• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KUTUB PERTUMBUHAN

Dalam dokumen Bahan Ajar Ilmu Wilayah (Halaman 82-87)

MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH

THREE MODELS OF REGIONAL DEVELOPMENT

1. MODEL KUTUB PERTUMBUHAN

Growth poles atau kutub pertumbuhan pertama kali dipergunakan oleh Francois Perroux (1950). Dengan tesisnya : “…..Pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, tetapi pertumbuhan terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub pertumbuhan dengan intensitas yang berubah-ubah, lalu pertumbuhan itu menyebar sepanjang saluran yang beraneka ragam dan dengan pengaruh yang dinamis terhadap perekonomian wilayah”.

Pengertian kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux ini merupakan suatu konsep ekonomi, sehingga tidak memiliki dimensi ruang. Untuk menjelaskan pengertian tersebut, Perroux menciptakan suatu “ruang abstrak” atau ruang dalam pengertian ekonomi, ruang sebagai suatu kumpulan kekuatan ekonomi.

Pengertian Growth Pole yang terkait dengan ruang sebagai suatu kumpulan kekuatan ekonomi, yang didefinisikan oleh Perroux sebagai pusat (Focii) memiliki gaya sentrifugal yang memiliki kekuatan untuk ‘mendorong’ dan gaya sentripetal yang memiliki kekuatan untuk ‘menarik’. Setiap pusat mempunyai daya tarik dan daya tolak dalam suatu medan daya tarik dan daya dorong bersama dengan pusat-pusat lainnya. Dengan pengertian ini berarti suatu Growth poles akan berperan memacu (menarik dan mendorong) perkembangan ekonomi di wilayah pengaruhnya.

Dalam konteks pertumbuhan, Perroux menyatakan bahwa yang menjadi medan magnet adalah kegiatan industri. Menurutnya, untuk mencapai pertumbuhan yang mantap dan berimbang diperlukan konsentrasi investasi pada sektor-sektor tertentu yang unggul (leading sectors). Dalam perkembangan selanjutnya akan terjadi suatu proses seleksi alam sehingga suatu sektor akan makin penting, sementara sektor lainnya justru menghilang. Proses seleksi ini terkait dengan mekanisme pasar dan inovasi wirausahawan yang sangat penting dalam proses pembangunan (Hansen, 1981 : 19). Industri- industri dan kegiatan-kegiatan yang akan berkembang dan membentuk kutub pertumbuhan tersebut memiliki beberapa ciri sebagai Leading Industries dan Propulsive Industries, antara lain :

Karakteristik Leading Industries :

1. Relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang menginjeksikan iklim pertumbuhan ke dalam suatu daerah.

2. Permintaan terhadap produknya memiliki elastisitas pendapatan yang tinggi, produk tersebut biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.

3. Mempunyai berbagai kaitan antar industri yang kuat dengan sektor-sektor lainnya (input dan output). Kaitan-kaitan ini dapat bersifat forward maupun backward.

Karasteristik Propulsive Industries : 1. Relatif besar.

2. Tingkat dominasinya tinggi, yaitu kebalikan dari tingkat ketergantungan industri lain terhadap industri tersebut.

3. Menimbulkan dorongan-dorongan yang nyata kepada lingkungannya. 4. Mempunyai kemampuan berinovasi yang tinggi. Termasuk dalam suatu

industri yang sedang bertumbuh dengan cepat.

Implikasi spasial dari konsep kutub pertumbuhan diperkenalkan oleh Boudeville (1966) yang mendefinisikan kutub pertumbuhan regional sebagai aglomerasi geografis ‘sekelompok’ industri propulsive yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke seluruh wilayah pengaruhnya. Melalui efek kumulatif. Kemampuan suatu industri untuk menyebarkan pertumbuhan tersebut tergantung pada ‘multiplier effect’ yang berhubungan dengan faktor-faktor input-output antar industri, misalnya efek ganda dari tenaga kerja dan output pendapatan.

Dalam kutub pertumbuhan terdapat kecenderungan terkonsentrasinya kegiatan ekonomi pada titik tertentu karena adanya faktor saling keterkaitan dan ketergantungan aglomerasi (Munir, 1984 : 38). Konsentrasi dan kesalingketerkaitan merupakan faktor penting dalam setiap pusat pertumbuhan karena melalui faktor ini ongkos produksi, termasuk transportasi pada kegiatan-kegiatan industri dapat diturunkan (aspek kesamaan bahan dan pasar). Ada tiga keuntungan aglomerasi, yaitu : Skala ekonomi (scale economies), Localization economies dan Urbanization economies. Hal ini berarti bahwa jika kegiatan ekonomi (industri) yang saling berkaitan dikonsentrasikan pada suatu tempat tertentu, maka pertumbuhan ekonomi dari daerah yang bersangkutan akan dapat ditingkatkan dibandingkan kalau industri tersebar dan terpencar ke seluruh pelosok wilayah.

Pengembangan wilayah melalui konsep ini secara nyata akan terlihat dari perkembangan kota-kota sebagai kutub pertumbuhan-kutub pertumbuhan suatu wilayah. Kota-kota pusat pertumbuhan tersebut memiliki tingkat kemajuan berbeda dan saling berinteraksi sehingga pada kondisi ideal dapat membentuk

suatu pola kota yang hirarkis. Dari hirarki kota ini diharapkan dapat terjadi proses penyebaran kemajuan antar kota di wilayah tersebut yang pada dasarnya berlangsung dalam beberapa cara, yaitu (Munir, 1984 : 39) :

1. Perluasan kegiatan ekonomi ke wilayah pasar yang baru yaitu dari pusat terbesar kepada yang kecil;

2. Perpindahan kegiatan berupa rendah dari pusat yang besar ke pusat yang lebih kecil karena meningkatnya upah di kota (pusat) yang lebih besar;

3. Memberikan alternatif lokasi yang lebih baik untuk kegiatan industri yang mempunyai wilayah pasar dan kebutuhan prasarana yang berbeda sehingga operasinya lebih efisien;

4. Dorongan investasi dari wirausahawan yang disebarkan melalui hirarki.

Friedman memperkaya konsep Growth Poles ini dengan mengemukakan konsep Center -Periphery (pusat-pinggiran). Pengembangan wilayah menurut konsep Friedman akan melahirkan kota utama dan wilayah sekitarnya yang menjadi inti (Core) dari sistem kota-kota nasional dan pinggiran (periphery) yang berada di luar serta bergantung pada inti. Perkembangan disebarkan dari inti ke pinggiran melalui pertukaran penduduk, barang, dan jasa. Kota sebagai inti berpengaruh atas wilayah pinggirannya.

Hubungan antara core atau pusat pertumbuhan dengan Periphery dilukiskan dengan dua efek. Menurut, Myrdall (1957), pertama efek sebar ‘Spread Effect’ dan efek serap balik ‘Backwash Effect’.

Spread Effect terjadi apabila ekspansi kegiatan ekonomi pada Core membutuhkan input bahan baku dari daerah sekitarnya (mekanisme input-output). Sebaliknya ‘Backwash Effect’ terjadi jika industri propulsive tertentu, cenderung hanya akan menarik modal dari daerah sekitarnya sehingga output akan lebih tinggi. Menurutnya, Backwash Effect akan menjadi lebih kuat dari Spread Effect yang ditandai dengan adannya penyerapan ekonomi wilayah sekitarnya ke pusat-pusat pertumbuhan wilayah tersebut, yang berakibat kesenjangan wilayah.

Hirscman (1958) mengungkapkan pertumbuhan ekonomi pada pusat pertumbuhan akan berpengaruh pada daerah belakangnya melalui efek polarisasi atau ‘polarization Effect’ dan efek penetasan ke bawah (Trickling Down Effect). Polarization effect tersebut diperkuat dengan adanya pemusatan investasi pada pusat pertumbuhan, sedangkan Trickling Down Effect dapat tumbuh dengan cara meningkatnya daya tarik wilayah sekitarnya. Hirschman lebih optimis, sehingga Trickling Down Effect lebih besar disbanding Polarization Effect. Kuncinya adalah komplementaritas.

POSITIP : GROWTH POLE

1. Konsep kutub pertumbuhan memmberikan peluang untuk mendekatkan dua cabang penting dalam analisis regional yaitu analisis mengenai pertumbuhan ekonomi regional dan analisis struktur ruang regional.

2. Konsep kutub pertumbuhan memberikan kemungkinan pemakaian dan pengembangan teknik-teknik analisis seperti analisis input-output, analisis aglomerasi, dan sebagainya.

3. Konsep kutub pertumbuhan ini dapat digunakan sebagai alat strategi intervensi oleh pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan investasi bagi pembangunan daerah.

NEGATIP : GROWTH POLE

1. Kerangka permasalahan dikembangkan dalam setting masyarakat industri dan cenderung tidak melihat problem spesifik wilayah, khususnya wilayah perdesaan yang didominasi sektor pertanian.

2. Dalam hubungan pusat-pinggiran, efek balik (backwash effect) sering bekerja lebih cepat daripada efek pemancaran (spread effect), sehingga kesenjangan wilayah semakin melebar. Kondisi ini terjadi karena (a) kurang jelasnya hirarki kota-kota; (b) wilayah pinggiran tidak memiliki kekuasaan untuk mengendalikan sumberdayanya (Firman, 1989 : 14-18).

3. Rendahnya kapasitas penyerapan tenaga kerja karena industri yang dikembangkan di pusat-pusat pertumbuhan merupakan industri padat modal, sehingga kenaikan dalam kapasitas produksi tidak menciptakan kesempatan kerja yang seimbang.

4. Konsep ini tidak mempertimbangkan hubungan dualisme sektoral, antara sektor informal-formal atau perkotaan-perdesaan dalam pengembangan wilayah.

Dalam dokumen Bahan Ajar Ilmu Wilayah (Halaman 82-87)

Dokumen terkait