• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan Ajar Ilmu Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bahan Ajar Ilmu Wilayah"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

BAHAN AJAR ILMU WILAYAH

KONSEP WILAYAH DAN PERWILAYAHAN

BAGIAN – 1

(2)

Mangapa Kajian Wilayah

a. Pandangan Teoritis

1. Perubahan paradigma keilmuan, dari mono disiplin menjadi multidisiplin ilmu

2. Sulitnya menyelesaikan masalah hanya dengan satu pandangan disiplin ilmu

3. Ilmu wilayah adalah ilmu yang memadukan berbagai dimensi keilmuan, khususnya sosial dan lingkungan (fisik)

b. Pandangan Praktis (aplikasi untuk pembangunan)

1. Pertumbuhan dan pemerataan pembangunan (growth with equity) diseluruh wilayah

2. Menyeimbangkan pertumbuhan 3. Mengurangi kesenjangan

4. Mengarahkan kegiatan pembangunan sesuai potensi, permasalahan, dan prioritasnya

5. Mengembangkan keterkaitan sosial ekonomi antar wilayah (pusat-pinggiran, desa-kota)

6. Mengelola sumberdaya local

7. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan

8. Pengembangan wilayah khusus (wilayah tertinggal, rawan bencana, terisolir, perbatasan, dll)

(3)

ILMU WILAYAH

 Ilmu yang mempelajari tentang wilayah (region) dengan pendekatan sistem ( integrated dan comprehensif) serta bekerja dengan interdisipliner.

 Ilmu wilayah memberikan pola dan kerangka spasial kepada ilmu-ilmu sosial dan fisik yang telah ada guna mengusahakan tercapainya keseimbangan sosio spasial (spatial equilibrium) di wilayah yang bersangkutan dengan memperhitungkan dimensi waktu (dinamik).

Sifat ilmu wilayah: Multidimensional (sektoral dan regional), integrated

(4)

LINGKUP KAJIAN ILMU WILAYAH

Mengkaji variasi wilayah dengan fokus sumberdaya dan hasil-hasil pembangunan. Contoh: dikotomi wilayah (kota-desa, industri-pertanian, pusat-pinggiran, wilayah maju-terkebelakang), kesenjangan wilayah.

a. Lingkup Substantif

1. Ekonomi, mengkaji faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi perkembangan suatu wilayah (pendayagunaan resource, investasi, dan lain-lain).

2. Social dan cultur, mengkaji tentang partisipasi, institusi, pemerataan, kesejahteraan, dan lain-lain.

3. Resource Manajement, berkaitan dengan isu pengelolaan lingkungan dan sumberdaya, seperti: carrying capacity dan sustainable development.

(5)

4. Spatial Organization, berhubungan dengan perspektif keruangan dalam mengkaji wilayah, seperti tata ruang kegiatan, proses, dan dinamika struktur ruang.

b. Lingkup Wilayah (Spasial), unit entitas sub nasional, mulai dengan unit propinsi, kabupaten hingga kecamatan. Selain itu juga wilayah dalam pengertian sistem ekologis, seperti DAS dan kawasan fungsional lainnya.

c. Lingkup Waktu, mempertimbangkan perkembangan antar waktu (dinamika wilayah) dan prediktif.

KEDUDUKAN ILMU WILAYAH DALAM GEOGRAFI

Geografi the study of the earth’s surface as the space within which the human population lives (Johnston, 1981).

(6)

 Ada kesamaan objek (fokus) kajian antara geografi dan ilmu wilayah.  Ilmu wilayah menggunakan 3 pendekatan geografi, yaitu analisis

keruangan, analisis ekologi, dan analisis komplek wilayah. Selengkapnya dapat dilihat pada diagram berikut.

(7)

Gambar 2. Geografi dan Kajian Dinamika Wilayah GEOGRAFI The study of the earth’s surface as the space within which the human population lives (Johnston, 1987) ORGANISASI KERUANGAN HUBUNGAN MANUSIA LINGKUNGAN

TEKNIK atau ALAT DASAR (Basic tools) :

•Kartografi •Penginderaan jauh •Lain-lain :  Statistik  Modelling KEGIATAN MANUSIA (ekonomi, sosial, budaya, politik,dll) LINGKUNGA N ALAM (tanah, batuan,air, udara, flora dan fauna) ANALISA KERUANGAN (lokasi, jarak,ruang, aksesibilitas, dan interaksi keruangan) ANALISA EKOLOGI (ekosistem) ANALISA KOMPLEKS WILAYAH (analisa intra-regional) STUDI DINAMIKA WILAYAH Sistem informasi geografi. Pengelolaan DAS. Pengembanga n sumberdaya terpadu. Bencana (baik alam maupun non alam). Kerjasama regional. Lokasi kegiatan (industri,pariwi sata,pertokoan ,perkantoran,d sb). Perencanaan pengembanga n wilayah,perkot aan,perdesaa,d ll.

(8)

WILAYAH (REGION)

Pandangan Terhadap Wilayah

a. Pandangan Subjektif. Wilayah merupakan sarana untuk mencapai tujuan; hanya berupa buah pikiran; suatu model untuk membantu mempelajari (bagian) permukaan bumi.

………. Regions are a simple generalization of the human mind (Lzard)

b. Pandangan Objektif. Wilayah adalah nyata ada, merujuk pada bagian permukaan bumi; wilayah alamiah (natural regions).

Apa itu Wilayah ?

Wilayah : Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya, yang dibatasi oleh lingkup pengamatan tertentu.

Ruang : wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Kesatuan Geografis : dimensi geometri (ukuran) dan referensi geografis, dengan mengacu kepada wujud fisik wilayah.

Unsur Terkait : unsur-unsur di dalam wilayah meliputi komponen alam (fisik dan biotik), komponen manusia (sosial, ekonomi, budaya), komponen buatan (hasil cipta manusia, teknologi). Wilayah sebagai sistem, dengan subsistem di dalamnya (Socio System dan Natural System/ecosystem).

Dibatasi oleh lingkup pengamatan tertentu : 1.Homogenitas, 2.Heterogenitas, 3.Administrasi/Politik

Kawasan : wilayah dengan fungsi tertentu

(9)

Wilayah terkait dengan pembangunan dan kepentingan administrasi. Oleh karena itu wilayah didefinisikan Sub Nasional (propinsi, kabupaten, kecamatan, desa), di atas rumah tangga (komunitas). Tergantung Hirarki (Tingkatan).

(10)

PENDEKATAN MENGENAL WILAYAH

A. Pendekatan Landscape

• Natural Landscape

• Cultural Landscpe

B. Pendekatan Lingkungan

• Lingkungan Alam (Biogeofisik)

• Lingkungan Sosial

• Lingkungan Binaan

C. Pendekatan Sumberdaya

• Sumberdaya Alam

• Sumberdaya Manusia

(11)

WILAYAH SEBAGAI SISTEM

Pendekatan sistem sangat tepat dalam mengkaji wilayah, dengan segala komponen di dalamnya. Menuju Spatial Equilibrium.

Pendekatan sistem terdiri dari :

1. Sistem Input, Proses, dan Output

2. Terdiri dari beberapa subsistem yang terhubungkan secara intergratif. Dua subsistem utama adalah subsistem social (Social System) dan Ekosistem, sebagai dwi tunggal.

Dalam Social system terdiri dari ekonomi, politik, Sosial, dan kultur. 3. Integrated dan Komprehensif.

(12)

Kajian Wilayah

……..examination of a thing’s parts to find out their essential features’ spatial /regional analysis (Bruce Mitchell, 1998) :

Location and distribution of phenomena interaction of phenomena between places and regions spatial / regional structure arragement, and organization spatial processes.

Gambar lewat

PIRAMIDA LANDSCAPE WILAYAH (KUNCI PEMAHAMAN)

(13)

KONSEPSI WILAYAH

NO TIPOLOGI KONSEPSI WILAYAH

JENIS DEFINISI - KRITERIA KETERANGAN/CONTOH 1 Berdasarkan Tipe 1.Homogenoitas (Homogeneous region / formal region / uniform region Keseragaman dari properti (unsur/kriteria) yang ada dalam wilayah baik sendiri maupun gabungan

Identifikasi batas terluar, dengan mengenali core region (memiliki derajad deferensiasi yang tertinggi) 2.Heterogenitas

(Functional region/organic region/nodal region)

Pola interaksi dan interdependensi antar sub sistem (sub area), dengan tekanan pada kegiatan manusia

Ide sentralitas dan fungsional (ada wilayah inti =nodal dan hinterlandnya. 2 Berdasarkan

Rank / Hirarki

Klasifikasi wilayah berdasarkan urutan atau orde wilayah yang membentuk satu kesatuan

Pertimbangan : size (ukuran), form (bentuk), function (fungsi)

Contoh : RT,RW, Dusun, Desa,Kec, Kab, Prop. 3 Berdasarkan Kategori (jumlah kriteria) 1.Single Topic Region (Wilayah bertopik tunggal) Wilayah yang eksistensinya

didasarkan pada satu macam topik/kriteria saja

Wilayah curah hujan Wilayah geologi 2.Combined Topic Region (Wilayah bertopik gabungan) Wilayah yang eksistensinya didasarkan pada gabungan (lebih dari satu) macam kriteria (topik masih sama)

Wilayah iklim (gabungan dari cuarah hujan, temperatur, tekanan udara, angin) 3.Multiple Topic Region (Wilayah bertopik banyak) Wilayah yang eksistensinya mendasarkan pada beberapa topik yang berbeda satu sama lain

Wilayah pertanian (gabungan dari topik fisik = tanah, hidrologi dan topik tanaman)

Wilayah ekonomi 4.Total Region

(wilayah total) Delimitasi wilayah menggunakan semua unsur wilayah. Bersifat klasik, kesatuan politik, (administrasi) sebagai dasar Contoh : wilayah administrasi desa, kecamatan, kabupaten, propinsi

5.Compage Region Tidak mendasarkan pada banyak sedikitnya topik, tetapi aktivitas manusia yang menonjol

Semacam wilayah perencanaan, Misalnya wilayah miskin, wilayah bencana,dll

Keterangan : Pemanfaatan konsep-konsep tersebut, dapat tunggal dan kombinasi, tergantung kepada jenis kegiatan, lingkup usaha, masalah, cakupan wilayah, dan tujuan program yang dirancang.

(14)

PEWILAYAHAN

• Usaha untuk membagi-bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan tertentu pula. Pembagiannya dapat mendasarkan pada kriteria-kriteria tertentu, seperti administrasi, fisik, ekonomi, sosial, geografis dan sebagainya.

• Secara teknik, berkaitan dengan proses penentuan batas daerah yang bentuknya tergantung pada tujuan pengelompokan, kriteria yang digunakan dan ketersediaan data.

Tujuan umum pewilayahan untuk mempermudah penganalisaan serta memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang ada pada kelompok-kelompok wilayah tersebut.

Terkait dengan pembangunan, tujuan pewilayahan di Indonesia adalah : 1. Menyebarkan pembangunan dan menghindari pemusatan

pembangunan yang berlebihan pada wilayah tertentu.

2. Keserasian dan koordinasi antar kegiatan pembangunan (sektoral di daerah)

(15)

METODE PEWILAYAHAN 1. Penyamarataan Wilayah (Regional Generalization)

• Usaha menggolongkan wilayah kedalam bagian-bagian tertentu, dengan cara menonjolkan karakter-karakter tertentu.

• Unsur-unsur yang kurang/tidak penting dan tidak relevan dihilangkan.

• Tujuannya menonjolkan sifat tertentu yang dominan dari suatu wilayah.

• Memperhatikan skala peta dan tujuan pewilayahan.

• Dapat menggunakan cara-cara delimitasi kuantitatif dan kualitatif.

Sebagian besar menggunakan metode kualitatif

2. Klasifikasi Wilayah (Regional Classification)

• Usaha menggolongkan wilayah secara sistematis ke dalam bagian-bagian tertentu (klasifikasi) berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

• Semua unsur, kriteria, individu diperhitungkan dalam proses klasifikasi.

• Tujuannya mencari deferensiasi (perbedaan) antar bagian-bagian wilayah.

• Dapat menggunakan cara-cara delimitasi kuantitatif dan kualitatif.

(16)

VARIABEL PEWILAYAHAN Berdasarkan Jumlah Variabel / Kriteria

1. Single Variable (variable tunggal)

2. Multiple Variabel (variable banyak)…….Lihat bagian kategori wilayah

Berdasarkan Teknik Penentuan Batas (delimitasi)

1. Kualitatif (deskriptif,interpretasi foto udara)

2. Kuantitatif (Thiesen polygon, Railly’s law = Law of retail gravitation, computer, statistik)

Penentuan Batas

• Tidak ada satupun daerah yang memiliki karakteristik yang sama identik. Sehingga sulit ada batas yang tegas antar wilayah.

• Yang terpenting adalah wilayah inti (core region) yang memiliki deferensiasi tinggi, sedangkan batas antar wilayah, lebih kepada zone peralihan (zone transition) dimana deferensiasinya paling rendah.

(17)

PLANNING REGION AND PROGRAMME REGION

KRITERIA ANALISIS PERENCANAAN

Interdependensi Functional Region Nodal Region Polarized Region

Planning Region

Similarity (Kesamaan) Uniform Region Formal Region

Homogeneous Region Zonal Region

(18)

SWP (SUB WILAYAH PEMBANGUNAN) Prinsip

Menciptakan integrasi, melalui keterkaitan dan ketergantungan

Tujuan

1. Memperkuat kesatuan atau integrasi (ekonomi) negara atau wilayah secara utuh

2. Efisiensi pertumbuhan (prinsip growth centers)

3. Menyebaratakan pembangunan dan menghindarkan pemusatan kegiatan (kesenjangan)

(19)

Komponen

1. Model Sistem Integrasi

2. Inti (pusat) wilayah dan wilayah pengaruhnya (hinterland) 3. Penentuan batas SWP

4. Basis Ekonomi SWP

PENENTUAN SWP

1. Deskripsikan Sistem Keterkaitan, Ketergantungan, dan Pola Pergerakan Dalam Suatu Wilayah

………Wilayah Homogen (Variabel Fisik Wilayah) Dapat Dijadikan Dasar

2. Tetapkan Inti / Pusat Wilayah Dan Wilayah Pengaruhnya 3. Penentuan Batas

4. Penilaian Basis Ekonomi

Instrumen : Pemetaan / Gis

(20)
(21)

SPATIAL LINKAGE ANALYSIS

PATTERNS OF PHYSICAL, ECONOMIC, SOCIAL AND ORGANIZATIONAL INTERACTIONS AMONG SETTLEMENTS AND RURAL AREAS SURROUNDING THEM

MAJOR LINKAGES IN SPATIAL DEVELOPMENT :

1. PHYSICAL LINKAGES : ROAD, RIVER TRANSPORT, RAILROAD, ECOLOGICAL INTERDEPENDENCES

2. ECONOMIC LINKAGES : MARKETT PATTERNS, FLOWS OF RAW MATERIALS, PRODUCTION LINKAGES, CONSUMPTION AND SHOPPING PATTERNS, INCOME FLOWS

3. POPULATION MOVEMENT : TEMPORAL AND PERMANENT MOVEMENT (MIGRATION)

4. TECHNOLOGICAL LINKAGES : TECHNOLOGY

INTERDEPENDENCY, IRRIGATION SYSTEM,

TELECOMMUNICATION SYSTEM

5. SOCIAL INTERACTION LINKAGES : VISITING PATTERN, RITUAL AND RELIGIUS ACTIVITIES

6. SERVICE DELIVERY LINKAGES : ENERGY FLOWS AND NETWORKS, CREDIT AND FINANCIAL NETWORKS, EDUCATION HEALTH SERVICE DELIVERY SYSTEMS

(22)

7. POLITICAL, ADMINISTRATIVE AND ORGANIZATIONAL LINKAGES : GOVERNMENT BUDGET FLOWS AND STRUCTURAL RELATIONSHIPS

(23)

BAHAN AJAR ILMU WILAYAH

PENDEKATAN WILAYAH DALAM PEMBANGUNAN

(24)

PENDEKATAN PENGEMBANGAN WILAYAH PENDAHULUAN

Mekanisme perencanaan pembangunan nasional berjalan melalui dua pendekatan utama, yaitu pembangunan sektoral dan regional. Hasil dua pendekatan tersebut diharapkan dapat menciptakan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas dasar kekuatan sendiri dan mewujudkan masyarakat adil makmur berdasarkan pancasila. Kenyataannya, upaya menciptakan keselarasan dan keserasian dua strategi tersebut merupakan hal pelik, bahkan terkadang cenderung kontradiktif dan dikotomis.

Dalam perkembangannya pendekatan pertama (sektoral) nampak lebih menonjol dan semakin menguat dibanding pendekatan kedua (regional), hal ini dapat dilihat dari orientasi pembangunan yang secara tegas meletakkan aspek pertumbuhan ekonomi (economic growth) sektoral sebagai cara untuk mencapai tujuan pembangunan. Disamping telah memberikan hasil yang memuaskan (dilihat dari indikator ekonomi) seperti pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan perkapita naik, namun orientasi tersebut ternyata telah menimbulkan beberapa masalah, salah satu diantaranya adalah tidak meratanya distribusi kegiatan dan hasil pembangunan, sehingga beberapa agenda permasalahan pembangunan, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketimpangan antar wilayah (kota – desa, pusat – daerah), sering digunakan sebagai contoh produk model pembangunan (sektoral) yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

(25)

Hal tersebut dapat dimengerti karena untuk mengejar pertumbuhan yang tinggi serta efisiensi, pembangunan diutamakan pada kegiatan-kegiatan yang paling produktif, terutama kegiatan ekspor produksi primer seperti pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Sementara itu untuk mengadakan barang-barang konsumsi dan mengurangi ketergantungan impor, dikembangkan industry substitusi impor, yang dikembangkan di kota-kota besar. Akibatnya tingkat pembangunan ekonomi yang tinggi hanya terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan sumber alam serta kota-kota besar. Dari sinilah persoalan ketimpangan wilayah sebagai agenda utama pembangunan regional berawal dan terus berkembang.

Gunawan Sumodiningrat (1995) mencatat tiga bentuk ketimpangan pembangunan, yaitu ketidakmerataan antar golongan penduduk, ketidakmerataan antar sektor dan ketidakmerataan antar wilayah. Ketidakmerataan antar golongan penduduk terlihat dari masih banyaknya penduduk miskin, baik di perkotaan maupun perdesaan, meskipun relatif menurun, namun penurunan tertsebut tidak sebanding dengan peningkatan hasil pembangunan yang dinikmati oleh golongan masyarakat yang tidak miskin. Spektrum ketimpangan antar golongan penduduk juga meluas pada dimensi pribumi dan non pribumi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tampaknya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil lapisan masyarakat Indonesia, sedangkan sebagian besar masyarakat masih hidup dalam suasana ‘kemiskinan’.

Ketidakmerataan pembangunan antar sektor dan antar wilayah muncul secara nyata dalam beberapa bentuk dualisme, yaitu antara sektor pertanian yang semakin menurun peran dan produktivitasnya, namun menampung tenaga kerja yang cukup banyak dan sektor industri yang cenderung capital intensive dengan daya serap tenaga kerja rendah namun kontribusinya semakin meningkat. Demikian pula halnya dengan sektor jasa dan perdagangan yang semakin jauh meninggalkan sektor pertanian. Lebih lanjut ketidakmerataan aspek demografis dan sumberdaya alam serta kebijakan pemerintah telah memberikan andil yang cukup besar dalam ketimpanagan wilayah. Dikotomi Jawa (pusat) dan luar Jawa (pinggiran), Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI), antara perdesaan dan perkotaan adalah kasus

(26)

nyata pembangunan wilayah Indonesia. Fakta-fakta tersebut merupakan suatu contoh adanya masalah pembangunan dilihat dalam dimensi ruang (wilayah).

Strategi pembangunan yang hanya mendasarkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek distribusi (pemerataan), perluasan kesempatan kerja, penghapusan kemiskinan serta aspek wilayah, walaupun pada tahap awalnya berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun akhirnya akan mengalami berbagai masalah tersebut.

Untuk mengatasi masalah tersebut tentunya diperlukan kebijaksanaan yang menangani masalah ruang, dalam hal ini adalah kebijaksanaan pengembangan wilayah. Kebijaksanaan ini berkenaan dengan lokasi di mana pembangunan ekonomi dilakukan. Wilayah nasional tidak homogen, dan kegiatan pembangunan tidak terjadi pada tiap bagian wilayah dengan merata. Peranan perencanaan wilayah adalah untuk menghubungkan kegiatan yang terpisah-pisah untuk mencapai tujuan pembangunan nasional (Friedmann, 1966 : 5).

(27)

PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PERANANNYA

Pengembangan wilayah berkenaan dengan dimensi spasial (ruang) dari kegiatan pembangunan. Didasari pemikiran bahwa kegiatan ekonomi terdistribusi dalam ruang yang tidak homogen, oleh karena lokasi mempunyai potensi dan nilai relatif terhadap lokasi lainnya, maka kegiatan yang bertujuan ekonomi maupun sosial akan tersebar sesuai dengan potensi dan relatif lokasi yang mendukungnya (Luthfi, 1994).

Begitu pula kesejahteraan penduduk akan tergantung pada sumberdaya dan aksesibilitasnya terhadap suatu lokasi, dimana ekonomi terikat (Richardson, 1981 : 270). Usaha-usaha untuk mengkaitkan kegiatan ekonomi sektor industri dengan sektor pertanian, atau pengkaitan beberapa jenis industri akan sulit tercapai tanpa memperhatikan aspek ruang, karena masing-masing terpisah oleh jarak geografis. Oleh karena itu arti pembangunan juga perlu diberi perspektif baru sebagai upaya pengorganisasian ruang (Luthfi, 1994). Untuk tujuan ini maka pendekatan pengembangan wilayah yang menyangkut aspek tata ruang mendapatkan peranannya.

Pendekatan melalui pengembangan wilayah ini mempunyai beberapa keuntungan, Pertama, akan didasari pengenalan yang lebih baik atas penduduk dan budaya pada berbagai wilayah, serta pengenalan atas potensi unik daerah. Sehingga memudahkan untuk melaksanakan pembangunan daerah yang sesuai dengan potensi, kapasitas serta problem khusus daerah tersebut. Dengan pengembangan wilayah ini dapat diharapkan kemungkinan lebih baik untuk memperbaiki keseimbangan sosial ekonomi antar wilayah (Friedmann, 1979 : 38).

(28)

Alasan politis diterapkannya perencanaan pengembangan wilayah antara lain adalah bahwa pembangunan nasional yang terlalu bersifat sektoral dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor lokasi, atau bagaimana penjalaran pertumbuhan tersebut dalam ruang ekonomi. Tindakan mengabaikan dimensi tata ruang, ditambah dengan hanya menekankan pemikiran jangka pendek, akan memberikan kontribusi tetrhadap semakin tajamnya kesenjangan antar wilayah (Miller, 1989 : 8).

Pengembangan wilayah merupakan perangkat yang melengkapi atau bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan wilayah diarahkan untuk mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar desa dan kota, antar sektor serta pembukaan dan percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya, yang disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah bersangkutan sehingga terwujud pola pembangunan yang merupakan perwujudan Wawasan Nusantara (GBHN, 1993). Selanjutnya tujuan dan prinsip pendekatan dalam pengembangan wilayah juga tidak terlepas dari tujuan dan prinsip pembangunan nasional.

Hal ini berarti setiap kegiatan pembangunan di daerah harus mempertimbangkan kondisi dan situasi regional (aspek kewilayahan) disamping pertimbangan-pertimbangan yang bersifat sektoral. Kebijaksanaan pembangunan regional di Indonesia paling tidak mempunyai empat tujuan utama (Tojiman S, 1981) yaitu :

1. Meningkatkan kseimbangan dan keserasian antara pembangunan antar sektoral dan pembangunan regional, dengan meletakkan berbagai pembangunan sektoral pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan potensi dan prioritasnya.

2. Meningkatkan keseimbangan dan keharmonisan serta pemerataan pertumbuhan antar wilayah.

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat local dalam pembangunan.

4. Meningkatkan keserasian hubungan antara pusat-pusat wilayah dengan

(29)

Pada dua dasawarsa terakhir, perencanaan regional di Indonesia semakin menunjukkan aura respectability (pancaran kehormatan), seiring semakin kompleksnya tantangan dan masalah pembangunan dan adanya keyakinan bahwa pendekatan kewilayahan merupakan jawaban yang paling tepat untuk mengatasi ketimpangan hasil-hasil pelaksanaan pembangunan, khususnya ketimpangan antar wilayah. Dengan demikian pembangunan regional diharapkan dapat muncul sebagai salah satu alternatif paradigma pembangunan yang berfungsi sebagai balance

terhadap penarapan pola kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh para pemegang kebijakan ekonomi orde baru. Pada dasawarsa ini pula kebijakan regional menunjukkan perannya, hal ini didukung oleh semakin maraknya kebijakan yang berorientasi pada wilayah semacam otonomi wilayah, desentralisasi, regionalisasi, penyusunan tata ruang wilayah, pembangunan kawasan terpadu dan lain-lain.

(30)

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN REGIONAL

Pada hakekatnya daerah merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional, oleh karena itu dalam rangka menjamin agar pelaksanaan pembangunan nasional dapat berjalan serasi dan seimbang, maka perlu diusahakan keselarasan antara pembangunan sektoral dan pembangunan daerah. Hal ini berarti setiap kegiatan pembangunan di daerah harus mempertimbangkan kondisi dan situasi regional (aspek kewilayahan) disamping pertimbangan-pertimbangan yang bersifat sektoral.

Kebijaksanaan pembangunan regional di Indonesia paling tidak mempunyai empat tujuan utama (Bappenas, 1993) yaitu :

1. Meningkatkan keseimbangan dan keserasian antara pembangunan sektoral dan pembangunan regional, dengan meletakkan berbagai pembangunan sektoral pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan potensi dan prioritasnya. 2. Meningkatkan keseimbangan dan keharmonisan serta pemerataan

pertumbuhan antar wilayah.

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan.

4. Meningkatkan keserasian hubungan antara pusat-pusat wilayah dengan

hinterlandnya dan antara kota dan desa.

Pertanyaan yang tentunya menarik untuk dikedepankan adalah bagaimana problematika pembangunan dipahami dalam kontek atau pendekatan pembangunan wilayah (regional development) dan sejauh mana model pembangunan wilayah di

(31)

Indonesia mampu mengatasinya. Selanjutnya analisis teoritis dan fakta digunakan untuk menjelaskannya.

Untuk memahami pelaksanaan pembangunan regional di Indonesia maka perlu dipahami dasar pemikiran dan konsep yang digunakan, khususnya konsep pusat-pusat pertumbuhan (growth centers) serta bagaimana wujud pelaksanaannya.

Dalam konsep pembangunan wilayah (regional development) yang selama ini kita terapkan, tampak jelas bahwa strategi pembangunan nasional lebih menganut model Growth centers yang lebih cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Asumsi dasar adalah terjadinya mekanisme trickle down effect, yaitu adanya proses difusi atau proses penebaran hasil dan proses pembangunan ke pusat-pusat pertumbuhan yang lebih rendah dan wilayah hinterlandnya.

Dalam model growth centers, pembangunan berlangsung dalam suatu equilibrium matrix lokasi yang terdiri dari beberapa pusat-pusat pertumbuhan (growth centers) dan daerah penyangga-pinggiran (hinterland). Langkah awal dimulai dengan membangun pusat atau kutub pertumbuhan lebih dahulu (dengan industrialisasi). Pertumbuhan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat. Apabila langkah ini berhasil, maka tindakan kedua adalah proses penjalaran atau penetesan keberhasilan itu ke wilayah-wilayah hinterland di sekitarnya. Mekanisme efek tebar berjalan melalui proses membangun keterkaitan (linkages development) leading industries pada pusat-pusat pertumbuhan, baik keterkaitan ke depan (forward linkages) dan ke belakang (backward linkages).

Model seperti inilah yang oleh Dean K. Forbes (1986) disebut sebagai model pembangunan non-marxis. Pada model seperti ini pada kenyataannya tidak jelas mekanisme penetesannya bahkan cenderung mengakselerasikan proses industrialisasi dan urbanisasi serta telah menimbulkan terkonsentrasinya pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan (dalam kasus Indonesia : Jawa, Sumatera, Bali = Kawasan Barat

(32)

Indonesia). Dengan demikian bukan trickle down effect yang terjadi, melainkan keadaan sebaliknya yaitu backwash and polarization effect, dimana terjadi penyedotan (aliran) potensi sumberdaya wilayah hinterland oleh pusat-pusat pertumbuhan ; sehingga pada akhirnya akan semakin memperluas kesenjangan dengan wilayah-wilayah pinggiran.

Studi yang dilakukan M.J. Titus tentang arus migrasi (1978) dan Mubyarto (1989) tentang pengaliran modal menyebutkan bahwa ciri model pembangunan tersebut di dunia, ketiga adalah terciptanya mekanisme penyedotan sumberdaya (capital dan tenaga kerja) dari wilayah pinggiran menuju wilayah pusat. Selanjutnya dengan jelas disebutkan bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah Indonesia terjadi bukan hanya karena faktor kemiskinan sumberdaya wilayah, tetapi juga akibat pola hubungan yang tidak seimbang antara pusat kota dan daerah.

Kegagalan untuk mewujudkan efek tetesan, oleh Friedman (1975) disinyalir akibat tidak bekerjasamanya mekanisme pasar secara proporsional, oleh karena itu timbullah upaya untuk merencanakan pusat-pusat pertumbuhan di dalam kerangka pengembangan wilayah yang terkendali.

Meskipun terlalu dini untuk mengatakan kebijaksanaan pembangunan regional di Indonesia ‘gagal’, namun analisis fakta menunjukkan bahwa pendekatan seperti ini kurang berhasil diterapkan di Indonesia. Kesenjangan antar wilayah nyatanya tetap menyolok, meski intervensi pemerintah sudah banyak dilakukan. Ini terutama terjadi akibat modal (kapital) yang diharapkan bisa mengalir ke pinggiran, lebih banyak tertahan di pusat atau wilayah lain yang secara ekonomi lebih menguntungkan, bahkan seringkali mengalir ke pusat.

Beberapa hasil studi berikut menngambarkan belum berhasilnya kebijakan pembangunan regional yang diterapkan di Indonesia, diantaranya ditandai dengan semakin exist-nya problem ketimpangan wilayah (regional inequity) dalam tingkat pertumbuhan dan perkembangan antar daerah dan dalam tingkat pendapatan dan kemakmuran, terjadi pula sistem keruangan yang benar-benar terkutub dengan pusat kota mendominasi suatu jaringan perkotaan yang terbelakang.

(33)

Hendra Asmara (1975) menggarisbawahi bahwa ada periode 1988-1971 terdapat ketimpangan antar wilayah di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, tingkat produktivitas perkapita, kualitas tenaga kerja dan efisiensi penggunaan sumberdaya dan organisasi. Pratilla (1981) menunjukkan adanya konsentrasi aset-aset pembangunan pada WPU-B, baik dalam aspek sumberdaya manusia, Produk Domestik Regional Bruto (PDBR) maupun PDBR per kapita, dimana wilayah ini memberikan sumbangan lebih dari 40% dari pendapatan nasional.

Moeljarto Tjokrowinoto (1995) mengungkapkan bahwa hal ini merupakan konsekuensi logis orientasi pertumbuhan yang cenderung mengarahkan alokasi sumberdaya pada wilayah-wilayah pusat pertumbuhan maka disamping keberhasilan pembangunan maka tampak adanya regional inequity atau ketimpangan regional yang cukup memprihatinkan. Selanjutnya hal ini tercermin dari timpangnya pembiayaan pembangunan (dana INPRES, DAU, dan DAK), produk domestik regional bruto (PRDB), pendapatan perkapita, proporsi penduduk miskin, indeks mutu hidup (IMH), atau physical quality of life index (PQLI) antar propinsi (Biro Pusat Statistik dan Budhy Tjahjati Soegijoko, (1992). Selain itu juga terjadi kesenjangan sektoral (dicerminkan oleh tidak seimbangnya indek nilai tukar) antara sektor pertanian dan nonpertanian dan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Dengan demikian secara tidak sadar telah terjadi proses pengkutuban hasil-hasil pembangunan (polarized development process) pada wilayah tertentu dan marginalisasi di wilayah lain.

Dengan menggunakan indikator kesenjangan pendapatan per kapita, penyebaran dan konsentrasi industri, investasi, kemiskinan dan pendidikan, Cornelis Lay (1993) dengan jelas mengemukakan bahwa keterbelakangan dan ketimpangan antar wilayah exist di Indonesia. Bahkan beberapa indikator mengkonfirmasikan adanya kecenderungan untuk terus memburuk. Lebih lanjut, perbandingan antar wilayah menunjukkan bahwa secara umum daerah-daerah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) memiliki penampilan yang lebih meyakinkan dalam hal tingkat kemajuannya, sementara wilayah-wilayah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lebih mewakili performance keterbelakangan. Perbandingan antara kedua wilayah tersebut

(34)

mengindikasikan terjadinya kesenjangan yang cukup tajam. Bahkan, ketimpangan yang sama juga terjadi dalam satu wilayah yang sama.

Menguatnya terminology pembangunan KBI (sebagian wilayah yang diuntungkan) dan KTI (wilayah yang kurang beruntung) akhir-akhir ini menjadi indikator penjelas adanya ketimpangan antar wilayah. Apabila tidak segera diantisipasi dengan cepat maka tidak hanya akan menimbulkan kerawanan sosial dan ekonomi tetapi juga politik, terutama pada aspek integrasi nasional dan hamkamnas.

Dalam konteks situasi seperti ini beberapa program pembangunan yang berdimensi pemerataan akan sulit diharapkan keberhasilannya selama orientasi (model) pembangunan dan faktor serta mekanisme ketimpangan itu tidak diubah. Artinya harus ada perubahan atau penyesuaian pembangunan pada tingkat makro. Jika selama ini pengembangan wilayah-wilayah pusat terus dilaksanakan, sudah saatnya pengembangan wilayah pinggiran dengan lebih serius. Adanya kenyataan diatas mendorong upaya-upaya untuk mencari paradigma pengembangan kawasan alternatif yang lebih fungsional dan mampu merespon pertumbuhan ekonomi dan mewujudkan pemerataan.

Ditetapkannya Undang-Undang No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR) yang menjadi dasar bagi perumusan Strategi Nasional Pembangunan Tata Ruang Nasional (SNPTR) dan Perencanaan Tata Ruang Wilayah pada tingkat yang lebih rendah belum memberikan hasil yang optimal, hal ini nampak dari banyaknya konflik kepentingan terhadap ruang yang terjadi. Meskipun demikian dukungan aspek kelembagaan atau perundang-undangan dan beberapa kebijakan lain yang bernuansa regional semacam Program Pengembangan Wilayah (PPW) atau Provincial Development Programme (PDP), Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), diharapkan akan semakin mampu menyentuh akar permasalahan.

(35)

RESTRUKTURISASI STRATEGI PEMBANGUNAN

Masa depan pembangunan nasional maupun regional dalam pembangunan Indonesia dalam konteks otonomi daerah tergantung tidak saja pada tekad politik dan keberanian pemerintah tapi juga pemahaman yang tepat terhadap pembangunan regional. Pelaksanaan pembangunan regional akan tersendat tanpa restrukturisasi kebijakan dan strategi pembangunan. Hal ini dilaksanakan untuk menangkal berbagai macam kesenjangan dan ketidakmerataan yang muncul sebagai akibat pelaksanaan pembangunan, langkah-langkah restrukturisasi penting antara lain (Muta’ali, 1997) :

1. Restrukturisasi Alokasi Dana Pembangunan

Baik dana APBN maupun APBD ataupun dana swasta lainnya secara proporsional. Anggaran DAU dan DAK yang sering memunculkan kontroversi dan tidakpuasan bagi daerah terus diperbaiki dan harus tetap ditingkatkan sebagai keputusan politik dalam alokasi anggaran dan pemerataan pembangunan, khususnya lebih diutamakan untuk mengatasi daerah-daerah hinterland yang miskin dan sulit berkembang serta mengeliminir kesenjangan wilayah. Hal ini juga harus diimbangi pola perimbangan keuangan pusat dan daerah yang lebih baik.

2. Restrukturisasi Spasial

Kebijaksanaan penting yang harus dilakukan guna meningkatkan efektifitas pembangunan regional dan mengurangi kesenjangan antar wilayah adalah diberikannya penekanan pada mekanisme penyebaran modal atau aset pembangunan secara geografis dan proporsional. Selain itu fokus kebijaksanaan diarahkan pada upaya-upaya mengkoordinasikan berbagai kegiatan perencanaan pembangunan lokal pada sejumlah daerah terpilih sesuai dengan potensi dan permasalahan.

Dalam konteks pembangunan regional Indonesia, perlu diciptakan pola hubungan antar wilayah yang seimbang dan menekankan aspek pemerataan dan

(36)

keseimbangan terutama pada KTI dan KBI, antara Jawa dan luar Jawa, Perkotaan dan Perdesaan, Pusat dan Pinggiran dan seterusnya, serta berpihak kepada daerah-daerah miskin. Beberapa policy tentang pengembangan kawasan andalan, pengembangan segitiga pertumbuhan, pengembangan prasarana dan kebijakan insentif di beberapa daerah terbelakang perlu direalisasikan lebih nyata. Selain itu juga perlu membangun jalinan keterkaitan antar wilayah (Rondinelli, 1983).

3. Restrukturisasi Sektoral

Dilakukan terutama untuk mengatasi berbagai kemungkinan berkembangnya kesenjangan sektoral, terutama antara industri dan pertanian, antara sektor formal-modern dan sektor informal-tradisional, dan seterusnya sehingga benar-benar mampu diciptakan keserasian dan keseimbangan antar sektor. Kebijakan dapat ditempuh baik dalam aspek perimbangan keuangan, investasi, program dan proyek pembangunan, kelembagaan, maupun aspek politis yang lain.

4. Restrukturisasi Kelembagaan

Perlunya aspek perundang-undangan yang mengatur tentang pola hubungan dan tata kerja serta perimbangan pembangunan antar wilayah, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan. Selain itu perlu ditunjang adanya institusi perencanaan wilayah yang memadai baik secara kuantitas maupun kualitas.

Perencanaan yang bersifat keruangan dan pembangunan wilayah perlu dilakukan karena kedua hal tersebut merupakan suatu cara untuk memecahkan permasalahan pembangunan yang mendasar. Permasalahan ini adalah bagaimana mengembangkan pertumbuhan ekonomi secara luas yang mengijinkan sebagian besar penduduk pedesaan dan wilayah-wilayah tertinggal untuk berpartisipasi lebih efektif dalam kegiatan produktif dan untuk mencapai keuntungan yang lebih besar dari proses pembangunan (Rondinelli, 1985). Namun langkah-langkah ini tidak akan sepenuhnya bermanfaat apabila tidak didukung oleh political will yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terkait untuk mengatasi kesenjangan wilayah.

(37)

PENUTUP

Menguatnya otonomi daerah dan pendekatan wilayah dalam pembangunan merupakan tantangan yang menarik bagi geograf, untuk mengerahkan seluruh kemampuannya bagi pengkajian yang lebih mendalam dan bermanfaat bagi ilmu dan masyarakat. Menurut Fawcett, penerapan ilmu geografik secara sistematik kepada kondisi-kondisi yang ada, memungkinkan kajian wilayah dapat dilakukan secara komprehensif dan memuaskan. Dengan kata lain kajian geografis akan turut menentukan keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan pembangunan (otonomi) daerah dan masyarakatnya.

(38)

BAHAN AJAR ILMU WILAYAH

ANALISIS WILAYAH

(39)

SCOPE OF SPATIAL / REGIONAL ANALYSIS

(bruce mitchell, 1998)  Location and distribution of phenomena

 Interaction of phenomena between places and regions  Spatial / regional structure arragement, and organization  Spatial processes

(40)

STRUKTUR WILAYAH ADALAH HASIL KENAMPAKKAN INTERAKSI

MULTI FAKTOR

Kenampakan : struktur ekonomi,struktur sosial,struktur pemanfaatan ruang. Economic Social Culture Politic geographic Human process created reg.structure Spatial/Regional Sructure (pattern of economic Activity) Reciprocal relationship spatial form/regional structure influence a human process

(41)

KERANGKA DASAR ANALISIS WILAYAH TIPE WILAYAH : HOMOGEN DAN FUNGSIONAL

1. Wilayah Homogen

• Perbedaan dengan wilayah lain lebih penting daripada perbedaan di dalam wilayah

• Perbedaannya cukup signifikan

• Perbedaan dapat diuji secara empiris

Kriteria untuk deleniasi sangat tergantung ‘kepentingan’ dan ‘tujuan’ analisis.

Teknik analisis : single variabel atau\

Analisis faktor & indexing/scoring multi variabel

2. Wilayah fungsi

- Dicirikan dengan perbedaan-perbedaan di dalam wilayah dan hubungan-hubungan fungsional, yang sering diekspresikan dengan adanya aliran (flows), seperti transportasi, komunikasi,dst.

Manusia membutuhkan ruang untuk aktivitasnya Lokasi

Transportasi dan komunikasi Spesialisasi

Pusat/node/center

Teknik analisis :

(42)

STRUKTUR WILAYAH (PEMAHAMAN MAKNA DASAR) A. Komposisi

Didasarkan pada kesamaan kriteria (intra region) • Ekonomi

• Sosial

• Fisik (Pemanfaatan Ruang)

B. Jaringan

Didasarkan pada keterkaitan antar wilayah (inter region) • Center – Pherypery

• Hirarki

• Keterkaitan

(43)

ANALISIS REGIONAL

ANALISIS INTER-REGIONAL

 Setiap satuan wilayah dianggap sebagai ‘agregat’ utuh

 Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian di dalam setiap wilayah, bukan ‘the main concern’

 Analisis lebih ditekankan pada interaksi dan interdependensi antar wilayah

ANALISIS INTRA-REGIONAL

 Disagregasi ruang dan unsur-unsur di dalam wilayah

 Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian wilayah (sub-wilayah), merupakan ‘the main concern’

 Analisis interaksi dan interdependensi antar wilayah, hanya bersifat komplementer

(44)

GEOGRAPHIC DATA MATRIX

 DAERAH DALAM ANGKA

 SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

 HINCO Approach : 1. HUMAN aspect 2. INSTITUTIONAL aspect 3. NATURAL aspect 4. CAPITAL aspect 5. OTHER aspect

(45)

Analytical Rubric Table Subjects

1. Human aspect Population size and demographic characteristic;education;work experience,skills;income and wages;expenditure patterns;employment,unemployment,labor force participation;health;population subsets (e.g.minorities,rural,urban);productivity;housing;commutation;labor market areas.

2. Institutional aspect Regional and local governments;public revenue and expenditure patterns;social and municipal services;labor-to-capital ratios;business barriers, business institutions;institutional coordination;institutional participation,trade and labor organizations;cooperatives;economic activity mix characteristics;land ownership patterns.

3. Natural aspect Land use patterns,mineral resources,soil types,water resources;topographic features;recreation assets;scenic assets,locational characteristics;historicsites;other heritage-related fentures;environmentally sensitive zones;hazard-prone zone.

4. Capital aspect Infrastructure;land use potentials;transportation and communication;public investment;private investment;saving rate;external capital sources;housing stock;unutilized/under utilized structures;firm size;concentration ratio;gross product;capital-to-output ratios;public-capital construction.

5. Other aspect Development plans and planning at higher and lower level trade areas;special relationship with other areas,special information on major economic activities,problems, or potentials;results of surveys designed to obtain the views of the leadership or general public on development problems,potential, or desired directions;energy resources.

(46)

Agrasis Industri dll Produksi Distribusi Pertukaran

VARIABLE KOMPONEN WILAYAH (by Sunardi Djojosuharto)

C I R I W I L A Y A H POTEN SI IKLIM SOSBU D KEMAM PUAN LAHAN S D M A N U S I A S D L A H A N AIR DEMOGRA FI SOSEK Lereng, kedalaman, erosi,tekstu r,permeabili tas Pertanian;pertam bangan,industri,ja sa,dst. Jumlah:kepadatan,j enis kelamin,usiakerja,m ata pencaharian,dst Kelembagaan;kes enian,agama,pen didikan Air permukaan:curah hujan,evaporasi,tra nspirasui,infiltrasi. Airtanah:infiltrasi,p erkolasi,storage,ba FUNGSI & SIFAT FUNGSI & SIFAT SIFAT SIFAT FUNGSI FUNGSI

(47)

ANALISIS INTRA-REGIONAL :

• Disagregasi ruang dan unsur-unsur di dalam wilayah

• Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian wilayah (sub-wilayah), merupakan ‘the main concern’

• Analisis interaksi dan interdependensi antar wilayah, hanya bersifat komplementer

Ecological Complex Analysis

Pendekatan ekologi, memandang wilayah sebagai organism (relasi, tumbuh dan berkembang). Komponen dan sistem interaksi :

1. POPULATION 2. ENVIRONMENT 3. TECHNOLOGY 4. PATTERN OF CULTURE 5. ORGANIZATION Homoginity Analysis

Perwilayahan Dengan Prinsip Homogenitas (Kesamaan Kriteria) Teknik Analisis :

1. KUALITATIF

2. KUANTITATIF (STATISTIK) 3. PEMETAAN (GIS)

(48)

GAMBAR TEKNIK ANALISIS INTRAREGIONAL DAN INTERREGIONAL TABEL 2

(49)

ANALISIS INTER-REGIONAL • Setiap satuan wilayah dianggap sebagai ‘agregat’ utuh

• Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian di dalam setiap wilayah, bukan ‘the main concern’

• Analisis lebih ditekankan pada interaksi dan interdependensi antar wilayah

Functionality Analysis

Untuk Penentuan Wilayah Pusat Dan Hinterlandnya Diidentifikasikan Dengan Jumlah Fungsi (Pelayanan)

1. Ekonomi 2. Sosial 3. Administrasi 4. Umum

Menunjukkan Hirarki atau Tingkatan Wilayah

Semakin Banyak Jumlah Fungsi, Semakin Tinggi Hirarki, Menjadi Pusat dan Radius Pengaruhnya Semakin Luas.

Teknik Analisis : 1. Skalogram 2. Bisection 3. Sosiogram

(50)

Settlement Typology Analysis

Untuk Mengidentifikasi Spesialisasi Fungsi Lingkungan Permukiman (Bisa Kota). Dicari Karakteristik Yang Dominan, Unik, Spesifik

Variabel yang digunakan : 1. Struktur Ruang Kegiatan 2. Struktur Pekerjaan

Settlement Juga Dapat Dianalisa Patternnya (Mengelompok-Menyebar)… Pembangunan Infrastruktur

Rank – Size Analysis

Untuk Menentukan Sistem Kota-Kota (HIrarki) Termasuk Sebaran Indek Keutamaan (Index Of Primacy) Dari Kota-Kota (Kesenjangan)

Variabel Yang Digunakan : 1. Jumlah Penduduk

2. PDRB (Modifikasi Menarik)

Network Analysis

Aspek Fungsional, Keterkaitan Antar Wilayah Konsep Aksesibilitas Dan Konektifitas

Konsep Aksesibilitas – Kemudahan (Jarak Fisik (Km), Cost,Time, Dan Sarana Prasarana).

• Konsep Konektifitas

• Rute Atau Links

(51)

Spatial Interaction Analysis

Menunjukkan Relasi Interdependensi Antar Lokasi Dalam Hal Pergerakan Penduduk, Barang, Komoditas, Informasi, Dll.

Teknik Analisis :

1. Analisis Gravitasi 2. Analisis Titik Henti Variabel Yang Digunakan :

1. Variabel Massa (Pergerakan), Penduduk, Barang, Komoditas, Ekonomi, Kesempatan Kerja,dll.

2. Variabel Jarak

Regional Economic Analysis

1. Basis Ekonomi (Location Quotient=Lq)

Menentukan Basis Ekonomi Dan Efek Pengganda Sektor Basis 2. Shift – Share Analysis

Economic Composition Analysis

Menilai Kinerja Ekonomi Wilayah (Dinamik) 3. Input – Output Regional

Keterkaitan Produk, Forward Dan Backward Linkages, Multiplier Effect 4. Income And Product Account

Kesenjangan Sosial Dan Regional

Kesenjangan Sosial Antar Strata Masyarakat Indek Gini Kurva Lorenz Kesenjangan Regional Indek Wiliamson Economic Distance Kurva Lorenz

(52)

Statistic Compendium

Pemanfaatan Teknik Statistik Untuk Analisis Regional

Misalnya : Statistik Multivariate Analysis Untuk Menentukan Daya Saing Regional Tergantung Struktur Datanya

Cross-Section Maupun Time-Series

(53)

BAHAN AJAR ILMU WILAYAH

DINAMIKA DAN TAHAPAN PERKEMBANGAN WILAYAH

(54)

DINAMIKA WILAYAH DALAM PERSPEKTIF GEOGRAFIS

oleh :

Djarot S. Widyatmoko

PENDAHULUAN

(Geography is about local variability within a general context – R.J. Johnston, 1984)

Dalam kurun waktu tiga dasawarsa belakangan ini kita menjadi saksi perubahan-perubahan yang begitu cepat di dunia ini. Kekhususan sifat suatu daerah atau tempat yang telah menjadi trademark selama berpuluh-puluh tahun banyak yang telah hilang atau paling tidak telah berubah bentuk. Pulau Bali yang saya tahu sekarang, sangat jauh berbeda dengan keadaan ketika saya melaksanakan KKL I dua puluh tahun yang lalu. Riau kepulauan yang dikenal dengan daerah penampungan ‘manusia perahu’ dari Vietnam, kini merupakan kawasan unggulan bagi pengembangan industri dan pariwisata nasional. Lebih dekat lagi, seperti Desa Kasongan di Kabupaten Bantul : kini terkenal dengan industri kerajinan gerabahnya, daerah di sekitar Jalan Kaliurang, Condongcatur, Caturtunggal sudah berubah menjadi kawasan permukiman padat penduduk dan pelayanan yang mungkin lebih padat daripada beberapa daerah Kotamadya Yogyakarta sendiri. Dan tentunya masih banyak lagi. Pada ‘kawasan tumbuh-cepat’, seperti koridor Merak-Jakarta-Bandung atau koridor Surabaya-Malang, kecepatan perubahannya (the speed of change) mungkin tidak dihitung dalam tahun, melainkan dalam bulan.

Perubahan-perubahan yang terjadi seperti yang ditunjukkan dalam contoh-contoh di atas menunjukkam bahwa wilayah permukaan bumi merupakan organisme yang dinamis. Bentuk, sifat, dan kecepatan dari dinamikanya merupakan fungsi dari kekuatan-kekuatan yang bekerja baik yang berasal dari luar dan dari dalam wilayah itu sendiri, maupun yang berasal dari perpaduan kekuatan-kekuatan yang bersifat khas (unique) setempat dan yang bersifat umum (general). Dinamika wilayah memang proses in-situ atau setempat namun keberadaan proses merupakan hasil

(55)

perpaduan dari dua kekuatan tersebut. Fenomena industri kerajinan gerabah adalah ciri khas Kasongan, yang merupakan perpaduan dari inovasi lokal dalam teknik dan gaya gerabah yang disesuaikan dengan selera pasar (baik regional, nasional, maupun internasional). Namun, surut-berkembangnya indusri gerabah Kasongan tergantung pada elastisitas kemampuan pengrajin lokal terhadap inovasi baru akibat (perubahan) peningkatan mutu, selera, dan jumlah permintaan pasar. Perubahan permintaan pasar ini pada dasarnya merupakan respon terhadap perubahan-perubahan umum yang bersifat global, seperti perubahan perilaku ekonomi dunia, kemajuan teknologi, keterbukaan negara, dan sebagainya. Jadi, dinamika suatu tempat tidak dapat dipisahkan atau merupakan bagian integral dari dinamika yang terjadi di tempat lain. Bentuk saling ketergantungan antar tempat atau ruang ini (interdependencies of places atau spatial interdependence) merupakan fenomena geografi yang kini banyak diminati geografiwan, terutama untuk menjawab perubahan-perubahan pola keruangan kegiatan manusia akibat kuatnya pengaruh arus globalisasi dan internasional. Seperti yang diungkapkan oleh Knox dan Marston (1998) :

By studyng spatial interdependence, geographers are able to address diversity within the framework of a broader relationship ; to see the uniqueness of individual places and regions within the contexs of other places and regions (and, indeed, the whole globe); and to see how general relationships play out within particular setting.

(56)

MEMAHAMI DINAMIKA WILAYAH

Konsep ‘region’ atau wilayah memang masih merupakan perdebatan yang panjang dalam dunia akademisi, namun dalam konteks perkembangan wilayah (regional development) tampak terdapat konsesus yang menganggap wilayah sebagai bagian permukaan bumi dalam lingkup sub-nasional. Walaupun demikian, diskonsesus masih tetap saja muncul bila dikaitkan dengan persoalan perwilayahan (regionalization). Pada satu sisi wilayah diekspresikan melalui azas-azas persamaan (homogenity) dan di sisi lain disusun atas dasar azas-azas fungsionalitas (functionality). Artikel ini tidak akan membahas perbedaan-perbedaan tersebut, namun cukup dikatakan di sini bahwa kombinasi dari kedua azas tersebut bila diterapkan pada bagian permukaan bumi sub-nasional yang cukup luas akan melahirkan variasi keruangan (spatial variation). Variasi keruangan akan menimbulkan berbagai bentuk interaksi keruangan (spatial interaction) antar masing-masing tempat (individual places) dan tentunya interaksi keruangan menghasilkan bentuk-bentuk saling ketergantungan antar tempat (interdependency of places). Dengan analogi semacam ini jelas bahwa spatial interdependency merupakan pencerminan dari azas-azas geografi (khususnya spatial analysis) : location, distance, space, accessibility, dan spatial interaction.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah dinamika wilayah itu? Dan mengapa terjadi dinamika? Gambar 1 di bawah ini mungkin dapat digunakan sebagai landasan untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut. Wujud kompak dari suatu wilayah dapat berupa perkotaan, perdesaan, DAS (daerah aliran sungai), dan ad hock region (dapat berupa wilayah perencanaan, atau wilayah-wilayah khusus lainnya). Dinamika wilayah tentunya tidak diekspresikan dalam bentuk perpindahan lokasi suatu wilayah dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain namun lebih merujuk pada perubahan unsur-unsur wilayah (HINCO : Human-Institution-Natural-Capital-Other) yang disebabkan oleh adanya ‘intervensi’ dari agen perubahan (agents of change) baik yang bersifat alami maupun buatan manusia, atau bahkan kombinasi keduanya. Seperti yang tampak dalam gambar 1 dinamika wilayah dibentuk oleh serangkaian perubahan yang

(57)

saling kait mengait antara perubahan-perubahan baik yang alami maupun bukan : iklim, bencana alam, ekonomi, demografi, politik, budaya, teknologi, sosial, baik dalam skala makro maupun mikro. Dampak pengaruh dari agen-agen perubahan tidak berarti akan menghasilkan respon yang sama terhadap semua wilayah namun oleh faktor-faktor lokal (local factors) suatu wilayah pengaruh tersebut dimodifikasi. Di samping itu, kekuatan pengaruh masing-masing agen perubahan juga tidak sama kuat dan kombinasi dari beberapa agen perubahan juga menghasilkan pengaruh yang berbeda pula. Kompleksitas hubungan dan pengaruh agen-agen perubahan ini tercermin dalam variasi dinamika yang dihasilkan. Sifat dari pengaruh agen perubahan terhadap wilayah tidak selalu searah, karena perubahan yang dihasilkan akan menimbulkan umpan balik terhadap dinamika wilayah itu sendiri (lihat gambar 1). Sehingga gerakan pengaruh-mempengaruhi ini bak spiral yang terus berputar baik ke atas maupun ke bawah. Ke atas berarti perubahan-perubahan yang terjadi dianggap membawa ‘kemajuan’, sedangkan ke bawah berarti sebaliknya.

Memang tidak ada hal yang baru dalam analysis dinamika wilayah ini. Namun yang perlu mendapatkan perhatian kita adalah kecepatan dan skala perubahan yang terjadi akhir-akhir ini (terutama dalam dua dasawarsa terakhir) yang di luar kemampuan kita untuk mengantisipasinya. Saya tidak pernah mengira kalau kenaikan harga temped an tahu di pasar Demangan menjadi duakali lipat dipicu oleh pengambangan (floating) nilai mata uang Baht di Thailand sana. Tidak hanya skala, namun juga ‘rentetan’ pengaruhnya. Siapa sangka kalau kemacetan impor jagung akan berpengaruh terhadap runtuhnya industri makanan jadi dan juga menurunkan derajat ‘diet’ masyarakat. Kejadian yang saling kait-mengait dengan melibatkan variasi skala geografis dan skala pengambilan keputusan yang lebar menyebabkan analisis saling ketergantungan keruangan menjadi lebih cepat daripada sebelumnya.

Walaupun tidak ada yang baru, namun entry point dari momentum analisis dinamika wilayah ini dipicu oleh teori sistem-dunia (world-system) karya Emmanuel Wallerstein (1979). Dalam teori ini permukaan bumi tidak lagi dibagi menjadi dua wilayah dikotomi tetapi tiga wilayah yang saling berkaitan, yakni core, semi-periphery, dan periphery. Dengan mengikutsertakan wilayah semi-periphery ke

(58)

dalam sistem dunia, Wallerstein ingin menjelaskan sifat kedinamisan wilayah, yaitu tidak selamanya suatu wilayah terpaku pada satu posisi. Sejarah telah memberikan bukti timbul tenggelamnya peradaban manusia di suatu wilayah. Eropa Barat, Amerika Utara, dan Jepang adalah wilayah core dunia sekarang ini dan sebagian besar wilayah Afrika,Timur Tengah, dan Asia Tenggara adalah periphery, sedang negara-negara industri baru, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura adalah wilayah semi-periphery. Namun sejarah juga mengatakan bahwa wilayah-wilayah

periphery sekarang ini ‘dahulu pernah’ sebagai core dunia dan sebaliknya wilayah

core yang sekarang ada, ‘dahulu’ adalah periphery. Menurut Wallerstein, hubungan antara core-semi periphery-periphery adalah hubungan yang dinamis dalam arti bahwa masing-masing saling membutuhkan dan masing-masing ingin memperkuat posisi atau statusnya dengan memperkuat efektivitas wilayahnya dalam meningkatkan daya saing kemampuan domestik (Knox, 1994).

Dalam menerangkan dinamika wilayah, teori sistem-dunia ternyata bukan satu-satunya pisau analisa. Di antaranya adalah globalisasi dan perubahan teknologi. Globalisasi adalah semakin meningkatnya ketertautan (interconnectedness) wilayah-wilayah permukaan bumi melalui proses-proses perubahan baik ekonomi, lingkungan, politik, maupun budaya (Knox dan Marston, 1998). Gejala globalisasi dan internasionalisasi (ekonomi) akhir abad ke-20 ditandai dengan munculnya tiga wilayah yang mendominasi produksi dan perdagangan dunia : Amerika Utara, Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), serta Asia Timur dan Asia Tenggara (menguasai hampir 80 % ekspor dunia dan lebih dari 60 % produksi manufaktur dunia); deregulasi sistem keuangan dunia : mempermudah pergerakan investasi ke seluruh pelosok bumi (terutama di tiga wilayah di atas) baik melalui subtitusi-impor maupun

foreign direct investment-FDI ; dan internasionalisasi ‘proses produksi’, terutama perusahaan multi nasional (transnasional Corporation-TNCs) : menyebabkan tata pembagian tenaga-kerja internasional baru (the new international division of labor- NIDL).

(59)

Penganut teori gelombang-panjang (long-wave theory) mempercayai adanya pengaruh daur inovasi teknologi terhadap perkembangan ekonomi global. Sejak tahun 1780, telah terselesaikan empat gelombang-K (K-waves : K adalah inisial dari Kondratiev, seorang ekonom Rusia pencetus teori ini pada tahun 1920) dimana masing-masing gelombang memakan waktu sekitar 50 tahun. Setiap gelombang-K selalu berkaitan dengan difusi inovasi teknologi pokok dan hal tersebut berpengaruh pada bentuk dan sifat produksi, distribusi, dan organisasi (Golledge dan Stimson, 1997). Kita sekarang sedang berada pada era gelombang-K kelima yang baru pada tahap awal : ‘era teknologi informasi’ – TI, yang ditandai dengan kemajuan pesat pada teknologi transportasi dan telekomunikasi. Dampak utama dari gelombang terakhir ini adalah pengkerutan jarak (the shrinking of distance) geografis, berarti pula aliran (barang, orang, informasi) dan perubahan (baik produksi, distribusi, dan organisasi) menjadi ‘lebih cepat’.

Proses globalisasi (ekonomi) dan perubahan teknologi (terutama di bidang transportasi dan telekomunikasi) lebih memperkuat dan membesar jaringan kota-kota di dunia (terutama kota-kota besar / metropolitan), dan yang lebih penting, terutama bagi geografiwan, adalah semakin kuatnya peranan kota sebagai agen perubahan wilayah. Namun, sifat hubungan antar kota ini tidak seimbang dan cenderung ekspoilatif, yaitu menguntungkan kota-kota dengan kekuatan kontrol yang besar. Sistem kota-kota dunia sekarang ini didominasi oleh kota dunia (world cities). Kota dunia adalah kota yang menjadi pusat kendali bisnis dunia, termasuk di dalamnya adalah pusat kekuatan ekonomi, budaya, dan politik yang menentukan bentuk dan arah globalisasi ekonomi dan budaya (Knox, 1997). Dewasa ini diyakini ada empat tingkat kota dunia. Paling atas terdapat tiga kota dunia, yang semuanya terdapat di wilayah core , yaitu New York, London, dan Tokyo. Di bawahnya adalah kota-kota dengan kekuatan dengan kontrol skala regional. Untuk wilayah Asia Timur dan Tenggara adalah Singapura, yang kemudian disusul oleh Hongkong dan Seoul, Osaka, dan Taipei di tingkat tiga. Untuk kota dunia tingkat ke-empat adalah ibukota-ibukota negara namun telah mempunyai pengaruh pada skala regional (Jakarta

(60)

termasuk dalam kategori ini). Dengan struktur hirarki dan jaringan kota-kota semacam ini, maka sudah sewajarnya wilayah-wilayah yang mendapat kesempatan berkembang terlebih dahulu adalah wilayah-wilayah yang memiliki keterkaitan dengan kota-kota dunia. Dicken (1992) mengidentifikasikan wilayah yang paling dinamis di dunia pada saat ini terpusat di tiga kutub, yaitu wilayah MEE, Amerika Utara, dan wilayah Asia Timur dan Tenggara. Kerjasama-kerjasama regional yang menjadi ‘trend’ perkembangan saat ini, seperti kerjasama segitiga antara Indonesia-Malaysia-Singapura, Indonesia-Malaysia-Thailand, dst. Sebenarnya merupakan implikasi dari perkembangan (ekonomi) global yang ditimbulkan oleh dinamika kota-kota dunia. Segitiga pertumbuhan SIJORI : Singapura-Johor-Riau merupakan contoh nyata kerjasama regional yang mengangkat wilayah sekitar negara-kota Singapura masuk ke dalam jaringan global dengan Singapura sebagai ‘jangkar’ dan ‘motor penggerak’ nya.

Pada tingkat nasional, wilayah-wilayah yang ‘aktif berkembang’ sudah pasti dengan mudah dapat kita kenali, yaitu wilayah-wilayah di sekitar kota besar di Indonesia. Pada tingkat pertama, sudah pasti berada di wilayah sekitar Jakarta : JABOTABEK, bahkan telah meluas meliputi hampir separoh wilayah propinsi Jawa Barat, dengan koridor-koridor yang aktif berkembang, seperti Jakarta-Cirebon, Jakarta-Merak / Anyer, Jakarta-Bandung-Cianjur. Tingkat kedua adalah wilayah di sekitar Surabaya : GERBANGKERTOSUSILA, ditambah dengan koridor Surabaya-Malang. Pada tingkat ketiga mungkin ditempati oleh wilayah di sekitar Medan dan Ujung Pandang, oleh karena kota-kota ini pusat perniagaan regional dan mempunyai jaringan internasional yang cukup kuat.

(61)

JOGLOSEMAR : WILAYAH APA ?

Sesuai dengan keinginan kita untuk ‘menggarap’ wilayah JOGLOSEMAR ini setelah penelitian terpadu di DAS Progo dianggap selesai, maka timbul dalam benak saya pertanyaan di atas. Tentunya pertanyaan ini hanya merupakan ‘bagian kecil dari tugas kita’ untuk menjawabnya dalam penelitian-penelitian yang akan dilakukan nantinya.

Akronim JOGLOSEMAR sebenarnya dengan jelas menunjuk pada tiga kota besar (bahkan dapat disebut tiga kota terbesar) di wilayah bagian tengah Pulau Jawa : Jogjakarta (atau Yogyakarta), Solo, dan Semarang. Oleh karena kedudukan geografis ketiga kota tersebut ‘agak’ berdekatan dan berbentuk segitiga, maka orang sering mengidentitfikasikan wilayah di sekitar tiga kota ini sebagai Segitiga Pertumbuhan JOGLOSEMAR atau disingkat SP JOGLOSEMAR. Istilah SP ini memang marak digunakan dalam kurun lima tahun belakangan ini yang umumnya merujuk pada aspek pengembangan ekonomi wilayah yang ditimbulkan oleh ‘linkages’ tiga kota utamanya. Kentalnya muatan ekonomi dalam memandang SP ini disebabkan kerjasama-kerjasama ekonomi sering dijadikan landasan pembentukan SP (Muta’ali, 1997). Dalam artikel ini saya tidak akan membahas lebih jauh mengenai SP (karena sudah menjadi bagiannya Sdr. Lutfi Muta’ali dan Sdr. Baiquini), namun cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa konsep SP ini membawa konsekuensi yang berat namun sekaligus menarik bagi geografiwan untuk terlibat di dalamnya.

Setidaknya ada tiga aspek yang menjadi tantangan geografiwan, yaitu konseptualisasi, deleniasi, dan kontribusi analisis. Sebagai konsep yang masih relatif baru, pengertian SP ini masih ‘labil’ sehingga diperlukan ‘manuver-manuver’ geografiwan untuk memperoleh klarifikasikan konsep yang ‘applicable’. Aspek kedua mungkin bagian yang paling sulit : bagaimana SP ini diberi batas keruangannya. Sebagaimana halnya dengan diskonsensus persoalan regionalization,

deliniasi SP membutuhkan argumen-argumen yang secara teoritis dan praktis dapat dipertanggung-jawabkan. Dan untuk aspek yang terakhir diperlukan konsolidasi

(62)

pemikiran-pemikiran geografis untuk menjawab tantangan ‘baru’, yang mungkin relevan dengan pertanyaan : apa bentuk kontribusi geografiwan ?

PENUTUP : KONTRIBUSI ANALISIS GEOGRAFIS

Immanuel Kant (1724-1804) membagi ilmu pengetahuan menjadi dua : khusus dan umum. Khusus berarti mempelajari disiplin-disiplin tertentu, seperti fisika, kimia, biologi, dan sebagainya; sedang untuk yang umum hanya ada dua : mempelajari sesuatu dalam waktu adalah ilmu sejarah dan mempelajari sesuatu dalam ruang adalah ilmu geografi (Knox dan Marston, 1998). Jadi, memang sudah sejak lama pengertian tentang ruang mengakar dalam studi-studi geografis, bahkan secara ekstrim disebutkan bahwa ‘kajian tentang ruang’ adalah domain ilmu geografi. Jika ruang geografis secara sempit dapat diartikan sebagai wilayah permukaan bumi, maka sudah sewajarnya bila geografiwan sangat berkepentingan dengan kajian dinamika wilayah. Lalu, bagaimana bentuk kontribusinya ?

Sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat umum geografi tidak mempunyai objek material khusus (Hinderink, 1981). Bahkan Johnston (1981) menyebutkannya sebagai “the study of the earth’s suface as the space within which the human population lives”. Konsekuensinya adalah bahwa segala fenomena yang ada dan atau terjadi di dalam wilayah dapat dijadikan objek kajian geografis. Sehingga tidak terlalu keliru bila ada yang beranggapan bahwa geography is what geographers do.

Namun demikian, tidak berarti bahwa ilmu geografi tidak berciri. Seperti yang tampak dalam gambar 2 studi-studi geografis dikenal sebagai studi yang menaruh perhatian pada organisasi keruangan (spatial organization) baik lingkungan alamiah (natural environment) maupun kegiatan-kegiatan manusia (human activities). Di samping itu, studi-studi geografis juga sangat concern terhadap fenomena yang ditimbulkan oleh atau proses-proses yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan lingkungannya (human – environment relationship). Last but not least, studi geografi selalu dikenal dengan ‘petanya’ baik sebagai alat analisis maupun sebagai hasil kajiannya. Kemajuan teknologi fotografi dan kedirgantaraan telah membawa studi geografi berkembang lebih jauh dengan menggunakan citra penginderaan jauh dalam mengkaji fenomena di permukaan bumi ini. Bahkan dalam era teknologi

Gambar

Gambar 2. Geografi dan Kajian Dinamika Wilayah GEOGRAFI The study  of the  earth’s  surface as  the space  within  which the  human  population  lives  (Johnston,  1987) ORGANISASI KERUANGANHUBUNGAN MANUSIALINGKUNGAN
Gambar lewat
Gambar 1.Proses Dinamika Wilayah AGEN  PERUBAHAN Alam  (iklim,bencana , PENGAMBILAN KEPUTUSAN(politik,sosial,ekonomi:publik,perusahaan,kelompok, perorangan)

Referensi

Dokumen terkait

Nilai PASS ( Pediatric Analog Sedation Score ) yang didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna di antara kedua kelompok sebelum pemberian premedikasi, menit ke-60 (p=0,454),

Apabila kontrol yang dilakukan atasan sesuai dengan kebutuhan karyawan, dalam arti atasan melakukan pengawasan secara teratur terhadap karyawan, terutama saat karyawan bekerja,

keluaran logika rendah maksimal 0,5 volt. Pada tabel 4.9 tegangan masukan dan tegangan keluaran sistem telah sesuai dengan datasheet yaitu tegangan 4,4 volt dan 2,7 volt

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan IPO pada periode 2010.Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling , yaitu

Halaman login adalah tempat admin untuk masuk kehalaman admin agar dapat melakukan input, edit, dan delete pada menu / field yang ada pada halaman admin Sistem

Penelitian yang dilaksanakan di sisi sebelah pulau Lancang, Pari dan Payung sebagai representasi kawasan yang terkena pengaruh gradasi pengkayaan nutrient dari Jakarta

Komik yang bersifat sederhana, mudah dipahami, dan terkadang jenaka, menjadi media yang sesuai untuk membuat cerita dengan tokoh punakawan sebagai karakter, yang dianggap

Features that are specified in the indenture for a fixed income security include its issuer, maturity date, par value, coupon rate and frequency, and