adalah langgeng simbol dari kekekalan, abadi selamanya”
13. PUCUNG, Paramayoga
13. PUCUNG, Paramayoga
–
Sasraningrat. Sasraningrat.
Milanipun paduka manggih rahayu | tan liyan punika | pitulunging Maha Sukci | amba muhung sadarmi dados lantaran ||
Prabu Sakil sudah dalam keadaan pingsan ketika Empu Anggajali meraih tubuh Sang Prabu. Dibawanya tubuh Prabu Sakil ke daratan dan diusahakan agar Sang Prabu memuntahkan air dari perutnya. Dengan beribu pertanyaan dalam hati, Empu Anggajali terheran, kenapa manusia yang tegap penuh wibawa itu celaka di lautan. Ketika Prabu Sakil sudah tersadar, Empu Anggajali berkata;”Dirimu yang sentosa dan penuh wibawa, mohon maaf apabila hamba bertanya mengenai siapa diri tuan. Namun tenangkanlah diri tuan terlebih dahulu, karena tuan kini telah selamat. Karena kasih Tuhanlah tuan telah bisa kami tolong, dan hamba hanyalah berperan sebagai kepanjangan tangan Hyang Maha Suci”.
“Perkenalkanlah dahulu, hamba adalah Anggajali, seorang empu. Hamba merupakan keturunan dari Sang Hyang Wenang. Kemudian Sang Hyang Wenang adalah ayah dari Sang Hyang Wening. Hyang Wening adalah kakek buyut kami, sedangkan Hyang Ramaprawa
adalah kakek kami yang menurunkan ayah kami, Sang Hyang Ramayadi, yang juga seorang empu” demikian Empu Anggajali menerangkan sambil menenangkan Prabu Sakil agar ia dipercaya sebagai orang baik-baik.
Setelah kekuatan Prabu Sakil berangsur terlihat pulih, maka Empu Anggajali menanyai kembali Prabu Sakil;“Tuan, sepertinya tuan telah bisa mengatakan diri tuan sebenarnya sekarang”.
“Terus terang, aku adalah seorang raja dari Negara Najran. Aku bergelar Prabu Sakil. Aku terdampar disini karena kapalku pecah terhantam ombak besar ketika aku berlayar
menyamar sebagai seorang saudagar”. Prabu Sakil menjelaskan siapa dirinya yang membuat Empu Anggajali duduk dengan hormatnya.
Melihat kesopanan Sang Empu Anggajali, Prabu Sakil sangat merasa terhormat. Kelihatan, bahwa empu muda ini penuh dengan tatakrama yang membuat dirinya tertarik; ”Anak muda,
bila tanpa pertolonganmu, tidak akan aku hidup lebih lama. Aku ucapkan terima kasihku yang tak bisa diukur besarnya. Bahagialah bila anak muda bisa datang ke Negaraku bertemu
dengan keluarga besarku, istri dan anaku”.
Setelah berdiam sejenak, Prabu Sakil melanjutkan kata-katanya “Bersuka citalah anak muda di istanaku, dan lebih jauh lagi, bila anak muda berkenan, maka akan aku kawinkan dirimu dengan anaku, Ken Saka”.
Empu Anggajali adalah seorang keturunan dewa. Ia tidak ragu lagi apa yang akan terjadi di hadapannya. Maka ia menyanggupi pergi bersama Prabu Sakil pulang ke Kerajaan Najran. Dalam sekejap, keduanya mengarungi angkasa dan tiba di dalam istana. Singkat cerita, Sang Prabu Sakil telah menunaikan janjinya untuk membahagiakan Empu Aggajali dalam sebuah pesta mewah. Satu lagi janji juga ditunaikan, menikahkan anak wanitanya, Dyah Saka,
dengan Empu Anggajali.
Tidak lama, Sang Dewi Saka telah hamil. Ketika sudah mengandung tiga bulan, Empu Anggajali berpesan kepada ayah mertuanya:”Ayahnda, nanda pergi ke Tanah Hindustan. Bila nanti lahir anak hamba laki-laki, berikan dia nama Sangkala. Tetapi bila lahir perempuan, nanda serahkan ayah untuk memberi namanya”
“Hamba akan pulang ke Tanah Hidustan, tidak ada lain, karena kami sedang menjalani tugas dar Hyang Jagatnata untuk menyelesaikan senjata-senjata para dewa. Bila ananda mengabaikan tugas itu, maka tidak pelak nanda akan menerima murkanya”
Ayah mertua dan semua keluarganya apalagi istri Empu Anggajali sedemikian sedih bila terpisahkan. Tetapi Prabu Sakil tahu apa yang menjadi tugas menantunya. Dengan berat hati mereka mengantar kepergian Empu Anggajali.
Diceritakan, Dyah Saka sudah hamil hingga bulan ke duapuluh dua, tetapi si jabang bayi belum juga lahir. Segala japa dan doa sudah diucapkan serta segala usaha telah dilakukan,
tetapi semua tidak ada hasilnya. Hingga dua bulan kemudianlah, Dewi Saka melahirkan bayi pria yang sangat tampan. Prabu Saka mengikut pesan menantunya memberikan nama Jaka
Sangkala. Dewi Saka sangat mencintai anaknya yang masih satu-satunya serta memang sangat tampan.
Singkat cerita, Jaka Sangkala kini sudah berumur duabelas tahun. Ia dikenal luas sebagai anak yang sangat menguasai kaprawiran. Tidak heran, karena ia adalah masih trah dewa dan ketambahan lagi, ia adalah cucu dari Raja Najran. Walaupun demikian, ia juga senang berguru kerohanian dengan para ulama. Kecerdasannya sedemikian berkembang dengan
ukuran umur yang sangat muda.
Suatu hari, Jaka Sangkala menghadap ibunya:”Ibu, nanda mohon maa f. Sudah menjadi kejadian yang umum bahwa seseorang anak mempunyai ayah. Mohon ibu beritahu ananda, siapakan ayah kami, ibu?”
Pertanyaan anak lelakinya membuat si ibu meneteskan air mata. Terpikir akan suaminya dan saat ini mungkin yang paling tepat untuk memberitahu segala cerita masa lalunya kepada anaknya. Jaka Sangkala sangat gembira serta puas ketika sang ibu memberitahukan siapa ayahnya.
Dewi Saka semakin dalam kesedihannya ketika Jaka Sangkala mengutarakan maksudnya untuk menyusul ayahnya. Bahkan tubuhnya seperti terlolosi tulangnya. Akan tetapi, ia hanya bisa pasrah akan takdirnya.
Sang Dewi hanya bisa berkata lemah:”Anakku, tidaklah aku mengatakan tega kamu
tinggalkan ibu. Tidak lain, ibu hanya membekalimu doa agar keselamatan tetaplah ada pada dir imu. Matahari, angin, api semoga semua menjaga keselamatanmu, anakku”
Setelah berpamitan, Jaka Sangkala keluar dari istana dan terbang ke angkasa. Tidak lama kemudian, dari atas mega, ia melihat ada seorang yang mengambang diantara luasnya lautan, yang sedang membuat aneka macam senjata. Jaka Sangkala segera turun dan berdiri di depan orang itu. Empu Anggajali terheran melihat anak muda yang tiba-tiba saja ada di hadapannya. Empu Anggajali menanyakan keberadaan anak muda itu. ketika Jaka Sengkala menyebut namanya. Empu Anggajali segera mengenali anak muda itu dan betapa ia bahagia. Tidak sabar lagi dipeluknya anak muda itu:”Sungguh bahagia diriku. Kamulah sebenarnya anakku!”
“Siapakah dirimu Sang Empu, sehingga dirimu mengaku sebagai ayahku?” Tanya Jaka Sengkala terkaget dipeluk oleh Sang Empu.
Dengan tersenyum bahagia, Empu Anggajali berkata selanjutnya:”Akulah Empu Anggajali yang sedang kamu cari, Anakku. Kamulah cucu dari Hyang Ramayadi”
Bersimpuhlah Jaka Sengkala di hadapan Empu Anggajali. Sambil terheran ia kemudian ia melihat bagaimana Sang Empu, ayahnya, mengerjakan senjata buatannya. Semua senjata yang bertumpuk itu dibuat ayahnya hanya dengan memijit-mijit seperti layaknya membuat gulali. Dalam sekejab satu demi satu berbagai senjata telah selesai dibuat.
Maka bertanyalah kepada ayahnya kenapa senjata itu dengan gampangnya dibuat hanya dengan jari-