabi Sis, Sang Hyang Tunggal namanya.“Dimasa datang, kamu akan berputra dua, semuanya lelaki yang akan

(25)

menurunkan para raja di Tanah Jawa dan Benggala”.Demikian kata Sang Kakek dari langit.

Orang tua itu kemudian pergi setelah mengatakan wangsit. Dewi Rekatawati yang kemudian terbangun merasakan gundah dan disertai hati yang menanggung asmara.

Dicoba berkali-kali Rekathawati untuk melupakan mimpinya. Tetapi wangsit dari kakek tua itu tetap membuat hatinya semakin tertaut dengan kesatria muda yang dikatakan oleh Sang Kakek Tua. Diputuskan kemudian ia harus menghadap ayahnya. Ia memaksa dengan tangisnya agar ayahnya mencari pemuda itu.“Sudahlah, Nini, hentikan tangismu dan kembalilah ke kamarmu, akan aku cari idamanmu itu”. hibur ayahnya.

Raja kepiting itu kemudian masuk ke sanggar pamujan. Dalam doanya yang sekung, ia memohon kepada Hyang Ujwaladi, agar menghadirkan pemuda yang bernama Sang Hyang Tunggal, yang diwangsitkan bahwa ia adalah benar-benar jodoh putrinya.

Diceritakan yang sedang berkelana di dalam lautan, Sang Hyang Tunggal merasa dirinya lelah dan memutuskan untuk tidur. Di atas batu datar tak lama kemudian ia tidur terlelap. ketika itu ia tertidur itulah, ia bagaikan diangkat oleh Sang Ujwaladi. Hyang Tunggal kemudian ditempatkan di hadapan Prabu Rekathatama seperti layakknya ndaru yang

melayang dan jatuh di pangkuan Sang Hyang Rekatatama. Itulah tetanda bahwa permohonan raja kepiting raksasa itu telah diijabahi. Perlahan Sang Hyang Tunggal menggeliat bangun dan terheran melihat sekelilingnya.

Makin terkejut Sang Hyang Tunggal, ketika kemudian melihat bahwa dirinya berada di depan raja kepiting yang besar sosoknya tidak tekirakan.“Siapakan kamu anak muda yang tiba-tiba jatuh dihadapanku. Apakah kamu dari jenis jin ataukah manusia dan dari mana asalmu serta

apak ah yang kau maui, sehingga dirimu melayang ke hadapanku?”.

Semakin Sang Hyang Tunggal terheran karena ia mendapati sosok kepiting yang bisa berbicara. Dengan sikap sopan, Sang Hyang Tunggal berkata,“Aku bisa disebut sebagai jin,

tetapi juga bisa dikatakan manusia, karena aku adalah trah Nabi Sis pada mulanya dan ketahuilah, bahwa ibuku adalah Dewi Saoti yang berupa jin, putri dari Prabu Ari seorang raja jin di Negara Keling. Semua leluhurku dari jenis manusia adalah menantu dari raja Dewani dan Dewata”.

Kemudian diceritakan perihal apa yang terakhir dilakukan ketika ia tertidur lelap dan

kelelahan berjalan di dalam samudra. Maka ia menanyakan kepada raja kepiting yang mampu berucap bahasa manusia itu, kenapa ia ada di tempat ini sekarang.

Jawab Sang Rekatatama;“Duh Sang Bagus, aku sejenis dengan kamu dan masih bersaudara dengan eyangmu Raja di Dewani dan juga raja di Dewata. Aku bisa dikatakan adik dari eyangmu, Raja Darih. Hingga saat ini aku masih berujud kepiting dan menjadi penguasa di samudra membawahi bangsa kepiting. Ketahuilah, bahwa Prabu Ari adalah masih sedarah

denganku”.

“Sekarang aku berterus terang. Mengapa anakmas terhempas kemari, itu sebenarnya adalah permintaanku yang dikabulkan oleh Sang Ujwaladi. Putriku yang bernama Rekathawati

telah diwangsit oleh kakek renta, bahwa kamulah yang akan menjadi jodoh putriku.

(26)

orang pria, dan akan menurunkan para raja di Benggala dan Tanah Jawa. Semua isi jagat akan takluk menyembah kepada anak-anakmu”. Demikian Rekathatama menjelaskan.

Dengan tersenyum Sang Hyang Tunggal mengatakan; “Terimakasih atas perkenanmu

kepadaku, untuk mengambil diriku sebagai menantumu Prabu Rekatatama. Tetapi akan menjadi sesalmu, karena saat ini aku belum berniat untuk menikah. Aku masih senang mengikuti kata hatiku, bertapa di segala sudut bumi. Walaupun kemudian aku berkenan untuk menikah nanti, tidak mungkinlah aku akan menikahi seekor rajungan atau kepiting.

Ketahuilah, sudah sekian banyak jin yang menyodorkan putri-putrinya yang cantik, tetapi

tidak ada satupun yang aku terima”.

“Apalagi yang kamu sodorkan adalah serupa kepiting. Walaupun kamu adalah raja kepiting, tetapi haruslah kamu melihat kepada dirimu sendiri. Kelewat tidak ada pantasnya, seorang manusia menikahi pong-pongan. Nistalah diriku senista-nistanya seorang manusia”.

Raja kepiting itu tersenyum kemudian katanya;“Lihatlah terlebih dulu, seperti apa rupa anakku, Si Rekatawati. Bila tidak menjadi keinginanmu, tidak apa-apa. Sukurlah, bila nanti anakmas berkenan setelah melihat ujud anakku”.

Raja kepiting itu melambaikan tangan kepada abdinya untuk memanggil anaknya. Kepada Dewi Rekatawati, abdi itu mengatakan bahwa ia dipanggil oleh ayahnya. Ia juga mengatakan bahwa tamu di hadapan ayahnya adalah sosok manusia yang gagah dan tampan serta berarura

cemerlang. Dikatakan juga manusia itu berasal dari Keling yang bernama Sang Hyang Tunggal.

Berdebar jantung Sang Dewi mendengar kata-kata abdinya. Dalam hatinya yang terrasa adalah, bahwa ia telah mendapatkan anugerah jodoh yang telah hadir dalam wangsit impiannya. Maka segera ia datang menghadap ayahnya dengan muka tertunduk dan mata yang hanya sanggup mengerling.

Sang Hyang Tunggal takluk dibawah kerling mata Dyah Rekathawati. Lemas seluruh tubuhnya dan hatinya menyesal telah menampik perkataan Prabu Rekatatama. Selagi Sang Hyang Tunggal tertegun, ia dikagetkan oleh kata-kata Prabu Rekatatama;“Nini Rekathawati, cepatlah hidangkan segala makanan dan minuman. Inilah tamu kita trah jin dan manusia dari tanah Keling. Dialah saudara dekatmu sendiri yang bernama Sang Hyang Tunggal putra dari Sang Hyang Wenang dan putra dari Dewi Saoti. Ia pasti lelah setelah berkelana

di dalam lautan”.

Dewi Rekathawati mundur dari hadapan ayahnya, diiring oleh tawa Prabu Rekathatama. Tawa itu terdiam dan dari mulutnya berucap dengan nada kemenangan;“Anakmas, itulah wujud anakku. Rupanya tidaklah pantas karena ia anak yang hidup dalam alam samudra. Ia adalah anak yang sangat manja”.

“Kembali ke kata-kataku di awal tadi, senang atau tidak kepada anakku yang sudah kamu ketahui rupanya, Katakanlah dengan kejujuran hatimu”.

“Duh Sang Prabu, mohon maaf atas kelancanganku tadi yang telah menampik tawaran Paduka. Sekarang baru aku merasa, bahwa sekarang aku telah terjerembab di pantai

bermadu dan terhujani oleh kembang harum yang merasuk dalam palung hati. Jantungku terasa telah diremas oleh kekuatan asmara”. Hyang Tunggal berkata lirih.

(27)

Raja kepiting itu kembali tertawa mendengar kata-kata Sang Hyang Tunggal. Ia sudah mengerti bagaimana harusnya. Maka singkat cerita, Sang Hyang Tunggal telah dinikahkan dengan Dewi Rekathawati. Setelah waktu kandungan terhitung cukup, lahir sebutir telur dari rahimnya.

Telur itu diraih oleh Hyang Tunggal dan dibantingnya ke tanah. Namun yang terjadi, telur itu melayang ke angkasa. Sang Hyang Tunggal segera terbang mengikuti arah telur yang

melayang itu.

Telur itu telah menjauh tinggi, dan benda itu diikuti kemana perginya oleh Sang Hyang Tunggal. Hatinya sangat sedih karena tidak mampu untuk menangkap anaknya yang berujud telur itu. Hingga kemudian pengejaran telah sampai di pulau Dewata.

Di pulau itulah kemudian Sang Hyang Tunggal mengambil keputusan untuk melakukan semadi meminta kasih leluhurnya. Permohonan itu dikabulkan dengan datangnya Sang HyangWenang.

Sang Hyang Wenang kemudian memberikan petuah disertai dengan memberikan juga segala pusaka tinggalan para leluhur yang berupa Cupu Manik Astagina, Cincin Retna Dumilah

serta Lata Maosadi.

Semua pusaka hebat itu sudah ia terima, bahkan Sang Hyang Wenang berkenan untuk manunggal jiwa raga dengan anaknya, Sang Hyang Tunggal. Maka jadilah Sang Hyang Tunggal bersatu dengan Sang Hyang Wenang yang merupakan panunggalan dua raga dalam satu jiwa-raga yang tak lagi bisa terpisahkan.

Kita tinggalkan cerita yang telah menunggal jiwa raga, ada benda yang jatuh dari angkasa dengan kecepatan penuh. Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang waspada dan benda itu ditangkapnya. Itulah telur yang tadi telah diburu oleh Sang Hyang Tunggal. Di tangannya, telur itu pecah! Telur itu menjelma menjadi dua anak manusia yang berdiri tegak di

hadapannya. Cahaya kedua anak itu berbinar. Warna putih salah satunya, sedangkan satunya lagi bersorot warna hitam. Keduanya tampak kebingungan dalam pandangan Sang Hyang Tunggal yang tidak terlihat oleh keduanya.

Kedua anak itu diberitahu;”Kamu berdua adalah anak -anakku” kata Sang Hyang Tunggal. Kaget kedua anak tersebut karena ia tidak melihat siapapun disekitarnya. Tetapi kemudian keduanya bersujud ke arah suara berasal.“Duh yan g murba wisesa, sebenarnyalah hamba adalah titah paduka yang tidak mengerti apa-apa…”.

Dengan suara yang lembut, Sang Hyang Tunggal berkata;”Benar apa kata-kata kamu berdua, kamulah anak-anakku. Kamu yang bercahaya hitam terjadi dari bagian putih telur, aku namakan Bathara Maya. Sedangkan yang bercahaya putih yang terjadi dari kuning telur, aku namakan Bathara Manik. Bersaksilah, bahwa aku adalah berada dalam dirimu dan kamu ada dalam keadaanku tak bisa terpisahkan selamanya. Dimana kamu berada, itulah tempat aku berada. Tetapi aku juga ada yang memiliki, dan dimiliki oleh atas namaku”. Sang Hyang Manik dan Maya pun bersaksi apa yang menjadi perintah ayahnya, dengan cara mengetahui mengenali empat kiblat dimana mereka menghadap kearah mana sembah terhadap ayahnya.

(28)

Hyang Maya dalam melakukan sembahnya berbeda cara dibandingkan dengan adiknya. Ia menghadap kearah kiblat sejumlah sepuluh arah. Dimulai dari arah timur, kemudian arah timur laut, utara kemudian barat laut, barat, barat daya, selatan dan tenggara. Kemudian barulah menghadap ke angkasa kemudian menunduk ke bumi.

Sedangkan Bathara Manik hanya menghadap ke sembilan arah delapan kiblat yang berakhir dengan menyembah dalam sikap sujud.

Oleh kedua sikap itu terjadilah saling berebut benar tentang sikap cara penembah di antara mereka.

DISINI KLIK KE LINK KIDUNG PUPUH DHANDHANGGULA UNTUK CERITA INI

Pada kitab ini, Hyang Antaga atau Togog tidak terceritakan sebagai anak Hyang Tunggal yang sudah menyatu jiwa dengan Sang Hyang Wenang.

(29)

08. MIJIL. Paramayoga

08. MIJIL. Paramayoga

Sasraningrat

Sasraningrat

…. têmbe cacat sikilira kering | apus kang kapindho | tênggokira pethak têlu darbe | siyung

kapate tanganmu dadi | papat Sang Hyang Manik |

sru panlangsanipun …..

Melihat keduanya berdebat dalam melakukan penyembahan, Sang Hyang Tunggal berkata melerai;”Heh anak -anakku. Perdebatan yang kalian lakukan tentang jumlah arah kiblat penembahmu adalah pertanda, bahwa di masa datang, Maya akan mempunyai anak sejumlah sepuluh. Sedangkan Kamu, Manik, tentu akan sama dengan jumlah panembahmu, sejumlah sembilan”.

Bathara Manik menjawab dengan putus asa;”Bagaimana hamba dikatakan bahwa akan mempunyai anak, sedangkan wujud hamba sedemikian buruk, hitam, tidak tampan seperti wujud Manik. Siapa yang mau diperistri oleh hamba?”.

Namun jawaban Sang Hyang Tunggal menenangkan hati Maya; “Seisi jagat ini semua sudah

diatur jodohnya. Ada panas, ada dingin. Ada tinggi, ada pendek, ada buruk dan ada baik. Maka Kaki Maya, percayalah kepada dirimu yang buruk. Itu hanyalah perlambang akan kekuasaan Hyang untuk semua makluknya. Sebaiknyalah kamu tahu, bahwa warna hitam

adalah langgeng simbol dari kekekalan, abadi selamanya”.

Maya menyembah takzim. Ia memohon maaf karena merasa bersalah kepada ayahnya yang tidak bisa ia lihat. Maya diusap kepalanya oleh Hyang Tunggal dengan cincin Retna Dumilah. Keajaiban terjadi, Hyang Maya kemudian berubah cahayanya menjadi bersinar layaknya cahaya bulan purnama.

Hyang Tunggal kembali bicara;”Ketahuilah anaku, cahaya dirimu telah berbinar mencorong”.

(30)

“Duh Sang Murbeng Tuwuh, apakah benar cahaya hamba semakin bening sorotnya?”

setengah tidak percaya Maya menjawab.

Oleh pertanyaan Hyang Maya, Sang Hyang Tunggal segera menciptakan benda berujud cermin. Dihadapkan kaca itu kepada Hyang Maya dan berkata;“Lihatlah rupamu sekarang”.

Sang Hyang Maya yang melihat rupanya sendiri yang kini beraura cemerlang menjadi sedemikian kaget. Namun kembali ia mendengar orang tuanya berkata:“Anakku, aku memberimu kepastian, bahwa di masa depanmu, kamu akan menjadi penguasa di kerajaan bumi. Bila dirimu memperlihatkan diri di madyapada di masa depan nanti, kamu akan menjadi pemomong dari adikmu Si Manik. Akulah yang nanti akan menjadi tuwangga dari kalian anak-anaku berdua”.

Hyang Maya sujud sedemikian dalam. Ia merasa dirinya sangat berdosa. Maka kemudian ia kembali berkata kepada ayahnya:“Duh ayahku, hamba merasa sangat bersalah, kini putramu mohon maaf atas kesalahan besar hamba yang telah berlaku ceroboh”.

Hyang Tunggal menjawab dengan sabar:“Tegakkan kepalamu anakku. Akan aku sirami dirimu dengan air kehidupan, agar kesedihan dalam dirimu menjadi terbebaskan. Kehidupan alam sunyaruri adalah tidak ada bedanya dengan kehidupan di arcapada. Dan ketahuilah, bahwa aku akan menuruti setiap kali kamu meminta kepada diriku. Lihatlah, aku akan menciptakan wanita sebagai jodohmu. Wanita yang sangat cantik sebagai ibu dari anak-anakmu nanti”.

Tiba tiba di hadapan Maya tampil wanita cantik, sebagai ciptaan dari Sang Hyang Tunggal. Itulah jodoh Maya yang dinamakan Dyah Senggani.

Maya sangat terpesona melihat ujud Dyah Senggani.“Maya, wanita ini sudah menjadi pepasthi, bahwa inilah jodohmu selama-lamanya. Mulai sekarang, namamu akan aku

tambahkan sebagai Sang Hyang Semar, Sang Hyang Jagad Wungku dan Hyang Iswara Gastawa juga Raswara”.

Sebelum Maya menjawab, terdengar Sang Hyang Tunggal kembali berkata: “Segeralah anakku, jangan membuang waktu, laksanakan tugasmu menjadi raja di jagad sunyaruri”.

Kemudian Hyang Semar dan istrinya bersujud di hadapan Sang Hyang Tunggal yang kemudian undur diri.

***

Sepeninggal Sang Hyang Semar yang sudah naik di antara mega bersama istrinya, Bathara Manik barulah berkata setengah mengeluh:“Duh kangjeng rama, paduka yang Maha Asih. Ayah sudah tahu, bahwa diri hamba lebih tampan dan bercahaya cemerlang, dibanding

kakang Maya. Bahkan cahaya diri hamba melebihi cahaya bulan purnama. Tetapi,

ayahanda, hamba sama sekali tidak mempunyai kesaktian sebagaimana dimiliki oleh Kakang Semar. Maka tahulah hamba, bahwa sayang Paduka terhadap anak-anak paduka adalah tidak berimbang”

“Anakku Manik, jangan salah terima. Aku mempunyai anak -anak itu, walaupun saat ini keadaannya tidak berimbang dalam segalanya, sejatinya ini hanyalah sebagai kesaksian, karena aku menguasai dirimu. Aku dan dirimu bersama, akan mampu mengadakan hal yang

(31)

belum terjadi, dan meniadakan yang sekarang ada. Sayangku terhadap dirimu itu, tidak ada yang mengimbangi”.Hyang Tunggal membantah perkataan anaknya.

Setelah terdiam sejenak, Hyang Tunggal melanjutkan. “Kakakmu menguasai alam adam-makdum, dan sebaliknya, dirimu dapat dipastikan di masa nanti akan menjadi raja, menguasai jagad dan seisinya. Lihatlah di dalam cermin ini, apa yang kamu lihat ?”

Manik maju menuruti apa kata ayahnya. Di dalam cermin ia melihat jagat triloka beserta isinya. Maka ia bergegas mengajukan pertanyaan:“Hamba melihat seisi jagat triloka. Tetapi hamba tidak melihat sosok hamba sendiri di dalam cermin. Berilah hamba keterangan tentang apa yang hamba lihat, ayah?”

Sang Hyang Tunggal kemudian berkata lirih: “Manik anakku, kamu tidak melihat ujudmu sendiri, dan pasti tidak juga melihat ujudku. Layaklah, bahwa dirimu tidak mampu

menangkap ajaran yang aku sampaikan tadi. Sudah aku katakan, bahwa diriku sudah

menunggal dengan dirimu, lebur luluh menjadi wujudmu sekarang ini. Dalam arti, aku sudah menunggal menjadi satu dengan raga dan rasa batinmu”.

Bathara Manik bersujud di hadapan ayahnya dengan rasa yang lega tidak terkira.:”Duh Pukulun, bila demikian keadaannya, maka hamba merasa tidak lagi terasa menyandang

cacat pada hidup hamba dengan sejelas- jelasnya”.

“Anakku, angan-anganmu yang menyebut dirimu tidak lagi mempunya cacat dalam kehidupanmu membuatmu berdosa kepada Hyang Kang Maha Agung. Camkan, di dalam kehidupanmu di masa datang, kaki kirimu akan lumpuh. Kedua, lehermu ada bercak di tiga tempat. Ketiga, kamu akan tumbuh taring, dan ke empat, tanganmu akan menjadi bertumbuh empat”. Hyang Wenang menyahuti kata-kata anaknya dengan perasaan masgul.

Demikianlah, sesal di hati Bathara Manik sangat dalam mendengar apa yang akan terjadi terhadap dirinya oleh kesombongannya. Sekarang ia hanya bisa menghiba bersujud di hadapan ayahnya memohon maaf.

Setelah beberapa lama keadaan hening, Sang Hyang Wenang berkata menenangkan:

“Anakku, jangan bersedih berlebihan, karena itu sudah menjadi takdir Yang Kuasa. Cacat dirimu adalah sebagai ciri dari seorang yang berkelakuan berlebihan, menganggap diri seperti memiliki kekuasaan Gusti. Bila kamu menyingkir dari cacat pada dirimu, apakah

dirimu akan menyamai keadaan tuhanmu…? Tuhanmu yang Maha Mulia itu tidak terkirakan perbedanya dengan dirimu, dan tidak akan pernah berbuat seperti apa yang kamu lakukan. Perbuatanmu itu berbahaya dan akan berbuah siksa yang teramat pedih di hari nanti.

Sebenarnya yang dinamakan kawula itu adalah; keadaan yang bersatu luluh dalam perkara yang berjumlah empat hal; rusak, sial, murka dan lupa. Maka, lebih baik terimalah

keadaanmu itu, anakku. Bila itu dapat kamu lakukan, maka kamu akan memperoleh pelipur dukamu. Sekarang kamu ambil baiknya saja, bahwa kamu telah tahu akan apa yang akan terjadi pada dirimu dimasa datang, apapun yang bakal terjadi atasmu”.

Bathara Manik mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang tuanya dengan seksama. Semua yang dikatakan telah mengusir semua kesedihan serta kekecewaan yang menderanya. Maka kemudian, katanya memohon kejelasan:“Duh Pukulun, pada saat lalu paduka sudah katakan, bahwa hamba akan berputra sembilan. Mohon perkenankan, paduka untuk memberitahu jodoh hamba sekarang”

(32)

“Jodohmu bakal datang di masa depan. Dialah manusia dari Parsi, ia sangat cantik

melebihi para bidadari. Namanya adalah Dewi Umayi. Dialah anak dari Umaran, keturunan dari Baginda Salih”. Jawab Hyang Tunggal.

“Sekarang segeralah untuk memulai naik taht a membawahi semua yang hidup di dunia. Jadilah penguasa di kerajaan yang bisa kamu bangun di lereng Gunung Tengguru, yang

merupakan bekas dari kerajaan Sang Hyang Wenang dimasa lalu. Sang Hyang Wenang lah

yang kini juga menunggal dalam ji wa ragaku sekarang seperti diri ku

”. Usai mengatakan pesan terakhir itu, Hyang Tunggal memberikan segala pusaka tinggalan eyangnya yang berupa Retna Dumilah, Cupu Manik Astagina yang berisi air kehidupan dan Lata Maosadi.

(33)

09. KINANTHI, Paramayoga

09. KINANTHI, Paramayoga

Sasraningrat.

Sasraningrat.

…Sapi Andini duk ngrungu | panabdane Hyang Pramèsthi | surut suraning wardaya |

mêndhak mandhêpa ing siti | apan nuli tinitihan | dening Sang Hyang Mahasidhi …..

Demikianlah, maka Hyang Manik telah berlalu dari hadapan ayahandanya menuju lereng Gunung Tengguru. Disanalah ia bertahta dan bergelar Hyang Maha Sidhi, Hyang Maha Esa Maha Mulki, Hyang Ngisat, Hyang Basurusa, Hyang Sangkara Tungguljati, Hyang Jagad Dewa Bathara, Hyang Manik Kara, Hyang Ari, Hyang Parama Wiseseku, Hyang Niskara Rudramurti, Hyang Mahadewa Buda, Hyang Siwanda Mahamuni, Hyang Marcukundha, Hyang Yatma. Sang Hyang Sang Hyang PramesthPramesthi,i, Hyang Maeswara, Hyang Pramana Sidhajati, Hyang Parama Martasiwa, Hyang Jagat Pratingkah dan Hyang Purbangkara Wirabadra.

Sedemikian banyak gelar Hyang Manik adalah terbawa oleh semua perjalanan hidupnya. Juga karena ia adalah manusia yang menjalani laku dan semua jalanan hidup yang disebutkan oleh eyang-eyangnya sebelumnya.

***

Di tanah Hindi pada saat itu ada seorang raja yang menguasai sesama raja. Dialah yang bergelar Sri Japaran yang berkuasa di kerajaaannya yang bernama Ima.

Raja dan seluruh rakyatnya menyembah seekor lembu yang bermukim di puncak gunung, yang terletak di arah tenggara Malaya. Ada juga sementara di tanah itu yang masih

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu tahap pertama pembuatan tepung buah pisang secara fermentasi dan tanpa fermentasi , tahap kedua adalah ekstraksi serat

Dalam satu pengerjaan pull-up, dibutuhkan tiga lapisan lembar kerja. Yang pertama adalah lapisan bingkai. Ukuran yang ditentukan penulis adalah 10 cm x 10 cm. Lapisan

Ditentukan tiga buah kata. Antara kata pertama dengan kata kedua terdapat suatu hubungan tertentu. Antara kata kedua dan salah satu kata harusa pula terdapat satu hubungan yang

Dari hasil kombinasi tiga ciri pada tabel 3 dapat dipilih atau ditentukan bahwa kombinasi ciri yang menghasilkan akurasi paling tinggi yaitu kombinasi Correlation, Energy,

Ketentuan Khusus 1 Karya bertema “Menyongsong masa depan pelajar Jepara di abad kedua Nahdlatul Ulama” 2 Setiap peserta hanya memilih salah satu dari 3 tiga sub tema yang ditentukan