• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Glaukoma Sudut Terbuka Primer

2.3. Mekanisme Kerusakan Sel Ganglion Retina

Berdasarkan beberapa mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diasumsikan bahwa kerusakan sel ganglion retina akibat:

1. Hambatan dari outflow axoplasmic

Dinamika humor akuous sangat penting pada glaukoma karena ketidaksesuaian antara produksi humor akuous dan outflow aquous akan menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli dan akhirnya akan mengakibatkan terjadinya glaukoma.

Humor akuous ini adalah cairan yang mengisi sudut bilik mata. Humor akuous ini diproduksi di nonpigmented epitel badan siliar. Badan siliar merupakan suatu struktur multifungsional yang terlibat langsung dalam proses produksi dan pengeluaran (outflow) humor akuous. Badan siliar juga bertanggung jawab untuk akomodasi, sekresi dan mempertahankan blood aquous barrier (Lisegang, et al., 2009).

Aliran humor akuous yang utama terletak pada trabekular meshwork. Apabila terjadi perubahan struktural dari trabekular meshwork akan mengakibatkan terjadi penebalan dari membran basal dan trabekular beam, hilangnya sel-sel endotel trabekular dan material trabekular seperti

pigmen granul yang akibatnya akan terjadi hambatan aliran humor akuous di trabekular meshwork sehingga dapat meningkatkan tekanan intraokuli dan mengakibatkan terjadi glaukoma (Caprioli, 1992).

Selain itu, peningkatan kerusakan DNA oksidatif pada komponen selular di trabekular meshwork dapat melibatkan regulasi dari struktur matriks ekstraselular dan regulasi dari tekanan intraokuli sehingga dapat mencetuskan terjadinya glaukoma (Brubaker, 1994).

2. Eksitotoksisiti glutamat

Glutamat adalah neurotransmitter eksitatorik yang melimpah dalam sistem syaraf dan diaktivasi oleh bermacam reseptor spesifik. Pembagian reseptor glutamat berdasarkan atas dua tipe dasar yaitu jenis saluran ion N-methyl D- Aspartate ( NMDA), Kainate dan Aminohidroksi Metillisoksazole Propionic Acid (AMPA) dan jenis ligan yaitu G protein- coupled ‘metabotropic’ glutamat reseptor (mGluR) (Greenstein, 2000; Wasman, 2007).

Fungsi reseptor NMDA adalah berkaitan dengan jenis saluran ion kation dimana ‘kation chanel’ memiliki permeabilitas terhadap Na+, K+, dan Ca2+. Saluran terbuka saat Glu berikatan pada reseptor dan aksi neurotransmitter dimodulasi oleh beberapa molekul lain. Glu membutuhkan glisin untuk berikatan dengan reseptornya. Aksi Glu dipotensiasi oleh poliamino dan modulasi blokade oleh Mg2+ ekstraseluler. Ketika membran sel mengalami depolarisasi, Mg2+ bergerak keluar dari saluran dan Glu terikat pada reseptornya dan saluran terbuka untuk dilalui

oleh Na+ dan Ca+

Secara fisiologis, reseptor NMDA bertanggung jawab terhadap signal neuron, ekspresi gen, plastisitas sinaptik, pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel. Eksitasi masif reseptor Glu khususnya pada reseptor NMDA menyebabkan kematian sel yang kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi Ca intraseluler yang meningkat berlebihan di dalam intrasel (Squire, 2008; Kahle & Frotsher, 2003).

. Jika konsentrasi glisin terlalu rendah kemampuan Glu membuka saluran akan berkurang ( Squire, 2008; Kahle & Frotscher, 2003).

Demikian juga halnya pada mata, eksitoksisitas sel-sel ganglion retina disebabkan oleh overstimulasi reseptor glutamat yang disebut N- methyl-D-aspartat (NMDA). Eksitotoksin ini bekerja pada channel NMDAR, terjadi perubahan permeabilitas dinding sel dengan meningginya kalsium dan sodium intrasel dan aktivasi kalsineurin. Akibat adanya pelepasan glutamat pada trauma, ion Na akan masuk ke dalam sel dan diikuti oleh ion Cl dan air, akibatnya sel membengkak. Hal ini merupakan fase akut pada trauma neuron. Selanjutnya pada fase kedua akan terjadi influx ion Ca2+ yang dapat mengganggu homeostasis ion Ca sendiri yang menyebabkan reaksi biokimia yang abnormal. Akibatnya terjadi pelepasan enzim cytotoksis seperti protease, endonuklease, dan lipase yang dapat merusak membran sel serta terjadi akumulasi radikal bebas yang akan mengganggu fungsi metabolik sel sehingga akan mengakibatkan gangguan berat fungsi normal sel (Kuehn, et al., 2005). Peningkatan jumlah glutamat dijumpai di korpus vitreous pada penderita glaukoma

yang jumlahnya cukup tinggi. Pada studi hewan coba, dilakukan pemeriksaan jumlah glutamat pada tikus yang menderita glaukoma dan didapati peningkatan jumlah glutamat 7 kali melebihi normal pada vitreous posterior. Sampai saat ini belum pasti apakah jumlah glutamat yang berlebihan pada vitreous ini menyebabkan kerusakan dari jaringan dan apakah jumlah glutamat yang berlebihan ini dapat menyebabkan progresifitas dari kerusakan sel-sel ganglion retina pada studi hewan coba tikus yang terpapar glaukoma (Kuehn, et al., 2005).

3. Radikal Bebas

Eksitotoksisitas dan stress oksidatif adalah dua proses yang berhubungan satu sama. Berdasarkan penelitian Gomberg dan ilmuwan lainnya, istilah radikal bebas diartikan sebagai molekul yang relatif tidak stabil, memunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya. Molekul tesebut bersifat reaktif dalam mencari pasangan elektronnya. Jika sudah terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai dan menghasilkan radikal bebas baru yang akhirnya jumlahnya terus bertambah (Boveris, et al., 2000).

Oksigen yang kita hirup akan diubah oleh sel tubuh secara konstan menjadi senyawa yang sangat reaktif, dikenal sebagai senyawa reaktif oksigen yang diterjemahkan dari Reactive Oxygen Species (ROS) atau Spesis Oksigen Reaktif (SOR), satu bentuk radikal bebas. Peristiwa ini berlangsung saat proses sintesa energi oleh mitokondria atau proses detoksifikasi yang melibatkan enzim sitokrom P-450 di hati. Produksi SOR secara fisiologis ini merupakan konsekuensi logis dalam kehidupan

aerobik. Sistem defensif dianugerahkan terhadap setiap sel berupa perangkat antioksidan enzimatis. Antioksidan enzimatis endogen pertama kali dikenal dengan nama superoksida dismutase (SOD). Hanya dalam waktu singkat setelah teori tersebut disampaikan, ditemukan enzim-enzim antioksidan endogen lainnya seperti glutation peroksidase dan katalase yang mengubah hidrogen peroksidase menjadi air dan oksigen (Boveris, et al., 2000).

Stres oksidatif (oxidative stress

• Kekurangan antioksidan

) adalah ketidakseimbangan antara radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi umum:

• Kelebihan produksi radikal bebas

Keadaan stress oksidatif membawa pada kerusakan oksidatif mulai dari tingkat sel, jaringan hingga ke organ tubuh, menyebabkan terjadinya percepatan proses penuaan dan munculnya penyakit.

Saat oksigen hilang dalam lingkungan mikro, sel akan mengalami kerusakan karena hipoksia, fosforilasi oksidatif mitokondria dan spesies oksigen reaktif (SOR) yang banyak terakumulasi. Akibatnya pertahanan dan jumlah oksidan akan berkurang sehingga terbentuk radikal bebas yang akan merusak membran sel yang akan bereaksi dengan low-density lipoprotein (LDL)-cholesterol menjadi bentuk yang reaktif. Kerusakan membran akan merubah potensial membran, aktivasi mediator proapoptotik dan terjadi kerusakan langsung pada DNA dan protein

(Scholp, et al., 2004). Endotelial retina merupakan sumber kedua terbesar xanthine oxidase (XOD) dan cyclooksigenase (COX).

Pemahaman ilmiah tentang hubungan radikal bebas dengan antioksidan baru muncul pada tiga hingga empat dekade terakhir ini. Hingga kini, berbagai uji kimiawi, biokimia, klinis dan epidemiologi banyak mendukung efek protektif antioksidan terhadap penyakit akibat stress oksidatif (Boveris, et al., 2000).

Pada glaukoma, terjadinya kerusakan oksidasi DNA di trabekular meshwork akan menyebabkan terjadinya perubahan regulasi dari matriks ekstrasellular dan regulasi tekanan intra okuli sehingga menyebabkan terjadinya glaukoma. Sel endotelial trabekular meshwork ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pada sitokin dan terjadi hambatan humor akuous ke kanalis sklemmi yang akhirnya mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intra okuli (Haefiger, et al., 2001).

Dalam satu penelitian, kerusakan DNA pada sel-sel trabekular meshwork pada penderita glaukoma lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan grup kontrol. Penelitian lebih lanjut meneliti bahwa nilai oxidative nucleotida modification (8-OH-dG) pada sel trabekular meshwork manusia berkorelasi dengan adanya peningkatan tekanan intraokuli dan kerusakan lapangan pandang (Flammer, 2002).

4. Toksisitas Nitrit Oksida

Nitrit oksida atau nitrogen oksida adalah suatu gas tak berwarna, tanpa oksigen dan larut dalam air. Gas nitrogen oksida dihasilkan dari asam amino L arginin oleh enzim nitric oxide synthesa dalam sel-sel

mammalia termasuk manusia dan berfungsi sebagai mediator biologis yang memungkinkan sel-sel berhubungan satu sama lainnya. Nitrogen oksida diproduksi oleh sel-sel endotelium yang berperan mengendalikan tonus pembuluh darah, aliran darah, tekanan darah, fungsi platelet, gerakan saluran pernafasan dan pencernaan. Nitrogen oksida dalam jumlah banyak terbentuk karena respon sistem imunitas untuk mempertahankan diri, tetapi dapat juga menimbulkan perubahan patofisiologis (Valiance & Coller, 1998).

Nitrit oksida juga berfungsi sebagai mediator pada proses fisiologis dan patofisiologis pada mata, contohnya pada pembentukan humor akuous, vascular tone, neurotransmisi retina, kematian sel-sel ganglion retina oleh karena apoptosis (Haefliger, 2002).

Pada mata, nitrit oksida dapat dijumpai di berbagai jaringan. Endotelial nitrit oksida sintesa dapat ditemukan pada endotel vaskular dan otot halus dari segmen anterior, koroid dan retina (Osborne, et al., 1993).

Pada segmen anterior, nitrit oksida mengatur respon selular pada konjungtiva, trabekular meshwork dan muskulus siliaris. Nitrit oksida juga berperan pada regulasi dinamika humor akuous dan pathway aliran humor akuous (Nathanson & Mc Kee, 1995).

Nitrit oksida memunyai efek terhadap progresifitas glaukoma. Pengurangan aktifitas dari nitrit oksida sintesa (NOS) di muskulus siliaris dan pathway dari outflow humor akuous dijumpai pada penderita glaukoma primer sudut terbuka. Keadaan abnormal ini dapat berhubungan dengan terjadinya glaukoma (Nathanson & Mc Kee, 1995).

Pada suatu studi, nitrit oksida sintesa (NOS2) dijumpai pada syaraf optik astrosit pada manusia dan pada syaraf optik tikus coba yang menderita glaukoma sedangkan pada yang normal tidak dijumpai. (Haefliger, 1999).

5. Apoptosis

Apoptosis pertama diidentifikasikan sebagai bentuk kematian sel berdasarkan kepada morfologinya. Penelitian mengenai insiden biokomiawi dan genetik merupakan prediksi dari peranannya dalam mengontrol sel yang ditentukan secara genetik dan alamiah sehingga kontrol genetik dan mekanisme biokimia dari apoptosis menjadi lebih dimengerti dalam perkembangan dan strategi terapi yang mengatur kejadian dalam proses penyakit (Carson & Riberto, 1993)

Tiga dekade terakhir ini, dua bentuk sel mati berbeda secara mendasar yaitu apoptosis dan nekrosis dan telah didefinisikan dalam istilah morfologi, biokimia dan insidennya. Dalam keadaan normal, sel-sel tubuh dapat memberikan respon atau adaptasi terhadap lingkungannya. Bila aktivitas yang dilakukan sel tersebut meningkat, atau stimulus yang diterimanya meningkat, maka untuk mencapai keseimbangan dalam merespon hal tersebut, sel akan mengalami hipertropi. Sebaliknya bila stimulus berkurang atau terjadi penurunan aktivitas sel, maka sel tersebut akan mengalami atropi (Cotran, 1999).

Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi

chromatin, fragmentasi sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya (Cotran, 1999).

Ada berbagai bukti yang menyatakan kontrol apoptosis dikaitkan dengan gen yang mengatur berlangsungnya siklus sel, diantaranya gen p53, Rb, Myc, E1A dan keluarga Bcl-2. Gangguan regulasi dan proliferasi sel baik akibat aktivitas onkogen dominan maupun inaktivasi tumor suppressor genes berhubungan dengan kontrol apoptosis. Dalam literatur lain menyebutkan apoptosis merupakan suatu bentuk kematian sel yang didesain untuk menghilangkan sel-sel host yang tidak diinginkan melalui aktivasi serangkaian peristiwa yang terprogram secara internal melalui serangkaian produk gen (Goepel, 1996).

Pada hakekatnya kematian sel (apoptosis) dapat terjadi karena rangsangan atau jejas letal yang berasal dari luar ataupun dari dalam sel itu sendiri (bersifat aktif ataupun pasif). Proses kematian yang berasal dari luar sel dan bersifat pasif dapat tejadi karena jejas atau injury yang letal akibat faktor fisik, kimia, iskemik maupun biologis (Chen, 2003). Faktor- faktor toksik ini yang akan memicu terjadinya apoptosis. Pada proses iskemik, terjadi mekanisme autoregulasi yang abnormal sehingga tidak dapat mengkompensasi perfusi yang kurang sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli (TIO) (Lewis, 1993).

Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kematian/kerusakan sel-sel ganglion retina pada glaukoma adalah apoptosis. Apoptosis ini dapat dipicu oleh kombinasi faktor biokimia yang diproduksi sebagai hasil akhir peningkatan TIO dan penurunan perfusi.

Maka idealnya secara terapeutik pada glaukoma, kita menginginkan untuk menurunkan kematian/kerusakan syaraf optik akibat peningkatan TIO dan penurunan perfusi lebih lanjut dan menurunkan tekanan intraokuli.

Dokumen terkait