SUMBER CAHAYA
D. SUMBER CAHAYA HEWANI (BIOLUMINESEN)
2. Mekanisme Proses Bioluminesen Pada dasarnya, mekanisme untuk
menghasilkan cahaya oleh organisme terbagi dalam dua bagian besar. Per-tama, kemampuan individu jenis untuk menghasilkan cahaya dari reaksi kimia yang terjadi dalam tubuhnya. Kemam-puan ini diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Kedua, jenis-jenis yang tidak memiliki kemampuan mem-produksi cahaya sendiri menggunakan jasa organisme lain penghasil cahaya.
Dalam hal ini, organisme biolumine-sen ditempatkan pada bagian tubuh tertentu dari inangnya dan digunakan
dalam menunjang keperluan hidupnya.
Hubungan antara kedua organisme ini dilakukan dengan cara simbiosis.
a) Bioluminesen non-simbiosis Pada hewan yang mampu mem-produksi cahaya sendiri, cahaya diper-oleh dari kombinasi dua senyawa: lu-ciferin dan luciferase. Lulu-ciferin meru-pakan substrat penghasil cahaya, se-dangkan luciferase adalah suatu enzim yang mengkatalisasi reaksi kimia yang terbentuk. Dalam beberapa kasus, lu-ciferin dapat berada dalam bentuk pro-tein, yang dikenal dengan fotoprotein (photoprotein). Proses pencahayaan di sini memerlukan ion pemicu untuk mengaktifkan reaksi kimianya.
Tergantung pada jenis organisme, proses bioluminesen kadangkala me-merlukan kehadiran senyawa lain, se-perti oksigen atau adenosine triphos-phate (ATP). ATP adalah suatu molekul yang mengandung dan mentransfer energi pada makhluk hidup, termasuk dalam tubuh manusia. Reaksi luciferin-luciferase dapat pula menghasilkan ha-sil sampingan berupa okha-siluciferin dan air. Luciferin adalah nama umum untuk senyawa yang mampu mengemisi ca-haya dan ditemukan dalam tubuh suatu organisme yang mampu menghasilkan bioluminesen. Luciferin adalah substrat yang terdiri atas molekul kecil yang akan teroksidasi oleh adanya enzim
lusiferase dan menghasilkan oksilucife-rin dan energi dalam bentuk cahaya.
Belum diketahui berapa banyak tipe luciferin pada hewan atau jamur bioluminesen di Bumi. Beberapa yang telah cukup diketahui adalah luciferin pada kunang-kunang; luciferin pada keong (yang disebut latia luciferin);
luciferin pada bakteri (yang kemudian banyak dipelihara pada organ cahaya yang dimiliki oleh beberapa jenis cumi-cumi, gurita, dan ikan); luciferin yang mirip klorofil dan terdapat pada plank-ton dinoflagelata; serta luciferin ber-nama vargulin yang ditemukan pada udang renik ostrakoda dan ikan laut dalam. Luciferin dapat bersifat khas untuk satu kelompok organisme biolu-minesen dan dapat pula dipunyai oleh banyak kelompok hewan sekaligus.
Salah satu luciferin yang dimiliki oleh banyak kelompok hewan adalah coe-lenterazine.
Coelenterazine ditemukan pada beberapa kelompok plankton, cumi-cumi, gurita, cacing khaetognat, ikan, dan udang. Unsur utamanya adalah protein aequorin dan bertanggung ja-wab menghasilkan emisi warna biru.
Struktur kimianya dapat dilihat pada Gambar 3.26.
Molekul luciferin dapat ditemukan pada banyak jenis hewan, baik yang dapat menghasilkan emisi cahaya mau-pun yang tidak. Sepanjang jenis ter-sebut memiliki kemampuan mempro-duksi enzim luciferase atau fotopro-tein, maka dengan kehadiran luciferin, hewan itu dapat memproduksi emisi cahaya.
Cahaya yang dihasilkan kunang-kunang adalah contohnya. Komponen senyawa biokimia utama yang berpe-ran dalam pemancaberpe-ran sinar pada ku-nang-kunang adalah luciferin, suatu senyawa kompleks asam karboksilat.
Reaksi difasilitasi oleh luciferase, suatu enzim oksidasi. Proses pembentukan cahaya diawali dengan pengaktifan luciferin melalui reaksi enzimatik oleh ATP (adenosine triphosphat) pengha-sil lusiferil adenilat. Senyawa ini ke-mudian bereaksi dengan oksigen dan dikatalisis oleh enzim luciferase menye-babkan reaksi dekarboksilasi oksidasi luciferin menghasilkan oksiluciferin.
Reaksi ini, dengan tahapan-tahapan antaranya, diikuti dengan pelepasan
Gambar 3.26
Struktur kimia Coelenterazine.
(Sumber: en.wikipedia.org)
cahaya. Warna sinar yang dipancarkan sangat unik untuk tiap jenis kunang-kunang dan tergantung pada struktur luciferase. Luciferin selanjutnya diben-tuk kembali dari oksiluciferin.
Di alam, ada indikasi substrat lu-ciferin dapat dipindahkan dari satu in-dividu ke inin-dividu lain, terutama dalam hubungan mangsa-pemangsa. Contoh-nya adalah kehadiran tipe luciferin pada rantai makanan plankton dino-flagelata-zooplankton-udang krill (Gambar 3.27). Struktur luciferin yang diproduksi oleh dinoflagelata adalah tetrapyrrole, molekul yang mirip de-ngan klorofil. Molekul ini bahkan di-percaya berfungsi bergantian, melaku-kan proses fotosintesis pada siang dan luminesen pada malam hari. Struktur luciferin pada dinoflagelata sama de-ngan yang ditemukan pada udang re-nik krill, pemangsanya. Ada indikasi ke-hadiran tipe luciferin yang sama pada dinoflagelata dan krill ini berkaitan de-ngan jaride-ngan makanan, namun bisa saja karena sebab lain.
Proses bioluminesen pada banyak jenis diatur oleh saraf. Pada dinoflage-lata proses itu terkait dengan migrasi vertical harian, di mana lusiferin ter-oksidasi sejalan dengan siklus siang-malam. Bioluminesen sangat efektif ba-gi invertebrata untuk berkomunikasi dengan organisme lain yang lebih be-sar dan dalam jarak yang jauh.
Tergan-tung pada kondisi, pancaran cahaya bioluminesen dapat dilihat dari jarak beberapa puluh hingga beberapa ra-tus meter.
Satu sel dinoflagellata berukuran 0,5 mm dapat memberi sinyal cahaya pada ikan besar yang berjarak 5 meter.
Indikasi bahwa luciferin mangsa dapat ditularkan pada pemangsanya juga di-temukan pada hubungan mangsa-pe-mangsa antara krustasea renik ostra-coda Cypridina (Gambar 3.28) dan je-nis-jenis ikan pemangsanya, Pempheris dan Paraprianthus.
Pada dasarnya, luciferin dapat me-rupakan molekul yang diturunkan atau ditularkan. Organisme yang memiliki kemampuan berluminesen sendiri akan memiliki gen yang menjadikannya mampu memprodusi enzim luciferase
Gambar 3.27
Plankton Dinoflagelata (Pyrocystis fusiformis).
(Sumber: biolum.tumblr.com)
dan molekul luciferin. Pada kelompok lain, sebagaimana dicontohkan di atas, luciferin diperoleh dari hasil penularan, misalnya memakan mangsa yang memi-liki luciferin tipe tersebut, sedangkan enzim luciferasenya diproduksi sendiri.
Dengan demikian, tidak mengherankan bila keberadaan luciferin dapat saja di-temukan pada organisme yang tidak dapat berluminasi. Tidak berfungsinya luciferin untuk menghasilkan cahaya disebabkan ketidakhadiran enzim luci-ferase pada tubuh hewan itu.
b) Bioluminesen hasil simbiosis Cara kedua organisme dapat meng-hasilkan cahaya adalah bersimbiosis, atau bekerja sama, dengan organisme renik bioluminesen, seperti bakteri. Pa-da organisme laut yang memakan
mi-kroorganisme dengan cara memfilter air (filter feeder), apabila mereka bercahaya, sulit untuk menentukan apakah kemampuan ini ka-rena dirinya sendiri atau ber-simbiosis dengan mikroor-ganisme berluminasi yang dimakannya. Banyak senya-wa farmasi yang diisolasi dari jenis-jenis karang lunak (sponge) dan bryozoa yang bercahaya, yang ternyata cahayanya berasal dari bakteri bioluminesen.
Organisme bioluminesen mem-produksi (mensintesis) luciferin sendi-ri. Dinoflagelata, misalnya, menghasil-kan luminasi cahaya hijau-kebiruan.
Oganisme lainnya tidak memproduksi luciferin, namun menyerapnya dari or-ganisme lain, bisa dalam bentuk ma-kanan atau dengan kerja sama simbio-sis. Ikan pemakan udang, misalnya, akan memperoleh lucifen dari udang yang dimakannya (yang mengandung luciferin). Banyak organisme laut, se-perti cumi-cumi, memelihara bakteri bioluminesen dalam organ cahayanya.
Kedua organisme ini hidup bersimbio-sis. Bakteri bioluminesen hidup pada organ cahaya di tubuh inangnya. Pada organ ini, bakteri akan memproduksi cahaya sepanjang waktu.
Untuk dapat menyalakan atau matikan cahaya, beberapa hewan
me-Gambar 3.28
Sekelompok Ostracoda jenis Cypridina hilgendorfii. (Sumber: biolum.tumblr.com)
miliki mekanisme mematikan cahaya dengan menarik bakteri dan menyim-pannya di bagian tubuh lain. Bila hen-dak menyalakan organ cahaya, hewan tersebut menggiring bakteri ke arah organ cahaya. Jenis lainnya memiliki membran kulit pada organ cahaya, dan berperan sebagaimana kelopak mata.
Hewan lain memiliki substansi fluore-sen, seperti GFP (green fluorescent pro-tein), yang dapat menyesuaikan war-na yang dikehendakinya. Substansi flu-oresen akan menyerap cahaya biru-hijau yang diproduksi oleh bakteri, dan menampilkannya dalam berbagai war-na berbeda.
Hubungan kerja sama yang telah cukup diketahui adalah hubungan an-tara cumi-cumi bobtail Euprymna sco-lotes (Gambar 3.29) dengan bakteri bioluminesen Vibrio fischeri. Bakteri ini ditemukan hidup bebas mengambang
Gambar 3.29
Hubungan antara cumi-cumi bobtail dan bakteri Vibrio fisheti.
(Sumber: newswatch.nationalgeographic.com)
di permukaan air laut. Bakteri ini dapat memproduksi cahaya. Uniknya, bakteri hanya mengeluarkan kemampuannya untuk bercahaya bila ada dalam organ cahaya cumi jenis ini.
Sesuai kondisi kamuflase yang di-inginkan, cumi-cumi ini dapat menya-lakan dan mematikan cahaya. Bahkan, kekuatan cahayanya pun dapat dia-turnya. Kerja sama ini saling mengun-tungkan. Cumi-cumi akan memperoleh cahaya yang tepat untuk dapat meng-hilangkan diri dari pandangan mang-sanya, yaitu udang renik. Di sisi lain, bakteri bioluminesen memperoleh tempat tinggal yang aman dan makan-an ymakan-ang cukup. Bagaimmakan-ana cumi-cumi bobtail dapat mengenali dan memilih bakteri mana yang akan diajak bekerja sama? Berdasarkan penelitian ditemu-kan bahwa sedikitnya ada empat je-nis bakteri yang banyak bekerja sama
dengan jenis-jenis ikan dan cumi-cumi, yaitu Vibrio fish-eri, Vibrio logei, Photobac-terium leiognathi, dan Pho-tobacterium phosphoreum.
Penelitian memperli-hatkan bahwa keberadaan bakteri di tubuh cumi-cumi harus diinfesikan sendiri oleh setiap anakan cumi-cumi. Anakan cumi-cumi berumur 24 jam sudah da-pat memproduksi cahaya.
Struktur fisik dan kimia dalam organ cahaya cumi-cumi bobtail di-rancang khusus untuk tempat hidup Vibrio fisheri saja, tidak yang lain. Bakteri dikeluarkan dari dan dimasukkan ke tubuh cumi-cumi secara teratur, umumnya dila-kukan pada pagi hari.
Mekanisme ini barangkali merupakan cara alam memperbaiki mutu strain bakteri baru yang lebih baik pencaha-yaannya.
Pada jenis cumi-cumi lain dari mar-ga Sepiola ditemukan dua jenis bakteri Vibrio (V. fisheri dan V. logei) hidup bersama dalam organ cahayanya. Pa-da ikan, paling tiPa-dak aPa-da tiga bakteri bioluminesen yang bersimbiosis, yaitu Vibrio fischeri, Photobacterium leiogna-thi, dan P. phosphoreum. Ikan menem-patkan cukup banyak bakteri biolumi-nesen pada organ cahayanya sehingga organ tetap bercahaya. Di sini ada ju-ga peran luciferin dalam mendorong bakteri terus menyalakan cahayanya.
Sebagaimana cumi, ikan juga me-merlukan suplai bakteri bioluminesen yang kontinu dari perairan sekitar ke organ cahayanya. Pengamatan mene-mukan bahwa anakan ikan Leiognathus nuchalis tidak mengandung bakteri luminesen pada saat menetas. Bakteri
ditularkan dari ikan dewasanya, sehing-ga apabila anakan ikan dipisah dari ikan dewasa di sekitarnya, maka sam-pai besar pun tidak ada kandungan bakteri luminesen dalam tubuhnya.
Kandungan luminesen mulai berfungsi 48 jam setelah anakan menetas, bila tetap disatukan dengan ikan dewasa.