• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Glaukoma Sudut Terbuka Primer

2.4. Progresifitas glaukoma

Kejadian penyakit neurologis termasuk glaukoma dapat menyebabkan kerusakan neuron primer maupun kerusakan neuron sekunder. Kerusakan ini dapat berlanjut terus atau merupakan hasil sekunder akibat kejadian iskemik, eksitotoksisiti glutamat, radikal bebas dan nitrik oksida sehingga progresifitas glaukoma terus berlanjut yang akhirnya mengakibatkan apoptosis.

Menurut Shaban & Demirel, et al, 2009, dalam menilai progresifitas glaukoma sudut terbuka primer ada 3 penilaian klinis (parameter) yang harus dilakukan yaitu:

1. Pemeriksaan syaraf optik dan lapisan serabut syaraf retina

Pada glaukoma sudut terbuka primer dijumpai asimetris dari neuroretinal rim atau cupping, ekskavatio neuroretinal rim, perdarahan syaraf optik. Saat ini dengan kemajuan tekhnologi digunakan satu alat yang dinamakan OCT (Optical Coherence Tomography) yang dapat menilai sel-sel ganglion retina dan syaraf optik.

Optical Coherence Tomography (OCT) adalah alat bantu diagnostik non kontak, non invasif dan tidak memerlukan imersi, menampilkan irisan jaringan hidup, yang beroperasi dengan prinsip inferometri menggunakan sinar inframerah koherensi rendah sekitar 40Um dengan panjang

gelombang antara 800-830 nm, yang diserap oleh jaringan tertentu, dilengkapi dengan kamera khusus untuk menangkap refleksi sinar dan menghasilkan image atau bayangan dari jaringan histologis dengan resolusi tinggi (Bancato & Lumbroso, 2004). Kehadiran OCT telah terbukti sangat berguna dalam membantu menegakkan diagnosa, evaluasi, penatalaksanaan berbagai kelainan mata dan juga penelitian.

Di bidang ilmu kesehatan mata, OCT banyak membantu menegakkan diagnosa, pemantauan terapi, pemantauan perjalanan penyakit, dokumentasi serta penjelasan kepada pasien di bidang glaukoma, retina dan kornea (Hong&Sun, 2010). OCT ini dapat menguraikan lapisan demi lapisan serabut syaraf tanpa efek samping yang merugikan. Stratus OCT memiliki resolusi aksial yang lebih tinggi sekitar 9 sampai 10 mikron pada jaringan.Sistem Stratus dapat menghasilkan gambar OCT yang sangat mendetail dari retina. Stratus OCT ini memliki sensitivitas lebih dari 80% dan spesifisitas lebih dari 95%. (Christoph&Hitzenberger, 2003). Di bidang glaukoma, OCT sangat membantu dalam menegakkan diagnosa, mengetahui derajat keparahan kerusakan papil syaraf optik dan kerusakan lapisan serabut syaraf retina akibat glaukoma dan menjadi alat screening yang andal dan sahih untuk glaukoma pra perimetrik yang mampu mendeteksi kerusakan 5 tahun lebih awal ( Dexter & Barton, 2011).

Dewasa ini OCT adalah teknik pilihan untuk memeriksa dan mengukur lapisan serabut syaraf retina yang dapat dijadikan marker terhadap degenerasi aksonal dan untuk pemantauan pengobatan

neuroprotektif (Zaveri, et al., 2008). Analisis diskus optikus pada Stratus OCT yang dilakukan berdasarkan Fast Optic Disc Scan dan Fast Macular Thickness ( Fast Macular Map dan Fast Retinal Nerve Fiber Layer 3,4 Thickness) .

Pemeriksaan tersebut menggunakan 6 garis berukuran 4 mm untuk mendapatkan data cross sectional dari diskus optikus. Analisis ONH berguna untuk memeriksa dan mengukur syaraf optik dari masing-masing 6 scan tersebut secara tunggal maupun berbarengan.Hasil analisis terdiri dari gambaran tunggal atau gambaran gabungan dari hasil semua scan. Algoritme mendeteksi dan memperlihatkan lokasi bagian atas dan dalam RPE pada setiap sisi diskus optikus. Titik referensi diskus diindikasikan dengan gambaran silang di dalam lingkaran yang berwarna biru, dimana sebuah garis yang menghubungkan titik-titik referensi tersebut merupakan diameter diskus. Reference plane (garis offset cawan) ditentukan oleh sebuah garis yang paralel terhadap garis diameter diskus dengan offset 150 Um ke anterior (garis putih). Luas rima neuroretina (daerah merah) pada potongan melintang diestimasikan oleh luas yang dibatasi reference plane sebagai batas posterior dan garis yang tegak lurus terhadap ujung diameter diskus sebagai batas lateral. Lebar syaraf optik pada diskus (garis kuning) di masing-masing sisi ditandai dengan garis lurus dari setiap titik referensi ke titik yang paling dekat pada permukaan anterior. Analisis data dilakukan terhadap masing-masing scan dan disatukan manjadi hasil pengukuran ONH gabungan termasuk volume lebar rim keseluruhan (integrasi dari luas rim vertikal pada potongan melintang),

lebar rim keseluruhan (dikalkulasikan berdasarkan integrasi dari rata-rata lebar syaraf pada diskus), luas diskus, luas cawan, luar rima (luas rim-luas cawan), rasio cawan diskus vertikal, horisontal dan rasio luas, dan volume cawan (Bowd, et al., 2000).

Analisis selular OCT juga mampu menampilkan lapisan demi lapisan potongan melintang area sekitar papil 360 derajat dengan resolusi tinggi. Analisis numerik ketebalan LSSR mengacu kepada “ISNT rule” atau inferior, superior, nasal dan temporal rule yang merupakan acuan standar yang digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda awal dari neuropati optik. Struktur seluler LSSR kuadran superior dan inferior adalah yang paling sensitif terhadap perubahan tekanan bola mata dan cenderung menjadi indikasi awal terjadinya glaukoma dan menjadi tanda glaukoma pre perimetrik yang belum terdeteksi oleh pemeriksaan lapangan pandang. Namun ketebalan kuadran lainnya juga memberikan arti penting dalam fungsi penglihatan yang juga perlu dicermati (Kaushik & Pandav, 2010). Dalam melakukan pemeriksaan OCT, salah satu yang harus diperhatikan adalah kejernihan optik. Wong, et al., (2010), melaporkan bahwa kekeruhan media optik dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan OCT. Kekeruhan media yang ada dapat menurunkan kekuatan sinyal optik sinar OCT. Kekuatan sinyal berkisar 0 hingga 10. Sinyal dibawah 6 menandakan hasil pengukuran yang kurang sahih dan kurang terpercaya. Maka kekuatan sinyal adalah hal yang penting yang harus diperhatikan dalam interprestasi hasil pemeriksaan (Lumbroso & Rispoli, 2009).

Gambar 2.1. Gambar Stratus OCT

2. Pemeriksaan lapang pandangan

Pada glaukoma sudut terbuka primer dijumpai adanya kerusakan lapang pandangan. Lapang pandangan monokular berbentuk ellips, meliputi 60 derajat di superior, 75 derajat di inferior, 60-65 derajat di nasal dan 100-110 derajat di temporal. Luas lapang pandangan binokular meliputi 180 derajat melewati garis horizontal, 120 derajat bagian tengah dapat dilihat secara simultan oleh kedua mata, sedangkan 30 derajat di bagian perifer hanya dilihat oleh satu mata. Hilangnya lapang pandangan tidak bersifat spesifik karena ada kelainan lain yang dapat menyebabkan hilangnya lapang pandangan, namun pola hilangnya lapang pandangan, progresifitas dan korelasinya dengan perubahan optik disk merupakan karakteristik dari glaukoma. Hilangnya lapang pandangan pada glaukoma terutama melibatkan 30 derajat sentral dari lapang pandangan.

3. Pengukuran tekanan intraokuli

Tekanan intraokuli normal berkisar 10-21 mmHg. Berdasarkan American Academy of Ophthalmology, tekanan intraokuli pada glaukoma sudut terbuka primer > 21 mmHg.

Pada glaukoma sudut terbuka primer untuk menentukan sudut bilik mata maka dilakukan pemeriksaan sudut bilik mata dengan menggunakan gonioskopi, dijumpai sudut bilik mata terbuka (Lisegang, et al., 2010).

Dewasa ini para peneliti tertarik kepada petanda spesifik kerusakan syaraf optik untuk mengetahui patogenese, diagnosa dan kejadian neurologis. Sampai saat ini ada beberapa petanda biokemis pada glaukoma, antara lain:

a. Glutamat eksitotoksisiti

b. Petanda stress oksidatif: Malonildialdehyde (MDA)

c. Redox Enzyme: Catalase, Gluthathion Peoxidase (GPx), Superoxide Dismutase (SOD)

d. Nitrix Oxide (NO)

e. Petanda kematian sel : TNF f. Petanda inflamator : Interleukin 6

g. Petanda stress protein selular : Heat Shock Protein (HSP 70)

2. 5. Stress Oksidatif Marker Malonildialdehyde (MDA)

1. Sumber-sumber penghasil radikal bebas

Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologis normal, namun pelepasannya meningkat pada saat iskemia, reperfusi, reaksi inflamasi dan penyakit neurodegeneratif. Sumber-sumber endogen terbentuknya radikal bebas meliputi sistem NADPH oksidase, reaksi fosforilasi oksidatif, enzim oksidasi dan metabolisme arakhidonat, sedangkan sumber

eksogen terbentuknya radikal bebas adalah radiasi ionisasi, merokok, paparan polutan dan sinar ultraviolet (Droge, 2002, Young, 2001).

Stress oksidatif adalah ketidakseimbangan antara prooksidan dengan antioksidan, dimana produksi radikal bebas melebihi kemampuan penghambat radikal alamiah atau mekanisme scavenging (pembersih). Mekanisme penghambat radikal bebas terdiri dari antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen terdiri dari superoksid dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx), katalase, sedangkan antioksidan eksogen terdiri dari vitamin C, betakaroten dan vitamin E (Block, et al., 2002).

Gambar 2. 2: Sumber eksogen dan endogen radikal bebas (Droge, 2002; Young, 2001).

Faktor lain yang sangat berbahaya pada stress oksidatif adalah kandungan PUFA (polyunsaturated fatty acid) yang tinggi hampir 50% dari

struktur jaringan otak. Jaringan otak mengandung asam askorbat 100 kali lipat dibandingkan dengan pembuluh darah perifer, tetapi memunyai enzim katalase, gluthation peroxidase yang lebih rendah daripada jaringan lainnya, yang dapat meningkatkan terjadinya resiko stress oksidatif. Radikal bebas merusak sel dengan bereaksi dengan makromolekuler sel melalui proses peroksidase lipid, oksidase DNA dan protein (Block, et al., 2002).

Kerusakan pada DNA baik disebabkan radikal bebas maupun peroksinitrit mengakibatkan terbentuknya single strand break DNA dan struktur ini akan mengaktifasi poli ADP ribose polimerase (PARP). Aktifasi PARP mengakibatkan berkurangnya adenin nukleotida yang akan menghambat fungsi mitokondria, sehingga terjadi penurunan ATP sel dan mengakibatkan kematian sel. PARP juga dapat mengaktivasi apoptotic inducing factor (AIF) di mitokondria. Mekanisme ini juga didukung dengan berkurangnya infark pada otak tikus yang diterapi dengan PARP inhibitor. Oksidasi protein oleh radikal bebas membentuk karbonil grup atau disulfid, dan juga sebagai reduktan, menyebabkan formasi S-H dari ikatan S-S. Kerusakan pada protein terutama bentuk enzim akan mengganggu fungsinya (Lipton, et al., 1999).

Gambar 2. 3: Metabolisme asam arakhidonat dan peroksidase lipid (Lipton, et al., 1999)

2. MDA sebagai hasil utama peroksidasi lipid akibat stress oksidatif PUFA yang banyak terdapat pada membran sel menjadi target utama oksidan, karena sangat rentan terhadap terjadinya autokatalisis peroksidasi. Pada kondisi suhu fisiologis abstraksi ion H selama fase propagasi jauh lebih siap pada bentuk PUFA daripada monosaturated lipids. Hal ini terjadi akibat terlepasnya ikatan dengan menggunakan energi yang rendah sebesar ~ 10 kcal/mol dibanding bentuk yang monosaturated. Adanya ikatan ganda pada jembatan metilen (-CH2-) grup pada PUFA membuat lemah ikatan C-H pada atom karbon dan memfasilitasi lepasnya atom hidrogen. Peroksidasi lipid merupakan rangkaian reaksi yang terjadi dalam 3 fase (Favier, et al., 1995).

Diawali dengan fase inisiasi, terjadi abstraksi ion H dari ikatan C-H lipid dengan paparan oksidan dan terbentuk carbon centred lipid radical. Kemudian diikuti dengan fase propagasi yang merupakan bagian yang kompleks dimana radikal lipid dengan cepat mengalami penggabungan dengan O2 dan terbentuk radikal peroksid. Reaksi kedua pada fase ini membuat peningkatan jumlah yang dramatis sehubungan dengan adanya abstraksi ion H dari lipid oleh radikal peroksid membentuk lipid hidroperoksidase. Penggabungan O2 dengan lipid radikal yang baru terbentuk menambah jumlah peroksidasi membran lipid. Akhirnya rangkaian peroksidase berakhir dengan satu atau lebih reaksi terminasi (Burcham, 1998). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut ini.

Gambar 2. 4: Tiga fase reaksi berantai peroksidase lipid (Burcham, 1998) .

Alternatif lain, propagasi radikal akan bereaksi dengan pembasmi radikal dan terbentuk non propagasi radikal yang terjadi akibat adanya transfer dari elektron yang tidak berpasangan pada antioksidan. Tergantung struktur kimia prekusor lipid, berbagai produk terbentuk

selama fase propagasi dan teminasi. Hasil dari radikal asam lemak lebih stabil dengan terbentuknya diene terkonjugasi, kemudian diikuti terbentuknya produk yang lebih stabil seperti hidroperoksida, alkohol, aldehid dan alkane. Banyak dari produk ini ditemukan dalam cairan tubuh. Kelompok karbonil yang terbentuk pada proses peroksid lipid berupa n alkenals (propanal, butanal, pentanal, heksanal dll), 2-alkenal (acrolein, pentenal, heksenal dll), 2-4 alkadienals (heptadienal, oktadienal, dekadienal), 4-hidroksi- 2,5-undekadienal, 5- hidroksi oktanal, 4-hidroksi-2 alkenals, dan malondialdehid. Komponen utama yang ditemukan dalam sampel biologis pada berbagai kompartemen cairan tubuh adalah MDA, heksanal, dan HNE (Favier, et al., 1995).

Produk peroksidasi lipid diinduksi oleh oksidan dan stres oksidatif menghasilkan produk dengan variasi yang luas, termasuk RCCs ( Reactivecarbonyl compounds) dan produk yang lebih stabil seperti keton dan alkane. RCCs seperti aldehid dan dikarbonil, termasuk hidroksialkane, akrolein, MDA, glyoxal dan methylglyoxal, sebagai komponen biologis yang banyak dibahas. Aldehid bereaksi dengan protein pada sel dan jaringan dan terbentuk adducts protein termasuk dalam kelompok ALEs (advanced peroxidation end products) yang akan menyebabkan disfungsi protein dan perubahan respon seluler. Kadar oksidasi dan bentuk adduct protein dalam kondisi fisiologis menjadi rendah dan meningkat dengan bertambahnya umur (Salvayre, et al., 2008), seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5: Tahapan skematis peroksidase lipid yang menghasilkan bentuk produk sekunder dan adducts formations (Salvayre et al., 2008).

MDA merupakan hasil utama peroksidasi asam arakhidonat, eicosapentaenoic dan docosahexaenoic. HNE juga merupakan produk yang dihasilkan oleh proses peroksidasi pada 2 PUFA yang banyak didapatkan (asam arakidonat dan linoleat), namun jumlah yang dihasilkan lebih sedikit dibanding MDA. Dimana produksi HNE 80 kali lebih rendah dibanding MDA pada beberapa sistem. MDA juga terbentuk selama biosintesis eicosanoid biosintesis, seperti pada metabolisme prostaglandin H2 oleh tromboksan atau prostasiklin (Burcham, 1998). Lipid

hidroperoksida dan aldehid juga dapat diabsorbsi dari makanan, dimana beberapa makanan yang mengandung MDA amino acid adduct dapat diabsorbsi melalui usus dan diekskresi lewat urin (Halliwel, 2004)

Efek sitotoksik pada kultur sel (pada sel fibroblas dan endotelial) berturut-turut berkurang 2,4-decadinal> hidroperoksida asam linoleat> 2,4- non adienal> HNE> 2 alkena(C6 – C9) > alkanals(C5,C6). Formaldehid, asetaldehid dan MDA memunyai toksisitas lemah. Sebagai contoh fibroblas kulit yang diberi paparan 120 – 100mmol MDA tidak mengalami lisis, tetapi mereka menunjukkan perubahan morfologi, mikro dan multinuklear, pengurangan DNA, RNA dan sintesis protein (Esterbauer, 1993).

Gambar 2. 6: Rumus bangun MDA

Kadar MDA diukur dengan menggunakan spektrofotometri. Kadar MDA dapat diperiksa baik di dalam plasma, jaringan maupun urin. Kadar MDA pada orang normal kurang dari 1,03 nmol/ml dan 2 kali nilai tersebut adalah patologis

3. MDA sebagai petanda biologis stres oksidatif

Menurut NIH Biomarker Working Group (1998), definisi penanda biologis adalah suatu karakteristik yang bisa diukur dan dievalusi sebagai indikator proses biologis normal, proses patologis dan respon farmakologis terhadap intervensi terapi (Donne, et al., 2006).

WHO International Programme on Chemical Safety (ICPS) memberikan definisi sebagai suatu substansi, struktur atau proses yang dapat diukur pada tubuh dan produk-produk tersebut dapat berpengaruh atau memprediksi insiden keluaran atau penyakit. Sebagai prediktor suatu penyakit harus memunyai validitas berupa sensitifitas, spesifisitas dan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor tambahan lainnya seperti tidak invasif dan reproducible (Donne, et al., 2006).

Validasi petanda biologis membutuhkan beberapa tahapan yang berbeda. Satu tahapan yang meliputi pengembangan prosedur, analisis referensi material, dan kontrol kualitas. Tahapan yang lain dengan melihat adanya perubahan konsentrasi petanda biologis menyebabkan perkembangan penyakit. Perkembangan terakhir mengenai petanda biologis, belum didapatkan yang memenuhi semua persyaratan yang ideal, hanya didapatkan yang satu lebih baik dari yang lainnya. Banyak petanda biologis stress oksidatif dan status antioksidan telah dievaluasi, tetapi hanya sedikit dilakukan validasi untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas secara sistematis dengan menggunakan model hewan coba (Donne, et al, 2006).

BOSS (Biomarker oxidative Stress study) tahun 2002, merupakan penelitian terakhir yang secara lengkap dilakukan, yang disponsori dan diorganisir oleh National Institute of Environmental Health Sciences (NIEHS) di Amerika Serikat, yang merupakan penelitian komprehensif pertama untuk menilai beberapa marker stress oksidatif dengan model

yang sama untuk menentukan petanda biologis yang tidak invasif, memunyai spesifisitas, sensitifitas dan selektifitas terbaik. Dengan model pada hewan coba tikus yang diberikan CCl4 yang dapat menginduksi terbentuknya kerusakan jaringan akibat radikal bebas. Efek kerusakan yang dilihat dari produk hasil peroksidasi lipid, protein dan DNA diukur dari sampel plasma darah dan urin, dan dinilai hubungan dengan dosis dan waktu. Berbagai substansi yang diteliti meliputi lipid hidroperoksida, thiobarbituric acid reactive substancector (TBARS), MDA, isoprostan, protein karbonil, 8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OhdG), leukocyte DNA- MDA adduct dan DNA strand break. Peneliti menyimpulkan kadar plasma MDA, kadar isoprostan dalam plasma dan urin, sebagai petanda biologis stress oksidatif yang reliabel (Kadiska, et al., 2005).

MDA dan 4 hydroxynonenal (HNE) merupakan produk utama hasil oksidasi PUFA dan MDA merupakan salah satu yang paling sering digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid. MDA juga digunakan secara luas sebagai petanda biologik stress oksidatif, sensitif, dan bisa digunakan pada penelitian dalam jumlah besar. MDA merupakan produk peroksidasi lipid yang relatif konstan terhadap proporsi peroksidasi lipid, oleh karena itu merupakan indikator yang tepat untuk mengetahui kecepatan (rate) proses peroksidasi lipid in vivo (Block, at al., 2002).

TBARS (thiobarbituric acid reactive substancector) pada tubuh manusia bukan produk yang spesifik. TBARS dapat bereaksi dengan aldehid yang lain termasuk MDA. Dengan metode HPLC/mass spektrofotometri yang dapat memisahkan ikatan MDA - TBA dengan

kromogen pengganggu lainnya, sehingga akan meningkatkan sensitifitas, spesifitas dan reproducibility. Derivat ketiga spektrofotometri akan mengeliminasi interferensi substansi lain (alkana, 4-hidroksinonenal dan komponen biologis lain) (Donne, et al., 2006).

4. MDA dan glaukoma

Mekanisme oxidation-reduction memunyai peranan yang penting pada mata. Radikal bebas dapat menyebabkan perubahan molekuler yang besar pada mata terutama pada glaukoma, katarak, age related macular degeneration (Moteno, et al., 2004).

Pada glaukoma, terjadinya peningkatan tekanan intraokuli dan kerusakan lapang pandangan dikatakan berhubungan dengan terjadinya kerusakan oksidatif DNA pada trabekular meshwork. Penemuan ini dapat dijadikan sebagai dasar bahwa stress oksidatif berhubungan dengan patogenese terjadinya glaukoma (Sacca, et al., 2007).

Salah satu radikal bebas yang dapat dijadikan sebagai biomarker pada glaukoma adalah MDA. Menurut penelitian Ate, et al, (2005), terjadi peningkatan nilai plasma MDA pada penderita glaukoma dibandingkan grup kontrol dimana pada grup studi nilai MDA 6,88 ± 0,96 nmol/ml dan pada grup kontrol 2,94 ± 0,26 nmol/ml (p=0,001), sedangkan nilai plasma katalase dan myeloperoksidase tidak dijumpai perbedaan yang bermakna dengan grup kontrol (p=0,919) (Ate, et al., 2005).

Penelitian Ghanem, et al, (2010), yang menilai hubungan stress oksidatif marker dengan severity dari glaukoma ternyata pada humor

akuous penderita glaukoma dijumpai nilai MDA yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan terjadi korelasi positif antara nilai MDA yang tinggi dengan rusaknya lapang pandangan (Ghanem, et al, 2010).

Berdasarkan penelitian Faschinger, et al, (2006), terdapat korelasi positif nilai MDA pada serum dengan humor akuous pada penderita glaukoma sudut terbuka dimana tidak terjadi perbedaan bermakna antara nilai MDA humor akuous dengan serum dan plasma.

2.6. Redox Enzyme Gluthathion Peroxidase

Dokumen terkait