• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAHAMI DINAMIKA WILAYAH

Dalam dokumen Bahan Ajar Ilmu Wilayah (Halaman 56-68)

DINAMIKA DAN TAHAPAN PERKEMBANGAN WILAYAH

MEMAHAMI DINAMIKA WILAYAH

Konsep ‘region’ atau wilayah memang masih merupakan perdebatan yang panjang dalam dunia akademisi, namun dalam konteks perkembangan wilayah (regional development) tampak terdapat konsesus yang menganggap wilayah sebagai bagian permukaan bumi dalam lingkup sub-nasional. Walaupun demikian, diskonsesus masih tetap saja muncul bila dikaitkan dengan persoalan perwilayahan (regionalization). Pada satu sisi wilayah diekspresikan melalui azas-azas persamaan (homogenity) dan di sisi lain disusun atas dasar azas-azas fungsionalitas (functionality). Artikel ini tidak akan membahas perbedaan-perbedaan tersebut, namun cukup dikatakan di sini bahwa kombinasi dari kedua azas tersebut bila diterapkan pada bagian permukaan bumi sub-nasional yang cukup luas akan melahirkan variasi keruangan (spatial variation). Variasi keruangan akan menimbulkan berbagai bentuk interaksi keruangan (spatial interaction) antar masing-masing tempat (individual places) dan tentunya interaksi keruangan menghasilkan bentuk-bentuk saling ketergantungan antar tempat (interdependency of places). Dengan analogi semacam ini jelas bahwa spatial interdependency merupakan pencerminan dari azas-azas geografi (khususnya spatial analysis) : location, distance, space, accessibility, dan spatial interaction.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah dinamika wilayah itu? Dan mengapa terjadi dinamika? Gambar 1 di bawah ini mungkin dapat digunakan sebagai landasan untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut. Wujud kompak dari suatu wilayah dapat berupa perkotaan, perdesaan, DAS (daerah aliran sungai), dan ad hock region (dapat berupa wilayah perencanaan, atau wilayah-wilayah khusus lainnya). Dinamika wilayah tentunya tidak diekspresikan dalam bentuk perpindahan lokasi suatu wilayah dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain namun lebih merujuk pada perubahan unsur-unsur wilayah (HINCO : Human-Institution-Natural-Capital-Other) yang disebabkan oleh adanya ‘intervensi’ dari agen perubahan (agents of change) baik yang bersifat alami maupun buatan manusia, atau bahkan kombinasi keduanya. Seperti yang tampak dalam gambar 1 dinamika wilayah dibentuk oleh serangkaian perubahan yang

saling kait mengait antara perubahan-perubahan baik yang alami maupun bukan : iklim, bencana alam, ekonomi, demografi, politik, budaya, teknologi, sosial, baik dalam skala makro maupun mikro. Dampak pengaruh dari agen-agen perubahan tidak berarti akan menghasilkan respon yang sama terhadap semua wilayah namun oleh faktor-faktor lokal (local factors) suatu wilayah pengaruh tersebut dimodifikasi. Di samping itu, kekuatan pengaruh masing-masing agen perubahan juga tidak sama kuat dan kombinasi dari beberapa agen perubahan juga menghasilkan pengaruh yang berbeda pula. Kompleksitas hubungan dan pengaruh agen-agen perubahan ini tercermin dalam variasi dinamika yang dihasilkan. Sifat dari pengaruh agen perubahan terhadap wilayah tidak selalu searah, karena perubahan yang dihasilkan akan menimbulkan umpan balik terhadap dinamika wilayah itu sendiri (lihat gambar 1). Sehingga gerakan pengaruh-mempengaruhi ini bak spiral yang terus berputar baik ke atas maupun ke bawah. Ke atas berarti perubahan-perubahan yang terjadi dianggap membawa ‘kemajuan’, sedangkan ke bawah berarti sebaliknya.

Memang tidak ada hal yang baru dalam analysis dinamika wilayah ini. Namun yang perlu mendapatkan perhatian kita adalah kecepatan dan skala perubahan yang terjadi akhir-akhir ini (terutama dalam dua dasawarsa terakhir) yang di luar kemampuan kita untuk mengantisipasinya. Saya tidak pernah mengira kalau kenaikan harga temped an tahu di pasar Demangan menjadi duakali lipat dipicu oleh pengambangan (floating) nilai mata uang Baht di Thailand sana. Tidak hanya skala, namun juga ‘rentetan’ pengaruhnya. Siapa sangka kalau kemacetan impor jagung akan berpengaruh terhadap runtuhnya industri makanan jadi dan juga menurunkan derajat ‘diet’ masyarakat. Kejadian yang saling kait-mengait dengan melibatkan variasi skala geografis dan skala pengambilan keputusan yang lebar menyebabkan analisis saling ketergantungan keruangan menjadi lebih cepat daripada sebelumnya.

Walaupun tidak ada yang baru, namun entry point dari momentum analisis dinamika wilayah ini dipicu oleh teori sistem-dunia (world-system) karya Emmanuel Wallerstein (1979). Dalam teori ini permukaan bumi tidak lagi dibagi menjadi dua wilayah dikotomi tetapi tiga wilayah yang saling berkaitan, yakni core, semi-periphery, dan periphery. Dengan mengikutsertakan wilayah semi-periphery ke

dalam sistem dunia, Wallerstein ingin menjelaskan sifat kedinamisan wilayah, yaitu tidak selamanya suatu wilayah terpaku pada satu posisi. Sejarah telah memberikan bukti timbul tenggelamnya peradaban manusia di suatu wilayah. Eropa Barat, Amerika Utara, dan Jepang adalah wilayah core dunia sekarang ini dan sebagian besar wilayah Afrika,Timur Tengah, dan Asia Tenggara adalah periphery, sedang negara-negara industri baru, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura adalah wilayah semi-periphery. Namun sejarah juga mengatakan bahwa wilayah-wilayah periphery sekarang ini ‘dahulu pernah’ sebagai core dunia dan sebaliknya wilayah core yang sekarang ada, ‘dahulu’ adalah periphery. Menurut Wallerstein, hubungan antara core-semi periphery-periphery adalah hubungan yang dinamis dalam arti bahwa masing-masing saling membutuhkan dan masing-masing ingin memperkuat posisi atau statusnya dengan memperkuat efektivitas wilayahnya dalam meningkatkan daya saing kemampuan domestik (Knox, 1994).

Dalam menerangkan dinamika wilayah, teori sistem-dunia ternyata bukan satu-satunya pisau analisa. Di antaranya adalah globalisasi dan perubahan teknologi. Globalisasi adalah semakin meningkatnya ketertautan (interconnectedness) wilayah-wilayah permukaan bumi melalui proses-proses perubahan baik ekonomi, lingkungan, politik, maupun budaya (Knox dan Marston, 1998). Gejala globalisasi dan internasionalisasi (ekonomi) akhir abad ke-20 ditandai dengan munculnya tiga wilayah yang mendominasi produksi dan perdagangan dunia : Amerika Utara, Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), serta Asia Timur dan Asia Tenggara (menguasai hampir 80 % ekspor dunia dan lebih dari 60 % produksi manufaktur dunia); deregulasi sistem keuangan dunia : mempermudah pergerakan investasi ke seluruh pelosok bumi (terutama di tiga wilayah di atas) baik melalui subtitusi-impor maupun foreign direct investment-FDI ; dan internasionalisasi ‘proses produksi’, terutama perusahaan multi nasional (transnasional Corporation-TNCs) : menyebabkan tata pembagian tenaga-kerja internasional baru (the new international division of labor- NIDL).

Penganut teori gelombang-panjang (long-wave theory) mempercayai adanya pengaruh daur inovasi teknologi terhadap perkembangan ekonomi global. Sejak tahun 1780, telah terselesaikan empat gelombang-K (K-waves : K adalah inisial dari Kondratiev, seorang ekonom Rusia pencetus teori ini pada tahun 1920) dimana masing-masing gelombang memakan waktu sekitar 50 tahun. Setiap gelombang-K selalu berkaitan dengan difusi inovasi teknologi pokok dan hal tersebut berpengaruh pada bentuk dan sifat produksi, distribusi, dan organisasi (Golledge dan Stimson, 1997). Kita sekarang sedang berada pada era gelombang-K kelima yang baru pada tahap awal : ‘era teknologi informasi’ – TI, yang ditandai dengan kemajuan pesat pada teknologi transportasi dan telekomunikasi. Dampak utama dari gelombang terakhir ini adalah pengkerutan jarak (the shrinking of distance) geografis, berarti pula aliran (barang, orang, informasi) dan perubahan (baik produksi, distribusi, dan organisasi) menjadi ‘lebih cepat’.

Proses globalisasi (ekonomi) dan perubahan teknologi (terutama di bidang transportasi dan telekomunikasi) lebih memperkuat dan membesar jaringan kota-kota di dunia (terutama kota-kota besar / metropolitan), dan yang lebih penting, terutama bagi geografiwan, adalah semakin kuatnya peranan kota sebagai agen perubahan wilayah. Namun, sifat hubungan antar kota ini tidak seimbang dan cenderung ekspoilatif, yaitu menguntungkan kota-kota dengan kekuatan kontrol yang besar. Sistem kota-kota dunia sekarang ini didominasi oleh kota dunia (world cities). Kota dunia adalah kota yang menjadi pusat kendali bisnis dunia, termasuk di dalamnya adalah pusat kekuatan ekonomi, budaya, dan politik yang menentukan bentuk dan arah globalisasi ekonomi dan budaya (Knox, 1997). Dewasa ini diyakini ada empat tingkat kota dunia. Paling atas terdapat tiga kota dunia, yang semuanya terdapat di wilayah core , yaitu New York, London, dan Tokyo. Di bawahnya adalah kota-kota dengan kekuatan dengan kontrol skala regional. Untuk wilayah Asia Timur dan Tenggara adalah Singapura, yang kemudian disusul oleh Hongkong dan Seoul, Osaka, dan Taipei di tingkat tiga. Untuk kota dunia tingkat ke-empat adalah ibukota-ibukota negara namun telah mempunyai pengaruh pada skala regional (Jakarta

termasuk dalam kategori ini). Dengan struktur hirarki dan jaringan kota-kota semacam ini, maka sudah sewajarnya wilayah-wilayah yang mendapat kesempatan berkembang terlebih dahulu adalah wilayah-wilayah yang memiliki keterkaitan dengan kota-kota dunia. Dicken (1992) mengidentifikasikan wilayah yang paling dinamis di dunia pada saat ini terpusat di tiga kutub, yaitu wilayah MEE, Amerika Utara, dan wilayah Asia Timur dan Tenggara. Kerjasama-kerjasama regional yang menjadi ‘trend’ perkembangan saat ini, seperti kerjasama segitiga antara Indonesia-Malaysia-Singapura, Indonesia-Malaysia-Thailand, dst. Sebenarnya merupakan implikasi dari perkembangan (ekonomi) global yang ditimbulkan oleh dinamika kota-kota dunia. Segitiga pertumbuhan SIJORI : Singapura-Johor-Riau merupakan contoh nyata kerjasama regional yang mengangkat wilayah sekitar negara-kota Singapura masuk ke dalam jaringan global dengan Singapura sebagai ‘jangkar’ dan ‘motor penggerak’ nya.

Pada tingkat nasional, wilayah-wilayah yang ‘aktif berkembang’ sudah pasti dengan mudah dapat kita kenali, yaitu wilayah-wilayah di sekitar kota besar di Indonesia. Pada tingkat pertama, sudah pasti berada di wilayah sekitar Jakarta : JABOTABEK, bahkan telah meluas meliputi hampir separoh wilayah propinsi Jawa Barat, dengan koridor-koridor yang aktif berkembang, seperti Jakarta-Cirebon, Jakarta-Merak / Anyer, Jakarta-Bandung-Cianjur. Tingkat kedua adalah wilayah di sekitar Surabaya : GERBANGKERTOSUSILA, ditambah dengan koridor Surabaya-Malang. Pada tingkat ketiga mungkin ditempati oleh wilayah di sekitar Medan dan Ujung Pandang, oleh karena kota-kota ini pusat perniagaan regional dan mempunyai jaringan internasional yang cukup kuat.

JOGLOSEMAR : WILAYAH APA ?

Sesuai dengan keinginan kita untuk ‘menggarap’ wilayah JOGLOSEMAR ini setelah penelitian terpadu di DAS Progo dianggap selesai, maka timbul dalam benak saya pertanyaan di atas. Tentunya pertanyaan ini hanya merupakan ‘bagian kecil dari tugas kita’ untuk menjawabnya dalam penelitian-penelitian yang akan dilakukan nantinya.

Akronim JOGLOSEMAR sebenarnya dengan jelas menunjuk pada tiga kota besar (bahkan dapat disebut tiga kota terbesar) di wilayah bagian tengah Pulau Jawa : Jogjakarta (atau Yogyakarta), Solo, dan Semarang. Oleh karena kedudukan geografis ketiga kota tersebut ‘agak’ berdekatan dan berbentuk segitiga, maka orang sering mengidentitfikasikan wilayah di sekitar tiga kota ini sebagai Segitiga Pertumbuhan JOGLOSEMAR atau disingkat SP JOGLOSEMAR. Istilah SP ini memang marak digunakan dalam kurun lima tahun belakangan ini yang umumnya merujuk pada aspek pengembangan ekonomi wilayah yang ditimbulkan oleh ‘linkages’ tiga kota utamanya. Kentalnya muatan ekonomi dalam memandang SP ini disebabkan kerjasama-kerjasama ekonomi sering dijadikan landasan pembentukan SP (Muta’ali, 1997). Dalam artikel ini saya tidak akan membahas lebih jauh mengenai SP (karena sudah menjadi bagiannya Sdr. Lutfi Muta’ali dan Sdr. Baiquini), namun cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa konsep SP ini membawa konsekuensi yang berat namun sekaligus menarik bagi geografiwan untuk terlibat di dalamnya.

Setidaknya ada tiga aspek yang menjadi tantangan geografiwan, yaitu konseptualisasi, deleniasi, dan kontribusi analisis. Sebagai konsep yang masih relatif baru, pengertian SP ini masih ‘labil’ sehingga diperlukan ‘manuver-manuver’ geografiwan untuk memperoleh klarifikasikan konsep yang ‘applicable’. Aspek kedua mungkin bagian yang paling sulit : bagaimana SP ini diberi batas keruangannya. Sebagaimana halnya dengan diskonsensus persoalan regionalization, deliniasi SP membutuhkan argumen-argumen yang secara teoritis dan praktis dapat dipertanggung-jawabkan. Dan untuk aspek yang terakhir diperlukan konsolidasi

pemikiran-pemikiran geografis untuk menjawab tantangan ‘baru’, yang mungkin relevan dengan pertanyaan : apa bentuk kontribusi geografiwan ?

PENUTUP : KONTRIBUSI ANALISIS GEOGRAFIS

Immanuel Kant (1724-1804) membagi ilmu pengetahuan menjadi dua : khusus dan umum. Khusus berarti mempelajari disiplin-disiplin tertentu, seperti fisika, kimia, biologi, dan sebagainya; sedang untuk yang umum hanya ada dua : mempelajari sesuatu dalam waktu adalah ilmu sejarah dan mempelajari sesuatu dalam ruang adalah ilmu geografi (Knox dan Marston, 1998). Jadi, memang sudah sejak lama pengertian tentang ruang mengakar dalam studi-studi geografis, bahkan secara ekstrim disebutkan bahwa ‘kajian tentang ruang’ adalah domain ilmu geografi. Jika ruang geografis secara sempit dapat diartikan sebagai wilayah permukaan bumi, maka sudah sewajarnya bila geografiwan sangat berkepentingan dengan kajian dinamika wilayah. Lalu, bagaimana bentuk kontribusinya ?

Sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat umum geografi tidak mempunyai objek material khusus (Hinderink, 1981). Bahkan Johnston (1981) menyebutkannya sebagai “the study of the earth’s suface as the space within which the human population lives”. Konsekuensinya adalah bahwa segala fenomena yang ada dan atau terjadi di dalam wilayah dapat dijadikan objek kajian geografis. Sehingga tidak terlalu keliru bila ada yang beranggapan bahwa geography is what geographers do. Namun demikian, tidak berarti bahwa ilmu geografi tidak berciri. Seperti yang tampak dalam gambar 2 studi-studi geografis dikenal sebagai studi yang menaruh perhatian pada organisasi keruangan (spatial organization) baik lingkungan alamiah (natural environment) maupun kegiatan-kegiatan manusia (human activities). Di samping itu, studi-studi geografis juga sangat concern terhadap fenomena yang ditimbulkan oleh atau proses-proses yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan lingkungannya (human – environment relationship). Last but not least, studi geografi selalu dikenal dengan ‘petanya’ baik sebagai alat analisis maupun sebagai hasil kajiannya. Kemajuan teknologi fotografi dan kedirgantaraan telah membawa studi geografi berkembang lebih jauh dengan menggunakan citra penginderaan jauh dalam mengkaji fenomena di permukaan bumi ini. Bahkan dalam era teknologi

informasi, geografiwan telah berhasil menyumbangkan karya emasnya bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan pembangunan dunia lewat geographic information system atau GIS.

Dengan ciri-ciri di atas kontribusi nyata geografi terhadap studi dinamika wilayah, menurut hemat saya, terletak pada pendekatan-pendekatan atau hampiran-hampirannnya (approaches) terhadap persoalan-persoalan wilayah (baik teoritis maupun terapan). Ada tiga pendekatan atau hampiran yang digunakan dalam studi geografis, yaitu keruangan, ekologi, dan kompleks wilayah (Bintarto dan Surastopo, 1979 ; Hinderink, 1981). Analisa keruangan (baik pola maupun distribusi keruangan) merupakan pencerminan dari concern studi geografi terhadap organisasi keruangan. Dalam gambar 2 ditunjukkan bahwa ada lima konsep dasar yang digunakan dalam analisis keruangan, yakni lokasi, jarak, ruang, aksesibilitas, dan interaksi keruangan (Knox dan Marston, 1998). Analisa ekologi merupakan pencerminan concern studi geografi terhadap hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam analisa ekologi ini, teori ekosistem memegang peranan yang penting (Bintarto dan Surastopo, 1979). Sedangkan analisa kompleks wilayah yang merupakan paduan dari dua analisa tersebut sebelumnya sebenarnya merupakan kulminasi studi geografi terhadap persoalan-persoalan wilayah. Wilayah tidak lagi dilihat dan dihampiri secara sepenggal-sepenggal, namun sebagai entitas yang utuh, satu kesatuan. Analisa kompleks wilayah menjadi lebih penting kegunaannya dalam intra-regional analysis (Bendavid-Val, 1991).

Dengan ketiga pendekatan di atas, respon geografiwan terhadap studi dinamika wilayah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu studi yang bersifat teoritis (theoretical) dan studi yang bersifat terapan (applied). Teoritis berarti berhubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan teori-teori dalam ilmu geografi ; terapan berarti menjawab persoalan-persoalan di dalam wilayah untuk kegunaan-kegunaan praktis. Seperti yang tampak dalam gambar 1 bahwa persoalan-persoalan wilayah muncul ke permukaan sebagai akibat lanjutan dari perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur wilayah. Penanganan persoalan-persoalan wilayah melalui pengembangan kebijakan-kebijakan dan

perencanaan akan menimbulkan persoalan-persoalan baru baik yang diharapkan maupun yang tidak, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kembali dinamika wilayah. Begitu seterusnya, sehingga sesungguhnya peranan geografiwan dalam mengkaji dinamika wilayah tak ada putusnya : selalu ada persoalan-persoalan baru yang membutuhkan kontribusi analisis geografis. Timbul pertanyaan : lalu, bagaimana prakteknya ?

Ada dua hal pokok, menurut hemat saya, yang harus diperhatikan, yaitu lingkup kajian dan prosedur. Untuk menentukan lingkup kajian dinamika wilayah, saya merujuk pendapat Bendavid-Val (1991) seperti yang tercantum dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Beliau mengembangkan suatu kerangka analisa dalam studi intraregional yang didasari oleh dua kajian pokok (lihat Tabel 1), yaitu kajian tentang “economics characteristics of places and the interactions among them” dan “the overall environment in regional subareas”, yang kemudian dijabarkan ke dalam lima belas butir analisis (lihat table 2) : (1) Basic statistical compendium; (2) incomes measures; (3) social accounts; (4) economic composition analysis; (5) natural resource assassement; (6) linkage investigations; (7) flow studies; (8) friction analysis; (9) extended commodity trade systems analysis; (10) economic base and accrual analysis; (11) input-output analysis; (12) rural-urban exchange analysis; (13) access studies; (14) functional analysis; (15) market center studies. Sedang untuk prosedur, saya merujuk pendapat Nossin (1982) seperti yang tercantum dalam Gambar 3. Walaupun sebenarnya gambar tersebut untuk menerangkan langkah-langkah yang perlu dalam suatu survey / penelitian untuk pembangunan, namun ke-enam langkah tersebut sesuai dengan kebutuhan dan bentuk penelitian geografis dalam studi dinamika wilayah. Ke – enam langkah tersebut, menurut hemat saya, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok studi yang sifat ‘sequential’, yaitu : pertama, kelompok studi yang berkaitan dengan pembentukan bank data yang bersifat komprehensif. Pada tahap ini, segala usaha dan perhatian dari masing-masing ‘interest’ harus dicurahkan pada pembentukan ‘sistem informasi wilayah’ yang terintegrasi. Dengan demikian, kedudukan dan peranan GIS dalam kajian dinamika wilayah dapat sebagai ‘alat’ sekaligus ‘tujuan’ analisis. Pada tahap kedua adalah

pemanfaatan sistem informasi wilayah untuk menganalisis persoalan-persoalan wilayah. Pada tahap ini tidak diperlukan integrasi masing-masing interest : mengkaji paling tidak lima belas topik penelitian seperti yang diusulkan oleh Avrom Bendavid-Val. Dan tahap terakhir adalah keikutsertaan geografiwan dalam menjawab persoalan-persoalan wilayah, terutama dalam ‘intervensi’ kebijakan dan perencanaan. Pada tahap ini perlu adanya seleksi persoalan wilayah : dipilih persoalan-persoalan yang benar-benar ‘aktual’ dan ‘krusial’ dan mempunyai ‘dampak penting’ bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan wilayah yang dikaji. Usulan tiga tahapan tersebut menyiratkan bahwa penelitian dinamika wilayah sebaiknya dilakukan terpadu dengan melibatkan banyak minat. Di samping itu, penelitian dinamika wilayah tampaknya juga membutuhkan waktu cukup panjang, dan disertai dengan perencanaan yang cukup matang agar sasaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.

REFERENSI

Bendavid –Val, A.1991. Regional and Local Economic Analysis For Practitioners. New York : Preager.

Bintarto, R. dan Surastopo H. 1997. Metode Analisa Geografi. Jakarta : LP3ES. Golledge, R.G. dan Stimson, R.J. 1997. Spatial Behaviour : A Geographic

Perspective. New York : The Guilford Press.

Hinderink, J. 1981. Geography and the Study of Development. The Indonesian Journal of Geography. Vol. 11 (42) : 9-18.

Johnston, R.J. (eds). 1981. The Dictionary of Human Geography. Oxford : Blackwell. Johnston, R.J. 1984. The World is Our Oyster. Transactions, Institute of British

Geographers. Vol. 9 : 443-459.

Knox, P.L. 1995. The World Cities and the Organization of Global Space. Dalam Johnston, R.J. et al. (editors). Geographies of Global Change : Remapping the world in the late twentieth century. Oxford : Blackwell.

Knox, P.L. dan Agnew J. 1994. The Geography of The World Economy : An Introduction to Ekonomic Geography. Edisi kedua. London : Edward Arnold. Knox, P.L. dan Marston, S. A. 1998. Places and Regions in Global Context : Human

Geography. New Jersey : Prentice Hall.

Muta’ali, Lutfhi. 1997. Tinjauan Geografis Segitiga Pertumbuhan Dalam Pembangunan Wilayah. BEM Fakultas Geografi-UGM, Yogyakarta.

Gambar 1.Proses Dinamika Wilayah AGEN PERUBAHAN Alam (iklim,bencana , PENGAMBILAN KEPUTUSAN (politik,sosial,e konomi:publik, perusahaan,ke lompok, perorangan)

Dalam dokumen Bahan Ajar Ilmu Wilayah (Halaman 56-68)

Dokumen terkait