• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memahami Komunikasi Verbal

Dalam dokumen BAB I KONSEP KOMUNIKASI simbolik docx (Halaman 47-55)

INTERAKSI BAHASSA VERBAL DAN NON VERBAL

B. Memahami Komunikasi Verbal

Pada bagian berikutnya kita akan masuk pada suatu pendekatan yang mempelajari dampak dari penggunaan bahasa dalam menciptakan realitas, yaitu bagaimana kita `memberi label' atau 'atribut' pada dunia kita dan bagaimana 'label' tersebut menghasilkan `realitas' (narture approach). Kita kemudian akan beralih kepada pandangan fungsional yang mencoba menjawab pertanyaan: mengapa kita bereaksi terhadap bahasa, seolah-olah kata adalah benda yang direpresentasikannya? Pada bagian akhir kita akan mendiskusikan suatu pendekatan yang berorientasi pada pesan dalam bahasa, dan membahas proses berpikir yang berkaitan dengan bahasa yang mendahului aktivitas transmisi pesan. 1. Nature Approach (Pendekatan Natural)

Seorang ahli yang menaruh perhatian pada bagaimana orang memperoleh bahasa adalah Noam Chomsky yang memandang pembelajaran bahasa sebagai suatu fungsi biologis, sama seperti cara Darwin memandang komunikasi nonverbal. Teori Chomsky yang disebut `struktur dalam' (deep structure) mengasumsikan bahwa suatu tata bahasa atau struktur bawaan (innategrammar) yang ada pads diri manusia sejak dia lahir merupakan landasan bagi semua bahasa.

Teori ini mencakup suatu pendekatan umum yang universal. Dengan mendasarkan pada sejumlah besar penelitiannya, Chomsky mengidentifikasi adanya tiga struktur dalam semua bahasa. Pertama, adanya hubungan antara subjek-predikat. Apa pun subjeknya, predikat akan selalu menunjukkan tindakan apa yang dilakukan oleh subjek. Demikian pula sebaliknya, apa pun predikatnya, subjek akan selalu menunjukkan apa atau siapa yang melakukan tindakan tersebut. Misalnya 'orang makan', `gajah makan', 'monyet makan', kesemuanya menunjukkan bahwa subjek sedang melakukan tindakan tertentu, yaitu makan.

Sementara dari visi predikat `orang lari', `orang bermain', `orang makan', menunjukkan bahwa `orang' yang melakukan tindakan, apa pun bentuknya. Kedua, hubungan antara kata kerja (verb) dengan objek yang mengekspresikan hubungan logis sebab dan akibat. Hubungan ini menunjukkan kepada siapa atau untuk apa suatu tindakan dilakukan. Misalnya `orang memakai topi', `orang memakai jas', `orang memakai kaos', kesemuanya menunjukkan bahwa objek (apa pun jenisnya) dipakai oleh orang tersebut.

Ketiga, modifikasi,' yang menunjukkan adanya pertautan kelas (intersection of classes). Misalnya orang memakai `topi hitam', 'orang memakai topi kuning,'orang memakai topi putih', di mana kesemuanya menunjuk adanya pertautan (intersection) antara topi dan warna tertentu. Dengan demikian,

Chomsky beranggapan bahwa manusia dilahirkan dengan membawa kemampuan alamiah untuk berbahasa. Kita dapat memformulasikan bentuk-bentuk kombinasi kata tertentu hingga terasa masuk akal. Namun penjelasan bahwa bahasa dapat dipilah dalam struktur tata bahasa, belum dapat menjawab bagaimana bahasa mengungkapkan makna.

Seorang teoretisi lain, Dan I. Slobin, mengemukakan bahwa bayi terlahir dengan pemahaman tata bahasa yang telah terprogram, anak sebenarnya memiliki suatu mekanisme pemrosesan atau sistem untuk mengorganisasikan informasi linguistik yang diperoleh dari lingkungan anak tersebut. Slobin mengemukakan bahwa perkembangan kognitif mendahului perkembangan bahasa.

Dengan berbagai bukti ilmiah dia menunjukkan bahwa anak dari kelompok bahasa yang berbeda, mempelajari bahasa secara berbeda tergantung pada tingkat kesulitan dari bahasa tersebut. Bahasa yang lebih kompleks membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajarinya, karena anak harus membuat sejumlah pengecualian pada prinsip bawaan yang ada dalam setiap bahasa. Slobin sendiri mengidentifikasi adanya empat prinsip yang bekerja pada semua bahasa, yaitu: memperhatikan susunan kata, menghindari pengecualian, menghindari interupsi atau penataan kembali unit-unit bahasa, dan memperhatikan kata yang ada pada bagian terakhir kalimat.

Walau ada perbedaan antara teori Chomsky dan Slobin, namun pada dasarnya keduanya mendasarkan diri pada prinsip natural, yang memandang bahwa bahasa diperoleh secara natural. Meskipun demikian keduanya belum dapat menjawab makna apa yang dikaitkan dengan penggunaan bahasa tersebut. 2. Nurture Approach (Pendekatan Nurtural)

Edward Sapir dan Benyamin Whorf mengemukakan teori yang menentang perspektif alamiah (nature). Dengan memusatkan kajiannya pada semantik (makna dari kata), mereka mengembangkan suatu teori kultural mengenai bahasa. Mereka mengatakan bahwa latar belakang dari sistem linguistik (atau tata bahasa) dari setiap bahasa bukan hanya suatu alat reproduksi untuk menyampaikan gagasan, tetapi lebih sebagai pembentuk gagasan, pembentuk dan pemandu bagi aktivitas mental individu, untuk menganalisis kesan, untuk mensintesiskan aktivitas mental dalam komunikasi.

Formulasi gagasan bukan merupakan suatu proses independen dan bukan aktivitas rasional semata, tetapi suatu tata bahasa tertentu yang berbeda di antara berbagai tata bahasa lain. Jadi, bahasa adalah kultural (seperti pandangan Birdwhistel mengenai komunikasi nonverbal).

Bahkan aturan-aturan bahasa sangat bervariasi dari satu kultur ke kultur lain, oleh karenanya individu dari kultur yang berbeda akan berbeda pula cara- caranya dalam memandang dunia. Misalnya, beberapa bahasa memiliki begitu

banyak istilah untuk menyebut 'saiju', sementara sejumlah bahasa lainnya bahkan tidak memiliki satu istilah pun, terutama bagi yang belum pernah melihatnya. Menurut Sapir dan Whorf, bahasa dari suatu kultur akan berkaitan langsung dengan bagaimana cara-cara kita berpikir dalam kultur tersebut_ Asumsi ini sejalan dengan pandangan antropologis tentang relativitas kultural, yang menyatakan bahwa, karena kultur yang berbeda memiliki bahasa yang berbeda dan pandangan hidup yang berbeda, maka mereka juga memiliki keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda pula.

Kedua teori yang berlawanan ini (nature vs nurture) menunjukkan bahwa baik dalam komunikasi verbal maupun nonverbal, terdapat dua aliran yang berangkat dari posisi yang berlawanan dalam menjelaskan bagaimana orang memperoleh bahasa. Kontroversi ini masih terus berlangsung tanpa salah satu dapat mengklaim bahwa teorinya yang paling benar, karena buktibukti yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak belum cukup memadai.

3. Teori Fungsional tentang Bahasa (General Semantics)

Hanya dengan memfokuskan pada makna dari kata (dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku), aliran general semantics menganggap bahwa bahasa harus dapat lebih merefleksikan dunia di mana kita hidup. Asumsi yang mendasari pemikiran general semantik adalah bahwa 'the word is not the thing'. Kata dianggap sebagai abstraksi dari realitas. Oleh karenanya general semantics memandang bahwa kata harus sedekat mungkin dengan realitas yang direfleksikannya.

Meskipun demikian mereka menyadari bahwa ini suatu hal yang sulit, karena ketika kata merupakan suatu konsep yang statis dalam waktu yang panjang, realitas selalu dalam kondisi yang berubah. Untuk memahami apa yang menjadi kajian general semantics, kita hares mempelajari sifat-sifat simbol dan bagaimana kita menggunakannya.

Penggunaan Simbol

Pandangan ini mengasumsikan bahwa seluruh perilaku manusia berangkat dari penggunaan simbol. Salah seorang ahlinya yang bemama Alfred Korzybski menganggap adanya ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa sehari-hari kita. Argumentasinya adalah bahwa manusia hidup dalam dua lingkungan yang berbeda, lingkungan fisik dan lingkungan simbolik.

Untuk memahami hal ini kita dapat menganalogikannya dengan penggunaan peta. Misalnya kita bertanya kepada teman kita berapa jarak antara Jakarta-Surabaya, dan dia menjawab: "Menurut peta sekitar 10 cm". Informasi ini hanya memiliki arti bagi kita jika kita mengetahui skala dari peta tersebut, dan tentunya skala peta tersebut bukanlah 1:1 Karena jika skalanya serupa

itu peta tersebut akan sama luasnya dengan wilayah yang digambarkannya. Hal serupa berlaku pula pada kata. Ada satu anekdot untuk mencontohkan hal ini, ketika seorang pengemudi sampai pada suatu perempatan jalan dan bertanya pada orang disebelahnya apakah ada kendaraan lain yang akan melintasi jalanan yang akan diseberanginya, dan orang yang ditanya menjawab `hanya kijang'. Baru setelah mobil yang mereka tumpangi menyeberang dan ditabrak oleh sebuah Toyota Kijang yang sedang melaju, arti semantik dari 'kijang' dipahami oleh keduanya.

Kata, dan pada kenyataannya semua jenis simbol, tidak sama dengan fenomena yang digambarkannya. Menurut Ogden dan Richards simbol adalah representasi ide dan ide adalah representasi objek. Dan ketiganya merupakan fenomena yang berbeda. Persoalan menjadi menarik ketika kita berbuat seolah- olah kata adalah objek yang digambarkannya. Kita tahu bahwa orang yang takut ular akan ketakutan jika benar-benar melihat seekor ular, namun kadang-kadang ada orang yang begitu takutnya sehingga denyut nadinya meningkat ketika mendengar kata ular. Interaksi antara kata, maknanya dan perilaku manusia inilah yang menjadi perhatian Korzybski ketika dia mengemukakan teori general semantics.

Untuk mempelajari teori ini lebih jauh kita akan membahas sejumlah konstruk: `silent assumptions'. reaksi dan respons, penggunaan identitas, waktu dan ruang, multi ordinalitas, orientasi intensional dan ekstensional, dan tataran- tataran abstraksi.

Silent Assumptions

Dan P Millar dan Frank E. Millar mengemukakan bahwa makna dari suatu kata tidak terbatas dari yang kita temukan dalam kamus. Jadi kesalahpahaman semantik terjadi karena kita terlalu sering menggunakan asumsi secara diam-diam. General semantics menjelaskan bahwa kita memiliki kecenderungan untuk berurusan dengan objek atau benda pada tataran abstrak. Misalnya kita tidak berurusan dengan fenomena pada tataran atomis, meskipun sebenarnya fenomena berubah pada tataran ini.

Seperti telah dikemukakan oleh Korzybski bahwa tataran objektif bukan kata dan tidak dapat dicapai hanya dengan kata. Untuk dapat mencapai atau memahami tataran objektif, general semantics mengajarkan kita untuk diam (silent), dan kondisi diam ini memungkinkan kita untuk merespons kata sebagai manusia daripada bereaksi terhadapnya sebagaimana yang dilakukan oleh hewan.

Persoalan yang muncul dari silent assumption ini adalah ketika mengantisipasi apa yang dikatakan oleh orang lain. Oleh karenanya ketika kita melakukan silent asssumption, kita harus menanyakan pada diri kita sendiri tiga pertanyaan tentang apa yang sedang dikatakan orang lain, yaitu: apa yang

dimaksudkannya? (apakah yang dimaksudkannya berbeda dengan yang dikatakannya), bagaimana dia mengetahui hal yang dibicarakannya? (mengacu kepada sumber informasi), dan mengapa dia mengatakan hal ini kepada saya? (apakah kita pendengar yang sesuai dan apakah kita merupakan sasaran dari kata- kata yang kita dengar).

Reaksi/Respons

Konstruk ini diawali oleh asumsi bahwa manusia bereaksi seperti yang dilakukan hewan melalui apa yang disebut respons yang dikondisikan. Orang dapat dengan mudah dipaksa untuk bereaksi pada slogan, nama, hasrat, dan sebagainya, dalam bentuk yang hampir sama seperti ketika hewan dikondisikan untuk bereaksi terhadap suatu tanda tertentu. Misalnya hat ini terlihat pada reaksi pengikut Hitler pada Swastika dan lambang-lambang lainnya, demikian pula dengan reaksi terhadap simbol AIDS, di mana banyak dari kita tidak ingin diasosiasikan dengan simbol tersebut.

Korzybski, sebaliknya, menekankan bahwa kita seharusnya tidak meniru binatang. Respons kita haruslah kondisional, bukan dikondisikan. Artinya respons kits harus melalui penundaan (delayed) dan modifikasi, bukan otomatis. Untuk mencapai hat ini kits harus belajar menghindar dari suatu reaksi yang baku (stereo type) terhadap kelas atau kelompok orang, dan menyadari adanya perbedaan- perbedaan di antara individu anggota kelompok atau kelas dan menyesuaikan respons kita.

Identitas

Alasan utama mengapa kits cenderung untuk bereaksi daripada merespons adalah karena kita melihat kesamaan absolut atau identitas. Sedikitnya ada tiga alasan bagi kecenderungan ini, yaitu: nama adalah suatu karakteristik penting dari benda atau objek, keunikan benda atau objek berada di dalam nama, dan jika suatu benda atau objek tidak memiliki nama maka is menjadi tidak eksis atau tidak dianggap. Jadi terdapat orang-orang yang beranggapan bahwa, misalnya, semua "perceraian" memiliki makna yang sarna atau semua pengertian `demonstrasi' adalah sama, padahal dalam situasi yang nyaris sama orang atau hat- hat lainnya akan selalu berbeda.

Konstruk tentang identitas berkaitan erat dengan dua konstruk lain dalam teori general semantics, yaitu: `nonallness' dan 'nonadditivity'. Nonallness berarti bahwa kita tidak dapat mengatakan segala sesuatunya secara lengkap mengenai semua hat. Oleh karenanya ketika melihat adanya kesamaan dalam beberapa hat, kita cenderung untuk mengabaikan perbedaan-perbedaannya. General semantics merekomendasikan kita untuk menggunakan 'dan sebagainya' untuk memberikan

gambaran bahwa terdapat hal-hal lain yang tidak kita ketahui ketika mendeskripsikan sesuatu pada saat berbicara.

Konstruk nonadditivity kita lakukan ketika kita menambahkan sesuatu dan hasilnya dapat memiliki arti yang lain. Misalnya ketika seorang guru berkata kepada guru lainnya: "Bisakah Anda menerima seorang murid lagi untuk kelas Anda?" Karena tidak ada dua hat yang sama persis, menerima seorang murid yang sekedar duduk di dalam kelas adalah berbeda dengan menerima seorang murid yang sangat partisipatif di dalam kelas.

Oleh karenanya menambahkan sesuatu tidak hanya sekedar menghasilkan hat yang sama dalam jumlah yang lebih besar, seperti yang dikondisikan oleh kata atau bunyi, melainkan menghasilkan suatu perilaku komunikatif yang berbeda. Keterikatan pada Waktu dan Ruang

General semantics mengemukakan bahwa segala sesuatu di dalam lingkungan fisik akan terus-menerus berubah. Kita tidak sama dengan diri kita sepuluh tahun yang lalu, bahkan juga tidak sama dengan diri kita sepuluh detik yang lalu, karena set dalam tubuh kita berkembang, mati dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada benda mati, karena molekul akan selalu berubah atau bergerak.

Fenomena ini kita sebut `keterikatan waktu' (time-binding). Selain itu jugs terjadi `keterikatan ruang' (space-binding). Karena orang berada dalam. tempat atau ruang yang berbeda, mereka akan mempersepsikan sesuatu secara berbeda- beda. Contoh yang paling sederhana dari hat ini adalah sebab-sebab dari terjadinya suatu kecelakaan lalulintas. Dua aspek dalam dimensi ruang adalah jarak dan posisi relatif.

Seperti halnya dengan waktu, ruang adalah suatu fenomena yang pasif dan penyebab perubahan (catalytic). Benda atau objek atau hal, harus berada di dalarn suatu ruang, harus memiliki jarak (dekat atau jauh) dari benda, objek, atau hal lainnya, dan meskipun memiliki jarak yang sama, mereka harus menempati posisi yang berbeda. Dimensi ruang mencakup tataran fisik (persepsi dan jarak), tataran psikologis (perasaan, keadaan, dan sebagainya), dan tataran kultural (norma, nilai) Multiordinalitas

Multiordinalitas menjelaskan mengenai pernyataan yang bertingkat- tingkat. Misalnya kita berkata bahwa `kucing belang berlari lebih cepat daripada kucing hitam'. Lalu kita bergerak pada tataran abstraksi yang lebih tinggi dan membuat pernyataan lain mengenai pernyataan ini, seperti misalnya `itu benar' atau `itu salah' atau `kalau pernyataan itu benar berarti ada hubungan antara pigmen dengan struktur otot'.

Pemyataan-pernyataan ini ada pada tataran abstrak yang lebih tinggi daripada pernyataan yang pertama, karena semuanya merupakan pernyataan mengenai pernyataan yang pertama. Jadi kata 'pernyataan' dianggap memiliki multiordinal yang dapat digunakan pada tataran, atau tingkatan abstraksi yang berbeda, dan makna dari tiap-tiap tatarannya juga berbeda. Contoh lain adalah kata 'cinta' Kita dapat mencintai suatu bangunan, seorang gadis, sebuah lukisan, sebuah teori, sebuah pertarungan sengit. Semua 'cinta' ini berada pada tataran abstraksi yang sama, tetapi cinta juga dapat bergerak ke tataran yang lain.

Orientasi Intensional dan Ekstensional

Konstruk ini menjelaskan bagaimana orientasi orang ketika merespons suatu hal. Menurut Irving J. Lee, orientasi `intensional' didasarkan pada definisi verbal, asosiasi, dan sebagainya, yang mengabaikan observasi. Jadi seperti ungkapan `bicara dulu, tanpa peduli bagaimana kenyataannya'. Orientasi ekstensional didasarkan pada susunan observasi, investigasi, dan sebagainya, terlebih dahulu sebelum membicarakannya.

Beberapa karakteristik dari orientasi internal adalah: orang lebih memperhatikan nama dan apa yang dikatakan mengenai suatu hal daripada kepada kenyataan; orang merespon kata atau pernyataan sebagaimana merespon objek yang digambarkan oleh kata tersebut; orang tidak merasa yakin dengan kenyataan yang dihadapinya; dan orang menggunakan pembuktian verbal, ketimbang fakta yang nyata.

General semantics lebih mendukung orientasi eksternal, yang artinya merekomendasikan seseorang untuk lebih dulu mencari faktanya. Oleh karenanya, kata-kata lain yang banyak menandai teori ini adalah seperti `observasi', `keingintahuan' `pengungkapan', `penelitian', dan 'pengujian'

4. Konstruktivisme: Perspektif Pesan dalam Bahasa

Jesse G. Delia dan Ruth Anne Clark mengemukakan suatu teori yang dikenal sebagai Konstruktivisme. Teori ini menaruh perhatian pada proses berpikir yang terjadi sebelum pesan dikemukakan dalam suatu tindakan komunikasi. Mereka menyebut proses berpikir ini sebagai `kognisi sosial'. Analisis mereka telah membawa kepada usaha untuk memahami bagaimana orang menyusun dan mengubah suatu `impresi/kesan' pada orang lain, dan bagaimana kesan digunakan untuk menyusun strategi pesan serta bagaimana orang merasionalisasikan strategi tersebut.

Beberapa prinsip penting dari teori mereka adalah, konstruksi episodik dan disposisi seseorang diorganisasi oleh skemata interpersonalnya. Skemataskemata interpersonal ini adalah kognisi atau pemikiran mengenai bagaimana kita berpikir (menganggap atau memperkirakan) mengenai apa yang akan dilakukan oleh orang

lain. Skemata-skemata interpersonal ini diorganisasi ke dalam semacam sistem (skema), dan pola-pola dalam sistem ini mencakup interpretasi dan penyimpulan, serta pola-pola 'konstruksi' yang kita gunakan untuk menjelaskan perilaku orang lain.

Prinsip kedua adalah, organisasi kesan interpersonal memberikan pemahaman dan antisipasi atas orang lain secara kontekstual dan relevan. Dalam hal ini orang bertindak seolah-olah sebagai psikolog-sosial yang mencoba menggunakan suatu pola konsepsional untuk menjelaskan, memahami, dan memperkirakan perilaku orang lain di dalam berbagai

konteks.

Prinsip ketiga, variasi sistematis dalam konstruk dan skemata interpersonal yang berkembang sebagai suatu fungsi pengalaman sosial, memberikan perbedaan kapasitas untuk membentuk kesan-kesan yang terorganisasikan dan stabil dalam waktu dan konteks yang berbeda. Jadi, orang yang lebih banyak memiliki pilihan dalam menilai orang lain, dan lebih abstrak pemikiran konstruksi interpersonalnya, cenderung lebih mampu memformulasikan pandangan yang terorganisasi mengenai orang lain.

Misalnya, dalam berinteraksi dengan orang yang tidak kita sukai, maka pemikiran kita mengenai orang tersebut diwarnai oleh perasaan kita mengenai orang-orang lainnya yang tidak kita sukai. Jadi, kita dapat menilai orang lain sebagai buruk/jahat hanya karena satu atau dua sebab, atau kita mungkin telah memiliki sebelumnya rasa tidak suka pada orang tersebut yang

didasarkan atas variasi kognisi Kita. Dalam waktu yang lama sepanjang tidak ada kognisi lain yang menandingi, kesan kita terhadap orang tersebut akan stabil, dan kita cenderung untuk memahami dan memprediksi perilakunya berdasarkan kesan tersebut. Dari penjelasannya tersebut, Delia dan Clark telah mengemukakan bahwa bahasa digunakan untuk menilai apa yang akan dirasakan oleh orang lain terhadap suatu pecan yang disampaikan kepadanya, sebelum pesan itu sendiri sepenuhnya disusun.

BAB IV

Dalam dokumen BAB I KONSEP KOMUNIKASI simbolik docx (Halaman 47-55)

Dokumen terkait