• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANGKUR, Paramayoga

Dalam dokumen Serat Paramayoga (Halaman 62-66)

sama rumitnya, seperti yang dilakukan ayah”

18. PANGKUR, Paramayoga

18. PANGKUR, Paramayoga

Sasraningrat.

Sasraningrat.

. lawan malih ulun nêdya | mèt warsita babaring sasmita wit | pangandikanta ing wau | mrih trang panggalih kula | Hyang Kaneka wangsul sabda dhuh Hyang Guru | panabdanta kang kawahya | dahat kawula pêpundhi

Kita beralih ke kahyangan dimana Sang Hyang Caturkanaka tinggal. Kahyangan dimana tinggal Sang Caturkanaka yang berkalang sedih karena penghuninya kehilangan istri

tercintanya. Di matanya masih saja terbayang tingkah polah istrinya. Bayangan istrinya itulah yang semakin lama semakin tampak tergambar, menegaskan bahwa istrinya itulah sejatinya musthika wanita yang tak tergantikan.

Tingkah polah Hyang Caturkanaka tidak terkendalikan oleh akalnya. Saking asmaranya yang tak terkendali itu, hingga ia mengeluarkan kamanya sebagai pelampiasan hasrat birahinya. Kama itu bahkan ditadahinya dengan cupu retna yang bernama Linggamanik. Cupu itu sendiri adalah pusaka tinggalan orang tuanya, Sang Hyang Darmajaka pada masa lalu. Hari berganti, Hyang Caturkanaka masih saja tetap tidak bisa melupakan istrinya yang hilang. Saat itulah cupu wadah kamanya kemudian dipasrahkan kepada putranya, Hyang

Kanekaputra. Dalam pikirannya, anak yang satu ini adalah anak yang diandalkan Hyang Caturkanaka, karena Hyang Kanekaputra adalah anak yang kesaktiannya diketahui melebihi kesaktian dirinya.

Diceritakan, Sang Hyang Kanekaputra yang gemar bertapa telah terjangikiti kebiasaannya, bertapa. Dengan pusaka Linggamanik di tangannya, Hyang Kanekaputra bertapa

mengambang di tengah luasnya samudra.

Hari berganti hari, semakin lama Hyang Kanekaputra dalam tapanya, badan wadagnya semakin memancarkan cahaya yang semakin gemilang. Cahaya itu akhirnya terlihat dari kaswargan yang ditempati oleh Sang Hyang Guru.

Maka perintah telah dijatuhkan. Ada beberapa orang utusan yang ditugasi untuk melihat benda apakah yang menguarkan cahaya di tengah lautan itu. Para dewa yang diutus itu berangkat melesat mendekati arah cahaya berasal. Disitulah mereka melihat, bahwa ada

sesosok manusia yang sedang dalam tekun tapanya.

Laporan telah disampaikan kepada Hyang Pramesthi Guru, maka kembali raja para dewa itu memerintahkan:”Baiklah, sudah jelas peristiwanya, bahwa yang bertapa itu adalah seorang resi. Segera panggil ia secepatnya!”.

Sekejap kemudian utusan itu telah sampai kembali di hadapan Hyang Kanekaputra. Salah satu utusan itu mencoba membangunkan tapa sang resi:“Heh Sang Resi, Aku mengemban tugas dari Hyang Girinata untuk memanggil dirimu agar segera datang ke hadapan rajaku”.

Yang ditanya masih saja tenang duduk mengambang dalam permukaan air laut. Berkali-kali para dewa membangunkan tapanya, tetapi semua perkataan para dewa diangap angin lalu.

Maka habislah kesabaran para dewa. Mereka mulai melakukan rudapaksa dan menyakiti tubuh Sang Kanekaputra dengan tangannya. Tidak mempan, Hyang Kanekaputra dikeroyok dengan aneka senjata terhunus. Namun usaha para dewa tidak bisa menyakiti Hyang Kanekaputra, bahkan mereka mundur dan berlari pulang dengan perasaan takut. Di hadapan Hyang Pramesthi Guru, mereka mengabarkan kegagalan usaha yang

diperintahkan. Tidak ada pilihan lain bagi Hyang Pramesthi Guru. Ia sendirilah yang harus berangkat menemui Hyang Kanekaputra. Sampai di hadapan Hyang Kanekaputra, kemarahan

Hyang Guru pecah;”Heh Sang Tapa, berterus teranglah, apa yang menjadi maumu berlaku tapa mati raga di permukaan samudra?”

Pertanyaan Bathara Guru tetap saja disikapi Hyang Kanekaputra dengan diam. Tahulah Bathara Guru akan maksud dari lawan bicaranya. Katanya kemudian:”Sang Resi, walaupun dirimu tidak sekeceppun menjawab pertanyaanku, tapi aku tahu pasti apa yang menjadi keinginanmu”.

Sejenak Hyang Guru menunggu apa yang terjadi, kemudian ia berkata kembali setelah tidak ada tanggapan apapun atas ucapannya :“Walau tidak terlahir dar i mulutmu, aku tahu, bahwa dirimu ingin, agar dapat menjadi pangeran di bumi. Dirimu ingin menyamai kekuasaanku. Kesombonganmu berharap disembah oleh seisi bumi, menjadi pangeran di tri buwana tidak

akan terjadi kerana aku adalah yang sudah dipastikan berkuasa. Kamukalah tua dibanding diriku. Diriku bersifat cahaya, sedangkan yang lebih tua dari diriku hayalah Sang Hyang Wasesa”.

Hyang Kanekaputra mendengar jawaban itu bangkit dan tertawa terbahak sembari berjoged lucu berkalangan. “Tidaklah pernyataanmu itu sama seperti apa yang ada pada pikiranku”,

terkekeh. “Kelirulah dirimu, Hyang Jagatnata yang diperraja segala makluk, yang

menganggap dirimu adalah Hyang Wisesa, dan menganggap dirimu adalah lebih tua tanpa ada yang mendahuluimu. Itu adalah suatu kesalahan besar yang kamu lakukan”.

“Kata-katamu tadi merupakan gambaran, bahwa dirimu tidak bisa disebut orang yang pinunjul. Sebab dirimu ternyata belum paham dengan ilmu kesempurnaan hidup. Orang yang

tidak mengerti akan kesejatian tunggal yang menjadi penyebab akan adanya Hyang

Wasesajati. Dialah Hyang yang sudah ada, yang memiliki tanda bahwa dia adalah yang bisa diupamakan sesuatu yang terdengar suaranya seperti halnya lonceng yang mengiang di telinga. Sedangkan kamu tidak tahu, siapakah yang menggerakkan genta itu sehingga ia berdentang”.

“Lagi pula ketika jagat masih kosong melompong dan masih belum terbentuk, apa yang ada pada masa itu? Kalau kamu tidak mengetahui! itu adalah tetanda betapa cacat dirimu sebagai raja seisi jagat”.

Seketika Bathra Guru terdiam. Ia merasa kalah dalam adu debat itu. sejenak kemudian baru ia dapat berbicara lirih:”Kakang Kanekaputra. Aku merasa tidak dapat merengkuh perlambang yang diungkap dalam pertanyaanmu. Bila ada kehendak kakang, sudilah kakang untuk

bergabung bersama kami di kaswargan. Akan aku tetapkan kakang menjadi sesepuh para dewa, dan kakang aku berikan wewenang untuk memerintah para raja diseluruh wilayah Hindu yang sudah tunduk kepadaku. Jangan kakang khawatir lagi mengenai diriku, karena

aku sudah kalah dalam pengetahuan. Aku akan berguru kepada kakang tentang semua hal yang kakang kuasai agar terang benderang wawasan mengenai rahasia sasmita alam yang sudah dipertanyakan olehku terhadap kakang Kanekaputra”.

“Sabda Yayi Bethara yang sudah terucap akan aku hormati. Aku akan turuti permintaan Adi Guru”. Jawab Kanekaputra melegakan.

Demkianlah, maka keduanya telah berjalan pulang menuju ke Kahyangan di gunung Kelasa. Keduanya diiringi oleh semua para dewa yang ikut dalam tugas menghentikan tapa Hyang Kanekaputra. Di Kahyangan itulah rembug keduanya kembali terjadi. Hyang Kanekaputra memberikan keterangan mengenai sasmita tama yang diterima oleh Hyang Guru dengan sejelas-jelasnya. Maka semakin tambahlah pengetahuan Hyang Guru dan semakin yakin akan ketetapan dirinya memberikan kepercayaan Hyang Kanekaputra sebagai sesepuh para dewa. Diberikannya gelar baru untuk Hyang Kanekaputra yaitu Hyang Narada.

***

Diceritakan, Sang Hyang Jagatnata sudah kembali berputra lagi yang lahir dari Dyah Uma Laksmi. Semua ada tiga anak, dan mereka dinamakan Sang Hyang Mahadewa dan adikanya Hyang Sakra dan bungsunya wanita dinamakan Dewi Sri.

Setelah beberapa lama berkahyangan di gunung Kelasa, Hyang Guru kembali ke gunung Tengguru. Segala kerusakan yang telah terjadi dahulu dibangun kembali dengan hasil yang tidak mengecewakan. Sementara itu, kaswargan masih lestari seperti semula bernama Junggringsalaka, Paparywawarna, Tejamaya dan juga bernama Marcukundha.

Diceritakan, para raja sudah mendengar, bahwa Sang Hyang Girinata sudah pulang kembali ke gunung Tengguru. Mereka gembira karena telah kembalinya sesembahannya. Dengan

demikian mereka kembali memperbaiki segala macam bangunan penyembahan den memuliakan tempat itu seperti dahulu.

***

Kembali ke cerita terdahulu. Yang bertahta menggantikan ayahnya yaitu Prabu Isaka kini sudah terhitung tahun yang ke empat puluh enam. Tahun itulah terjadi serangan besar menimpa Negara seperti yang terramalkan. Prabu Isaka kalah dalam penyerbuan musuh dan melarikan diri mengungsi masuk ke dalam hutan. Disitulah kemudian Prabu Isaka bertemu dengan ayahnya, Sang Bathara Anggajali yang sudah kembali menjadi dewa.

Sang Prabu Isaka telah diwangsit harus melakukan tapa brata di sebuah pulau yang sepi dan Prabu Isaka memenuhi perintah wangsit itu, pergi dari hutan dan berjalan menusuri pulau. Akhirnya sampai kemudian ia pada tempatnya semula setelah semua tempat dijelajahi. Ia takjub dalam hati setelah melintasi panjangnya perjalanan dari mulai tanah Aceh hingga ke pulau Bali. Daratan ini masih menjadi kesatuan dan pada pulau itu banyak tumbuh tanaman

sejenis jawawut. Dalam hatinya ia membenarkan apa yang disebut oleh Sang Hyang Pramesthi.

Juga ia membenarkan kata-kata orang tuanya, Prabu Isaka juga menyebutnya Pulau Jawa itu sebagai tanah jawawut. Artinya pulau yang memanjang itulah yang menyebabkan Sang Hyang Guru menamakan pulau itu sebagai Pulau Jawa. Dalam kesempatan penjelajahan yang hanya seratus hari itu, Sang Aji Saka juga berjalan sambil menamai sungai-sungai, gunung-gunung serta hutan-hutannya, hingga kembali ke tempat semula.

Yang lebih dahulu sebagai titik permulaan ia menyusuri pulau dinamakan Purwapada di Gunung Kendheng atau disebut sebagai Gunung Hyang. Tempat itu kemudian ia babat hutannya dan digunakan untuk membangun tempat tinggal. Saat itu adalah tahun Hindu waktu Sambrama berbarengan denga mongsa Sitra tanggal empatbelas hari Senin. Nama tahun itu masih lestari sebagai tahun sengkala. Waktu itulah Prabu Saka berganti nama sebagai empu Sangkala.

Saat itulah Sang Aji Saka mulai bertapa. Masih dalam tahun Sambrama bertepatan dengan mongsa Kartika diperingati sebagai kunir awuk tanpa jalu. Tahun sirah satunggal. Dan saat itulah kedua tahun berjalan antara tahun surya dan tahun rembulan.

Empu Sangkala masih tetap ada di Gunung Hyang bersamadi mengharap kepada Pangeran kang Luhung yang menitahkan seisi jagat. Terlihat kemudian tetanda diterimanya samadi Empu Sangkala berupa cahaya putih benderang. Di dalam cahaya itu tampak sesosok raksasa tangguh bernama Hyang Kala. Maka hari itu dinamakan hari Kala.

Hari berikutnya ada terlintas cahaya merah. Didalam cahaya itu terlihat seorang brahmana yang memberikan wangsit. Dialah sosok Sang Hyang Brahma. Hari itu kemudian dinamakan hari Brahma.

Masih dalam tapanya, hari berikutnya terlihat cahaya berwarna hitam. Di dalamnya Nampak sesosok pria tampan memberikan sabdanya. Dialah Sang Hyang Wisnu, dan hari itu

Hari berikutnya, Empu Sangkala dalam tekun tapanya tampak di matanya cahaya manca warna, dan di dalam cahaya itu terlihat seorang resi yang bersabda ke pada dirinya. Dialah Sang Hyang Guru. Maka hari itu dinamakan sebagai hari Guru. Kedatangan Hyang Guru dalam hari itu disertai putra-putranya yang memberikan ganjaran kepada Sang Empu Sangkala berupa kesaktian yang beraneka. Segalanya sudah terang benderang bagi Empu Sangkala, karena sudah mumpuni dalam segala kesaktian.

Setelah semua dewa yang datang kehadapannya menghilang, Empu Sangkala menata cara penembahnya. Hari Sri sebagai hari yang pertama menyembah menghadap ke arah timur.

Kemudian hari berikutnya, hari Kala, Empu Sangkala menembah kearah kiblat selatan. Kemudian pada hari Brahma, ia menembah ke arah barat, dan hari berikutya yang merupakan hari Wisnu ia menghadap ke arah utara. Sedangkan hari Guru ia menyembah menuju arah bumi.

Demikianlah cara penyembahan dari Empu Sangkala dalam memohon restu keselamatan diri kepada Hyang Guru beserta putra-putranya. Tak ada yang terlewat dalam berbakti di dalam sanggarnya di Gunung Hyang itu seperti layaknya ia sudah menyatu dalam kesatuan para dewata.

19.

19. DHANDHANDHANDHANGGULA, ParamayogaGGULA, Paramayoga

Dalam dokumen Serat Paramayoga (Halaman 62-66)

Dokumen terkait